"Aku sudah memilihkan beberapa pakaian untukmu. Rasanya cocok dengan ukuranmu."
Anggoro memutar tubuh Renata sambil mengira-ngira. Ketika perempuan itu sudah tepat di hadapannya, dia melepas ikatan handuk di tubuh Renata. Membuat perempuan cantik itu terkesiap dan menahan napas. Dia menunggu apa yang akan dilakukan Anggoro selanjutnya.
"Tubuhmu indah. Proposional. Pas sekali." Dia menangkupkan kedua telapak tangannya pada buah d**a Renata, membuat Renata menelan ludah dan dadanya semakin berdebar tak karuan.
"Coba kenakan salah satu gaun yang kubelikan. Tapi ...." Anggoro mendekatkan bibirnya ke telinga Renata. "Jangan kenakan yang berwarna merah. Itu khusus untuk kunikmati sendiri."
Renata menelan ludah lagi. Dengan matanya dia mengikuti pergerakan Anggoro yang menuju sofa dan duduk di sana. Memperhatikan Renata yang berdiri telanjang bulat dengan rambut setengah basah yang tergerai menutupi sebagian tubuh bagian atas.
Anggoro mendesah. Renata sungguh cantik dan seksi sekali. Beruntung sekali Revanno bisa memiliki tubuh itu dan menikmatinya kapan pun dia mau. Namun Renata jatuh ke pelukannya sekarang. Dia juga bisa berbagi kepuasan dengan Renata kapan pun dia mau.
Anggoto menunggu. Dengan dagunya dia menyuruh Renata mengenakan pakaian yang sudah dibeli.
Renata mengambil tas terdekat, berwarna putih dengan bunga-bunga merah muda. Dia mengeluarkan sehelai strap dress berpotongan A-line.
Dia mengenakan baju di depan Anggoro tanpa rasa risih. Setelah apa yang terjadi di antara mereka, perasaan itu seolah hilang dari dirinya.
Renata mematut diri di depan cermin. Memperhatikan gaun itu melekat di tubuhnya. Warna putih gadingnya terlihat menyatu dengan kulit kuning langsatnya. Corak daun monstera yang samar di beberapa tempat menonjolkan lekuk tubuhnya yang indah. Dia membelai leher jenjang dan bahunya yang terpampang indah. Juga belahan dadanya. Vanno tidak akan pernah mengizinkannya mengenakan pakaian seperti ini.
Ah, ini bukan saatnya mengingat Vanno. Dia milik Anggoro saat ini.
Renata membuka tas belanja lainnya. Ada sepasang heels bertali yang sudah lama ingin dibeli. Namun harganya terlalu mahal dan dia juga tidak tahu mau mengenakan ke mana. Jika pergi bersama Vanno dia lebih sering berpenampilan casual. Tidak seksi dan feminim seperti sekarang.
Renata memutar-mutar tubuh dan tertawa kegirangan melihat tampilan dirinya yang berbeda.
"Kamu suka?" tanya Anggoro yang entah sejak kapan sudah berada di belakangnya. Renata memandang Anggoro dari dalam cermin. Dia mengangguk dan tersenyum.
Renata memutar tubuh, mengalungkan kedua tangannya di leher Anggoro. Dia mengecup bibirnya lembut.
"Terima kasih, Ang. Sudah membuatku terlihat berbeda hari ini."
"Ini adalah Renataku, bukan Renatanya Vanno," kata Anggoro sambil menempelkan hidungnya di hidung Renata. "Selesaikanlah berdandan. Aku akan menunggu di lobby saja. Buat aku semakin kagum padamu malam ini." Anggoro mengecup pipi Renata singkat lalu berjalan meninggalkannya.
Di lobby, Anggoro duduk di sofa. Membelakangi jam besar di tengah ruangan. Tangan kanannya menopang pada sandaran kursi dan memainkan dagunya. Dia berpikir apa lagi yang akan dilakukan untuk memanjakan Renata.
Perempuan selalu suka barang yang indah dan mahal. Tidak terkecuali Renata. Keputusannya untuk membelikan baju dan beberapa aksesoris sungguh tepat. Ada gunanya juga dia selalu menemani istrinya belanja di Orchard hingga berjam-jam. Keluar masuk butik dan pusat perbelanjaan. Dia jadi tahu toko-toko yang menjual kebutuhan perempuan dengan kualitas tinggi.
Setelah membelikannya baju, tahap selanjutnya adalah mengajaknya makan malam yang romantis. Anggoro belum melakukan reservasi di manapun. Dia berencana mengajak Renata berjalan kaki sambil bergandengan tangan dari hotel ke restoran. Menikmati malam di Orchard sepuasnya karena besok kebahagiaan ini akan berakhir untuk sementara.
Renata keluar dari lift dan berjalan ke arah Anggoro yang memandanginya tanpa berkedip. Jika perut keduanya tidak lapar, Anggoro lebih memilih naik lagi ke atas dan menikmati tubuh Renata.
"Jangan memandangiku terus-terusan, Ang. Nanti kamu jatuh cinta." Renata membalikkan omongan Anggoro.
"Aku memang sudah jatuh cinta. Sejak dulu, hingga sekarang," katanya sambil bangun dari duduk.
"Oh, ya? Bagaimana ceritanya?" tanya Renata antusias.
Anggoro memberikan lengannya yang disambut Renata dengan melingkarkan tangan di lengan Anggoro.
"Sambil jalan, yuk, ceritanya."
Mereka keluar hotel dan berbaur dengan keramaian daerah Orchard.
"Aku ... mencintaimu sejak masih sekolah. Tapi kamu tahu sendiri aku waktu itu, cuma seorang pemuda ceking, jerawatan, dan kutu buku. Mana berani ngedeketin tuan putri idola satu sekolah."
Renata mencubit pinggang Anggoro. "Aku bukan tuan putri dan kamu juga tidak terlihat ada usaha."
Anggoro tergelak, memamerkan dua lesung pipinya yang menggemaskan.
"Usaha seperti apa? Baru niat saja nyaliku sudah ciut. Body guardmu banyak banget!"
"Hei, aku tidak punya body guard. Mereka saja yang suka mengikutiku." Renata menghentikan langkah dan merajuk.
"Iya, iya, mereka emang suka cari perhatianmu. Ayo jalan lagi nanti keburu tutup restorannya."
"Aku minta maaf, Ang. Dulu aku mengabaikanmu." Renata menundukkan kepala. Memandang langkah kakinya di trotoar.
"Masa lalu, Ren. Emangnya kalau aku sok-sokan cari perhatianmu dulu, apa kamu bakal mau sama aku? Di sisimu sudah ada Revanno yang gantengnya sekelas aktor drama korea."
Renata terdiam mendengar ucapan Anggoro. Dulu dia belum tahu tentang kekurangan Vanno. Jika dia menyadarinya, mungkin dia memilih menghindar sebelum terlanjur menyayanginya.
Ah, Vanno ... sedang apa dia sekarang, ya?
"Hei, jangan terlalu merasa bersalah. Aku nggak mau merusak malam kita dengan nostalgia yang buruk. Aku senang kita akhirnya bisa ketemu lagi dan lihatlah, kita sekarang seperti sepasang kekasih, kan?" Anggoro membelai lembut punggung tangan Renata yang menggelayut di lengannya.
"Nah, kita sudah sampai. Aku tidak sempat menyiapkan makan malam yang romantis untukmu. Kuharap ini cukup. Makanannya juga lumayan enak, kok."
Mereka memasuki sebuah kafe dengan dekorasi ruangan yang mengagumkan. Ada bunga hidup yang digantung di beberapa sudut kafe. Menambah kesan segar dan sejuk ketika berada di dalamnya. Bunga-bunga segar juga diletakkan di dalam jambangan-jambangan besar. Aroma bunga menguar memenuhi udara ketika berada di dalam kafe.
"Wow! Ini indah sekali, Ang! Sayang HP-ku sedang di charge jadi aku nggak bisa foto-foto."
"Untung sedang di charge. Kamu nggak boleh menyimpan apa-apa yang bisa bikin kita ketahuan, Ren."
Renata menepuk dahinya. Mengapa dia bisa lupa kalau mereka sekarang sedang menjalin hubungan sembunyi-sembunyi?
"Ayok duduk." Anggoro menarik kursi untuk Renata. "Dan pesan menunya. Kamu harus makan banyak! Lupakan karbo karena selepas makan kamu akan kubuat kehilangan banyak tenaga," bisik Anggoro sebelum dia berdiri dan menarik kursi untuknya sendiri.
"Aku lapar berat. Jadi kamu nggak perlu khawatir karena aku bakal pesan makanan dengan porsi yang besar." Renata mulai membolak-balik menu yang diberikan pelayan.
Sambil menunggu pesanan datang, mereka kembali mengobrol. Sesekali tawa berderai di antara keduanya. Anggoro selalu menggenggam tangan Renata, membuat perempuan itu merasa istimewa. Dia memang istimewa.
Untuk sementara, nama Revanno terhapus dari sudut hatinya.
"Boleh aku bertanya sesuatu, Ren?"
"Mmhh, apa itu?"
Anggoro terlihat ragu. Dia meremas tangan Renata dan mengembuskan napas cepat.
"Kamu mau ngomong apa, sih, Ang? Bikin deg-degan aja. Kamu mau ngapain? Melamar aku?" Renata terkekeh pelan.
Anggoro menunggu sampai Renata berhenti tertawa. Dia memandang penuh rasa cinta pada Renata.
Merasa diperhatikan secara intens, Renata balas menatap Anggoro. Pandangannya seolah menuntut jawaban atas pertanyaan, ada apa?
"Bagaimana kalau iya? Aku melamarmu dan kita akan menikah setelah menceraikan pasangan masing-masing."
Renata terkesiap mendengar ucapan Anggoro. Bayangan wajah Revanno berkelebat di kepalanya. Tegakah dia mengambil jalan itu? Menyambut lamaran Anggoro dan meninggalkan Revanno?©