Singapura (4)

1286 Kata
"Jangan main-main, Ang!" "Aku tidak main-main. Kita saling membutuhkan satu sama lain. Apa aku salah?" Anggoro menatap tajam pada Renata. "Ya, salah! Semua yang kita lakukan ini salah. Kita nggak seharusnya mengkhianati pasangan kita!" Renata menatap Anggoro lembut. Disentuhnya tangan lelaki itu. "Aku masih mencintai Vanno, Ang. A--aku ... nggak bisa ninggalin dia. Aku membutuhkanmu, tapi hanya sebatas itu. Maaf " Pandangan Anggoro melemah. Jika Renata masih mencintai suaminya, mengapa dia mengkhianatinya? "Hanya sebatas seks?" Renata mengangguk malu-malu. "Hanya sebatas seks. Kalau kamu keberatan, kita nggak perlu melanjutkan." Itu benar. Hubungan mereka hanya sebatas seks. Tidak perlu menggunakan perasaan, terutama cinta. Renata masih mencintai Vanno dan masih ingin bersamanya. Apa yang dia lakukan bersama Anggoro hanya sebatas kebutuhan napsu semata. Jika tidak dengan Anggoro dia bisa melakukannya dengan yang lain. Anggoro menunduk lesu. Entah apa yang ada di pikiran perempuan di hadapannya. Sebatas seks? Hhhh, dia gila! Apa dia tidak cukup hanya melakukannya dengan suaminya? Tiba-tiba Anggoro menyadari sesuatu, jangan-jangan Renata pernah membagi tubuhnya dengan lelaki lain. Dia teringat lelaki yang dia lihat ketika menjemput Renata di Harbour Front. Jangan-jangan lelaki itu pernah tidur bersama Renata. Ini membuatnya gila! Membayangkan kemesraan Renata bersama suaminya saja sudah membuat dia gila apa lagi membayangkan Renata bersama laki-laki lainnya. Anggoro mengangkat kepalanya. Dia menatap tajam pada Renata. Baiklah, untuk saat ini hubungan mereka hanya sebatas seks. Namun dia berjanji, akan membuat Renata belajar mencintainya. "Maafkan aku, suasana kafe sialan ini membuat otakku berpikir yang tidak-tidak. Kamu benar ... kita bukan lagi remaja kemarin sore yang bicara soal cinta dengan mudah. Kita sudah dewasa. Punya pasangan yang tidak bisa diputuskan dengan seenaknya. Aku setuju menjalani ini sebatas fisik. Tanpa perasaan." Dalam hati Anggoro menambahkan, Renata bisa bilang tanpa perasaan, tapi dia akan tetap mencintainya. "Deal. Sekarang, bisa kita makan? Perutku lapar sekali dan aku butuh tenaga untuk olahraga malam," kata Renata sambil mengedipkan mata. Anggoro tersenyum miring, Renata sudah berani menggodanya. Dia memandangi pelayan yang meletakkan makanan mereka di atas meja. Sesekali dia melirik Renata. Perempuan macam apa dirinya? Apa dia mengidap kelainan seks yang membuatnya tak puas dengan satu lelaki? Renata membuat Anggoro semakin tertarik dan ingin mengetahuinya lebih banyak. Selesai makan malam, mereka bergandengan tangan menuju hotel. Walau tanpa perasaan, Renata menyambut kemesraan yang ditawarkan Anggoro. Sebenarnya Anggoro ingin mengajaknya berbelanja, tapi hari sudah cukup malam dan toko-toko sebentar lagi tutup. Jadi lebih baik mereka pulang ke hotel dan menghabiskan malam dengan b******u. "Sebentar, kita mampir ke minimarket dulu," ajak Anggoro. Renata mengikutinya. "Apa yang mau kamu beli?" "Peralatan bertempur kita, Sayang. Atau kamu mau kuhamili?" tanyanya menggoda. Renata mendelik. "Belilah lebih banyak dikit." "Wow, kamu mau kubikin ngesot besok ke kantor Mr. Ong?" Renata mendelik lagi. "Jangan bercanda, Ang! Aku mau kamu pake dobel. Biar nggak bocor! Dua lapis!" tegasnya. Hah?! Anggoro menggelengkan kepalanya. Perempuan cerdas itu kadang-kadang bisa juga oleng, ya? Dua lapis? Yang benar saja, satu lapis saja sudah berkurang kenikmatannya, ini harus dua. Dia melirik gemas pada Renata yang sedang mengerucutkan bibir melihat tumpukan makanan ringan di hadapannya. "Beli yang banyak, abis bercinta pasti kamu lapar," bisik Anggoro sambil membelai p****t Renata. Membuat tubuhnya merinding dan lagi-lagi dia membelalakkan matanya pada Anggoro. ??? Subuh hampir menjelang, dua tubuh itu baru terlelap setelah menghabiskan malam yang panjang dan melelahkan. Mereka sama-sama puas dan tidur dengan tubuh saling menempel. Anggoro memeluk tubuh Renata dari belakang dan tertidur dengan sebelah tangannya menggenggam buah d**a Renata. Tepat pukul enam waktu Singapura, alarm ponsel Renata berbunyi. Dia mematikannya dengan malas. Namun waktu ponselnya berbunyi lagi, mau tak mau dia harus mengangkatnya karena itu panggilan masuk dari Revanno. Video call! Renata melirik Anggoro yang masih lelap di sampingnya. Vanno tidak boleh melihatnya. Buru-buru dia berlari dan mencari handuk lalu melilitkannya di tubuh. "Selamat pagi, Sayang. Kamu sudah bangun?" "Sudah di kamar mandi dan keluar lagi karena kutahu pasti kamu yang menelepon." "Wow! Mau, dong mandiin kamu," goda Vanno. Renata tergelak. Yang ada malah nanti kamu yang bolak-balik mandi, Van. "Sabar, ya. Sore ini aku pulang. Kalau bisa, sih maunya siang. Tapi kalau tiba di Batam masih jam kerja, aku harus langsung masuk kantor. Malas. Maunya langsung pulang saja." Renata duduk menyandar di kasur, di sebelah Anggoro yang ditutupi selimut. "Iya aku ngerti. Kamu jalan-jalan saja dulu di sana. Nanti kabari kalau mau pulang. Biar aku jemput." Renata mengangguk. Sebelum tenggelam dalam cumbuan Anggoro semalam, dia sempat mengirim pesan kepada Vanno. Jadi Vanno tidak curiga. Mereka masih mengobrol ketika seseorang dalam selimut mulai bergerak-gerak. Renata tersentak ketika tangan Anggoro meraba selangkangannya dan mulai bermain di sana. 'Sial kamu, Ang!' Setengah mati Renata berusaha menahan nikmat yang diberikan Anggoro. Apa lagi ketika lelaki itu merenggangkan kakinya dan menyusupkan kepalanya di sana, Renata sudah tidak tahan lagi dan mulai gelisah. Dia memaki Anggoro dalam hati karena sudah menggodanya. "Van ... sudah dulu, ya. Panggilan alam. Aku nggak tahan lagi." "Hah! Kenapa nggak bilang. Ya sudah sampai ketemu di Batam. Aku sudah kangen." Vanno mengakhiri panggilan dan Renata memastikan sambungan sudah terputus sebelum dia menjerit kecil karena sudah meraih puncak. "Sial kamu, Ang!" pekiknya sambil mendorong bahu Anggoro dari selangkangannya. Anggoro tersenyum nakal dan membasahi bibirnya, membuat Renata ingin membalas perlakuan Anggoro dan menerjang tubuh lelaki itu lalu mendudukinya. "Morning seks. Bagus untuk mengawali hari supaya lebih semangat." Anggoro terbahak, Renata mungkin bisa menganggap semua ini hanya sebatas seks. Namun melihat Renata yang sudah mulai nyaman dengan dirinya bahkan berlaku lebih agresif, bukan tidak mungkin cinta itu bisa tumbuh. Anggoro berjanji akan sabar menunggu saat itu tiba. Seperti dia yang sabar menunggu Renata kembali dari meetingnya. Setelah Renata meninggalkan hotel, Anggoro membawa semua barang Renata ke hotel lain. Hotel Renata hanya sampai siang ini, karena sehabis meeting dia seharusnya langsung ke pelabuhan dan pulang ke Batam. Namun Anggoro mengatakan mereka masih punya waktu sedikit untuk b******u. Walau hanya beberapa jam saja, mereka butuh tempat yang nyaman untuk bermesraan lagi. Setelah meletakkan semua barang asal-asalan di kamar, dia keluar hotel untuk check-out dari hotel yang sudah di pesan perusahaannya meski tak pernah dia tiduri. Dia butuh bill-nya sebagai bukti sekaligus tidak membuat istrinya curiga. Ah, istrinya. Perempuan cantik yang sudah mengangkatnya dari kubangan lumpur. Haruskah dia menceraikannya demi Renata? Kedengarannya rencana itu jahat sekali. Karena tanpa istrinya, tidak mungkin dia bisa seperti sekarang ini. Banyak uang dan berkuasa. Dengan uang gaji dari perusahaan mertuanya, Anggoro membeli saham perusahaan itu sedikit demi sedikit. Sekarang dia sudah menjadi pemegang saham mayoritas. Jika bercerai dari Viola, istrinya, dia mungkin bakal dicopot dari jabatan direktur utama, tapi dia masih punya uang dari dividen saham. Dengan itu dia akan membangun perusahaannya sendiri dan mulai dari nol. Pengetahuan dan pengalaman yang didapat dari mertuanya sudah lebih dari cukup. Anggoro merasa menjadi pengkhianat, tapi dia tidak ingin mundur untuk memiliki Renata. Setidaknya dia yakin, rahim Renata sehat dan bisa mengandung benihnya. Tidak seperti rahim istrinya yang sakit dan tidak bisa memelihara benih yang sudah dia tebar berkali-kali di sana. Sebagai anak tunggal, dia ingin punya anak yang banyak agar tidak kesepian. Panggilan masuk dari Viola datang ketika dia selesai membayar biaya hotel. "Ya, Sayang? Aku baru saja selesai check-out terus langsung ke Batam." "Ke Batam lagi? Nggak bisa pulang dulu ke Jakarta?" pinta istrinya. Anggoro mengernyit. Ada urusan apa? "Hhmm, aku mau langsung setting lokasi. Supaya bisa langsung pesan mesin produksi." "Kerja terus yang kamu pikirkan. Istrimu kamu biarkan kesepian di Jakarta!" Ah, istrinya merajuk rupanya. Kalau keinginannya tidak dituruti bisa bahaya. Bisa-bisa dia tidak diizinkan kembali ke Batam. "Baiklah. Aku cari tiket dulu, ya. Dan belanja sedikit untuk kamu. Mau dibelikan apa?" Mendengar itu, Viola melunak. Dia suka jika Anggoro sudah membelikannya barang-barang branded. Viola pun menyebutkan keinginannya yang disambut anggukan oleh Anggoro. Setelah panggilan dari Viola berakhir, Anggoro melirik arlojinya. Ah, kapan meeting Renata berakhir? Dia sudah rindu perempuan itu.©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN