SEMAKIN RUMIT

1278 Kata
"Ka-kamu nggak berangkat kerja Kak Rio?" Dini tahu yang dikatakannya ini percuma. Pria itu tak akan pergi. Dini yakin kalau Rio pasti merasakan sesuatu yang membuat dirinya kembali ke kamar putrinya. "Kuenya Dini." Susah memang kalau sudah ditanya begini. Rio tidak ingin alasan apapun. Pokoknya dia hanya ingin Dini membawa kuenya Anggia. "Ah, maaf ya Anggia. Mama cuman bawa kue yang bukan Anggia suka. Soalnya tadi di sana udah nggak ada lagi kue yang Anggia pengen. Kayaknya Mama udah kesiangan deh." Memang apa yang Dini harapkan? Anaknya dan Rio percaya lalu tidak mau membuka kotak tersebut? "Yah, Mama. Tapi nggak pa-apa deh. Anggia makan aja apa yang Mama bawa. Kata Mama Anggia nggak boleh mubazir makanan kan?" "Anggia Sayang, kamu manis banget sih? Om seneng deh denger Anggia bilang gitu. Makasih ya Anggia mau nurut sama mama Anggia." Di saat hati Dini merasa kecut, pria yang di samping putrinya justru malah mengelus wajah Anggia dan makin membuat Dini serba salah. Ingin sekali Dini menonjok wajah pria yang membuatnya jadi serba sulit. "Mana sini." Sayangnya sudah tidak ada lagi kesempatan untuk Dini membawa kue itu menjauh. Dia tak punya alasan untuk keluar. Terpaksa dia menyerahkan ke tangan seorang pria yang sudah tersenyum penuh makna padanya. "Waaaaa, kue onde-onde." Anggia bersemangat tapi Dini merasa lemas. "Anggia suka ini?" "Suka, tadi kata Mama nggak ada kue kesukaan Anggia tapi ini yang Anggia suka Om." "Oh ya? Jadi kemarin Anggia makan kue ini juga?" Terus saja kau korek-korek semuanya. Apa karena wajah Anggia memang mirip sekali dengannya versi perempuan jadi dia mulai curiga sejak awal bertemu? Dini jadi merasa kesal sekali dengan masa lalunya ini. Masa lalu yang terus menggerogoti jiwanya dan masa lalu yang ingin dilupakannya tapi justru malah membawa dirinya kembali lagi pada keadaan yang semakin sulit dengan semua kenangan yang kini sudah mengikat dirinya. "Yah, tinggal satu. Ini buat Anggia. Maaf ya tadi Om ikut habiskan onde-ondenya Anggia. Soalnya Om juga suka onde. Hmm, besok sebelum ke sini, Om bawain onde-onde buat gantiin onde-ondenya Anggia deh." "Beneran, Om?" "Hmm." "Asiiiik." Obrolan yang hanya membuat Dini geleng-geleng kepala saja. Tapi tentu saja apa yang dia lakukan ini tidak diperhatikan oleh kedua orang yang sepertinya sedang bersemangat sekali bicara berdua. Tadi perasaan beli onde-onde banyak banget. Dan itu bisa sisa satu belum ada setengah jam? Mereka ini memang mesin penggiling onde-onde kah? Dini malaslah untuk mendekat pada keduanya. Menengok pun tak dilakukannya. Dini lebih memilih menonton acara televisi yang memang tidak ada faedah untuknya. Gosip. Lalu dia mengganti lagi ke siaran sinetron. Bukan sebuah sinetron yang mendidik tentunya. Saat diganti lagi, channel selanjutnya siaran musik-musik dengan banyak sekali laki-laki yang berlenggak lenggok jadi wanita. Ini membuat Dini jadi makin kesal. Dia mengulir lagi saluran tersebut sampai tangannya jadi pegal sendiri tapi memang tidak ada film yang bisa membuat Dini setidaknya tak mendengar obrolan keduanya yang sangat mengganggunya itu. "Nah, tangannya sudah bersih deh. Mau main? Atau mau apa sekarang nih?" Dia apa nggak berangkat-berangkat kerja ya? Enak banget. Kerja semaunya, Eish. Itukah enaknya jadi suami wanita kaya? Melihat jam dinding, Dini hanya bisa ngedumel saja di dalam hatinya melihat tingkah laku keduanya. Memang dia bisa melakukan apa lagi? Dan tentu saja dia hanya bisa menunggu sampai kondisi keduanya lelah atau salah satunya tertidur. "Aku duduk di sini kamu tidak minat untuk bicara denganku?" Akhirnya Anggia yang sudah kelelahan tertidur lelap. Makan siang juga belum sempat diantar tapi mata anak itu sudah tidak kuat lagi. Habis main beberapa jam, dia sudah memejamkan matanya dengan seorang pria tadi menemaninya sambil menceritakan sesuatu yang membuatnya makin terlelap. Dan saat ini Anggia sudah masuk ke fase tidur pulas. Makanya pria yang membuat Dini uring-uringan itu sudah duduk di sofa lain yang posisinya bersebelahan dengan Dini. "Kok gak dijawab sih?" "Aku lagi nonton TV!" Tapi sayangnya Dini memang sedang males bicara dengannya. Sekarang dirinya justru berharap sekali bocah yang tadi bermain dengan Rio tidak tidur. Dini ingin menghindar, tak ingin bicara apapun. Kesal hatinya masih ada untuk pria itu. Kemarahan yang tidak bisa keluar dan hanya matanya saja yang jadi terasa panas. Tapi Dini tidak mau menangis di hadapan seseorang yang merasakan ketidaknyamanan di dalam hati Dini dan kini pria itu berdiri dari sofa yang didudukinya. "Lebih baik kak Rio tetap duduk di sana. Aku butuh tempat agak sedikit lega." Tapi apa pria itu mau mendengarkan yang diucapkan Dini saat dia sudah berada tepat di samping tempat duduk Dini? "Tubuhmu tidak lebar dan memenuhi sofa ini. Kau tidak punya hak untuk melarangku duduk di manapun yang aku inginkan." "Ya, aku memang tidak punya hak untuk melarang Kak Rio.. Karena sekarang aku sudah dibeli oleh uangmu!" "Dini." Suara wanita di sampingnya itu cukup tinggi sehingga Rio khawatir bocah yang sedang terlelap itu bangun dan dia sempat melirik dulu sebelum menekan dengan suaranya yang berbisik. "Ada Anggia di sini jangan bicara begitu." "Dari tadi juga ada Anggia di sini tapi apa Kak Rio memberikan kebebasan padaku untuk mengurus anakku sendiri dan melakukan apa yang terbaik untuk anakku?" Dini bicara tanpa menatap orang di sampingnya. Dia tidak ada niat untuk sedikit saja bersikap ramah padanya. Mata Dini panas. Dia tak ingin menatap pria itu tapi malah memendam emosinya membuat hatinya makin kesal dan hampir saja Dini menumpahkan air mata. "Ditutupi bagaimanapun aku sudah bilang padamu kalau aku adalah dokter anak. Aku lulusan terbaik. Aku tidak buta dengan dunia medis. Dan kemarin aku yang membantumu untuk mengurus administrasinya, Dini." Mereka sudah sama-sama dewasa dan mereka sudah sama-sama saling tahu sikap satu sama lain karena mereka bukan berteman baru sehari dua hari. Memang mereka sudah lama tak bertemu tapi sikap mereka tidak ada yang berubah. Cara mereka mengutarakan apa yang ingin mereka sampaikan juga masih sama. Bohong kalau Dini tak mengerti apa maksud dari ucapan Rio barusan. Lalu apa yang harus dilakukannya sekarang? Menanggapinya kah? "Aku tahu kamu kesal padaku. Aku tahu kekecewaanmu Dini." Wanita itu memilih diam makanya Rio bicara lagi. "Tapi aku pun kecewa. Aku juga merasa sakit. Sama sakit seperti yang kamu rasakan. Mungkin lebih perih kalau kamu bisa melihatnya." Sudah dibilang kalau mereka membahas ini hanya akan menimbulkan rasa tak enak. Luka lama itu terlalu perih kalau diingat Dini. "Kenapa masih diam? Aku sedang mengajakmu bicara Dini." "Kapan aku harus mengandung anak untukmu dan istrimu, Kak Rio?" Dini malas membahas masa lalu. Dia punya perjanjian lain dengan Rio dan mencoba mengingatkan pria itu tentang siapa dirinya dan apa hubungan mereka yang sebenarnya. "Dini aku--" "STOP!" "Dini pelankan suaramu." Rio berbisik penuh penekanan. "Hah." Sayang, permintaan Rio itu hanya dijawab Dini dengan senyum tipis sebelum matanya melirik pada Rio dan sudah tak lagi mendung. "Ya aku akan pelankan karena aku memang berhutang padamu dan aku harus menurut padamu, bukan? Layaknya b***k yang sudah dibeli harus menuruti tuannya." "Dini, aku nggak pernah berpikir begitu." "Gak perlu dipikirin. Aku cukup tahu diri. Aku sudah menjual diriku ke Kak Rio. Memelas padamu dan meminta hubungan ini karena aku butuh uang. Apa namanya kalau aku bukan jual diri?" "Dini, please, kita bicara di depan." Rio tadi memang sempat agak galak pada Dini dan dia bersikap sangat dingin. Tapi saat ini melihat wanita itu sudah terlihat lebih emosional dia merendahkan egonya dan berusaha untuk menenangkan Dini yang saat ini juga menolak tangannya dipegang oleh Rio. Hati Dini perih terasa menjelu relung hatinya. "Jika aku salah karena aku tidak memberikan tanganku padamu maka tulis saja di perjanjian berapa yang harus kubayar Kak Rio. Aku akan cari uang untuk membayarnya nanti. Aku janji pasti kubayar." Lagi-lagi ucapan Dini juga membuat hati Rio terasa sesak. Tak sangka dirinya kalau hubungan mereka akan serumit sekarang. "Dini, aku tidak mau seperti ini." "Lalu apa dari tadi aku diperhatikan dan aku ditanya apa aku mau seperti itu atau tidak?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN