Jimin mematung di tepian kolam renang. Menurunkan kaca mata renang, barulah melompat menceburkan diri ke dalam air. Seperti atlit renang, tubuh kekarnya yang hanya dibalut sehelai celana renang, bergerak lincah dari satu sisi ke sisi yang lain.
Sementara Matsuya duduk di ranjang malas di tepian kolam, memerhatikan bagaimana bosnya bergerak bebas di dalam air.
Beberapa menit berenang, Jimin pun menghentikan gerakannya. Senyum tak pernah hilang dari sudut bibirnya. Ia mengibaskan rambutnya yang basah terlihat begitu sexy dan menggoda.
"Sudah puas main-main, Bos?" tanya Matsuya setelah menyesap jus strowbery dari dalam gelasnya.
Jimin terkekeh mendengar ucapan sahabatnya. Mengangkat tubuh naik keluar dari tepian kolam. "Ini permainan yang sangat menyenangkan, asal kau tahu." Pria itu mengambil handuk, menyampirkan di bahu, barulah merebahkan diri di ranjang malas guna menerima sinar mentari.
Matsuya menggeleng. "Sampai kapan kau akan melakukan itu. Jangan sampai kau menyesal karena permainan yang kau ciptakan sendiri. Membuat dirinya merasa bersalah karena berpikir telah tidur dengan Michael itu sudah cukup mengerikan. Lalu bagaimana jika dia tahu kegilaan lain yang kau buat."
"Dia tak akan marah, percaya saja. Justru akan sangat bahagia saat tahu kalau yang bercinta dengannya selama ini adalah aku. Aku tahu Naira sudah jatuh cinta. Dan, butuh waktu sedikit lebih lama untuk membuktikan kelayakannya menjadi Nyonya Venien." Jimin mengulurkan tangannya mengambil sejumput camilan di atas meja di sebelahnya.
"Percaya diri sekali. Terserah kau saja kalau begitu. Asal jangan menyesal saat kau terbakar nanti. Berani bermain api maka kau pun harus siap untuk terbakar." Matsuya mengakhiri bicaranya lalu berderap ke tepian kolam dan menceburkan diri di sana.
Mengabaikan semua ucapan Matsuya, Jimin memilih memejamkan netranya. Membiarkan seluruh angan mengembara pada percintaan panas yang terjadi dini hari tadi. Naira sungguh membuatnya gila. Bagaimana wanita itu memanjakan dirinya membuatnya hampir kehilangan kendali dan membongkar kedok sendiri.
"Gadis bodoh," gumam Jimin. "Kau harusnya tahu kalau Jack tak mungkin bisa memiliki rasa seperti itu. Bagaimanapun caramu, Jack tak akan memiliki nafsu untuk menyetubuhimu."
Belum lagi Jimin terlelap dalam tidurnya, pria itu kembali membuka mata, memandang Matsuya yang masih berendam di dalam air. "Matsuya, kau akan segera kembali ke Jepang, 'kan? Aku mau minta tolong padamu."
Matsuya menoleh. Mengerutkan dahinya. "Minta tolong?"
"Hmm ... jelaskan pada ayah dan ibu apa yang terjadi di sini. Menjelaskan di telepon hampir membuatku gila. Ibu terus saja marah-marah. Jadi kau saja yang menjaskan padanya. Katakan aku akan segera membawa Naira ke Jepang."
"Kau benar-benar gila, Bos. Lalu bagaimana rencana bulan madumu ke Raja Ampat," tanya Matsuya makin penasaran dengan rencana sang bos.
"Kami akan ke Jepang setelah berbulan madu di atas kapal pribadi. Katakan saja pada ibuku aku akan segera memberinya cucu," goda Jimin membuat Matsuya terlihat makin kesal.
Seingatnya yang diusulkan dulu itu hanya mencari istri kontrak. Bukan bermain gila seperti sekarang. Namun, seperti biasa, Jimin tak akan bisa dihentikan. Meski Matsuya sudah wanti-wanti menasehatinya.
Yang ditakutkan Matsuya hanya satu. Ia tak ingin suatu saat Jimin kehilangan segalanya. Menguji pribadi wanita itu memang harus dilakukan, tetapi tidak dengan menghancurkan harga dirinya. Sayang Jimin tak mau mendengar nasehatnya. Itulah kenapa Matsuya memilih untuk menyerah dan mendukung apa pun keputusan Jimin.
"Sepertinya kau memang sudah tak bisa dihentikan." Matsuya menghela napas. Pria itu pun naik ke tepian kolam. "Apa Michael juga akan ikut ke Raja Ampat?"
"Tentu saja," jawab Jimin antusias. "Kalau Michael tak ikut bagaimana aku mempermainkan perasaannya. Sampai ia bersikap jujur pada Jack, aku akan terus melakukan ini."
"Kasihan sekali wanita itu," gumam Matsuya. "Kemarin di pesta dansa kalian terlihat sangat serasi. Tak ingin menariknya untuk jadi salah satu staff kantor? Dengan begitu kau bisa terus memantaunya."
Jimin menimbang sesaat setiap perkataan Matsuya. Sampai senyum menyeringai terbit di wajahnya membuat Matsuya menyesal telah memberi usul. Sebab setelah ini ia tahu pasti apa yang akan menimpa Naira. Matsuya jadi semakin iba.
"Kau selalu memiliki ide yang luar biasa. Aku akan membawanya ke kantor. Jadi aku bisa mencumbunya kapan pun aku mau," ucap Jimin berbinar.
Matsuya pun menggelengkan kepala sembari berdesis. "Kau sudah gila." Bangkit berdiri, pria itu mengambil handuk dari atas ranjang malas lalu meninggalkan Jimin yang terkekeh, mendengar ucapannya.
Setelah kepergian Matsuya, Jimin pun kembali memejamkan mata. Membiarkan matahari membakar kulitnya. Sepertinya sekarang Jimin sudah mulai terbiasa dengan suhu Indonesia yang cukup panas.
***
Naira mematung di depan layar televisi. Menonton dari jarak beberapa meter dengan pikiran yang tak sepenuhnya terkonsentrasi pada acara yang tengah berlangsung.
Setelah bercinta dengan Jack dini hari tadi, sekarang pria itu malah menghilang bersama Michael. Meninggalkannya sendirian.
Sebenarnya itu bukan hal baru. Sebab Jack hampir setiap hari melakukan itu padanya. Membiarkan Naira merasa bosan karena tak memiliki pekerjaan apa pun lagi setelah mengundurkan diri dari restaurant Samuel pasca insiden pelecehan itu.
Jika mengingat hidupnya yang makin hari makin menyebalkan, Naira jadi berpikir untuk kembali bekerja seperti dulu. Mengabaikan layar televisi yang masih menyala memutar drama Korea kesukaannya, Naira pun mengambil ponsel. Ia mencoba mencari-cari info lowongan kerja baik dari temannya maupun dari situs internet.
Belum lagi Naira menemukan satu lowongan yang pas, tiba-tiba saja ponselnya bergetar. Terpampang nama Jimin di layar yang berkedip itu.
"Halo selamat siang," sapa Naira dengan ramah. Jimin pun membalas sapaan itu sebelum masuk ke inti percakapan.
"Jadi maskudmu aku bisa bekerja di kantormu?" Naira meyakinkan dirinya. Ia benar-benar girang. Namun, sesaat kemudian ekspresinya berubah murung.
"Tapi aku takut kalau Jack tak mengizinkan," ucapnya kemudian. Namun, jawaban Jimin selanjutnya kembali membuat Naira tersenyum riang.
"Jadi kau akan bicara dengan Jack? Terima kasih banyak. Padahal baru saja aku menghubungi teman-temanku untuk mencarikan pekerjaan. Dan sekarang kau menyelamatkanku. Kau tahu aku benar-benar bosan, sedangkan Jack selalu menghilang entah ke mana."
Sementara Naira begitu riang dengan pekerjaan baru yang akan didapatkannya, ia tak menyadari hal apa yang tengah direncanakan Jimin untuknya. Sampai sekarang Naira masih menganggap kalau Jimin adalah penolong dan sahabat terbaiknya setelah ia menjadi bagian dari keluarga Venien.
***
Tepat seperti apa yang dijanjikan Jimin, Jack membiarkan Naira mulai bekerja esok harinya. Tanpa banyak cakap dan tanpa banyak tanya, Jack membiarkan istrinya pergi begitu saja. Ia seakan melupakan rencana bulan madunya.
Dengan perasaan riang Naira melangkahkan kakinya masuk ke gedung perkantoran J-Company. Melewati loby ia menuju salah satu staff yang sedang menjaga showroom mobil di lantai dasar.
"Permisi, saya ada janji dengan Tuan Jimin apa Tuan Jimin ada?"
Wanita berpakaian sexy dengan riasan wajahnya yang begitu anggun dan cantik menatap Naira dengan alis saling bertautan. Sepertinya penampilan Naira yang terlalu sederhana membuatnya tak percaya kalau wanita itu ingin mencari si bos besar.
Tak kunjung mendapat jawaban, Naira memerhatikan dirinya. Mencoba menilai penampilan sendiri yang sepertinya tak terlalu buruk. "Maaf, apa Tuan Jimin sedang sibuk?" tanya Naira untuk yang kesekian kalinya. Apa yang dilakukan perempuan di hadapannya sedikit membuatnya gerah.
"Nyonya Naira?"
Seorang pria melangkah mendekati mereka. Perempuan yang belum diketahui namanya itu sedikit membungkuk memberi hormat.
"Masih ingat denganku?" tanya pria itu mengulurkan tangan. "Nyonya, apa kabar? Pak Jimin sudah menunggu dari tadi."
Naira menyambut uluran tangan pria itu dengan ragu. Otaknya mencoba mengingat dan mengenali pria yang tampak familier itu. Barulah setelah terdiam beberapa detik, Naira tersenyum.
"Kau Rendy? Benar, 'kan?" Mereka memang sudah bertrmu di pesta topeng waktu itu. Setelah Jack pulang, Jimin lah yang menggantikan tugas Jack untuk memperkenalkan dirinya dengan para pentolan perusahaan J-Company.
Pria itu mengangguk, menerima uluran tangan Naira dengan senyuman. "Mari biar saya antar ke ruangan Pak Jimin."
"Ah, ya. Terima kasih." Berjalan bersisihan menuju lift yang akan mengantar mereka ke lantai 8, Naira pun tak lagi memedulikan wanita tadi.
Rendy tipe pria yang cukup hangat. Maklum saja dia bekerja di perusahaan yang mengharuskannya untuk menjadi pribadi yang supel dan friendly. Karena jika tidak tentu akan susah baginya untuk bisa memasarkan mobil-mobil dengan harga selangit yang dikeluarkan perusahaannya. Tak hanya itu, kemampuan relationshipnya juga sangat dibutuhkan untuk menjalin kerjasama dengan mitra bisnis J-Company.
"Sebaiknya kau hati-hati saat bekerja di sini," tutur Rendy membuat Naira mengerutkan dahi." Gadis-gadis di sini banyak yang jatuh cinta pada Pak Jimin. Mereka bilang Pak Jimin sangat mirip dengan idol Korea mereka. Gara-gara Pak Jimin saya jadi kalah saing."
Naira terkekeh pelan. "Bukannya kemarin kau datang bersama seorang gadis. kupikir itu pacarmu."
"Iya, pacar. Tapi begitu bertemu dengan Pak Jimin, tingkahnya langsung berubah. Saya jadi kesal dan ingin mengusir Pak Jimin untuk pulang ke Jepang. Menyebalkan sekali."
Naira hanya bisa mngulum senyum mendengar gerutuan pemuda di sebelahnya. Jika ditilik lebih dekat, Rendy tak kalah tampan dengan Jimin. Hanya saja, mungkin karena Jimin orang import jadi pesonanya sedikit lebih menggugah. Ditambah lagi Jimin merupakan CEO muda perusahaan itu. Naira jadi mengandai-andai Jack tumbuh normal seperti Jimin. Tapi jika Jack normal, apa Jack tetap mau menikah dengannya? Sepertinya itu jauh dari harapan. Mungkin ia harus bersyukur karena Jack seperti itu maka Naira bisa memiliki suami dan bisa membantu orang tuanya. Juga terhindar dari Samuel yang sempat ingin melecehkannya.
"Kenapa bengong? Apa ada sesuatu yang kau pikirkan?"
Wanita itu tersenyum sembari menggeleng pelan. "Apa ruangan Pak Jimin masih jauh?" tanyanya setelah keluar dari lift dan melewati satu ruangan yang pintunya bertuliskan 'Divisi Keuangan'
"Tidak, ruangan beliau ada di sebelah sana." Rendy menunjuk ke arah depan. "Di bagian ujung."
"Ooh," sahut Naira mengerti.
Sampai di depan ruangan bertuliskan ruang CEO itu, Rendy segera mengetuk pintu, setelah sebelumnya sempat menyapa sang sekretaris yang duduk manis di dekat ruangan si bos. Meski terhalang layar komputer, gadis manis berkaca mata itu masih sempat menyapa pada Rendy.
"Masuk." Suara Jimin terdengar tegas saat Rendy mengetuk pintu. Pria itu segera bangkit dari duduknya begitu melihat wanita yang dinantikannya datang bersama Rendy. "Kalian bagaimana bisa datang bersama?" tanyanya penuh selidik.
"Saya menemukannya di bawah sedang bercakap dengan Anjelika. Jadi sekalian saja saya antar kemari."
Jimin manggut-manggut. "Silahkan duduk." Tangannya mengisyaratkan agar Naira duduk di sofa.
"Baiklah kalau begitu saya pamit, Bos."
"Hmm ... terima kasih sudah mengantarnya kemari," jawab Jimin sambil melempar senyum. "Oh ya, sebelum pergi bisa minta tolong bilang pada Selina untuk meminta pada OB membawa dua cangkir kopi."
"Baik, Bos," sahut Rendy.
"Naira, kau suka kopi, 'kan? Atau kau mau dibuatkan minuman yang lain?"
"Tidak, itu saja sudah cukup," jawab Naira canggung. "Terima kasih, Rendy. Maaf merepotkanmu," ucapnya kemudian pada pria berdarah Indo yang tadi bersamanya.
Rendy pun tersenyum dan mengangguk. Pria itu begitu tulus membantunya.
"Baiklah, Naira. Jadi apa kau mau tahu pekerjaan apa yang akan kuberikan padamu?"
Naira menatap Jimin penuh tanya. Sejak tadi ia memang sudah sangat penasaran dengan pekerjaan barunya. "Tentu saja, Tuan Jimin."
"Aish, kenapa kau tak memanggilku Jimin saja. Jika dilihat dari hubungan kekerabatan kita sekarang, kau bahkan sudah menjadi kakak iparku." Jimin menyugar rambutnya ke belakang. Kemudian melonggarkan dasinya, serta membuka kancing teratas dari kemejanya. "Indonesia selalu saja gerah," gumamnya.
"Iya, tapi nanti juga kau akan terbiasa." Naira memerhatikan pria yang mirip suaminya itu dengan rasa berdebar. Sungguh kejahatan yang tak termaafkan karena ia yang telah menikah malah berdebar karena pria lain. "Jadi apa pekerjaanku?"
"Aku ingin kau jadi asisten pribadiku, Naira. Tinggallah di tempatku." Tatapan Jimin dan permintaannya, bagai anak panah yang langsung menembus jantungnya. Naira jadi begitu gugup.