TRIK

1158 Kata
"Eh, Anggia, kamu baru makan nggak boleh langsung makan cemilan!" "Gapapa, di beli sekarang kan bukan berarti harus dimakan sekarang, Dini!" "Ehm, Ya udah, nanti aja dibelinya sama aku! Kalian main aja di sini!" "Anggia bosen Dini, kalau cuman main di kamar aja. Sekalian aku juga mau ajak dia main ke taman." Ada-ada saja alasan yang diberikan oleh Rio setiap kali Dini berusaha melarang. Lalu, adakah solusi untuk ini? "Kak Rio, kata dokter Anggia nggak boleh dibawa keluar. Dia masih sakit." "Dini, aku ini kuliah spesialis pediatris." Rio akhirnya menatap wanita yang banyak melarangnya itu. "Jadi apa kamu pikir aku nggak tahu apa yang bagus dan buruk untuk Anggia?" Lemas sudah Dini. Rio adalah lulusan kedokteran dan dia adalah lulusan yang terbaik seangkatannya. Mana mungkin pria itu tidak tahu tentang yang seperti itu saja? "Tapi aku ibunya, Kak Rio. Dan aku larang Anggia untuk keluar." Dini tahu alasan ini tidak masuk akal untuk Rio. Dan di sini Dini terkesan sangat otoriter dan tentu saja Anggia yang sudah mengerti pasti kesal kalau dilarang seperti ini sedangkan Anggia tadi sudah bersemangat sekali ingin keluar dari ruangan itu dan menghirup udara di luar, melihat hijau-hijauan daun di taman dan mungkin sedikit bermain dengan Rio. Tapi apa Dini punya alasan lain untuk membuat putrinya tidak pergi? "Kenapa dilarang?" sayangnya Rio tidak suka sesuatu yang otoriter "Kan aku juga nggak akan menculik Anggia, kok! Aku cuman bawa ke bawah aja!" "Om, Anggia di kamar aja." Rasa bersalah muncul di dalam hati Dini ketika melihat Anggia yang tak mau melawan mamanya sudah menunduk dan hilang semua ceria di wajahnya. "Ya, bagus Anggia. Kamu baru sembuh dan kamu nggak boleh kecapean! Kalau kamu kecapean lagi kamu harus diinfus lagi dan ditukar lagi darahnya!" Dini tahu sikapnya ini sangat buruk sekali tapi dia tak peduli. Saat ini dia mendekat pada Rio dan mengambil putrinya. "Duduk di tempat tidurmu dan jangan pergi kemana-mana! Semakin cepat kamu keluar dari rumah sakit semakin cepat nanti kita bisa jalan-jalan! Anggia mau jalan-jalan kan?" "Mau Mama. Anggia mau ke Mall." "Hmm, kalau gitu nanti kalau Anggia sudah sembuh Om Rio ajak Anggia pergi ke Mall." Rio yang belum berkata apa-apa tadi saat Dini mengambil putrinya dari gendongan Rio, sudah bicara lagi dan menunjukkan senyumnya untuk Anggia. "Asiiik, makasih o*******g Anggia. "Dan sekarang Anggia katakan pada Om Rio Apa makanan kesukaan Anggia? Biar Om belikan di cafetaria." "Aku saja nanti yang beli Kak Rio." Tapi lagi-lagi Dini panik dan memaksa begini. "Kak Rio, ini sudah jam delapan. Memangnya Kak Rio tidak berangkat kerja? Kan malu kalau datangnya terlambat. Nanti dilihat sama karyawan kayak bos nggak bertanggung jawab." Rio ingin menjawab dan beberapa untai kata sudah ingin keluar dari tenggorokannya karena dari tadi Dini juga sudah membuatnya kesal. "Hmm. Ya aku harus berangat," cuma dia tak membantah Dini tapi sudah berjalan mendekat pada Anggia. "Om Rio berangkat kerja dulu ya, Sayang. Anggia tunggu di sini, nurut sama Mama dan nanti kita lakuin banyak hal kalau Anggia sudah sembuh. Jadi kita bisa kemana-mana, Om nggak dimarahin sama mama Anggia lagi." "Hihihi!" Anggia hanya memberikan tawa kecilnya yang terlihat begitu manis di hadapan Rio. Sungguh dia tak tahan untuk memeluk dan mengecup anak itu. "Yang sehat ya Anggia! Om berangkat kerja dulu." 'Makasih Om Rio!" 'Aku tahu kau kesal padaku sampai keluar tanpa menyapaku dan hanya melambaikan tanganmu untuk Anggia lalu hanya tersenyum untuknya. Tapi maaf Rio! Ini yang terbaik untuk kita.' Dini juga tidak mengatakan satu kata pun saat pintu itu ditutup oleh Rio. Pandangannya sudah kembali pada Anggia. "Minum dulu obatnya ya." Dini mengingat dan langsung memberikan pil pada putrinya Dia juga menanyakan mainan mana yang harus ditaruhnya di tempat tidur Anggia. Dini tak lagi membahas tentang Rio dan dia juga tidak memarahi putrinya. Hanya ingin menghabiskan waktu dengan putrinya dan bermain bersama. Anggia, mudah memaafkan dan sudah asyik lagi bermain dengan mamanya. Tapi, namanya anak kecil, sangat mengingat janji orang tuanya. "Mama, katanya mau beliin Anggia kue." "Oh iya, mama lupa. Sebentar ya mama beliin dulu." Dini, menelepon suster dan menunggu sampai wanita itu datang, barulah dia berpamitan dengan putrinya keluar. "Kak Rio belum berangkat kerja?" Kaget lah Dini melihat seseorang yang duduk di kursi luar depan ruangan putrinya, makanya refleks bertanya begitu. Jendela di kamarnya itu ditutup dan dia memang tidak membuka gorden ke arah luar sana. Biasanya Dini membuka tirai jendela yang mengarah pada taman, ke arah luar rumah sakit. Lebih menyenangkan untuk dilihat daripada melihat suster bolak-balik. Makanya Dini tak tahu keberadaan Rio. Dan kini Rio sudah menatapnya tanpa senyum dan terlihat menahan emosi. 'Habislah aku!' lemas sudah Dini. Dia tahu semua tidak akan mudah dilewatinya kalau Rio sudah menatapnya seperti itu. Pria itu masih sama seperti dulu jika dia sedang marah, kesal atau perasaannya tak enak, jarang banyak bicara. Termasuk tak menjawab pertanyaan Dini barusan. "Ayo ke Cafetaria." Seandainya Dini masih memiliki uang dan hartanya seperti dulu, maka dia bisa dengan mudah menolak Rio. Tapi sekarang putrinya bisa mendapatkan pengobatan seperti ini karena Rio. Lalu apakah bisa dia menolak permintaan pria itu? 'Aku harus gimana ya?' Dini cemas. Dia mencoba memutar otak selama berjalan di koridor dan di dalam lift tapi belum menemukan ide yang tepat untuk memberikan excuse pada Rio. Lalu haruskah mereka ke cafetaria bareng dan dia membelikan makanan yang diinginkan Anggia? 'Atau mungkin aku bisa membelikan makanan lain yang bisa dimakan olehnya? Nanti kubilang saja makanan kesukaannya habis!' Sampai ada ide seperti ini di dalam benaknya. Dini seakan tak punya pilihan sehingga itu menurutnya adalah yang terbaik. Tapi apakah dia tega untuk membohongi putrinya dan menjalankan rencananya itu? "Rio! Pas sekali bertemu denganmu di sini! Kenapa nggak bilang kalau kamu mau ke rumah sakit lagi?" 'Syukurlah ada Dokter Teddy!' Lega rasanya Dini melihat dokter itu mendekat pada Rio dan sudah menepuk lengan sahabatnya. Sepertinya akan ada obrolan panjang diantara mereka. "Kak Rio aku permisi dulu ya mau ke cafetaria!" Dan Dini juga tahu kalau Rio tidak akan memarahinya di depan orang lain. Dia tidak akan membahas satu persoalan di hadapan orang lain karena Rio tak suka jika masalah pribadinya harus menjadi konsumsi publik. Inilah yang membuat dirinya cepat-cepat ke cafetaria dan memesan apa saja yang tadi ingin dibelinya. 'Mereka tak melihat kan? Mereka mengobrol di luar atau di ruangan Dokter Teddy juga, mungkin?' Dini menduga. Tapi dia juga tidak berani memastikan dengan menengok ke belakang dan melihat apakah Rio ada atau tidak di depan pintu cafetaria. "Makasih ya Mbak!" Dini membayar cepat-cepat dan segera kabur dari tempat tersebut. Agak lega hatinya kala melihat Rio memang tidak ada di koridor itu dan senyumnya pun bisa merekah sambil Dini berjalan menuju ke lift. 'Terima kasih Tuhan!' hatinya pun penuh dengan rasa syukur saat dia menuju ke ruangan putrinya. Dini tidak memperhatikan apapun di sekitarnya, termasuk ruang jaga suster. Pokoknya dia hanya ingin cepat-cepat sampai di kamar putrinya. "Nah itu Mama udah dateng!" 'Ke-kenapa dia ada di sini lagi?' Dini kehilangan kata-kata saat melihat pria itu sudah ada di sisi putrinya. "Sini Dini, bawain kue kesukaannya Anggia!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN