Serpihan Memori Tentangmu

2063 Kata
Setelah seharian terjebak dalam rutinitas tiada hentinya, Daniel melangkah memasuki bar kecil di sudut kota, tempat pelarian saat laki-laki itu merasa penat karena kesibukan di tempat ia bekerja. Lampu-lampu redup di dalamnya menciptakan suasana hangat yang menyambut dengan lembut. Gemuruh suara percakapan, tawa, dan dentingan gelas terasa seperti pelukan lembut mampu membebaskan ketegangan. Pada salah satu sofa kulit, duduk sobatnya, siapa lagi kalau bukan Lucas Malvines? Lucas baru saja tiba siang tadi setelah satu minggu berada di Luar Negeri untuk mengunjungi kedua orang tuanya. Daniel tentu tau sebab Lucas memang memberitahu. "Bro," Daniel menyapa seraya menyodorkan kepalan tangan, tos. "Muka lo lecek banget, Niel." Menatap wajah Daniel yang kusut membuat Lucas menggeleng-gelengkan kepala. "Gimana nggak lecek, seharian gue berkutat sama komputer, dokumen, ikut Mommy ke banyak pertemuan, gila!" "Nih, minum" Dengan suka rela Lucas menuang minuman dari dalam botol ke dalam gelas kaca yang ada di atas meja. "Thanks" Tanpa berpikir dua kali, Daniel langsung meneguk minuman beralkohol tersebut dalam sekali tegukan. One shoot! Wajah Daniel mengernyit, sensasinya seolah menghidupkan seluruh saluran tenggorokan, rasa hangat dan sedikit terbakar segera mengikuti, merambat ke bawah dengan lembut. Begitu cairan beralkohol menyentuh bagian belakang tenggorokan, ada perasaan ringan yang membebaskan, seolah kelelahan perlahan-lahan larut dalam rasa hangat yang menyebar. "Gimana sama kegiatan lo selama pulang kampung? Daniel bertanya seraya meletakan gelas diatas meja. "I can't explain how I felt at the time, but it was peaceful. Sesuatu yang selama ini gue takutkan ternyata enggak pernah terjadi, Niel." "Itulah kenapa lo nggak seharusnya mendahului takdir tuhan. Nggak perlu lah takut sama apa yang belum terjadi" "Bener, selama disana Mama sama Papa baik-baik banget. Gue ngerasain sendiri kalo mereka banyak berubah" "Nggak selamanya orang tua itu menyebalkan. Dulu gue juga kayak gitu, kan. Gue takut, tapi sekarang lihat, keluarga gue berdamai, kita bisa hidup bareng-bareng" "Hmm, ya, gue udah sadar sekarang. Dan pengen memperbaiki satu dua hal" Tangan Daniel meraih botol lagi, menuang cairannya ke dalam gelasnya dan Lucas. "Cheers!" "Cheers!" Wajah-wajah kusam dan lelah tampak bersandar pada meja, mengangkat gelas dengan gerakan lambat namun penuh kepuasan. Bartender berpengalaman dengan senyum ramah dan gerakan cekatan, menyajikan minuman dengan persisi, seakan-akan minuman itu adalah karya seni yang patut dirayakan. Daniel kembali teringat akan sesuatu, yang sejak kemarin ia tahan sebab ingin bertanya secara langsung pada Lucas. "Minggu kemarin lo sempet dateng ke makam Aga nggak?" "Aga? Enggak, gue nggak pernah pergi ke sana" Sebenarnya, jantung Daniel sudah mulai berulah bahkan sebelum dia kembali bertanya. "Menurut lo, siapa yang datang berziarah ke makam Aga minggu kemarin selain lo atau gue?" Lucas bukan orang bodoh, dia tau kemana arah pembicaraan Daniel. Laki-laki berparas tampan itu menelan saliva, dia membasahi bibir, mendadak tak berani bersitatap dengan Daniel secara langsung. "Cas? Gak usah menghindari tatapan mata gue. Lo pasti tau sesuatu, 'kan?" Lucas dengan gerak refleks menggeleng, "Nggak.. gue gak tau apa-apa. Udah lama gue nggak pergi ke makam Bima. Jadi, mana mungkin gue tau sesuatu?" "Ck!" Daniel berdecak, dia membuang wajah, menatap ke arah lain, tak lama ia melanjutkan, "Jangan kira gue percaya, Cas. Kita udah bareng belasan tahun, gue tau kapan lo jujur dan bohong." Kali ini Daniel kembali melempar tatapan tajam ke arah Lucas, "Kalo bukan lo, atau gue yang dateng kesana.. maka gak ada orang lain lagi, kecuali...." Daniel sengaja menggantungkan kalimatnya, dia menatap Lucas intens sampai sang target mau membalas tatapan matanya. Lucas sekali lagi menelan saliva, dia merasa tersudut. Tatapan mata Daniel benar-benar mengerikan. Dia menyerah, Lucas mengambil nafas sejenak sebelum akhirnya dia buka suara. "Tiara." "Ah,.. ridiculous." Daniel tersenyum miring, dia menggeleng-gelengkan kepala seolah tak percaya akan nama yang baru saja disebutkan oleh sobatnya. "Gue bisa jelasin--" Tiba-tiba saja Daniel tertawa, suaranya keras, namun tak ada yang peduli, pengunjung sibuk dengan urusan mereka masing-masing. "Jelasin?? Waahh, s**t!" Sepersekian detik kemudian, wajahnya berubah tegang. "Niel--" "Ssssttthhh," Daniel menempelkan telunjuk ke depan bibirnya, "Awalnya gue kira lo cuma nebak soal Tiara barusan, tapi liat reaksi lo yang berlebihan, gue yakin lo pasti udah ketemu sama dia, 'kan?" Lucas masih diam, mata Daniel semakin lama semakin sayu efek alkohol. Percuma dia menjelaskan ke orang mabuk, begitu pikir Lucas. "Kapan... sejak kapan lo ketemu sama.... sama Tiara?" Menatap sobatnya yang masih bungkam, Daniel mendadak maju menerjang Lucas, tanpa basa basi dia meninju wajah sobatnya. Kali ini, satu dua pengunjung menoleh ke mereka. Untung saja Lucas segera menguasai keadaan, dia mengangkat jempolnya, tanda bahwa dia baik-baik saja, pihak lain tidak perlu ikut campur. "Belum lama ini gue emang ketemu sama Tiara," Daniel bisa mendengarnya, kesadaran laki-laki itu masih ada meski tidak penuh. "Explain!" Intonasi suara Daniel naik, dia tak peduli dimana mereka berada. Amarah, kesal, dan sedikit kecewa itu tak mampu ia bendung. Mungkin ini pertama kalinya Daniel merasa kecewa sekaligus merasa dibodohi oleh sahabatnya sendiri. Bagaimana bisa Lucas menyembunyikan pertemuannya dengan Tiara? Padahal selama ini Lucas tau bahwa dirinya tengah mencari-cari sosok Tiara. "Pertemuan gue sama Tiara terjadi secara kebetulan, hari dimana lo telepon dan minta gue nyusul ke bar, hari itu juga gue ketemu sama Tiara." "Dan selama itu lo diem aja, Cas?! Kenapa!" "Gue melakukan semua ini demi lo, Niel! Menurut lo gue harus gimana? Akhir-akhir ini lo lagi gencar deketin Tavisha, gue nggak mau merusak momen lo! Gue nunggu waktu yang tepat buat bilang ke lo kalau Tiara ada disini." Daniel mengusap rambutnya yang berantakan, ia lepas dua kancing atas kemejanya, lantas bersandar pada sofa. "Aaahhh, damn!" Bibirnya mendesis, "Setidaknya lo kasih tau gue, beri gue kesempatan buat ketemu sama Tiara. Bukan kayak gini" "I'll definitely do it! Tapi nggak sekarang, gimana sama Tavisha kalau lo akhirnya tau Tiara udah ketemu?" "Akan gue pikirkan itu nanti. Sekarang please, bantu gue ketemu sama Tiara" Wajah Daniel yang berantakan, ditambah cairan bening yang menggenang di pelupuk matanya membuat Lucas tak tega. Biar bagaimanapun Daniel adalah sahabat baiknya, dan tak sekalipun dia berniat merebut Tiara dari Daniel kecuali Daniel sendiri yang menyia-nyiakan Tiara. Barulah Lucas mungkin akan maju. "Besok lo bisa ikut gue" Daniel mengangguk dengan semangat, dia seperti mendapatkan semangatnya kembali. ○○○○ Summer X terlihat ramai oleh pengunjung, apalagi ada menu baru disana. Sop Konro yang rasanya nendang banget. Sebenarnya itu ide Mamanya, dan tidak butuh waktu lama bagi Tavisha untuk mempelajari cara memasak sop konro yang enak dan banyak diminati oleh orang-orang. Apalagi saat gerimis mengguyur kota seperti ini, banyak orang berdatangan untuk mencoba sop Konro buatan Tavisha. “Huaaah, nggak sia-sia aku belajar menu baru, Ma” kata Tavisha seraya tersenyum lebar ke arah sang Mama. Keringat yang bercucuran di usap menggunakan tisu oleh sang empu. Rasanya senang saat melihat wajah-wajah bahagia orang-orang yang tengah menyantap sop konro di kursi masing-masing. “Kamu kapan libur semester, Sha?” “Minggu keempat kayaknya, Ma. Minggu depan, kan, aku Ujian Akhir.” “Kalo gitu kamu belajar sana, biar Mama yang jaga disini” Tavisha berdecak, dia mengusap bahu Mama Shinta. “Tenang aja, Ma. Aku bisa belajar nanti setelah SummerX tutup. Sekarang lagi banyak pengunjung, Mama pasti kewalahan jaga sendirian” “Iya juga sih” Seorang pengunjung memanggil, “Aku kesana dulu ya, Ma” Tavisha segera berjalan ke arah pengunjung yang tadi memanggilnya. Seorang perempuan cantik yang mengenakan jumpsuit berwarna coksu. “Aku mau bungkus sop konro dua ya” kata perempuan itu memesan. Dia tersenyum cantik, khas perempuan dewasa. "Waaahhh, Mbak Tiara!" Tavisha berseru semangat, seperti ketemu sama artis saja. Wajahnya berseri-seri saat melihat kedatangan Tiara. "Ssssttth, jangan teriak-teriak dong, malu" kata Tiara seraya berbisik. Tavisha mengangguk, dia menurut. Tatapannya beralih pada seseorang yang berdiri disamping Tiara. Tubuhnya tinggi tegap, dengan wajah tampan kebarat-baratan. Jangan lupakan hidung mancung serta sepasang alis tebal itu. "Sama pacar, Mbak?" Tavisha bertanya malu-malu, namun matanya mengerling jahil. "Temen, udah ah, gue mau pesen nih" "Oh iya, lupa! Mau pesen apa nih?" "Yang paling rekomendasi apa?" "Ini ada sop konro, Mbak. Ada Sop kikil juga, cocok buat suasana malam yang dingin ini" "Yaudah, gue pesen dua ya, sama minumnya es jeruk aja" "Siaaappp!" Sementara Tavisha meluncur ke dapur, Tiara dan Sam berjalan mencari tempat duduk kosong. Tak banyak kursi yang tersisa disana. Untung saja mereka berdua masih kebagian. "Temen lo, Ti?" "Iya, ketemunya nggak sengaja sih" "Kayak udah akrab gitu" Tiara terkekeh, meskipun rambutnya sedikit berantakan, wajah perempuan itu tak ada ubahnya, masih tetap cantik di segala situasi dan kondisi, bahkan membuat Sam terpesona kadang kala. "Ya emang akrab, dia pernah nolongin gue juga pas kejebak hujan dan gak dapet ojol. Waktu itu Tavisha juga pernah dateng main ke rumah gue" "Cantik" "Tavisha?" Sam mengangguk, "Masih muda ya?" "Dua puluhan, kenapa? Lo tertarik sama dia? Mau gue mintain nomor teleponnya?" "Ya jangan anjir! Aelah, Tiara!" Tiara hanya tertawa saat menatap wajah kesal Sam. Tadi Sam datang ke butik, dia menemanj Tiara hingga selesai melakukan finishing untuk pesanan hanbok. Besok pagi-pagi Tiara harus mengirim hanbok Itu ke rumah sang pemesan. "Bercanda doang, panik amat. Lagian belum tentu dia mau sama lo" "Kurang ajar!" Sam tertawa, "Gini-gini yang antri buat jadi cewek gue banyak ya, Ti" "Oh ya? Nggak percaya tuh. Cowok workaholic kayak lo mana ada yang mau sih?" "Ngaca! Lo juga sama workaholic ya." Obrolan keduanya harus terjeda saat Tavisha datang membawa nampan, dia menyajikan menu untuk masing-masing. Tavisha menarik salah satu kursi, ikut bergabung disana. "Aku gabung disini boleh, kan? Bosen di dapur terus" "Boleh dong! Oh ya, Sha. Temen gue mau kenalan nih sama lo" "Eh?" Sam melotot ke arah Tiara yang hanya menahan tawanya. Mau tak mau laki-laki itu akhirnya menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan Tavisha. "Samuel, bisa lo panggil Sam aja" "Tavisha. Boleh panggil Mas Sam aja biar sopan?" "Boleh, senyaman lo aja" Sam menyeruput kuah Sop Konro miliknya, mata laki-laki itu berbinar, "GILAA!" "Kenapa, Mas?" tanya Tavisha panik, takut makanannya tidak enak. "Sam?" Tiara ikut panik melihat reaksi Samuel. "Makanan ini enak banget!! Chef mana yang masak nih makanan? Pengen banget gue kasih tip." Tavisha tertawa mendengar seruan pujian yang di lontarkan oleh Sam. "Chef nya ada di depan Mas Sam" kata Tavisha seraya menunjuk dirinya sendiri. "Serius??? Nggak lagi bohongin gue, 'kan?" Tavisha menggeleng seraya menahan tawa. "Tavisha nih emang jago masak, cafe ini punya keluarga dia" Tiara ikut menahan tawa, Sam sepertinya tak mengindahkan informasi dari Tiara, dia lebih sibuk menyeruput kuah dan menyendok nasi. "Sori ya, Sha. Emang kadang-kadang agak malu-maluin" "Hahaha, santai aja lagi, Mbak. Lucu kok reaksinya Mas Sam" Tavisha mempersilahkan Tiara untuk menyantap makanannya juga, "Sambil makan aja nggak apa-apa, Mbak. Kita ngobrol santai, ehehe" Baru saja kuah yang Tiara ambil hendak masuk ke mulut, getaran ponsel menghentikan kegiatannya. "Gue angkat telepon bentar ya," Perempuan itu beranjak menuju ke sisi yang lumayan sepi, "Ya, halo?" "...." "Ouh, besok ya? Bisa sih kayaknya, tapi agak sorean ya, Cas." "...." "Dimana ya? Cafe kemarin? Tapi kayaknya nggak deh, kejauhan dari butik" Tiara mengedarkan pandangan, lantas tersenyum. "....." "Eh, gue udah tau tempatnya, ntar gue shareloc aja ya, gue yakin lo bakal suka" "...." "Okay, see you, Cas" Sambungan telepon akhirnya berakhir, Tiara kembali ke mejanya dan langsung mendapatkan serentetan pertanyaan dari Sam. "Telepon dari siapa? Penting banget sampai harus menjauh? Dari Bunda ya?" "Em? Enggak, dari temen lama. Dia ngajakin ketemuan" "Oh," Untuk kemudian mereka melanjutkan makan malam sembari terus bercakap-cakap santai. "Oh, ternyata lo dari kampus itu? Gue ada beberapa temen alumni sana juga" "Waahh, keren!" "Bisa tuh, Sha, ngelobby lowongan ke Sam, mana tau pas lo lulus ntar langsung dapet kerja" Sam tertawa, lantas mengangguk. "Mama pengennya aku jadi PNS, Mbak" "Bagus dong," "Tapi aku kurang suka, aku juga punya mimpi sendiri" "Coba omongin baik-baik dulu sama Mama-nya. Tapi emang sih, orang tua kalau udah ada maunya pengen selalu di turutin" Sam mengangguk-angguk, bersimpati. Tavisha tersenyum, "Nggak masalah, jadi PNS nggak buruk juga kok" "Aura lo positif banget, Sha." Tiara ikut tersenyum. "Aku menghindari tatapan kasihan orang-orang, lagipula nggak ada yang perlu di kasihani, kalo emang mimpi itu rejekinya aku, ya pasti dapet. Kalo engga ya sudah" "Apapun keputusan lo nanti, gue harap lo bahagia sama hari-hari yang bakal lo jalani baik sekarang atau di masa depan" "Iya, makasih ya, Mbak." "Kok makasih? Emang gue kasih apa?" "Kata-kata baiknya" Entah bagian mana yang menyenangkan, sejak tadi Tavisha tak henti-hentinya tersenyum, "Kedengarannya spele, tapi kadang ada orang yang emang butuh denger kata-kata baik, hanya saja nggak semua orang paham dan peka" "Btw, Sha," Panggilan Sam membuat kepala Tavisha menoleh ke arah laki-laki itu. "Gue boleh tanya sesuatu sama lo?" "Tentu" "Udah punya pacar?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN