Radit pulang dengan rasa kecewa. Seolah semuanya harus dia telan mentah mentah. Rencananya untuk menjelaskan semuanya kini tidak ada lagi. Mega mengancamnya, dia bahkan berencana memperlihatkan foto dirinya dan Feyra pada mamanya. Mega bahkan tidak peduli jika mamanya kembali mengalami serangan jantung karenanya.
Berbeda untuk Radit, dia peduli dengan mamanya, dia ingin mamanya sehat dan selalu bersamanya sampai dirinya tua. Radit yang tidak ingin mamanya kembali sakit pada akhirnya menerima semuanya, dia mencoba berfikir positive bahwa ini adalah balasan yang harus dia lakukan pada kedua orangtua angkatnya atas semua kasih sayang yang mereka berikan kepadanya.
Apalagi saat dia ingat Mila mengatakan, “Mamah percayakan Mega pada kamu, jaga dia dengan baik. Mamah bahagia dia bersama kamu, Kak, meskipun jalan yang kalian lewati salah.”
Radit diam, dia tidak tahu harus bagaimana. Mila adalah wanita paling mulia dalam kehidupan Radit. Dia tidak ingin mengecewakan sosok yang pertama kali memberinya pelukan, kasih sayang dan senyuman manis.
Radit ingat bagaimana saat mereka bertiga bermain di taman, saat dirinya berlari pada Tom dan memanggilnya Papa dengan gembira. Dan Tom dengan bangga menggendong Radit sambil memamerkannya pada yang lainnya.
Sampai sebuah telpon menyadarkan.
“Fey, ada apa?”
“Saya mau bicara dengan Bapak.”
“Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Fey. Saya minta maaf untuk semuanya. Tapi saya benar benar tidak bisa melakukan apa pun untuk kamu.”
“Saya mau bertemu dengan bapak, saya di Caffe tempat kita makan malam waktu itu.”
Feyra memutuskan sambungannya.
“Hallo, Fey? Fey?” Radit mengumpat dalam hati, dia bergegas untuk pergi ke sana dan menyelesaikan semuanya. Radit ingin hubungannya dengan Feyra terhentikan, apalagi mereka memang baru satu hari berpacaran.
Dia tidak ingin ada masalah lainnya.
Di caffe tempat mereka pernah makan bersama, Feyra sudah menunggu. “Fey?”
“Saya pikir bapak tidak akan datang,” ucap Feyra dengan nada marah, terlihat jelas matanya yang sembab karena menangis.
“Kamu menangis?”
“Jangan peduliin saya kalau bapak akhirnya mengecewakan saya.”
Radit menghela napasnya dan duduk, dia mencoba masih menerapkan tatakrama yang benar. “Ada apa?”
“Saya tidak bisa memutuskan hubungan kita.”
“Kita belum ada hubungan apa pun, Fey.”
“Bagi saya sudah, sejak Bapak mengatakan itu saya sudah menganggap kita menjalin hubungan. Kita punya tujuan, ingat? Saya pacaran hanya untuk menikah, dan bapak bilang bapak mau menjalani hubungan itu. Bapak gak amnesia kan? Bapak gak pura pura lupa kan? Atau bapak waktu itu kesurupan?” tanya Feyra sarkas, dia benar benar mencintai orang yang ada di hadapannya ini.
Radit mengusap wajahnya kasar. “Fey kamu tahu apa yang sedang saya alami. Saya minta maaf karena telah menyakiti hati kamu, saya akui saya salah. Dan ini harus berakhir, saya tidak bisa berhubungan lagi sama kamu. Orangtua saya sudah menitipkan anaknya pada saya. Saya sudah menerimanya. Tolong mengerti, kamu tahu kan saya mengalami apa?”
Feyra mengangguk kuat. “Saya tahu, maka darinya ayo kita jelaskan bersama bagaimana adik bapak itu menyebabkan semua jebakan ini.”
“Fey, saya tidak bisa.”
“Kenapa? Bapak mau menikah dengannya? Bapak dijebak sama dia.”
“Mama saya menitipkan Mega untuk saya jaga, saya tidak bisa mengecewakan beliau yang sudah merawat saya, mengasihi saya, dia mempercayakan Mega yang selalu di luar kendali pada saya.”
Feyra tertawa sinis. Apa Radit bercanda? Dia mau saja masuk ke dalam jebakan penyihir yang merusak hubungan mereka itu? “Dan Bapak menyanggupinya?”
Radit diam sesaat. “Mungkin ini cara saya membalas jasa mereka, dengan menjaga anak mereka.”
“Bapak gila,” ucap Feyra kesal, dia bahkan mengepalkan tangannya.
“Kamu tahu saya gila, jadi saya mohon, hentikan pemikiran kamu kalau kita punya hubungan.”
Feyra menggeleng, dia malah menangis di sana. Dia tidak tahan, dirinya begitu mencintai Radit dan tidak ingin ini berakhir. Apalagi orangtuanya pemilih, jika berpacaran bersama Radit pasti diizinkan.
“Fey…..” Radit berucap dengan halus.
“Bapak bilang bapak suka sama saya.”
“Itu kenyataannya, tapi saya harus mengambil langkah lain di mana saya tidak bisa memiliki hubungan apa pun dengan kamu lagi.” Jujur. Radit merasa sakit melihat Feyra menangis, tapi ini harus dilakukan. Keduanya sama sama terluka. Mendekati Feyra bukan hanya karena Mega, Radit benar benar menyukainya.
Feyra menghapus air matanya, dia masih menunduk. “Kapan Bapak akan menikah?”
“Minggu depan, beberapa hari lagi.”
“Bapak menerima dia sebagai istri bapak?”
“Saya akan menjaga Mega dengan baik.”
“Kalau begitu jaga saya juga.”
Radit mengerutkan keningnya. “Apa maksud kamu?”
“Saya rela menjadi istri kedua bapak, atau simpanam bapak. Yang penting saya ingin memiliki hubungan spesial dengan bapak.”
“Feyra jangan aneh aneh, jangan berfikiran seperti itu.”
“Bapak yang membuat saya berfikir seperti ini. saya gila karena bapak.”
Radit jelas menggelengkan kepalanya, dia menggenggam salah satu tangan Mega. “Saya percaya kamu akan bertemu orang yang benar benar sayang sama kamu, lebih dari saya dalam hal apapun. Tolong, kita harus berhenti di sini.”
******
Tidak terasa, besok adalah waktunya Radit menikah dengan Mega. Pesta pernikahan itu sekaligus akan memperkenalkan dirinya sebagai menantu Alvareza dan akan meneruskan perusahaan tembakau yang sekarang masih dipegang Tom.
Selama beberapa hari ini, Radit mengerjakan pekerjaan kantor dari apartemen. Tom mulai memberikan berkas berkas untuk dianalisis.
Fokus Radit terbelah saat mendengar pintu terbuka. Di sana Mega baru saja masuk ke apartemen.
“Mega?”
“Apa Papah memberimu pekerjaan berat?”
“Mau apa kamu ke sini? Apa kamu ingin membuat Mamah jantungan lagi?” Radit mencoba mengontrol emosi, dia selalu kesal saat melihat wajah songong Mega yang seolah tidak punya perasaan dan hati nurani. “Mega.”
“Santai kenapa sih, Kak? Marah marah terus nanti cepat tua. Eh, tapi kalau menua bersamaku tidak masalah.”
“Katakan mau kamu itu apa?”
“Aku perlu kakak membaca ini.”
“Apa itu?”
Mega duduk di sofa depan Radit. “Perjanjian.”
“Perjanjian?”
Radit membukanya, itu isinya adalah point point yang diinginkan Mega setelah menikah nanti.
Pindah ke penthouse di pusat kota. Tidur satu ranjang. Berhubungan suami istri minimal tujuh kali kali seminggu. Melakukan program kehamilan.
Sebenarnya masih banyak lagi, tapi empat poin itu yang menjadi sorotan mata Radit. “Tidur satu ranjang? Kamu pikir Kakak akan meminta kamu berpisah ranjang lalu bercerai saat keadaan memungkinkan?”
“Hanya berjaga jaga saja,” ucap Mega dengan datar dan tangan menyilang. “Indosiar banget ya ‘Kak?”
“Berhubungan intim minimal tujuh kali seminggu? Kamu mau melakukannya tiap hari?”
“Tidak masalah bagiku. Enak kali ya? Sekarang juga gak papa kok, Kak.”
“Program kehamilan?”
“Well, jika menikah nanti tidak akan ada yang akan aku lakukan. Jadi merawat anak adalah hal baik, lagipula Mamah dan Papah menginginkan itu.”
Radit menatap tidak percaya, bagaimana Mega mengatakan semua itu dengan wajah datar dan sinisnya.
“Baik, aku penuhi semua itu. Jika kamu menjawab pertanyaanku dengan jujur.”
“Apa?”
“Kamu pernah tidur bersama pria? Having s*x?”
“Selain Kakak?” Mega menggoda.
“Kamu tahu maksudku, Mega.”
Mega menyandarkan pundaknya di sofa, dia menyilangkan kakinya. “Aku tidak pernah main main, aku bilang aku mencintaimu, maka tidak ada pria yang aku inginkan kecuali dirimu.”