PERISAI ANGGIA

1627 Kata
"Untung saja." Sesaat sebelumnya, setelah Dini keluar dari cafetaria, dia merasa lega sekali terhindar dari Rio. Dini berjalan cepat dengan makanan yang dia bawa menuju ke kamar putrinya. "Terima kasih ya, Suster." Dini juga merasa lega karena bantuan Rio, dia dapat kamar yang bagus untuk putrinya dan ada suster yang bisa menjaga putrinya saat dia keluar tadi. Saat di bangsal, ini agak sulit karena suster di sana sibuk dan biasanya Dini akan minta tolong pada keluarga pasien yang menjaga pasien di sebelahnya jika dia ingin keluar sebentar. Untungnya mereka semua baik-baik dan mau membantu Dini. "Anggia, ini Mama bawakan makanan kesukaanmu. Tadi Mama nemu di kantin." "Wah, apa Mama?" Anggia bersemangat sekali karena sudah lama sekali dia tidak pernah memakan makanan kesukaannya dan yang dilihatnya membuat bibirnya tersenyum. "Onde-onde. Asiiiiik." "Iya. Cepat makan." "Mama, ini dibeliin ama Om Rio juga?" Anggia sudah cukup besar untuk mengerti. Lagi-lagi Dini mengangguk. "Iya, Om Rio yang belikan tadi." "Om Rio baik ya, Mah?" Dini hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan Anggia. "Anggia suka onde-onde." "Hmm, makanya jangan dibuang-buang makanannya. Habiskan, ya." "Iya Mama." Anggia yang senang tentu saja langsung melahap makanannya. Tapi dia juga memperhatikan ibunya. "Mama punya handphone baru?" "Ini tadi Om Rio juga yang pinjamkan. Bukan punya Mama, Sayang." "Wah, Anggia mau main game." "Boleh. Nanti habis makan boleh main game, satu jam." "Asiiiik." Saat itu juga Dini men-download game kesukaan Anggia, supaya putrinya tak menunggu lama selesai makan. Dia masih ingat betul permainan kesukaan Anggia dan memang sudah lama anaknya tidak pernah main handphone karena handphone Dini sebelumnya tidak mumpuni. Hatinya merasa lega melihat Anggia antusias dengan mainan barunya. Senyum putrinya membahagiakannya meski dalam relung sanubarinya Dini juga khawatir. Semoga ini tidak jadi masalah untuk pernikahannya, bisik hati Dini yang memang tidak mau membuat masalah dalam hidup Rio. Entah berapa banyak rahasia yang disembunyikan olehnya, tapi saat ini Dini ingin melupakan sejenak dan menikmati sedikit kebahagiaan dengan memanjakan putrinya.. Anggia sudah lama sekali hidup dalam kondisi yang sulit. Berbulan-bulan ini jarang sekali Dini bisa memberikan sesuatu yang disukai oleh putrinya dan membuat anaknya itu tersenyum. Bukan hanya Anggia, Dini juga sudah lama tak memanjakan dirinya. Makanya, saat membiarkan putrinya bermain, Dini menyempatkan diri untuk mandi dan membersihkan tubuhnya, me time yang selama empat bulan ini sulit dilakukannya. Aku sudah lama tidak menikmati kamar mewah. Ternyata memang lebih enak daripada di bangsal. Hmm, tubuhku sudah harum, bisik hati Dini yang memang sangat suka sekali dengan aroma sabun yang dia gunakan. Termasuk shampoonya. Semua sudah disiapkan di kamar mandi super VVIP room. Segar rasa tubuhnya, meski Dini masih menggunakan pakaian murah dan biasa. "Anggia mainnya udah dulu ya. Kan udah sejam. Sesuai perjanjian.” "Iya Mama. Tapi nanti bole main lagi?" Anggia masih ingin main, tapi dia tak berani melawan mamanya. "Boleh, habis tidur siang." "Yeaay, Anggia tidur dulu kalo gitu." "Tapi itu makanannya udah datang. Makan dulu aja baru tidur, ya?" "Iya Mama." Anggia sangat kooperatif. Tapi Dini juga tak menipu anaknya. Dia memberikan sesuai janji dan mereka menghabiskan quality time mengobrol dan bermain bersama sampai sore menjelang malam. "Anggia, habis makan ini, tidur ya, biar Anggia bisa cepet sehat dan bisa pulang cepet kita." "Pulang ke rumah bagus dari Om Rio?" "Makan dulu ya, mumpung masih anget makanannya." Dini tak berani menjanjikan dan menjawabnya. Makan malam sudah diantarkan. "Iya Mama, mau." Memang Anggia menurut. Tapi malas-malasan Anggia makan karena sebetulnya dia tidak terlalu suka makanan rumah sakit. Cuma Dini tak mentoleransi. Makanan itu harus dihabiskan. "Mama, kalo Anggia udah keluar rumah sakit boleh enggak minta sama Om Rio beliin pizza?" "Anggia, kan Mama udah bilang, kita gak boleh minta-minta sama orang. Kalau mau minta cuma boleh sama Mama aja." "Iya Mama, maaf." Anak itu sudah cukup mengerti untuk mengatakan kata maaf karena selama masa sulitnya, Dini banyak menekan keceriaan Anggia dan kebebasannya. Dini lebih mengajarkannya bagaimana bersikap agar tidak dibenci orang. Anggia harus tahu bagaimana kondisi keuangan mereka dan tanpa sadar, kekangan itu memang menghilangkan naluri anak untuk selalu ceria dan berkata jujur dari hatinya. Anggia tak berani jika mamanya sudah melarang. "Halo. Duuh, untung Anggia masih bangun." Tanpa mengetuk pintu, seseorang sudah membukanya dari luar yang membuat Dini kaget, tapi Anggia tersenyum saat memindai senyum Rio. "Om Rio!" Anggia menyapa duluan karena dia melihat sesuatu yang dibawa oleh Rio dan sangat antusias. "Anggia, Om bawa mainan. Mau main?" "Mau!" "Tidak Anggia." Senyum Anggia langsung hilang saat Dini melarang. "Mainan-mainan itu tidak boleh dimaenin sama kamu dulu sebelum makanannya habis." "Nah, kalau makanannya sudah habis baru boleh main. Om tungguin ya." "Iya Om." Ish, harusnya kutambahkan tadi, mainan itu tidak boleh dimainkan karena habis makan harus tidur dulu. Mainnya besok! protes Dini dalam hatinya yang lagi-lagi kalah dengan Rio. Anggia sudah tak sabar ingin main tapi dia tidak berani untuk melawan mamanya, makanya saat Rio membantunya anak itu tersenyum, senang lagi hatinya. "Om, udah habis." "Anggia gak suka ya sama makanannya?" Rio yang menunggu di sofa melihat Anggia memakan makanannya malas-malasan. Instingnya mengatakan begitu dan membuat Anggia polos mengangguk. "Biar tak suka, harus dihabiskan. Karena ini makanan bisa bikin Anggia sehat." Tapi Dini sudah menyangkal lagi. "Anggia mau makan apa, Sayang? Makanan rumah sakit kan udah dihabisin, Om Rio mau beliin makanan yang Anggia suka." "Pizza." "Sip. Om Rio orderin ya, mau pakai atasnya apa?" Harusnya dia tahu aku gak suka dia manjaain Anggia. Tapi kayak pura-pura ga tau aja dia nih. Dini kesal dalam hatinya, tapi bisa apa dia? Dini tak mungkin mengomeli Rio depan putrinya. "Nah, sambil nunggu pizza-nya dateng, kita main dulu." "Yeaaaay!" "Anggia kamu harus tidur harus beristirahat. Enggak boleh banyak main." "Kalau langsung tidur habis makan kan gak boleh Dini. Kamu ngerti kalau soal itu aja pastinya kan?" Dini hanya diam ketika Rio berkata begitu dan lagi-lagi dia menjadi pelindung Anggia. "Ayo main dulu. Mau dibuka yang mana dulu mainannya?" "Yang itu Om!" "Oke, Tuan Putri." Rio membuka jasnya dan membawa mainan mendekat ke Anggia. Mereka asyik bermain dan membuat keberadaan Dini seolah tak ada sampai pengantar pizza datang. "Nah, makanan Anggia dateng. Makasih ya Dini." Dan mereka sudah sibuk lagi berdua. Dipikirnya aku cuma pengantar Pizza kah? Dini menggerutu tapi memang percuma, tak ada yang memperhatikannya. Tapi mau dilarang juga Anggia bahagia dengan mainan barunya, dia senang juga makan pizza tadi. Dan Rio sangat perhatian sekali sampai aku dilupakan begini, bisik hati Dini yang memang memperhatikan mereka tapi dia tidak datang mendekat. Dini berpura-pura sibuk sendiri dengan handphone atau kadang dia membaca majalah kesehatan yang ada di meja atau mengganti saluran televisi. Dini mencoba bersabar. Tapi aku gak bisa biarin Kak Rio lebih lama lagi di sini karena istrinya pasti nanti nyariin. Dini bahkan melebihkan waktu Rio dan Anggia bermain bersama sampai jam sepuluh malam. Tapi mereka tak ada yang ngeh dan terus saja main. Makanya dia tak bisa memberi kompensasi lebih. "Kayaknya, sudah waktunya Anggia buat tidur deh." "Yah Mama?" "Kalau kemalaman nanti Anggia kapan keluar dari rumah sakitnya? Ayo tidur dulu." "Mama benar. Anggia tidur, ya Sayang." Rio yang melihat jam juga baru sadar ini sudah lewat dari jam tidur anak. "Besok kita main mainan yang baru lagi ya. Nanti Om bawakan buat temannya yang ini.” "Beneran Om Rio?" "Kak Rio segini juga udah banyak mainannya. Anggia tidak perlu dibelikan mainan-mainan baru." Dini menyelak sebelum Rio menjawab. "Tidak apa-apa. Supaya koleksinya lengkap," ujar Rio tanpa menatap Dini justru mengecup dua punggung tangan Anggia yang sedang digenggamnya. "Iya kan Anggia?” "Iya asik. Aku mau yang lengkap Om." Ingin sekali Dini memprotes Rio sekarang juga, tapi ini tidak akan baik untuk Anggia. Dia juga tidak mau merendahkan Rio di hadapan putrinya. "Nah sudah. Sekarang tidur ya." Dini baru menaruh mainan-mainan Anggia di dekat lemari. Mainan itu sudah dirangkai jadi tidak bisa lagi masuk ke dalam kotaknya. Dia bicara seperti itu sambil berjalan mendekat ke anggia. "Dini biar aku yang temenin Anggia tidur ya." "Tapi Kak Rio, Kakak kan baru dari jalan terus bajunya ...," "Oh iya maaf, aku lupa." Dari segi kebersihan pakaian Rio tidak baik untuk terlalu dekat dengan Anggia karena aktivitasnya banyak di luar. "Kakak sebaiknya pulang aja dan istirahat dulu. Besok bukannya mau main lagi dengan Anggia?" "Iya nanti aku pulang. Aku tunggu dulu di sini, sampe Anggia tidur." "Kakak kayaknya mesti pulang sekarang deh. Soalnya aku capek juga dan aku mau tidur." Rio tahu kenapa Dini berkata begitu. "Ya sudah kalau gitu aku datang nanti besok pagi." Meskipun Dini tidak suka tapi bukankah ini lebih baik karena Rio akhirnya menurut untuk pergi? "Anggia, Om Rio pamit dulu ya. Sampai jumpa besok." "Om beneran besok dateng kan?" "Hmm. Asal Anggia nurut sama Mama ya. Tidur dan besok Om kasih reward mainan yang banyak kalau Anggia jadi anak baik." "Asiiik. Tapi Anggia juga mau yang lain." "Anggia!" "Oh Anggia mau apa? Nggak apa-apa kok Anggia minta sama Om. Soalnya Mama nggak akan marah kalau Anggia minta sama Om. " Anak itu tampak bingung dan menatap Dini agak sedikit takut. "Mama cuman nggak mau Anggia minta-minta sama orang lain. Kalau sama Om kan bukan orang lain. Om-nya Anggia." "Iya Mah, boleh?" Kalau Dini bilang tidak boleh dia pasti akan dicecar oleh Rio nantinya. "Ini terakhir kalinya ya Anggia. Kamu nggak boleh kayak gini." "Udah kalau sama Om pasti boleh. Anggia mau apa?" "Anggia waktu sekolah belajar baca Om. Anggia mau baca lagi." Di sinilah hati Rio lemas. "Anggia jadi lebih suka baca buku daripada main?" "Anggia mau main tapi Anggia mau baca buku juga." "Ya sudah, besok Om bawakan bukunya ya." Percakapan yang membuat Dini susah payah menahan air matanya. Tapi dia memang berusaha untuk tidak menumpahkan air matanya dan terlihat oleh putrinya ataupun Rio. "Ya sudah, Om pamit dulu ya. Tidur yang nyenyak ya Anggia," ujar Rio dan dia juga sudah mengeluarkan handphonenya menunjukkan sesuatu pada Dini, di layar itu. [Setelah Anggia tidur, nanti aku tunggu di luar.]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN