Part 13 Persahabatan

1670 Kata
    "Saat di pesta tadi kau hebat juga. Belajar nari di mana?" Jimin memacu mobil dengan kecepatan sedang. Dengan alasan akan langsung menginap di rumah Jack, tadi ia menolak tawaran Matsuya yang ingin menjadi supir pribadinya. Teman Jepangnya itu memang sangat setia kawan. Buktinya dia langsung terbang ke Indonesia begitu Jimin memintanya.     "Jangan menghinaku, aku tadi beberapa kali menginjak kakimu."     Jimin terkekeh mendengar jawaban Naira. "Harusnya kau belajar dari Michael, jika mengandalkan Jack, kau tak akan bisa melakukan dansa apa pun. Tahu sendiri Jack bagaimana."     "Tapi aku lebih suka berlatih dengan Jack," sahut Naira tegas. Bagaimanapun Michael sudah menjadi satu-satunya orang yang paling ia benci saat ini.     "Bagaimana denganku? Sepertinya kau butuh latihan dariku agar tidak menginjak kaki." Jimin memutar setir kemudi ke kiri di tikungan. "Kau tahu, setelah ini akan ada banyak pesta yang harus kau hadiri untuk mewakili Jack. Jika mau kau juga bisa bekerja di perusahaan."     Menoleh sesaat pada presensi Jimin, kini Naira mengalihkan tatapan keluar jendela. Ada hal lain yang menggelitik hatinya. Rasa bersalah pada pria di sebelahnya ketika menari tadi mungkin salah satu alasannya membuang muka. Namun, lebih dari itu. Sejatinya Naira ingin mengatur detak jantung yang terus menerus memompa darah dengan tak seirama. Hatinya tertaut pada kembaran sang suami. Sementara nurani tak mengizinkan ia mengkhianati Jack.     "Sepertinya kau benar-benar ada masalah, ya?" Jimin melirik pada Naira yang mendadak bisu. "Jika kau ada masalah ceritakan saja padaku. Percayalah aku cukup baik untuk jadi pendengar. Atau mungkin juga menjadi teman sharingmu. Apa kau merasa ragu karena aku saudara suamimu?"     Masih belum ingin menjawab, Naira pun hanya menoleh sekilas lalu menggeleng pelan, ia malah menghela napas. Sedikit menoleh pada Jimin, Naira memainkan jemarinya. Dilihatnya Jimin sedikit memutar setir guna menghindari mobil yang melaju dari arah yang berlawanan.     "Mmm ... boleh aku tanya sesuatu?" tanya Naira sedikit ragu. Jimin pun menoleh sambil mengangguk. "Jika aku memutuskan untuk meninggalkan Jack, apa kau masih mau berteman denganku?"     Jimin terdiam sesaat lalu tersenyum hangat. "Itu hakmu, dan aku juga sudah menduga semua itu pasti akan terjadi. Memangnya siapa yang akan bisa menerima keadaan kakakku. Jadi aku tak akan mempermasalahkannya, yang penting kau berterus terang. Aku akan membantumu lepas darinya."     "Eh, maafkan aku." Naira menundukkan wajah merasa bersalah.      Sementara itu, mobil sudah masuk pelataran parkir rumah Jack. Jimin mematikan mesin kendaraan. "Aku pernah bertanya tentang alasanmu menikah dengan Jack, apa sekarang kau mau menjawabnya?"     "Itu ...." Percakapan yang cukup serius masih terjadi di antara keduanya. Mereka masih sama-sama berdiam diri di dalam mobil. "Michael menawarkan surat perjanjian padaku."     Mendengar ucapan Naira, Jimin mengerutkan dahi. "Maksudmu, kontrak pernikahan?"      Naira mengangguk. "Ibuku sakit keras sejak lama, kami butuh uang banyak untuk biaya operasinya karena itulah aku memutuskan untuk menerima tawaran itu. Sedang adikku juga mengidap kelainan yang sama dengan Jack, tapi cita-citanya untuk menjadi seorang pelukis tak pernah kandas dalam dirinya, karena itulah aku membutuhkan banyak uang juga untuk mendukung impiannya itu."     "Kau wanita yang jujur, aku senang mengetahui adikku memiliki istri sepertimu." Jimin melepas sabuk pengamannya. "Jadi berapa lama kontrak itu berlangsung?"      "Satu tahun," jawab Naira berterus terang.     Dua sudut bibir Jimin tertekuk ke bawah, lalu tanpa aba-aba ia menarik hidung mancung Naira. "Kalau begitu aku tak akan lama menunggumu," ucapnya sebelum membuka pintu dan keluar dari mobil itu.     "Eh, apa maksudmu?" tanya Naira bingung. Ia pun bergegas turun mengikuti langkah Jimin menuju pintu utama. "Jimin ...."     Merasa dipanggil Jimin menoleh lalu tersenyum manis. "Kau akan tahu maksudnya setelah satu tahun pernikahanmu dengan Jack. Tenang saja. Aku tak memiliki rencana jahat. Semua akan aman, bagi kau, aku, dan juga Jack." Jimin pun menghilang di balik pintu utama meninggalkan Naira yang masih mematung tak mengerti.     Setelah berdamai dengan perasaannya Naira pun memutuskan untuk menyusul langkah Jimin masuk ke rumah besar itu. Sesaat ia mematung di tangga terbawah. Sosok Jimin sudah tak ada lagi. Sepertinya pria itu sudah masuk ke kamar tamu. Naira pun memutuskan untuk naik ke lantai dua. Berdiri di depan pintu kamarnya, ia menoleh ke kamar di sebelahnya, di mana Jack sedang terlelap.     Ada perasaan ragu yang merayap dalam hatinya, membuat Naira mematung cukup lama. Peristiwa pemerkosaan yang dilakukan Michael masih membekas dalam ingatannya. Jadi selagi kunci cadangan rumah itu belum berpindah padanya, Naira pun memutuskan untuk tidur di kamar Jack Venien.     "Jack ...," Naira mengetuk pintu. "Jack, bolehkah aku tidur denganmu? Jack? Apa kau sudah tidur?" Tak ada jawaban. Mungkin karena sudah terlalu malam, jadi Jack sudah terlelap tanpa memedulikan sang istri yang pulang tengah malam. Karena sudah terlalu lama Naira berdiri di depan pintu itu, ia pun memutuskan untuk masuk ke kamarnya sendiri. Mengunci pintu rapat-rapat dengan harapan tak akan ada lagi orang yang masuk ke kamarnya tanpa izin. ***     Kecemasan yang terus melanda hati dan pikirannya membuat Naira tak bisa tidur. Hanya sejenak saja ia dapat memejamkan mata. Kemudian wanita itu memutuskan untuk mandi, barulah keluar manuju dapur mendahului Bi Darsi yang masih bermimpi. Naira memerhatikan beberapa bahan makanan yang ada di dalam kulkas. Mengingat sekarang di rumah Jack ada sosok Jimin, ia pun ingin menjamu tamunya dengan hidangan spesial saat sarapan nanti.      Waktu baru menunjukkan jam setengah tiga pagi ketika Naira mulai memotong beberapa bahan untuk menu sarapannya. Baru saja ia hendak mengambil daging ayam yang tadi di rendamnya, seseorang tiba-tiba menariknya. Membekap mulutnya agar tak berteriak.     "Ji-Jimin ...." ucapnya ketika pria itu melepaskan tangan dari bibir Naira. Pria itu tersenyum menggemaskan, lalu mendekatkan wajahnya ke sisi telinga kiri Naira.     "Jack, aku Jack, jadi di mana Jimin? Apa dia ada di sini? Kenapa kau memanggilku Jimin?" cerocos pria itu.      Naira pun tersenyum menyadari kebodohannya. Harusnya ia sadar bahwa hanya Jacklah pria yang akan selalu bersikap konyol dan kekanakan seperti itu. Bagaimana ia bisa melupakan fakta itu dan menganggap orang yang kini berdiri di depannya adalah Jimin.     "Jimin ada di kamar tamu, semalam ia menginap," ucap Naira. Ia mendorong tubuh Jack yang menyeretnya ke halaman belakang. "Kenapa kau membawaku kemari? Aku mau masak sebentar."     "Kemari." Jack mengabaikan pertanyaan Naira. Ia memilih menyeret Naira ke gazebo di dekat kolam renang. "Tutup matamu." Tanda meminta izin, Jack menutup mata Naira dengan kedua tangannya. Lalu dengan terkekeh pelan menuntun wanitanya mendekati gazebo.      "Jack, ada apa?" tanya Naira pasrah. Namun, Jack masih mengabaikan pertanyaannya.     Sampai di gazebo, barulah Jack menjauhkan tangannya.     "Apa ini?" Naira membulatkan mata. Memandang takjub pada suasana tempat itu yang awalnya biasa saja kini berubah begitu indah dan sangat romantis. Lampu LED yang menyala kelap-kelip terpasang melilit di tiang kayu. Ranjang yang dipenuhi kelopak mawar persis seperti ranjang pengantinnya, beserta kelambu putih tipis menutup sebagian, sedang bagian yang lainnya tertiup sepoi angin. Di sekitaran kolam juga terdapat kelap-kelip lilin yang menyala. Tak hanya itu lilin-lilin itu juga mengapung di atas kolam seperti perahu.     "Apa ini, Jack?" tanya Naira ingin menoleh, tetapi Jack malah mendorong wanitanya untuk tetap menghadap ke depan. Jack memeluk istrinya dengan erat.     "Jangan memandangku, Naira. Aku sedang berusaha untuk menjadi sosok yang pantas untukmu. Berhari-hari aku mencari informasi di internet agar bisa melakukan ini. Maafkan aku telah mengabaikanmu begitu lama."     "Jack ...," lirih Naira dengan netra berkaca-kaca. Rasanya masih belum bisa dipercaya Jack punya keinginan untuk melakukan itu. Padahal sejauh yang ia tahu pengidap syndrome autisme tak mungkin melakukannya. Mereka seperti orang yang anti sosial, meski sebenarnya tidak.     "Ke-kenapa kau diam?" tanya Jack saat melihat Naira hanya membungkam mulutnya.      Istrinya pun menggeleng. "Bukan apa-apa, aku hanya terharu karenamu," tutur Naira menarik tangan Jack agar memeluknya lebih erat lagi. Rasa nyaman menjalar dalam dirinya. Merasakan degup jantung suaminya, disertai hembusan napas yang teratur membuat Naira ingin memejamkan mata.     Berdua mereka terdiam mendengarkan lantun lagu romantis yang mengalun merdu. "Naira, aku tak sanggup jika harus memandangi netramu. Jadi bisakah jika kututup matamu, Sayang."     "Tapi ...." mendengar perkataan Jack mendadak perasaan Naira berubah kacau. Sesuatu yang buruk selalu saja terjadi setiap kali seseorang menutup matanya dengan kain hitam, karena itulah hatinya merasa takut. Namun, berpikir jika ia menolak maka Jack bisa saja marah membuatnya membatu tak mengerti harus bersikap seperti apa.     "Jadi aku tak boleh menyentuhmu, ya?" tanya Jack kecewa. Naira pun membalik badan, menatap wajah suaminya tanpa kedip. Sementara itu, Jack kembali gugup dengan sikap sang istri. Ia mengalihkan pandangannya sambil memilin ujung baju. Naira jadi semakin merasa bersalah.     "Jack, tolong jangan salahpaham, bukan maksudku untuk menolakmu. Hanya saja, aku takut gelap. Jika kau menutup mataku maka dunia akan jadi gelap dan aku takut," bohong Naira. Sementara dalam hati pikirannya semakin kalut. 'Bagaimana jika Jack tahu aku sudah tak perawan? Apakah dia mengerti tetang hal seperti itu? Apa dia akan mengusirku setelah ini?' bathin Naira. Wanita itu memeluk Jack dari belakang karena tak ingin Jack terlalu kecewa.     "Ak-aku ...."     Belum sempat Jack melanjutkan kata-katanya, Naira pun berbuat nekat. Ia menarik wajah suaminya, memejamkan netra kemudian mencium bibir Jack. Pria itu membeku. Tak bisa melakukan gerakan balasan apa pun ia membiarkan Naira melumat bibirnya. Dengan berani Naira membimbing Jack menuju peraduan, memaksa Jack yang masih menatapnya untuk menjatuhkan dirinya di atas ranjang. Meski takut dengan semua pemikiran yang sedang menghantuinya, Naira tetap tak ingin membuat Jack kecewa. Setidaknya apa yang dilakukan pria itu untuk mendekorasi halaman belakang rumahnya cukup untuk mendapat apresiasi.     Melihat Netra sang istri yang terus terpejam Jack mulai bisa menguasai dirinya. Ada setitik keinginan dalam dirinya untuk berbagi. Sebuah gelora yang membakar jiwanya membuatnya sesak napas. Tak tahu bagaimana cara menumpahkannya. Jack memilih untuk menutup matanya sendiri. "Ka-kau, lakukan saja sendiri," ucap Jack membuat Naira membuka mata.     Wanita itu tersenyum geli melihat sang suami yang tidur terlentang dengan mata tertutup kain hitam. 'Ini menggelikan, sekarang aku harus membangkitkan libidonya' bathin Naira.     Kendati sempat protes, Naira mencoba membangkitkan hasrat sang suami. Ia menurunkan tirai guna menutupi kegiatan panas mereka di atas ranjang di tepian kolam. Sampai beberapa saat kemudaian suara lenguhan Jack pun terdengar mengalun menghiasi pagi itu. Mereka seakan lupa bahwa di rumah itu tak hanya ada mereka berdua. Akan tetapi masih ada orang-orang yang harus bangun pagi untuk melaksanakan tugas-tugasnya.     Naira dan Jack tak peduli. Berdua mereka terjebak dalam rengkuhan asmara yang kian menggila. Karena memiliki suami yang berbeda dengan orang lain Naira pun harus bekerja keras, agar Jack bisa menuntaskan segalanya dan menaburkan benih di rahimnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN