“Bismillah,” ucap Livia menutup mata saat mencelupkan benda kecil dalam wadah kecil yang berisi cairan warna kuning agak gelap yang baru saja dikeluarkannya.
Bulan ini ia telat mendapatkan tamu bulan menjadikan hatinya bertanya-tanya. Untuk memastikan dugaannya, kemarin siang membeli alat yang akan menjawab tanda tanya besar dalam kepalanya.
Harapannya, yang di takutkan tidak terjadi karena itu akan menariknya dalam masalah besar. Dunia akan mengolok bahkan mengasingkannya bahkan menenggelamkannya ke dasar lautan. Kejam dan buruknya dunia pada gadis yang hamil tanpa suami tanpa peduli penyebabnya.
Perlahan Livia membuka mata menatap benda pipih di tangannya baru satu garis muncul dan hampir membuatnya bernafas lega. Namun, selang beberapa saat kemudian garis merah satu lagi muncul dari samar sehingga tampak jelas.
“Astaga!!” seru Livia menggenggam erat benda itu sedang tubuh langsingnya luruh ke lantai.
Kini benar-benar hancur sudah semua mimpi dan harapan indah yang di ukir selama ini. Kejadian malam itu yang jungkir balik dilupakan ternyata telah membawanya dalam masalah baru dan sangat besar.
Tubuh Livia bergetar hebat membayangkan segala macam bentuk hal buruk yang akan dihadapi ke depan. Dalam dirinya ada satu nyawa lain, membuangnya tidak mungkin meski tak menginginkannya.
Meminta pertanggungjawaban juga bukan solusi terbaik. Ia tidak ingin menjadi istri dari pria yang tidak punya hati dan terlalu sombong. Bahkan terang-terangan memusuhinya dengan harapan ia pergi sejauh-jauhnya.
“Ya Tuhan mengapa ini harus terjadi padaku? Selama ini aku selalu berusaha untuk menjaga diriku dengan baik, dan kejadian malam itu juga bukan kehendakku. Ba jingan itu yang telah merenggutnya paksa. Tuhan untuk apa kau tinggal benihnya dalam rahimku,” isak Livia membuang alat tes kehamilan dalam tong sampah.
Sudah tidak ada alasan lagi untuk tetap berada di rumah ini, mungkin memang dia harus pergi membawa aib ini. Biarlah dia sendiri yang mengurus anak ini karena membuangnya sudah pasti menambah dosa baru.
Benih yang bersemai dalam rahimnya tidak salah dan juga berhak untuk hidup. Mungkin sampai di sini kebersamaannya bersama Hans Maria. Saatnya pergi memenuhi kehendak pria pemilik benih dalam rahimnya.
Rumah masih sepi, semua penghuni belum ada yang bangun. Livia bangkit dan membersihkan diri dan kembali ke kamar. Langkah besar harus diambil untuk menjaga nama baik semua orang.
Di raupnya kasar wajah tidak pernah kering dari air mata sejak tadi ketika melihat ke belakang. Untuk beberapa saat diam memindai rumah besar yang telah memberikan kenyamanan untuk terakhir kalinya.
“Oma, maafkan Livia yang harus pergi. Livia sayang Oma, semoga Oma baik-baik saja. Livia sayang Oma,” lirihnya melangkah perlahan membelah jalanan pagi ini bahkan matahari belum beranjak naik.
Gadis cantik itu melangkah pasti menjauhi lingkungan rumah yang setahun ini memberikan kenyamanan. Semoga pilihannya tidak salah hingga tidak menjadi penyesalan dikemudian hari.
Kedua kaki jenjangnya mengayun tanpa tujuan yang jelas. Tujuan paling utama adalah pengkolan ujung sana merupakan pangkalan ojek. Sebelum hari terang dan penghuni rumah sadar kepergiannya, ia telah jauh dari area kompleks elite ini.
Oma Maria menunggu Livia di kamar sudah lewat jam sarapan tetapi gadis kesayangan belum juga muncul. Akhirnya ia mengambil tongkat untuk menopang tubuhnya dan berjalan keluar mencari keberadaan Livia.
Sebenarnya Oma Maria masih bisa berjalan hanya saja sejak ada Livia dia lebih suka menggunakan kursi roda untuk memudahkan Livia. Sebab menggunakan tongkat Oma Maria sedikit kesulitan bergerak Livia juga tidak kuat memapah mengingat bobot mereka jauh berbeda.
Susah payah ia menyusuri setiap sudut rumah dan berakhir di kamar yang ditempati Livia. Sangat hati-hati dan tidak menimbulkan suara Oma Maria membuka pintu lalu masuk.
Dalam benaknya Livia sedang sakit dan butuh waktu untuk istirahat. Dan kehadirannya jangan sampai mengusik Livia.
“Nak, kamu sa-“ kata-katanya terpotong menyadari ruang itu kosong dan tertata rapi. Sosok yang dicarinya tidak ada.
Membuang pikiran buruk yang menari dalam benak, Oma Maria memeriksa lemari yang ternyata kosong. Netranya tertuju pada mangkuk yang berisi menu sarapan yang dimintanya semalam.
Di samping mangkuk terselip lipatan kertas membuat jantung wanita tua itu berdetak sangat cepat. Tangan bergetar saat meraih dan membuka lipatan berisi tulisan tangan Livia.
[Selamat pagi Oma.
Maaf Livia pergi tanpa berpamitan, Livia terpaksa melakukan ini.
Jangan cari Livia.
Livia sayang Oma.
Livia harap Oma bisa menemukan perawat serta teman lebih baik lagi.
Ini Livia buatkan menu sarapan yang Oma minta, tapi maaf Livia tidak bisa menyuapi Oma.
Oma jangan lupa minum obat dan jangan marah-marah terus.
Livia sayang Om.]
Air mata oma Maria meluncur membaca surat Livia. Sangat menyayangkan keputusan Livia untuk pergi. Jika memang ada masalah mengapa tidak bicara mungkin ia bisa membantu mencarikan jalan keluar.
Mata tua Oma Maria menyapu setiap sudut kamar yang masih terdapat aroma minyak wangi yang dipakai Livia. Harapannya ini hanya mimpi buruk yang akan sirna kala terjaga.
Tangan keriputnya mengusap bantal lalu meraih selimut tebal yang terdapat aroma tubuh Livia dan memeluknya. Rasa kehilangan merebak luas bahkan ia tidak sempat memeluk gadis yang telah membawanya pada kebaikan untuk terakhir kalinya.
“Sayang, kamu jahat sama Oma. Kalau memang tidak betah lagi merawat Oma mengapa tidak mengatakan langsung. Biar Oma carikan perawat lain, asal kamu tetap bersama Oma, menemani Oma di rumah ini. Sayang mengapa kamu pergi meninggalkan Oma,” hembusnya menaruh selimut dan beralih pada mangkuk yang berisi sarapan yang telah sejuk.
Pagi ini untuk pertama kali dalam setahun belakangan dia menyuapkan makanan sendiri. Livia tidak pernah melepasnya makan sendiri.
Dengan mulut terus mengoceh dan tingkah konyol Livia telaten menyuapi sendok demi sendok makanan dalam mulutnya sampai habis tak tersisa. Livia akan melompat gembira saat Hans Maria mampu menghabiskan semua sarapannya.
Terlalu banyak kenangan yang dibuat Livia membuat wanita tua tersebut tak mampu menelan makanannya. Rasanya bagai menelan duri yang tajam kala lembaran kenangan itu terbuka.
Baru beberapa jam Livia pergi, tetapi Hans Maria sudah tidak sanggup lagi untuk melewatinya. Ia harus mencari keberadaan Livia dan membawanya kembali.
Di Sebuah halte dekat terminal Livia termangu memikirkan ke mana lagi melangkahkan kaki. Berbekal tabungan tak seberapa ia harus pergi jauh secepatnya.
Livia tidak punya tujuan dan kembali ke kampung juga mustahil. Orang tuanya akan malu saat semua warga kampung mengetahui aibnya.
Kehidupan kampung yang masih sangat kental adat istiadatnya akan mengucilkan gadis yang hamil tanpa suami. Terlepas apa pun alasan dan penyebabnya, hamil tanpa suami adalah suatu yang memalukan.
“Aku harus ke mana? Oma Maria pasti akan meminta orang-orangnya mencariku. Oma pasti tidak akan membiarkan aku pergi dengan cara seperti ini.” Livia meniup nafas pelan lalu mematikan ponselnya.
Sementara ponselnya dimatikan saja dan ke depannya akan mengganti nomor supaya orang-orang Oma Maria tidak bisa melacaknya. Tangannya mengusap perut yang masih rata mengingat benih yang akan tumbuh dan berkembang di dalamnya selama sembilan bulan.
***
“Carikan gadis dalam foto itu, dalam keadaan selamat tanpa ada satu yang tergores,” kata Oma Maria pada orang kepercayaannya setelah menyerahkan Foto Livia.
“Kerahkan semua orang-orang kita mencarinya semua pelosok kota ini, kapan perlu seluruh penjuru indonesia. Bergerak cepat, aku tidak ingin mendengar kegagalan,” sambungnya
Pria yang mengenakan pakaian serba hitam itu hanya diam dan mengangguk dan berlalu seperti perintah Oma Maria.
“Baguslah gadis itu pergi, keberadaannya juga sangat meresahkan. Tuhan memang selalu baik padaku, akhirnya doa-doaku dikabulkan.”