Malam Kelam
Erangan panjang keluar dari bibir tipis Alvaro bersamaan dengan keluarnya cairan sari cinta miliknya dalam rahim gadis yang berada tepat di bawahnya.
"Setelah ini aku pastikan kau tidak akan bisa melanjutkan pernikahan dengan laki-laki ba ji ngan itu. Kau hanya milikku seutuhnya Margaret!!" racaunya sebelum tubuhnya jatuh di atas kasur.
Sedangkan, gadis di bawahnya hanya bisa menangis dan mengumpat dalam hati. Dirinya bukan Margaret seperti yang ada dalam benak Alvaro. Laki-laki yang telah merenggut paksa mahkota yang selama ini dijaganya mati-matian.
"Aku sudah kotor, Tuhan," rintih gadis yang bernama Livia Alequa Subandono.
Perlahan Livia beringsut turun dari ranjang menjauhi sosok Alvaro yang terkulai lemas. Dua jam bergulat dalam pertarungan yang menggairahkan telah menguras habis tenaga pria tampan itu.
Dada Livia naik turun melihat pria yang telah menodainya terlelap tanpa beban. Dan amarahnya kian membuncah kala maniknya menangkap bercak darah pada kain putih yang menjadi pembungkus ranjang.
Hancur sudah masa depannya. Impian untuk menyerahkan kehormatan pada lelaki yang telah menghalalkannya kini harus kandas. Bayangan malam pertama indah, hangat, dan terkesan telah hancur, tak tersisa.
"Bangun kau laki-laki bang sat!!" seru Livia menyeret tubuh besar Alvaro yang terlelap hingga terhempas di lantai.
"Sia lan!!" maki Alvaro geram karena ketenangannya terusik. Ia berdiri secara kasar lalu sejurus kemudian menelan saliva melihat sosok gadis yang ada di hadapannya.
"Ka-kau siapa?? Mengapa kau ada di sini. Mana kekasihku? Mar- Margaret," tanyanya terbata-bata.
“Margaret!! Margaret palakmu!!” sentak Livia.
Tubuh besar Alvaro kelimpungan hingga terjatuh kembali terhempas di atas dinginnya lantai. Bayangan kesalahan besar yang baru saja di perbuatannya memenuhi benaknya. Bagaimana Ia bisa salah orang? Yang digagahinya adalah gadis asing yang menatap penuh amarah. Di mana bayangan Margaret semalam yang telah membuainya hingga ke langit tinggi.
Alvaro yang kebingungan celingukan ke sana ke mari menyapu semua sudut mencari sosok yang menjadi fantasinya saat menjamah gadis yang diakuinya lumayan cantik. Namun, masih kurang bila dibandingkan dengan Margaret Talita Alfonso–kekasihnya.
Dengan perlahan, Livia mengayunkan kaki jenjangnya sambil menahan rasa perih pada area sensitifnya. Memangkas jarak mereka hingga menyisakan satu langkah lagi. Ya, hanya satu langkah saja toleransi yang diberikan Livia agar tetap bisa mengendalikan dirinya untuk tidak menendang Alvaro.
"Kembalikan kesucianku!!" pekik Livia melengking dengan membungkukan tubuh mendekat pada telinga Alvaro
Pria itu pun hanya bisa pasrah. Memejamkan mata, menikmati amukan gadis korban salah sasarannya. Alvaro bisa seperti itu bukan tanpa alasan. Ia benar-benar terluka saat mendengar kabar pernikahan sang kekasih hatinya. Hal itu membuatnya jadi kehilangan akal sehat hingga berhalusinasi, efek alkohol yang juga diminumnya.
"Ka–kau bicara apa? Kesucian yang mana?" sahut Alvaro tergagap karena tahu persis, Ia tidak akan bisa mengembalikan apa yang diminta gadis di hadapannya.
"Berdiri kau laki-laki bang sat!! Mana kekuatan yang kau gunakan saat menodaiku tadi. Merampas harta paling berharga milikku." Livia berkacak pinggang menantang pria yang tidak diketahui namanya melihatnya ketakutan.
"Hanya sebatas itu nyalimu?! Menjijikkan. Aku harap setelah ini kita tidak akan pernah bertemu lagi sekali pun di alam baka. Enyah dari hadapanku sekarang juga sebelum aku berubah pikiran," usir Livia menunjuk pintu.
“Jangan pernah muncul lagi di hadapanku!! Atau kau siapkan nisan terlebih dahulu.”
Alvaro sadar akan kesalahannya dan kesempatan untuk bebas dari tanggung jawab tergesa mengenakan pakaian sekenanya lalu meninggalkan kamar hotel dengan pontang-panting.
"Sial, kenapa aku bisa salah orang? Bagaimana kalau gadis itu nanti sampai hamil?" Alvaro merasa kesal. Ia langsung ingat jika tadi dirinya memang tidak memakai pengaman dan apa pun bisa saja terjadi.
Di saat rasa kesal kian mengusik, tiba-tiba pria itu teringat akan siapa yang harus bertanggung jawab atas kesialan yang menimpanya saat ini. "Awas kalian! Gara-gara kalian aku jadi seperti ini!"
Sepanjang perjalanan menuju mobil kebanggaannya seharga satu koma dua milyar warna hitam metalik Alvaro terus memaki dan mengumpat kebodohannya. Andai saja tadi langsung pulang dan tidak mengikuti ajakan dua sahabat baiknya untuk minum-minum yang mengakibatkannya mabuk berat kesalahan itu tidak akan pernah terjadi.
Sementara Livia kini masih berdiam diri dalam kamar yang menjadi saksi hilangnya kesucian yang selama ini selalu ia banggakan di hadapan teman-temannya. Hati terasa perih. Sakit, teramat dalam. Baginya sulit menerima kenyataan yang baru saja terjadi dalam hidupnya.
"Kenapa, Tuhan? Kenapa ...?" Gadis itu menangis. Meratapi penuh rasa sakit. Dengan langkah gontai, dibawanya tubuh lemah yang terbungkus selimut itu ke kamar mandi.
Di sana, Livia langsung menyalakan kran showwer. Berdiri di bawah pancuran air. Membiarkan bau tubuh Alvaro ikut larut bersama air yang mengalir.
Beberapa detik kemudian, tangisannya semakin pecah terdengar. Membayangkan tanggapan kedua orang tuanya di kampung jika tahu kejadian yang telah menimpanya. Livia merasa sangat bersalah, janji untuk menjaga diri ternyata harus pupus dengan hilangnya kesucian yang kini tak lagi ia miliki.
"Ambu, Abah, Neng sudah tidak suci lagi. Maafkan, Eneng ...." Livia terisak. Meringkuk sambil memeluk kedua lutut di bawah guyuran air yang kian lama terasa dingin hingga menusuk tulang.
Ingatannya kembali pada beberapa jam yang lalu Livia yang suka berjalan kaki memilih menapaki setapak seraya menunggu taksi yang melintas. Hari ini adalah hari liburnya, dalam satu bulan Ia mendapatkan jatah libur sebanyak dua kali.
Biasanya setiap libur hanya dihabiskan di rumah sang majikan dengan membuat berbagai camilan dan menu masakan. Namun, libur kali ini temannya dari kampung datang dan mengajaknya bertemu.
Keasyikan melepas rindu tanpa sadar gelap malam telah menyapa. Tepat pukul sembilan setelah makan malam mereka memutuskan untuk pulang.
Sebenarnya Safitri– temannya mengajak menginap di tempatnya saja, tetapi Livia menolak karena tidak enak pada sang majikan jika tidak pulang malam ini.
Dua sahabat baik itu berpisah di perempatan karena arah yang berbeda. Tinggallah Livia seorang diri menyusuri jalanan yang masih ramai.
Ini pusat kota jika di kampung jam segini sudah sangat sepi hanya menyisakan suara jangkrik dan kodok meminta hujan.
Di depan sebuah diskotik Livia melihat sosok terkapar di samping mobil yang pintunya terbuka. Berdasarkan rasa kemanusiaan dan menguatkan keberanian Livia mendekati sosok itu yang ternyata adalah seorang pria tampan.
"Busyet … gantengnya." Mata Livia tak berkedip menatap pria yang tidak sadarkan diri akibat pengaruh minuman beralkohol. Diketahui dari aroma nafas yang sangat menyengat dan tidak mengenakan untuk dihirup.
"Iuwww, tapi ganteng-ganteng kok mabokan. Tidak Livia, dia bukan calon imam yang baik." Livia bicara sendiri dan memukul kepalanya atas pikiran yang keluar jalur entah ke mana.
Dia lalu bangkit mencari-cari sesuatu untuk menyadarkan sang pria. Namun, sial tidak ada satu pun yang dapat digunakan untuk membuat pria itu sadar.
Akhirnya, berbekal pernah melarikan mobil tetangga di kampung Livia berniat mengantar pria ini pulang ke rumahnya. Susah payah Ia menarik tubuh besar pria asing tersebut masuk dalam mobil lalu mencari kartu tanda pengenal atau ponsel untuk mengetahui alamatnya.
“Kok tidak ada ya, apa iya ada orang bepergian tidak bawa ponsel dan KTP. Jangan-jangan orang ini kena rampok lagi. Kasian sekali,” gumam Livia kehabisan akal menyandarkan tubuh pada jok mobil.
Dalam kebingungan tak sengaja Livia melihat benda segi empat mirip ATM di atas dashboard. Ia menyipit melihat hasil temuannya merupakan card akses hotel bintang lima lengkap dengan nomor kamar.
Tidak ingin membuang waktu lebih banyak Livia berinisiatif mengantar ke hotel yang tertera. Dari maps ponselnya letak hotel ternyata tidak jauh dari tempatnya saat ini. Niat awal ingin membantu jadi Ia harus tetap menyelamatkan pria ini meski bukan rumahnya. Terpenting pria ini selamat dan terbebas dari orang-orang jahat yang mengambil sebagian miliknya.
Setibanya di hotel Livia meminta bantuan room boy membawa Alvaro ke kamar hotelnya. Menghindari berbagai pertanyaan dari petugas Livia mengaku sebagai teman wanitanya.
Livia berbalik mengikuti pria yang mengenakan seragam hotel yang membantunya hingga ke kamar ini dan meletakkan pria asing di atas ranjang mewah. Misi penyelamatan telah selesai dan harus segera pulang.
“Margaret ...”
“Sayang ... Margaret.”
“Aku sangat mencintaimu.”
Livia mengurungkan niat melangkah menoleh ke belakang mendengar racauan pria yang masih memejamkan mata. Sejenak Ia mematung memikirkan langkah terbaik, bingung antara pergi atau menyadarkan sepenuhnya.
“Margaret, pria itu tidak pantas untukmu.”
“Masih kurang semua yang aku berikan untukmu selama ini.”
“Sayangku, cintaku.”
Mendapati pria tersebut terus meracau, Livia akhirnya memilih untuk tidak menghiraukan. Namun, saat akan membawa kaki mulus yang panjang tak seberapa keluar tangan besar Alvaro mencekal lengannya.
Rupanya tanpa Livia sadari saat meracau tangan Alvaro telah terbuka dan setengah sadar melihat sosok Livia samar. Senyum yang dilemparkan Livia berharap tangannya dilepaskan ternyata menjadi awal nasib si alnya.
Dalam pandangan Alvaro Livia adalah Margaret- kekasihya. Seketika pikiran jahat melintas di benaknya. Tanpa perasaan Alvaro menarik dan melempar Livia ke ranjang.
Melihat gadis yang dalam pikiran Alvaro adalah kekasihnya terlentang tak berdaya membangkitkan gairahnya dan menyerbu sang mangsa tanpa ampun. Teriakan demi teriakan bukannya membuat iba justru semakin membangkitkan semangat kelelakiannya.
“Diam dan nikmati permainanku. Kau akan menjadi gadis paling bahagia malam ini.” Alvaro menarik paksa pembungkus tubuh Livia hingga robek pada bagian-bagian yang ditariknya.
“Tolong hentikan,” rintih Livia, air matanya meleleh dari ujung maniknya.
“Tolong.”
“Ampuni saya tuan. Anda salah orang.”
“Saya Livia, bukan Margaret pacar Anda.”
“Diam!!” satu tamparan mendarat pada pipi mulus Livia. “sudah aku katakan diam dan ikuti permainanku.”
Livia meronta dan berteriak berharap siapa pun di luar sana sedang melintas mendengar dan menolongnya. Ia lupa bahwa kamar hotel kedap suara, yang terjadi dalam sini tidak akan terdengar keluar.
Tindakan berteriak histeris adalah percuma. Yang ada tenaganya terkuras dan kekuatan untuk meronta berkurang, sekedar mendorong Ia tidak kuat.
Kalah dalam ukuran tubuh dan tenaga menjadikan Livia hanya pasrah menerima perlakuan Alvaro. Ilmu bela diri yang dikuasainya tak bisa digunakan karena Alvaro mengunci beberapa titik tubuhnya.
Pria sedang yang gelap mata terus melancarkan aksinya hingga pada penyatuan inti kedua dengan cara amat kasar. Livia memekik menahan perih yang tiada tara.
"Sudah aku katakan, ikuti dan nikmati saja, kau tidak akan kesakitan," ujar Alvaro di sela desahannya.
“Nikmati saja.”
Livia kehabisan tenaga hanya bisa pasrah membiarkan Alvaro menuntaskan perbuatannya dalam tangis yang air mata mengering. Tubuh langsing Livia terasa remuk, luruh seluruh tulang-tulang.
Hilang sudah mahkota paling berharga yang dimilikinya. Entah seperti apa nasibnya ke depan, Livia tidak berani membayangkannya.