Prolog
“Aduh,” erang Naira ketika tubuhnya tak sengaja bertabrakan dengan seorang pria. Ia terjatuh dengan p****t membentur lantai supermarket. Banyak orang yang memerhatikan, tetapi hanya sedikit orang yang peduli.
Naira pun bangkit dibantu seorang ibu muda yang tengah hamil. “Kau tak apa-apa?” tanya lembut.
“Tidak, Bu, terima kasih,” ucap Naira sembari menepuk pantatnya. Sesaat netranya teralihkan pada pemuda yang menabraknya. Tangan pria itu sibuk memainkan kubik dengan wajah tertunduk penuh rasa sesal.
Naria mendekatinya. “Kau tak apa-apa? Maafkan aku sudah menabrakmu.”
“Bu-bukan. Bukan kau yang salah, tapi aku. Aku yang tak sengaja menabrakmu,” balas pemuda itu. Kegugupan tercetak jelas di wajahnya. Naira pun tersenyum.
“Baiklah sepertinya ini salah kita berdua. Jadi mari saling memaafkan.” Gadis itu mengulurkan tangan.
Si pemuda yang tak diketahui namanya itu memandang dengan rasa takut, entah apa yang dipikirkannya. Namun, beberapa saat kemudian tangannya terulur menyambut tangan Naira.
“Te-terima kasih,” ucapnya lalu lari dari sana.
Naira sedikit terkejut, dengan serta merta memanggil pria itu kembali. “Hei, tunggu!” jeritnya.
Pemuda itu pun menoleh kembali memasang wajah malu juga ketakutan dalam waktu yang bersamaan.
“Kenapa kau lari. Sebagai permintaan maaf, aku ingin mengajakmu makan es cream. Apa kau mau?” Naira menunggu jawaban pria aneh di hadapannya. Sementara sang pria menatapnya penuh selidik.
“Jadi kau tak mau, ya. Ya, sudah kalau begitu.”
“I-itu ibu bilang aku tak boleh bi-cara lama-lama dengan orang asing.”
“Oh, begitu. Sayang sekali.” Naira merogoh saku celana panjang yang dikenakannya. Mengeluarkan sebuah gelang dari benang rajut. “Aku suka membuatkan benda seperti ini untuk temanku. Jadi apa kau mau memakainya?”
“Ap-pa itu artinya ak-ku temanmu?”
“Tergantung ... jika kau memakainya maka kau akan jadi temanku. Jika tidak berarti ....”
“Aku mau ... pasangkan!” seru pria itu mengulurkan tangan kanannya.
Naira pun tersenyum dan memasangkan gelang bermotif garis itu ke tangan sang pemuda. “Karena kau sudah jadi temanku, maka aku harus tahu namamu. Kalau namaku Naira Amadia. Nah, namamu siapa?”
Bukannya menjawab pertanyaan Naira pemuda itu malah beringsut menjauh setelah menyerahkan kubiknya pada Naira.
“Jaga kubikku baik-baik, aku akan memintanya nanti!” jerit sang pemuda, menghilang di balik pintu supermarket.
“Kau baik sekali, apa kau tahu kalau pemuda itu memiliki kelainan? Dia bisa saja beranggapan lain pada kebaikan hatimu.” Seorang kasir paruh baya yang memerhatikan interaksi pelanggannya pun berbicara sambil menghitung belanjaan Naira.
“Tidak apa-apa, dari awal melihatnya pun aku sudah tahu kalau dia seorang autis. Aku memiliki adik yang seperti itu. Mereka bukan orang-orang jahat. Hanya sedikit butuh lebih banyak perhatian agar dirinya merasa diterima di masyarakat.”
“Kau sungguh gadis berhati mulia. Disaat banyak orang yang mencibir padanya, kau malah mengulurkam tangan dan merangkulnya. Aku doakan hidupmu akan selalu diliputi kebahagiaan.”
“Terima kasih, Pak. Semoga Bapak dan keluarga juga selalu bahagia.”
Naira pun berpamitan dan meninggalkan supermarket itu. Seperti biasa langkahnya terlihat ringan menuju rumah di ujung jalan. Tanpa disadarinya sedari tadi ada orang yang mengintainya.
Naira masuk ke gang di yang menuju rumah tinggalnya. Sementara pria itu masih memerhatikan setiap gerak langkahnya hingga Naira menghilang di balik pintu pagar kayu bercat putih.
Pria itu mengambil ponsel, menghubungi seseorang. Senyum manis tersemat di bibirnya. Ia memberi titah yang tak terbantahkan.
“Aku sudah temukan calon yang tepat. Namanya Naira Amadia. Tinggal di ujung jalan Sudirman. Gang. 8, rumah berpintu pagar putih. Segera siapkan kontrak pernikahannya.”