Singapura (2)

1271 Kata
Renata menarik luggage-nya memasuki lobby Orchard Hotel. Dia mengedarkan pandangan dan melihat Anggoro sedang berdiri memandangi lukisan. Dadanya berdebar dan lututnya lemas. Pikirannya sudah mulai berfantasi liar dan badannya mulai panas. Rasanya tubuh Renata terbakar, ingin segera menenggelamkan diri dalam bath tub atau berdiri di bawah shower dan membiarkan air dingin membasuh seluruh tubuhnya. "Hai, sudah lama? Mau ke atas sekarang?" Renata merasa seperti perempuan murahan yang mendamba belaian. Namun dia tidak peduli. Untuk itulah Anggoro ada di sini, bukan? Dan dia memang butuh belaian dalam arti yang sesungguhnya. Dia dan Anggoro sudah sama-sama paham dan saling menginginkan, tidak perlu basa-basi lagi. Anggoro pun mengangguk, mengiyakan ajakan Renata. Digenggamnya tangan Renata menuju resepsionis. Setelah mendapatkan kunci kamar, mereka bergegas menuju lift. Masih tetap bergandengan tangan. Setelah pintu lift menutup, Anggoro tidak bisa lagi menyembunyikan hasratnya. Dia meraup wajah Renata dan menciumi bibirnya dengan cepat seolah dia takut bibir itu akan habis. Kali ini Renata mengikuti permainannya. Membuka mulut dan membalas ciuman Anggoro dengan hasrat yang sama menggebu. Pintu lift membuka, buru-buru mereka saling melepaskan diri dan merapikan pakaian masing-masing. Sepertinya mereka sudah tiba di lantai di mana kamar mereka berada. Renata berjalan mendahului Anggoro dan mencari-cari di mana kamarnya. Setelah menemukan nomor kamar miliknya, Renata memasukkan card dan mendorong pintunya. Dia melangkah masuk, dadanya semakin berdebar. Lampu kamar menyala, matanya langsung melihat ke arah ranjang dan perasaannya semakin tak menentu. Di belakangnya, Anggoro menutup pintu. Mendekati Renata dan berbisik di telinganya. "Apakah kamu mau mandi dan menyegarkan diri?" Renata mengedikkan bahu karena geli. Dia tersenyum miring. "Apakah aromaku tidak enak bagimu?" Anggoro mengendus telinga Renata dan menciumi lehernya. Renata memiringkan kepala ke kiri, membiarkan Anggoro menjelajahi sebelah leher dan bahunya. "Kamu membuatku lapar," bisik Anggoro lagi. Mendengar Anggoro berkata demikian, Renata sudah tidak bisa menahan hasratnya lagi. Dia membalikkan tubuh, meraup wajah Anggoro dan mendekatkan bibirnya ke bibir Anggoro. Dia tidak peduli seandainya Anggoro menganggapnya perempuan murahan karena begitu menginginkan hubungan ini. Dia memang menginginkannya dan mereka sudah pernah melakukannya lebih dari sekali. Renata menciumi Anggoro dengan penuh nafsu. Anggoro ... tentu saja dia senang Renata bersikapa demikian. Bahkan ketika Anggoro mulai membuka kancing kemeja Renata, dengan senang hati Renata membantunya dan gantian dia membuka kancing kemeja Anggoro. Di Singapura, mereka adalah dua orang asing yang jauh dari keluarga. Tidak ada yang mengenal mereka di sini, sangat sedikit kemungkinan ketahuan karena ini juga bukan saatnya liburan. Renata bebas meluapkan hasrat tanpa takut ketahuan Vanno atau orang yang dia kenal. "Ang ...." bisik Renata ketika ciuman mereka terlepas. Tangan Anggoro yang sedang meremas p******a Renata terhenti. Dia menempelkan pipinya di pipi Renata. "Mmmh?" "Aku sedang masa subur," kata Renata. Anggoro mendesah. "Aku akan hati-hati dan menggunakan pengaman." Renata mengecup leher Anggoro sehingga lelaki itu kegelian dan sudah tidak tahan lagi. Di dorongnya tubuh Renata hingga ke sisi tempat tidur. Sambil menyangga kepalanya dan tak melepas ciuman, Anggoro membaringkan Renata di kasur. Saat ini, berbeda dengan sebelumnya. Saat ini, mereka berdua saling menginginkan. Saat ini, tidak ada kekhawatiran. Yang ada hanyalah kebutuhan minta dipuaskan. Hasrat yang minta diledakkan. Dan ketika mulut Anggoro bermain-main di s**********n Renata, perempuan itu menjerit kecil karena dia telah meraih puncak hasrat pertamanya. Sensasinya berbeda dengan yang dilakukan Vanno. Mungkin karena kini dia tahu apa yang akan dia peroleh selanjutnya. Anggoro tersenyum mendengar jerit kecil kepuasaan Renata. Dia bahagia tentu saja, mengetahui jika sekarang Renata membalas semua perlakuannya. Tidak perlu ada pemaksaan lagi. Renata dengan senang hati akan melayani hasratnya bahkan mungkin Renata sendiri yang akan datang minta dipuaskan. Renata memandang ke arah Anggoro yang sudah mengangkat kepala dari selangkangannya. Dia sedang bergerak naik dan mensejajarkan diri dengan tubuh Renata. Embusan napas Anggoro terasa di hidungnya. Renata memejamkan mata, menunggu yang akan terjadi selanjutnya. Sesuatu yang selalu diinginkannya dan tidak pernah dia dapatkan dari Vanno. Sesuatu yang akan memasukinya dan membuat tubuhnya meledak seperti yang biasa dilakukan Anggoro. Sesuatu yang membuatnya mendesah, bergetar, dan memohon untuk segera dituntaskan. Dan ketika mereka sama-sama berbaring menatap langit-langit, Renata tersenyum puas. Dia mendekatkan tubuhnya pada Anggoro dan ... memeluknya. Anggoro tersenyum miring melihat Renata tertidur di sisinya. Dia balas memeluk tubuh ramping Renata dengan sebelah tangan. Mulai saat ini, Renata benar-benar sudah menjadi miliknya! o0o Kakinya terasa dingin ketika dia membuka mata. Di sebelahnya, hanya ada bantal kosong. Dia sendirian di kasur king size ini. Renata segera menyadari apa yang telah terjadi sebelum dia terlelap karena lelah. Namun perasaannya baik-baik saja. Tidak merasa bersalah dan anehnya dia bahagia. Ingin rasanya dia terus-menerus tersenyum. Tiba-tiba saja dia teringat jika belum memberi kabar pada Vanno. Buru-buru dicarinya ponsel dan mengusap layarnya. Pesan dari suaminya entah sudah berapa banyak dan sepertinya dia marah. Renata bangkit dari tidurnya dan mencari pakaiannya yang berserakan. Dia memakai kemeja dan roknya dengan sedikit terburu-buru lalu masuk ke dalam selimut dan menghubungi Vanno. Menunggu beberapa saat sampai wajah suaminya itu terlihat di layar ponsel. "Maaf. Aku lelah dan ketiduran," katanya segera tanpa menunggu kata-kata terucap dari bibir Vanno. Dia merasa bersalah karena membuat wajah tampan itu terlihat khawatir. "Syukurlah kalau kamu baik-baik saja," kata Vanno lembut. Suaminya itu memang sangat baik. Tidak pernah marah dan selalu memaafkannya. "Begitu tiba di Harbour Front, asisten Mr. Ong yang menjemput dan langsung mengajak berdiskusi. Sampai di kantornya kami semua langsung rapat sampai sore. Mereka mau membangun pabrik di Batam." Vanno mengangguk-angguk paham. "Sudah makan?" Renata menggeleng. "Makan malam belum. Sampai di hotel aku langsung ambruk." Ambruk dalam pelukan Anggoro, maksudnya. "Tadi siang sempat makan hanya sedikit. Makan di kantor. Kamu tahulah kalau makan di tengah-tengah meeting. Tidak bisa menikmati dan serba terburu-buru." Lagi-lagi Vanno mengangguk-angguk paham. "Kamu harus makan malam ini. Menginap di mana?" "Orchard hotel." "Pergilah membeli makanan di sekitar situ." Renata tersenyum getir. "Seharusnya kemarin aku membawa pop mie, ya. Malas rasanya untuk turun ke bawah." "Besok masih rapat, kan? Jangan sampai kamu sakit di sana," ujar Vanno menasihati. "Ya, ya. Aku akan turun nanti setelah mandi. Mungkin membeli roti dan s**u saja di 7-eleven. Aku benar-benar lelah, Vanno. Rasanya ingin tidur lagi saja." "Ren ... isi perutmu dulu. Kalau kamu sakit, aku terpaksa ke sana menyusulmu!" Dalam bayangan Renata, Vanno akan datang dan dia memergokinya selingkuh dengan Anggoro. Jangan, jangan sampai itu terjadi! "Baiklah, baiklah. Aku mau mandi dulu terus turun. Nanti aku kirim pesan kalau sudah makan, ya." Vanno tersenyum dan mengangguk. Hati Renata seperti disiram air dingin melihat senyum sejuk Revanno. Lelaki baik hati yang selalu menerimanya tanpa tapi. Apakah dia akan tetap menerimanya setelah mengetahui perbuatannya dengan Anggoro? Renata mengakhiri panggilan dan berjalan sedikit terseok menuju kamar mandi. Dia tidak melihat tanda-tanda keberadaan Anggoro. Mungkin lelaki itu langsung pergi setelah menuntaskan hasratnya. Ah, entah kenapa Renata merasa seperti p*****r saja. p*****r tanpa bayaran. Setelah selesai mandi, Renata keluar kamar mandi dengan tubuh dibalut sehelai handuk dan kepala yang juga dibungkus handuk. Dia berdiri di cermin memperhatikan pantulan wajahnya, memeriksa bibirnya yang kini baru terlihat jika sedikit memar. Duh, semoga saja Vanno tidak menyadari ketika tadi mereka video call. Ketika dia sedang mengeringkan rambutnya, pintu kamarnya mendadak terbuka. Renata menoleh dan melihat Anggoro melangkah masuk dengan tersenyum. Di tangannya ada beberapa tas butik terkenal. Dia habis berbelanja? Sepertinya, ya. Karena dia sudah berganti pakaian sekarang. Renata baru menyadari jika Anggoro tidak membawa apa-apa sejak tiba di Sngapura. "Halo, Sayang. Sudah mandi rupanya," sapa Anggoro sambil mengecup pipi Renata. Dia mengamati tubuh Renata yang segar dan berbalut handuk putih. "Hmm, rasanya ingin membawamu ke tempat tidur saja. Tapi kamu belum makan malam dan aku nggak mau kamu pingsan karena kelaparan." Dia meletakkan tas yang dia bawa di atas meja. Dengan lembut disentuhnya dagu Renata. "Malam kita masih panjang, Sayang. Dan aku nggak akan membiarkanmu tidur sebelum benar-benar lelah karenaku."©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN