Alvaro menyemburkan kopi yang baru saja masuk dalam mulutnya. Sengaja dilakukan untuk membuat Livia kesal dan marah. Gadis itu sudah membuat dua gelas kopi dan ini adalah gelas ketiga, tetapi belum ada rasa yang cocok di lidahnya.
Lebih tepatnya sengaja dikatakan tidak pas sebab dari gelas pertama kopi seduhan Livia bisa digolongkan nikmat. Menyeduh minuman mengandung kapein itu sudah biasa bagi Livia, saat di kampung setiap pagi membuatnya untuk abah.
“Kau bisa menyeduh kopi apa tidak, rasanya aneh begini. Kerja sepele saja tidak becus,” sembur Alvaro nada suara tinggi, dalam hati tertawa penuh kemenangan menikmati raut kesal Livia.
“Bukan kopi yang tidak enak, tetapi lidah tuan yang bermasalah. Sana periksa sebelum terlambat, kasian belum laku sudah mati rasa, cukup tidak punya hati saja,” desis Livia menyipitkan mata.
“Kau!! Beraninya mengejek ku, KAU!!” seru Alvaro geram menunjuk-nunjuk Livia dan tiga cangkir kopi yang masih mengepul asap tipis dan isinya masih utuh.
“Oma, saya ke belakang dulu,” pamit Livia pada Oma Maria sebenarnya berada di sana. Namun, entah mengapa memilih diam melihat dirinya di kerjai cucunya yang menyebalkan.
Sebelum benar-benar pergi, saat di belakang Oma Maria Livia menjulurkan lidah mengejek pada Alvaro yang masih menatapnya. Tampak da da Alvaro naik turun menahan amarah akibat ulahnya.
“Gadis itu ya, Oma lihat kelakuan pelayan kesayangan Oma.”
Oma Maria menggeleng seraya tersenyum menanggapi sikap Livia yang kekanak-kanakan. Sebenarnya ia melihat tingkah konyol Livia melalui cermin besar di pojok ruangan.
“Ih ih, itu Oma kenapa senyum-senyum,” lanjut Alvaro membesarkan mata tidak suka.
Di luar terutama di kantor sosok Alvaro yang ada di hadapan Oma Maria tidak akan ditemukan. Seorang Alvaro Andestra sangat mudah marah dan pantang baginya di tentang. Menentangnya sama dengan menggali kubur sendiri, bersiaplah ditanam hidup-hidup.
Namun, saat bersama Oma Maria ia sangat manja dan suka merengek. Ketika saat berdebat sifat keras kepalanya mencuat tidak terima disalahkan atau diatur-atur.
“Kamu jangan terlalu kasar dengan gadis itu. Dia gadis yang perasa dan pengiba. Pasti sekarang dia sedang menangis,” tegur Oma Maria.
“Cucu Oma aku atau dia?”
“Bukan soal siapa cucu Oma, tapi Oma tidak suka dengan caramu yang sengaja membuatnya kesal. Sebenarnya kalian ada masalah apa? Atau jangan-jangan ada yang kalian sembunyikan dari Oma,” imbuh Oma Maria membuat wajah Alvaro pias. Namun, beberapa saat kemudian kembali normal.
Untuk masalah bersandiwara dan mengubah ekspresi wajah Alvaro ahlinya. Dalam hitungan detik bisa beberapa kali mengubah mimik wajah sampai lawan bicaranya tidak bisa membaca mana mimik yang sesungguhnya.
“Aku tidak menyukainya. Jadi sengaja mencari kesalahan-kesalahannya supaya di bosan dan pergi,” akunya santai meski tahu Hans Maria akan meradang.
“Pergi??” Alis Oma Maria menaut. “Salah dia apa? Kalian pernah tidur bersama atau dia menolak cintamu.”
Alvaro tercekat tenggorokan terasa kesat terkadang wanita tua ini bicara tepat sasaran. Ia berdiri seraya menarik kerah baju seperti kegerahan padahal suhu pendingin ruang masih sama. Beberapa kali berdehem menormalkan nada suara banyakan tidak tembus.
“Oma sembarangan saja, dia bukan seleraku. Aku tidak suka padanya karena Oma sangat sayang padanya. Aku tidak mau ya, berbagi kasih sayang dengan orang miskin,” imbuh setelah berhasil mengendalikan hati dan pikirannya.
“Alasan yang cukup masuk akal. Kamu suka atau tidak Livia akan tetap ada di rumah ini. Oma yang membayarnya, kamu tidak berhak untuk membuatnya pergi dari rumah ini. Tugas kamu hanya bekerja di kantor dan carikan calon istri yang benar agar bisa memberikan cucu buyut untuk Oma.”
Membahas calon istri Alvaro kalah telak membuatnya mendengus kesal lalu melebarkan langkah meninggalkan Oma Maria seorang diri. Selalu saja seperti ini saat dirinya ketahuan mengganggu Livia pasti Omanya akan memarahi.
Di lain kesempatan Oma Maria pergi berziarah ke makam mendiang suaminya selama satu hari. Alvaro tidak menyiakan kesempatan langka ini, Oma tidak membawa Livia ikut bersamanya.
Seharian penuh Alvaro memerintah Livia mengerjakan yang bukan menjadi tugasnya. Sama sekali tidak memberikan waktu sedetik pun bagi gadis itu beristirahat.
Livia tampak sangat lelah bahkan pipi mulus biasanya merona hari ini pucat. Di beberapa titik seragamnya terlihat basah oleh keringat.
Alvaro yang belum puas dengan berbagai bentuk perintah juga menakuti Livia dengan mengunci pintu kamar saat mereka di dalamnya. Livia ketakutan berusaha membuka pintu yang kuncinya telah diambil Alvaro terlebih dahulu.
“Sepertinya kau masih merindukan kejadian malam itu, makanya kau tetap bertahan dirumah ini,” ujar Alvaro melangkah pelan mengikis jarak antara mereka.
“Kemarilah, kita ulangi lagi yang malam itu. Mumpung Oma tidak ada.”
Detak jantung Livia semakin berpacu kala jarak mereka kian terkikis. Tubuhnya telah bertumpu pada pintu sebelahnya lemari dan sisi lain dikuasai Alvaro.
“Ja-jangan sembarangan kau ya!! Aku bisa melakukan suatu yang fatal sampai menyentuhku lagi,” ancam Livia menunjuk Alvaro dengan tangan yang bergetar. Keringat dingin menyembur memenuhi dahinya.
“Oh ya. Apa yang bisa kau lakukan.” Alvaro masih melangkah menyisakan jarak tak seberapa. Menganggap rendah gadis di hadapannya, tidak tahu gadis itu jago bela diri.
“Sini kau!!” Livia lengan seragam yang memang sudah ditarik menjadi tujuh per delapan. Memajukan tubuh langsingnya dengan wajah terangkat menantang.
Keberanian Livia membuat nyali Alvaro menciut keadaan berbalik sekarang jadi ia yang ketakutan. Alvaro bertepuk tangan menutupi kegugupannya. Keangkuhannya menguap ketika berhadapan dengan seorang gadis yang garang.
“Awas, aku lapar,” kilahnya mendorong bahu Livia agar menjauh dari pintu.
“Dasar batu, lemari es, muka batu, tidak jelas,” umpat Livia menggosok salah satunya bahunya yang terbentur lemari.
Baru di ancam sudah takut, tetapi baguslah dengan begini Livia jadi tahu kelemahan pria muka batu itu. Lain kali kalau mengganggu lagi bukan sekedar mengancam melainkan diberi pelajaran biar kapok.
“Gadis itu galak juga,” batin Alvaro usai meneguk sebotol air mineral yang diambil dari lemari pendingin.
“Baru tahu ya, macan akan menerkam suatu yang membahayakan baginya sekalipun itu bukan seleranya,” kata Livia menyilangkan tangan d**a berdiri tepat di belakang Alvaro membuatnya terlonjak kaget.
Livia sengaja mengendap-ngendap ketika melihat Alvaro berdiri depan kulkas sambil mengomel. Sengaja dilakukan untuk mendengar apa yang dikatakan pria tersebut.
“Ka-kau.” Alvaro menyemburkan sisa air yang belum sempat di telan.
“Minum itu duduk, kalau manusia.”
“Kau-” Bibir Alvaro bergerak-gerak seperti mengatakan sesuatu namun, suaranya tidak tembus.
Livia memejamkan mata mendengar suara langkah kaki Alvaro sengaja di hentakan menunjukkan kekesalan.
“Gadis itu semakin besar kepala, aku harus segera mencari cara melemparnya keluar dari rumah ini. Rahasia itu tidak boleh sampai ke telinga Oma. Cara apalagi yang harus aku lakukan, dia punya Oma sebagai tameng kalau tidak dari awal aku lempar ke jalan.”
Alvaro bersenandika sepanjang menuju kamarnya.
Kepalanya hampir pecah memikirkan cara menyingkirkan Livia. Livia tidak seperti mereka yang telah sudah, biasanya sekali jentikan jari yang menentangnya tidak pernah lagi muncul di depannya.
Haruskah menghubungi sang mama memintanya tinggal disini membantu menyingkirkan gadis itu. Namun, dunia pasti menertawakannya saat mengetahui seorang yang arogan minta bantuan ibu untuk menyingkirkan gadis kampung yang miskin.
“Kalau dia ha mil bagaimana? Haruskah aku bertanggung jawab,” celetuknya dalam hati kembali teringat malam itu tidak memakai pengaman. “mengapa sulit sekali menyingkirkannya dari rumah ini. Dia terlalu berbahaya.”
Livia membiarkan punggungnya merosot pelan menjatuhkan bobotnya di atas lantai. Malam kelam itu telah berlalu cukup lama, tetapi ia sama sekali tidak bisa melupakan setiap detail kejadian.
Ditambah bayangan senyum abah dan ambu menjadikan lukanya kian menganga. Setiap malam menangis menyesali segala kejadian hari itu mulai dari pagi hingga saat kejadian itu.
“Tuhan ... aku tidak tahu sebatas mana mampu bertahan melawan kelakuan pria muka datar itu. Dia menginginkan aku pergi, sedang aku tidak tahu harus pergi ke mana. Aku korban, keadilan tidak pernah berpihak padaku.” menggunakan telunjuk ia menghapus jejak air mata yang terjun bebas tanpa bisa dicegah.