“Pasti kamu yang telah membuat Livia pergi, ngaku!!” todong wanita tua itu pada sang cucu yang duduk manis menghadap meja makan. Wajah tampan Alvaro terlihat segar dan bersemangat mengetahui musuh besarnya pergi.
Selera makan sempat menghilang selama ini muncul seketika. Membuatnya ingin menyantap semua hidangan jika tidak sedang menjalani program diet. Alvaro sangat menjaga pola makan dan olahraga rutin untuk mempertahankan bentuk tubuh yang diinginkan setiap pria dewasa. Badan kekar dengan enam roti sobek pada tubuh bagian depan.
Oma Maria melemparkan tatapan menusuk pada cucu kesayangannya yang pagi ini sangat berbeda. Semakin kuat dugaannya bahwa kepergian Livia ada hubungannya dengan Alvaro.
“Lebih baik kamu jujur sebelum Oma marah!!” serunya menghentikan gerakan mulut Alvaro sedang mengunyah sandwich isi sosis dengan keju yang lumer kesukaannya.
“Akhirnya dia pergi juga baguslah.”
“Al ...!!”
“Oma, jangan teriak-teriak nanti penyakit Oma kambuh. Oma jangan salahkan aku atas kepergian pelayan itu. Aku memang tidak menyukainya dan ingin dia pergi, tapi kepergiannya ini tidak sangkut pautnya denganku. Oma juga tahu belakangan ini aku sibuk di
kantor, pulang larut malam. Tidak ada waktu untuk bertemu dengannya,” jelas Alvaro jujur.
Sepekan belakangan dirinya memang sibuk di kantor, ada proyek baru dimenangkan dan butuh perhatiannya. Jangankan untuk bertemu Livia waktu istirahat saja sangat kurang, pulang larut dan pagi-pagi sekali sudah berangkat.
“Alvaro, kamu kira Oma percaya? Oma tahu selama ini kamu sengaja membuatnya tidak nyaman. Hari puncak lelahnya menghadapi sikapmu. Dia itu penyayang dan lemah lembut pasti tertekan karena ulahmu.”
“Oma sayang, aku sudah berkata jujur. Oma mau percaya atau tidak bukan urusanku lagi.”
“Oma akan tarik semua fasilitas jika terbukti kamu yang menyebabkan Livia pergi,” pungkas Oma Maria kecewa.
“Apa!! Ini tidak adil,” sanggah Alvaro menelan ludah getir.
Seberharga itukah gadis kampung itu hingga fasilitasnya dijadikan taruhan. Bagaimana jika kejadian malam itu sampai ke telinga omanya bisa jadi nyawanya jadi taruhan.
Mata yang berkaca-kaca Oma Maria melangkah pelan menuju halaman samping menggunakan tongkat. Tempat yang biasa dilewatkan bersama Livia jam segini, menikmati segar udara pagi dibawa sinar matahari baik.
“Sinar matahari pagi sangat baik, Oma harus rajin berjemur biar sehat dan kuat. Oma, jika suatu hari nanti aku tidak bekerja lagi jangan pernah lewatkan saat berjemur. Livia sayang Oma.”
“Kamu akan bersama Oma.”
“Tidak Oma, setiap pertemuan ada perpisahan. Setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya. Aku juga ingin selalu bersama Oma, Oma sudah seperti mbah uti untukku, tapi kita tidak bisa memastikan seperti apa ke
depannya.”
Oma Maria mengusap lelehan butiran kristal yang mengalir pada pipi tuanya teringat pembicaraan bersama Livia beberapa hari yang lalu. Satu sisi hatinya hilang ikut pergi bersama Livia.
“Livia, kamu ke mana nak. Oma rindu kamu.”
***
Hans Maria yang terpukul kehilangan perawat kesayangannya lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Setiap pagi dia meminta sopir berkeliling kota berharap bertemu Livia sebab hingga hari kesepuluh orang suruhannya tidak berhasil menemukan Livia.
Entah di belahan dunia mana Livia bersembunyi hingga tidak tersentuh oleh orang-orangnya yang paling handal dalam menjalankan tugas. Livia bahkan tidak kembali ke kampung halamannya.
Orang tua Livia masih mengira Livia bekerja seperti biasa. Untuk tidak membuat pasangan paruh usia itu susah Oma Maria meminta menutupi kabar tentang Livia. Urusan menghilangnya Livia biar menjadi tanggung jawabnya.
“Livia kembalilah, hampir dua minggu kamu pergi,” gumam Oma Maris melihat gambarnya bersama Livia yang dijadikan wallpaper gawainya.
Melihat Oma Maria kesepian dan tidak ada yang membantu Alvaro mencarikan perawat baru. Namun, sudah lima orang yang didatangkan belum ada yang sesuai di mata oma Maria.
“Oma mau yang seperti apa? Ayolah Oma terima saja salah satu dari mereka. Aku pusing, bekerja juga tidak fokus memikirkan Oma tidak ada yang menjaga,” keluh Alvaro mengacak rambut frustasi.
Sejak Livia pergi Alvaro yang menggantikan tugasnya sebatas kemampuannya. Ia mengerjakan sebelum berangkat dan pulang kantor. Saat di kantor dia menitipkan pada asisten rumah tangga yang punya tugas masing-masing secara bergiliran.
“Itu kamu tahu, harusnya isi kepalamu itu sadar sebelum membuat Livia pergi. Oma hanya mau sama Livia,” tegas Oma Maria membuang wajah.
“Oma dia sudah pergi, dia pergi atas kehendaknya sendiri. Mau sampai kapan Oma menyalahkanku,” dengus Alvaro capek dijadikan kambing hitam.
“Sampai kamu bisa membawanya kembali,” tekan Oma Maria.
“Oma, berikan pilihan lain,” tawarnya mengingat tidak mungkin membawa kembali Livia sekali pun berhasil ditemukan.
“Oma sedang tidak berjualan, tidak ada tawar menawar.”
Alvaro melangkah lebar dan sengaja dihentakkan menunjukkan kekesalan hatinya. Oma Maria terlalu berlebihan, selalu Livia, Livia dan Livia. Tidak tahukah Oma sebenarnya Livia adalah musuh terbesarnya.
“Aku harus bagaimana membuat Oma melupakan gadis kampung itu, gadis itu sangat menyusahkan dari sejak pertama bertemu. Seharusnya malam itu tidak terjadi.” Alvaro membatin meletakkan satu tangan di pinggang.
Pada salah satu sudut kota yang kumuh dan terpencil seorang gadis cantik berjalan dalam tangis. Kejadian buruk baru saja menimpanya. Diusir dari kontrakan karena pemilik kontrakan mengetahuinya sedang berbadan dua.
Tanpa belas kasih dan bertanya penyebab kehamilannya si pemilik kontrakan menyeretnya keluar dan melemparkan pada halaman yang terdapat genangan air sisa hujan semalam. Pakaiannya kotor penuh lumpur berjalan tanpa tahu kemana tujuan.
“Tuhan, aku hanya korban. Seburuk itukah pandangan orang terhadap gadis yang hamil tanpa suami. Aku tidak tahu harus pergi ke mana lagi,” isaknya.
Livia berusaha menyembunyikan wajah dari pasangan mata yang melihatnya di sepanjang jalan. Ada yang iba, ada yang menghujat, mengejek bahkan ada yang meneriaki orang gila.
Tubuhnya kehilangan keseimbangan pandangan mengabur yang mempersulitnya melangkah. Dengan sisa tenaga dan kesadaran dia mencoba menaklukan jalan kampung di bawah teriknya sang surya.
Selama beberapa hari ini perkampungan kumuh ini menjadi pilihan untuk bersembunyi. Sembari memikirkan pergi kemana lagi yang tidak bisa tersentuh anak buah oma Maria.
Untuk bertahan hidup Livia bekerja pada orang yang membuka usaha membuat kerupuk udang. Ia mendapat bagian membungkus kerupuk yang siap di jajakan. Bayarannya tidak seberapa hanya cukup untuk makan sehari-hari daripada menggunakan tabungan.
Salahnya, Livia tidak jujur dengan kehamilan membuat pemilik kontrakan berpikir buruk saat mengetahui sebenarnya. Menyesal menyembunyikan kenyataan saat tahu akan begini jadinya.
Pemilik kontrakan curiga setiap pagi Livia selalu muntah-muntah dan wajah yang pucat. Membuang rasa curiga dia membawa seorang bidan memeriksa Livia yang akan berangkat kerja.
“Aku kira kau gadis baik, ternyata wajah polos dan lugu mu hanya menjadi tameng tabiat burukmu.”
Maki si pemilik kontrakan usai mendengar penjelasan bidan yang dibawanya tentang hasil pemeriksaannya terhadap Livia. Jangan tanya seperti apa raut dan perasaan Livia, tentu saja tidak karuan dan takut luar biasa.
“Bawa gadis itu ke rumah, paksa kalau dia menolak.” Seorang wanita memerintahkan anak buahnya membawa gadis yang berhasil menarik perhatiannya.