Part 12. Pesta Topeng

1846 Kata
    Mengingat malam ini akan ada pesta topeng yang dikatakan Jimin, Michael membawa Jack dan Naira kembali ke rumah. Ketegangan masih terus terjadi antara Michael dan Naira tanpa diketahui oleh Jack. Pria yang terjebak dalam rasa aneh yang didapatnya tadi pagi hanya diam saja, sambil sesekali melirik istrinya yang duduk berdampingan di kursi belakang.     "Kau yakin akan pergi ke sana, Jack?" Suara Naira memecah kesunyian.     Jack mengangguk yakin. "Ak-aku jarang ke pesta. Jimin bilang, ak-aku harus mengenalkanmu, ja-jadi aku mau datang."      Naira menoleh suaminya yang tampak gugup. Ada rasa yang tak bisa diungkapkan Jack untuknya, ia tahu itu. Jika saja Jack normal, maka Naira yakin pria itu pasti akan jadi sosok yang romantis dan bertanggung jawab bagi istrinya. Menjadi seseorang yang akan selalu diidamkan semua wanita di dunia.     "Kau ti-tidak malu datang bersamaku, 'kan?"     Pertanyaan Jack membuat Naira menoleh, lalu tersenyum padanya. Sang istri menggeleng. "Kenapa aku harus merasa malu. Kau suamiku, dan aku menerimamu apa adanya. Sama seperti kau menerima semua kekurangan dan kelebihanku, maka seperti itu pula aku menerima kekurangan dan kelebihanmu."      Naira meraih tangan Jack yang terihat gugup. Kemudian menangkup wajah suaminya agar berada dalam tatapannya. Jack tak bisa menolak selain mempertemukan netra mereka kembali. "Dengar Jack, kau mungkin tak seperti mereka, tapi kau sempurna di mataku. Itulah kenapa Tuhan mempertemukan kita berdua, agar kau bisa melengkapi kekuranganku, begitu juga sebaliknya. Jadi mulai sekarang bergantunglah padaku, karena aku pun akan menggantungkan hidupku padamu. Kau mengerti?"     Jack mengangguk riang seolah mendapat mainan baru. Senyum manis mengembang di wajah tampannya. Tak kalah manis, Naira pun mengumbar senyum lalu merebahkan dirinya di dalam pelukan sang suami. Hari ini ia ingin pulang dengan menghirup aroma maskulin itu, sembari menautkan jari dengan Jack Venien.     "Bagaimana cara memainkan ini?" tanya Naira, masih dalam pelukan Jack yang mulai sedikit terbiasa dengan keberadaan sang istri.     "Kau mau main?" Jack membalik pertanyaan. Naira pun tersenyum, tetapi enggan menjauhkan diri dari tubuh suaminya. Dengan penuh semangat Jack mengajari Naira cara mengatur warna-warna kubik itu. Canda tawa     terdengar di antara keduanya. Sampai mobil tiba di rumah, Naira dan Jack pun segera masuk ke kamar masing-masing.     "Istirahat saja sebentar, sepertinya masih ada waktu," ucap Naira pada Jack sesaat sebelum Jack masuk ke kamarnya. Pria itu mengangguk. ***     Jack melirik jam yang melingkar di tangan. Sekali lagi menoleh ke luar jendela mobil yang dikendarainya. Sesaat kemudian senyum mengembang di wajahnya tat kala melihat Naira datang dengan balutan busana hitam serta topeng hitamnya. Heels sebelas centi menahan bobot tubuhnnya yang melangkah anggun bak seorang model.     "Cantik sekali," gumam Jack.      Michael yang duduk di belakang kemudi melirik melalui kaca spion, lalu tersenyum pada tuannya. "Kau sangat beruntung mendapatkannya. Harusnya kau bersikap baik padanya atau semua akan sirna dan berakhir penyesalan."     Jack hanya tersenyum mendengar ucapan Michael. Tangannya yang memegang kubik terus bergerak aktif, bahkan sampai Naira masuk ke dalam mobil.     "Maaf membuat kalian menunggu lama." Naira duduk di sebelah Jack. Melempar senyum hangat yang membuat Jack memalingkan wajah gugup.     "Ka-kau, ca-cantik sekali," puji Jack dalam kegugupannya. Naira pun terkekeh geli. Menyentuh tangan Jack yang memainkan kubiknya dengan cepat. Kemudian mendekatkan wajah ke telinga suaminya.     "Kau juga sangat tampan. Aku ingin lihat wajahmu di balik topeng itu."     Jack menggeleng. Lalu memberi aba-aba pada Michael untuk segera melajukan kendaraan menuju pesta yang digelar di salah satu hotel bintang lima di Jakarta. Michael terkekeh, sedang Jack hanya bisa melirik Naira malu-malu. Bahkan hingga mereka sampai ditujuan enam puluh menit berikutnya mereka hanya bisa saling diam terjebak rasa masing-masing.     Setelah Michael memarkirkan mobilnya di tempat yang aman, Naira dan Jack pun turun hampir bersamaan. "Kau akan hadir sampai pesta selesai, 'kan?" Naira menatap penuh harap pada sang suami, tetapi Jack langsung menggeleng.     "Ak-aku akan pulang setelah bertemu Jimin. Kau habiskan saja pesta itu bersamanya. Dia juga akan mengantarmu pulang nanti. Aku sudah memintanya un-untuk membawamu pulang dengan se-selamat."     "Baiklah," sahut Naira merangkulkan tangannya pada lengan Jack. Mereka berdua pun melangkah beriringan menuju hallroom hotel tempat pesta dilaksanakan.      Sampai di sana jutaan pasang mata langsung memandang ke arah mereka. Sosok yang cantik di balik topeng hitam, bersama seorang pria tampan yang bersembunyi di balik topeng yang senada. Kegugupan tampak jelas terlihat dari sorot mata sang pria yang selalu menghindari tatapan semua orang.     "Tuan Jack dan Nyonya Naira?" sapa seorang pria didampingi sosok wanita cantik berbalut gaun malam hitam panjang dengan belahan sepanjang kaki bagian kanan hingga hampir menyentuh pangkal paha. Kaki putihnya terekspose sempurna. Belum lagi punggungnya yang hampir terlihat secara keseluruhan, sedang belahan dadanya yang rendah membuat buah dadanya terekspose sebagian, begitu menantang.     "Iya itu kami," sahut Naira ramah, menjabat dua orang yang kini ada di hadapan mereka.     "Ah, syukurlah kami bisa mengenali Anda di balik topeng itu. Kenalkan saya Rendy dan ini Anita pasangan saya malam ini. Senang bisa bertemu dengan kalian."     "Terima kasih, Rendy. Oh, ya di mana Jimin?" tanya Naira, mengambil alih semua percakapan karena Jack terlihat semakin gugup saat berhadapan dengan orang-orang yang tak dikenalnya.     "Pak Jimin, masih belum turun. Beliau meminta saya untuk memperkenalkan Anda berdua pada seluruh pemegang saham.     Mendengar ucapan Rendy mendadak hati Naira menjadi gugup. Bagiamanapun ini pertama kalinya ia hadir di pesta seperti itu. Bersama dengan sosok Jack yang abnormal sudah membuatnya begitu tertekan. Sejak awal yang diandalkannya hanya keberadaan Jimin. Ia takut membuat kesalahan dan membuat Jack makin tertekan. Yang diharapkannya hanya ingin membuat Jack nyaman. Dan kehadiran Jimin akan memberikan kenyamanan tersendiri pada Jack maupun dirinya.     "Apa sedang ada masalah?" tanya Naira mengikuti langkah Rendy dan pasangannya. Sementara tangannya mulai meraba jemari Jack Venien guna membagi ketenangan dengan suaminya. Ia tak ingin pria itu jadi semakin panik.     "Semua akan baik-baik saja," ucapnya ketika Jack menoleh sekilas. Jack pun tersenyum dan mengangguk. Mereka melanjutkan langkah mengikuti Randy, berkenalan dengan beberapa rekanan yang menyapa ramah.     Percakapan mengalir tanpa masalah sebab Naira yang memegang kendali.  Sementara Jack hanya berdiri di sebelah Naira dengan gugup. Sampai perkenalan kelima, Jack pun menarik tangan istrinya. Meminta agar membawanya pergi menjauh dari sana. "Tapi, Jack, kita bahkan belum ketemu Jimin."     "Aku tak mau tau, pokoknya aku mau pulang sekarang." Jack bersungut meski banyak orang yang memerhatikannya. Naira pun menghela napas. Apa yang ditakutkannya benar-benar terjadi.      Sejenak, Naira menepuk punggung tangan suaminya. "Baiklah, kuantarkan kau ke tempat Michael, tapi setelah itu aku kembali kemari, ya, seperti rencana tadi. Aku harus ada di sini sampai pesta selesai. Iya, 'kan?"     Jack mengangguk, meski kesal ia tetap harus menyetujui apa yang dikatakan istrinya. Lagipula itulah yang dikatakan Jimin waktu itu. "Baiklah," ucapnya, kemudian menyeret tangan sang istri. Rendy dan Anita hanya bisa memandang kepergian mereka dengan dahi berkerut.     "Tuan Jack, tunggu," panggil Anita membuat suami-istri itu menoleh. "Tunggulah sebentar lagi, akan saya panggilkan Tuan Jimin."     Jack tak menyahut. Ia hanya menggeleng sembari terus menyeret istrinya, mengabaikan beberapa pasang mata yang melihatnya. Bahkan beberapa dari mereka pun mulai mencibir dan bergosip. Sementara Naira masih berusaha melempar senyum hangat, meski dalam hati merasa malu akan sikap sang suami.     "Kau jangan pulang terlalu malam," ucap Jack tanpa melihat ke arah Naira. Ia memainkan jemarinya dengan gugup. Kubik yang selalu dibawanyatadi sengaja dimasukkan ke kantong jaz, karena itulah sekarang jack hanya memainkan kesepuluh jemarinya untuk meredam kepanikan dalam diri.     Naira memeluk suaminya dari belakang. Mencoba untuk tetap bersikap mesra. "Aku akan pulang begitu acara selesai. Bukankah ada Jimin yang akan mengantarku pulang. Jadi aku akan menurut apa pun katanya. Kau tak usah khawatir."     Pria autis itu mengannguk cepat, lalu membuka pintu. Kini ia duduk di depan di sebelah Michael yang siap untuk menyetir pulang. "Titip suamiku, Michael. Tolong jangan membuat dia panik, aku tahu kau bisa dipercaya." Naira sengaja menyindir Michael untuk menegaskan bahwa meski dirinya telah ternoda oleh pria itu,  Naira tak akan pernah mau terlibat dalam rencana jahatnya.      Michael yang mendengar perkataan Naira pun hanya tersenyum tipis. Membunyikan klakson sekali guna memberi tanda kalau mereka akan segera pergi, ia pun membawa mobil melaju meninggalkan parkiran hotel megah itu.     Sesaat Naira masih menunggu di sana. Senyuman yang awalnya mengembang kini meredup. Ia menghela napas seolah ada beban berat yang menghimpitnya. Naira menyentuh perutnya yang datar. "Kumohon jangan berkembang di rahimku. Bukannya aku tak menginginkan anugrahMU, Tuhan. Hanya saja  aku tak ingin melahirkan anak b******n itu. Jadi jangan biarkan seorang bayi berkembang di rahimku sekarang," gumamnya pada diri sendiri.      Cukup lama Naira berdiri di sana, sebelum kemudian kembali masuk ke hallroom hotel. Bermaksud menemui Rendy dan Anita di sana ketika dilihatnya sosok pria mengenakan pakaian yang sama dengan Jack. Meski tertutup topeng, Naira tahu kalau itu adalah Jimin. Seorang pria yang juga mengenakan topeng melangkah bersamanya.      "Tuan Jimin," sapa Naira.     Jimin menghentikan langkah. Memerhatikan perempuan dengan gaun hitam sesuai dress code malam ini. Senyum manis pun terukir di dua sudut bibirnya. "Oh, hai, Naira. Apa kabar? Mana Jack? Kenapa kau sendirian?"     "Aku baik. Sayangnya Jack baru saja kembali ke rumah." Naira menunduk lesu. "Maafkan aku karena tak bisa mencegahnya meninggalkan pesta."     Jimin terkekeh pelan. "Tak masalah, kau baru mengenalnya beberapa minggu, jadi wajar jika merasa bersalah. Aku yang hidup bersamanya sampai sebesar ini tentu sudah hafal dengan tabiatnya. Aku senang karena masih ada sosok gadis baik yang mau menerima kekurangannya."     Mendengar ucapan Jimin, Naira makin tertunduk. Ingin sekali mengatakan kalau dirinya tak sebaik itu, ia telah kehilangan segalanya, bahkan sekarang berada dalam ancaman untuk melaksanakan rencana jahat Michael.     "Kau ada masalah?" tanya Jimin saat melihat perubahan ekspresi Naira.      "Tidak, aku hanya sedih karena dia pergi begitu saja." Terpaksa Naira berbohong. Tentu saja ia tak ingin jika Jimin sampai tahu tentang rencana busuk itu. Bagaimanapun Michael telah mengancam akan mencelakai ibu dan adiknya, itulah kenapa Naira tak berdaya.     "Sudah kukatakan tak masalah," ucap Jimin, "Oh, ya, kenalkan ini Matsuya sahabatku sekaligus rekan kerja terbaikku. Ia baru saja datang dari Jepang."     "Hai, salam kenal." Naira mencakupkan kedua tangan di depan d**a, barulah mengulurkan tangan menyambut uluran tangan Matsuya. "Senang berkenalan dengan Anda, Tuan Matsuya."     "Jangan memanggilku Tuan. Kau istri Jack temanku, jadi panggil saja aku Matsuya." Sama seperti Jimin, pria berdarah Jepang yang dulu sudah pernah ditugaskan di Indonesia itu juga cukup fasih berbahasa Indonesia.     "Baiklah, kalau begitu." Naira pun tersenyum.     "Mmm, kakak ipar, mau masuk denganku?" Jimin memberi ruang di lengannya agar Naira bisa merangkulkan tangan di sana. Menimbang sesaat, akhirnya Naira pun mengalungkan tangannya di sana seperti keinginan Jimin. Mereka melangkah masuk ke hallroom.      Jimin mulai melanjutkan acara perkenalan Naira yang tertunda tadi. Juga mengumumkan jika Naira mulai sekarang akan jadi perwakilan Jack dalam setiap pertemuan yang akan dilakukan perusahaan. Sebagai istri dari Jack, salah satu pemegang saham di sana Naira berhak untuk tahu apa pun yang terjadi di perusahaan itu.     Tanpa sadar karena terlalu larut dalam pesta, Naira terjebak di sana sampai lupa waktu. Mereka baru kembali ke rumah Jack setelah pesta benar-benar telah usai.      "Kau yakin akan pulang sekarang? Ini sudah terlalu malam."     Naira mengangguk. "Kurasa kau tak perlu mengantarku. Aku akan naik taksi saja."     "Hei, kau ingin aku dihajar sama Jack karena tak mengantarmu pulang. Ayolah naik ke mobil. Sekalian aku bisa menginap di rumah Jack. Aku juga lelah jadi malas kalau harus kembali lagi ke hotel ini, atau kalau harus memutar arah ke rumahku."     "Ya sudah kalau begitu. Terima kasih banyak, Tuan Jimin." Naira pun masuk ke mobil dan duduk bersebelahan dengan Jimin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN