HATI YANG BERKHIANAT

1278 Kata
"Anggia sudah tidur?" "Sudah, Kak. Dan ada apa?" Setengah jam kemudian setelah Dini menidurkan putrinya, dia yang tak punya pilihan terpaksa harus keluar kamar sesuai dengan pesan Rio. "Ini, ambil! Dan terima kasih ya sudah mengizinkanku untuk main dengan Anggia." Dini mengangguk tapi dia memang belum mengambil apa yang ada di tangan Rio. "Cepat ambil. Kalau tidak diambil, aku bagaimana bisa pulang?" "Kak Rio, kenapa sekarang Kak Rio jadi sedikit pemaksa?" "Karena setiap orang itu berubah Dini, sama sepertimu. Kenapa sekarang aku jarang sekali melihat senyum ceria di wajahmu?" Pertanyaan yang membuat Dini membuang wajahnya tak ingin lagi memindai Rio, cuma pria itu tidak berhenti mengutarakan isi hatinya. "Seyummu dulu --" "Kak Rio cukup!" Dini tak mau mendengar lagi dan dia menyambar apa yang di tangan Rio. "Makasih Kak. Dan sekarang Kakak bisa pulang." Senyum-senyum Rio melihat bagaimana kelakuan Dini di hadapannya saat ini. Meskipun wanita itu melotot dan menatap tak suka padanya. "Aku pamit ya! Jagain Anggia." Tapi sesuai janjinya, setelah memberikan apa yang tadi dipegangnya, Rio pergi menyisakan Dini sendiri yang sebetulnya merasa sesuatu saat melihat punggung Rio menyusuri koridor rumah sakit. 'Sudah, masuk Dini! Ngapain kok masih di sini liatin punggung suami orang!' Tak berani berpikir yang aneh-aneh, Dini juga sudah menutup pintu di saat pria yang sudah mendengar suara pintu ditutup justru berhenti berjalan dan menatap ke arah belakangnya kembali. Wajahnya sudah tidak ada senyum semanis yang tadi diberikannya pada Dini. Kini wajah Rio terlihat bak cerminan beban hidup yang dihadapinya. Rio memang tak lama berdiri di sana. Sesuai janji, dia meninggalkan rumah sakit, tapi wajah itu tetap saja dalam kondisi murung sampai dia tiba di satu rumah mewah dibilangan Jakarta Selatan yang menjadi tolak ukur kalau pemiliknya bukanlah orang biasa. "Sayang, kamu sudah pulang? Kangen banget deh aku!" dan sapaan ceria seorang wanita saat Rio membuka pintu kamarnya terdengar dari dalam. "Kamu juga baru pulang, Ta?" "Hmm!" wanita itu mendekat, memeluk Rio dan tentu saja mengecup bibir pria yang memiliki ikatan khusus dengannya. "Kangeeeen banget pengen peluk kamu, Sayang!" ucapnya yang menimbulkan sedikit perih di dalam hati Rio. "Aku mandi dulu ya." "Kamu gak kangen sama aku?" Rio hanya tersenyum dan mengelus rambut wanita itu. "Oh Iya, Ta. Kemarin aku sudah bertemu dengan Teddy. Dan aku sudah menemukan Ibu penggantinya." "Wah, beneran? Jadi bisa kita punya anak?" Kedua tangan Rio sudah memegang dua tangan wanita itu yang ada di samping pinggangnya dan sebenarnya ingin melepaskan tangannya tapi kembali netra Rio menatap mata istrinya dengan rasa bersalah, dia tak jadi menjauhkan dua tangan itu. "Liat nanti ya. Kan mesti di cek dulu." "Hmm. Iya, gapapa Sayang. Kapan di cek semua? Aku udah nggak sabar banget pengen punya mini cinta kita!" seru Christa yang kembali hanya dijawab Rio dengan hembusan napas pelan darinya plus senyuman entah apa maknanya. "Aku ... Kamar mandi dulu ya!" Rio akhirnya melakukan niatnya. Menjauhkan tangan Christa dari pinggangnya. "Aku capek banget," kilahnya. "Hmm, aku nanti suruh pelayan anterin makan ke sini." "Aku gak laper. Aku capek, cuma pengen tidur. Kalau kamu mau laper, makan aja." "Eh, ga ah, aku mau makan sama kamu Sayang! Biar capek, kamu mesti makan dikit ya. Aku gak mau kamu sakit!" Rio sebetulnya ingin menolak lagi, tapi melihat senyum istrinya yang penuh harap dan mata itu menatapnya penuh cinta, membuat dirinya berat dan akhirnya mengangguk. Meski sebenarnya beban yang ada di dalam benaknya ini membuat dirinya tak nafsu makan. "Sayang, kemarin kamu nggak pulang kah? Tadi aku liat kamu masih pakai jas yang kemarin loh?" "Oh, kemarin aku ke rumah sakit Teddy, aku nggak ada kerjaan juga di rumah, jadi aku ngobrol sama dia di rumah sakit semalaman." "Pantesan! Kamu kelihatan capek banget! Nih, makan lagi yang banyak!" ucap Christa sambil menyendok makanannya dan sudah mengulurkan sendok itu ke mulut Rio. "Aku kenyang Ta." "Ayo dong, makan yang banyak! Nanti kamu gak ada tenaga buat aktivitas selanjutnya," bujuk Christa. Rio tahu apa yang diinginkan istrinya. Mereka bukan menikah baru sehari dua hari. Tentu saja sikap Christa sudah membuat hatinya makin berantakan. "Aku cape banget. Aku tidur duluan ya! Besok pagi masih banyak kerjaan yang harus ku urus." "Dih, mana boleh!" Christa yang sudah menghabiskan suapan terakhir yang tadi ditolak oleh Rio, buru-buru mengelap bibirnya dengan tisu dan mengambil gelas untuk minum suaminya. "Aku kan kangen, pengen manja-manja dulu ama suami kesayanganku. Jangan tidur dulu, please!" Christa memang sangat manja pada Rio. Saat ini selesai makan, dia sudah mengejar suaminya ke tempat tidur dan meski Rio sudah mengatakan dia lelah tetap saja, Christa memaksa masuk ke dalam pelukannya, mengajaknya bicara dan tak berhenti mengendus keharuman tubuh suaminya. Sesuatu yang sangat disukainya, sambil cerita, sambil bermanja-manja. Tapi sayang Rio malam ini tidak seperti malam-malam sebelumnya yang bisa meladeninya dengan senda gurau dan aktivitas suami istri. Entah kenapa hati itu seakan-akan berkhianat dan merasa lelah. LO TUH BERUNTUNG DAPET CHRISTA. CEWEK SECANTIK DIA SULIT UNTUK DIDAPATKAN RIO! APALAGI DIA UDAH KASIH LO SEMUANYA YANG DIA PUNYA! MASIH LO MAU NGELIRIK CEWEK LAIN DAN NYAKITIN HATI CHRISTA? Sampai sepenggal pembicaraan dengan Teddy kembali terngiang dalam benak Rio. "Ta, aku ngantuk, aku tidur dulu ya." "Yah, kita skip jadinya nih?" "Next time lah." Rio menolak. Dan sebenarnya dia ingin sekali tidur memunggungi istrinya seandainya wanita itu tidak langsung masuk ke dalam dekapannya dan memaksa untuk tetap dipeluk sambil tidur. Perasaan Rio lagi tak enak. Rio tahu kalau istrinya sangat cantik dan kalau dilihat dari Body memang jauh lebih menarik daripada istri keduanya. Rio tahu kalau dalam segi keuangan dia lebih beruntung bersama dengan istrinya ketimbang dengan kondisi Dini yang sekarang. Rio juga tahu, dari status sosial, Christa lebih banyak memberikan keuntungan positif baginya ketimbang seseorang yang baru dinikahinya yang mungkin saja malah menjadi beban dalam hidupnya. Tapi kadang hati manusia itu tidak sejalan dengan logikanya. "Selamat pagi Anggia! Sudah sarapan belum?" Entah kenapa Rio justru bisa melepas senyum cerianya saat dia di kamar rumah sakit itu dan menatap ke arah bocah yang sedang memegang mainan yang dibelikannya kemarin. "Om Rio!" Anggia juga sangat bersemangat menyambutnya. Dia bahkan sangat senang ketika Rio memeluknya dan menggendongnya. Anggia sudah tidak lagi pakai infusan sehingga dia lebih bebas. "Om makasih baju baru buat Anggia! Mama juga udah pake baju baru dari Om Rio!" Sebuah keadaan yang membuat Dini lagi-lagi harus bersabar dan jujur, dia tak suka putrinya membahas pakaiannya ini. "Oh ya, Om liat. Anggia suka bajunya?" "Suka!" "Sip! Nanti Om beliin lagi buat Anggia ya!" 'Pintar dia memilih baju! Pas juga ukurannya. Tapi menyebalkan karena sampai kedaleman juga dia beliin! Ish! Memalukan!' Dini sebetulnya tak ingin memakainya, cuma memang dia tak mau membuat keributan dengan Rio. Meski kesal dan malu juga rasa di hatinya. Yang di luar kemarin, itu semua isinya pakaian untuk Dini dan Anggia. "Yeay, makasih Om!" "Hmm, kita main yuk!" 'Memangnya dia mau berangkat kerja jam berapa sih kalau ke sini jam segini? Kantornya emang di mana? Masih mau ajak Anggia main?' Dini juga tak tahu harus bertanya kah atau membiarkan atau harus bersikap bagaimana dengan kedekatan dua orang yang baru bertemu dua hari tapi sudah lengket seperti perangko dan amplop. "Asiik, main!" "Oh iya, Anggia udah makan belum? Tadi kan belum dijawab?" "Udah Om. Tadi abis makanannya." "Wah, pinter!" seru Rio makin bersemangat memuji dan sudah memberikan kecupan lagi pada Anggia tak mempedulikan dengan Dini yang ada di ruangan itu bahkan tidak menyapanya. "Terus sekarang Anggia mau main apa?" "Anggia bingung," ujar Anggia jujur, karena mainannya banyak dan dia tak tahu mau memilih yang mana. "Bilang sama Om. Atau Anggia mau jalan-jalan di taman? Atau Anggia mau apa?" Dini ingin melarang tapi bukankah Rio akan selalu membela putrinya? Ini yang membuat Dini jadi malas. "Mau kue yang kayak kemarin Om! Kesukaan Anggia!" "Kue? Oh, yuk kita beli di Cafetaria!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN