A Kind of Peace

2291 Kata
Beberapa jam yang lalu, di dapur Tavisha. Di sana, di balik bau harum dari rempah-rempah dan suara lembut dari kompor yang menyala, Tavisha dan Daniel menemukan cara tersendiri untuk berbagi kebahagiaan sederhana. Ternyata, untuk mendapatkan sebuah bahagia tak harus selalu tentang kemewahan, atau kegiatan fancy lainnya. "Awas tumpah, Mas!" Tavisha memperingati Daniel yang tengah mengeduk isi cooper, laki-laki itu selesai menghaluskan bumbu. Dia ingin membantu Tavisha dibanding hanya duduk diam. "Tenang aja, gini doang mah kecill!" Daniel dengan gaya arogannya menjentikkan jari, Tavisha hanya terkekeh melihat hal itu. "Nih, sisanya gue gak ikutan ya" kata Daniel meletakan semangkuk kecil bumbu halus, setelahnya ia mengangkat kedua tangan. "Lebih baik kayak gitu," Tavisha menjulurkan lidahnya, mengejek. Tatapan gadis itu mendadak terkunci saat menatap Daniel yang tiba-tiba menggulung lengan hoodie. Entah kenapa, hal sederhana itu membuatnya terpana. Apakah Daniel ini benar manusia? Memangnya ada manusia setampan ini?? Tavisha hanya bisa memekik dalam hati, wajahnya memerah. "Apron lo dimana, Sha?" Tavisha tersadar, "Eh? Apron, ada di laci, Mas." gadis itu menunjuk salah satu laci yang ada disana. Tanpa meminta izin, Daniel berjalan menuju ke laci, mengambil satu apron bersih dari sana. Laki-laki itu kembali ke depan Tavisha seraya mengatakan, "Baju lo bisa kotor kalo nggak pake ini" Tavisha dibuat terkejut oleh tindakan Daniel selanjutnya, tubuhnya di putar, "Gue izin pakein ini ya" MAMPUS AJA LAH TAVISHA!! Sumpah, demi apapun Tavisha bisa merasakan saat Apron itu menempel pada tubuhnya, wajah Daniel persis di sebelah wajahnya, bahkan nafas Daniel terdengar halus memasuki telinga Tavisha. "Nafas, Sha" Goda Daniel, tertawa. "Nafas kok," Jelas sekali dia salah tingkah, Tavisha buru-buru meraih spatula setelah Daniel selesai memakaikan apron. Di tatap seintens itu membuat Tavisha gugup, dia yakin sekali Daniel sedari tadi menatapnya, bukan menatap bumbu yang sedang ditumis di atas wajan. "Mau gue bantuin lagi nggak?" Sebenarnya itu bukan pertanyaan atau permintaan persetujuan, karena selanjutnya Daniel langsung mengambil posisi berdiri di belakang Tavisha. "Kayak gini, gue yakin rasanya lebih enak nanti" Sambil terus mengaduk bumbu, tangan mereka bersentuhan, Tavisha merasakan kehangatan yang menyebar dari sentuhan sederhana itu. "Dari dulu, gue gak pernah yang namanya masak, lebih sering makan fast food, atau nggak makan di luar. Tau nggak kenapa?" "Karna mas Daniel nggak bisa masak?" Laki-laki berparas bak anime hidup itu menggeleng santai, "Karna gue harus cari cara buat ngabisin duit di rekening, hahahaha" "Sombong amat!" Tavisha menyikut pelan perut Daniel. "Kayak gitu mah nggak seberapa buat gue. Mau tau biggest flex gue nggak?" "Apa tuh?" "Gue pernah isi bensin, terus gue bilang ke pegawai SPBU, kembaliannya ambil aja, Bang!" "Eh, serius? Terus abangnya gimana?" "Abangnya malah maki gue" "Kok bisa?" "Soalnya duit gue ternyata pas, gak ada kembalian" "Aiiiihhhhhh, Mas Daniel!" Tavisa melepaskan tangannya dari genggaman tangan Daniel, lantas memukul bahu laki-laki itu. "Kok malah di pukul??" Daniel hanya diam seraya tertawa, dia tidak menghindar. Lucu saja melihat ekspresi Tavisha saat kesal seperti ini. "Ngeselin!" Meski kesal, Tavisha tertawa karena lelucon garing Daniel barusan. Lelucon itu berhasil membuat wajah Tavisha terlihat berkali-kali lipat lebih cantik sebab tawanya memang semanis itu. Aroma menyengat tercium, membuat Tavisha dan Daniel kompak menatap bumbu yang warnanya berubah coklat, Tavisa panik. "Aduh, mati aku! Gosong bumbunyaaa!" Panik, Tavisha meraih kain lap, lantas memegang pinggiran wajan, mengaduk bumbu dengan sekuat tenaga. Apakah Daniel membantu? Tentu tidak, dia justru terpingkal menatap tingkah Tavisha yang menurutnya lucu. Saat itu, momen sederhana seperti memasak bersama sembari tertawa membuat mereka akhirnya memiliki kenangan yang akan terus dikenang sebagai salah satu kenangan terindah. ○○○○ Dalam hening yang hanya dipenuhi oleh desahqn napas dan suara detak jam yang lambat, Lucas duduk ditepi ranjang, merenungkan semua yang telah berlalu. Rumah ini, yang dulunya terasa seperti penjara yang membatasi, kini mulai terasa seperti tempat yang penuh kenangan baik manis maupun pahit. Sekali lagi, Lucas menatap layar laptop lamat-lamat. Sebuah website untuk booking pesawat terpampang disana, beserta rincian p********n. Hanya butuh satu 'Enter' maka satu tiket pesawat akan ada dalam genggamannya. Sebuah panggilan masuk, membuat atensi Lucas teralihkan. Kaisar. Video call. Tangan Lucas gemetar meraih benda pipih itu, dua membasahi bibir seraya menatap layarnya. Dengan setengah hati, Lucas akhirnya menggeser tombol hijau. Wajah orang tuanya lah yang pertama kali muncul, Lucas menahan napas. "Lucas! Lucas apa kabar, Nak?" Tangan Lucas semakin gemetar, kedua matanya panas menahan air mata. Lihatlah, wajah kedua orang tuanya yang sudah mulai menampakan kerutan. "Jagoan kecil, Papa! Kenapa kamu nggak datang? Kamu nggak rindu kami, heh?" "Pa.. Ma.." Rasanya suara Lucas tercekat di tenggorokan, "I miss you.." Mamanya tersenyum teduh, tatapan matanya sayu, tidak ada tatapan ambisius seperti dulu. Tidak ada tatapan memaksa seperti bertahun-tahun yang lalu. "Mama juga kangen sama kamu, Lucas" "Kamu baik-baik saja disana, 'kan? Kaisar bilang ke Papa kalau sekarang kamu udah lebih dewasa dari tahun-tahun yang lalu" "Mama sama Papa pengen banget ketemu kamu, Lucas. Tapi kami nggak bisa datang ke Indonesia, kesehatan Papa sama Mama nggak sebaik dulu," "Ma.. Pa.. kalian nggak perlu kesini" Ada jeda selama beberapa detik, Mama terlihat menghela napas, "Kamu masih marah sama Mama, Nak?" "Lucas, maafin Papa sama Mama yang dulu, ya. Papa berharap kamu bisa memafkan kita berdua, dan berdamai sama masa lalu" "Kalian nggak perlu kesini, aku yang akan datang ke kalian dan meminta maaf.." Bodoh! Lucas benar-benar tak bisa menahan tangisnya, laki-laki itu tersedu sedan setelah mengatakan bersedia untuk datang sebelum perayaan ulang tahun Mamanya. Bukan hanya Lucas yang menangis melainkan Mamanya juga ikut menangis terharu. "Kamu nggak lagi bohongin Mama, 'kan? Lucas bakal datengin Mama, 'kan?" "Iya, Ma. Aku bakal dateng, Mama sama Papa tunggu aku disana ya. Besok pagi-pagi aku berangkat" "Iya, kita tunggu kedatangan Lucas, ya. Kaisar juga pasti seneng denger kamu mau datang kesini, Nak. Keluarga kita bisa berkumpul setelah bertahun-tahun" "Ma," "Iya? Kenapa, Nak?" "Maafin aku.." "Nggak, Lucas. Mama yang harus minta maaf, kamu nggak perlu minta maaf.." Ketika Lucas masih remaja, pertentangan dengan orang tua seperti badai yang tak pernah berhenti. Kata-kata tajam dan kemarahan, seakan-akan meledak dari mulut mereka seperti petir yang tak terduga. Lucas merasa terjebak dalam gelombang emksi yang tjdam pernah dimengerti. Seperti sebuah kapal kecik yang berjuang melawan badai besar. "Mama sama Papa gimana kabarnya?" "Baik, Papa sama Mama sehat. Mungkin karena saat muda kita terlalu bekerja keras, jadi sekarang lebih mudah jatuh sakit" "Tapi Lucas nggak perlu khawatir, kita bisa mengatasi masalah kesehatan ini kok" Suara Mama dan Papa saling bersahutan membuat Lucas semakin merindu pada mereka. Padahal beberapa menit yang lalu, dia masih setengah hati, bingung antara ingin pergi dan tidak. Namun sekarang, rasanya dia butuh pintu doraemon agar bisa tiba di depan orang tuanya tanpa harus menempuh perjalanan belasan jam. "Mama sama Papa mau oleh-oleh apa dari Indonesia?" "Nggak perlu, Nak. Kemarin Berlin dan Kaisar udah bawa banyak oleh-oleh, kamu cukup datang saja, kami udah senang" "Tapi, sejujurnya ada yang kita inginkan untuk kamu bawa, Lucas" Papanya ikut bersuara, mereka berdua berbicara bergantian. "Apa itu, Pa? Katakanlah," "Pasangan" Papa memperbaiki posisi kamera, "Papa sama Mama akan senang kalau kamu membawa pasanganmu kesini, apalagi kita jarang bertemu, sulit untuk mencari waktu yang tepat" Lucas terdiam, dia kehilangan kata-kata. Melihat anak bungsunya yang tidak menjawab, Mama menatap penuh selidik. "Jangan-jangan kamu belum punya pacar, Nak?" "Impossible. Dengan wajah tampanmu itu, kamu bisa punya pacar lebih dari satu!" "Ish, Lucas nggak perlu cari pacar sebanyak itu, Papa!" "Hanya perumpamaan" "Lucas?" "Aku.. aku belum ada pacar, Ma" "Kan! Aduh, Nak! Kamu tampan, pintar, baik, kenapa sampai sekarang belum punya pacar?! Selera kamu setinggi apa, Nak?" Lucas menggeleng, ini bukan tentang selera. Tapi tentang hal lain yang bahkan Lucas sendiri tidak paham. Dibilang trauma, dia tidak separah itu. "Bukan karena selera, aku cuma nggak sempet cari pacar aja. Lagipula aku sibuk kerja" "Sepertinya kita harus mencarikan calon, disini banyak sekali gadis cantik dan baik hati--" sebelum suaminya menyentil perasaan Lucas, sang istri sigap menyikut perut suaminya seraya melotot. "Papa! Lucas pasti punya pilihannya sendiri" "Kita bahas kapan-kapan aja ya, Ma, Pa. Sekarang aku mau packing dulu, karena besok aku flight pagi" "Iya, Nak. Mama sama Papa tunggu Lucas datang ya" "See ya, Ma, Pa" "See you, sayang" Badai yang selama ini Lucas alami ternyata bisa mereda dalam waktu sekejap. Komunikasi. Lucas mulai bisa melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda. Dia menyadari bahwa di balik setiap kata tajam dan setiap keputusan yang terasa mengengkang di masa lalu, terdapat kekhawatiran dan cinta yang me dalam. Orang tua adalah manusia yang tidak sempurna, namun mereka adalah manusia yang berjuang dengan cara mereka sendiri untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Lucas menarik satu koper berukuran sedang, dia mulai memasukan beberapa potong pakaian dan keperluan lain. Tidak banyak yang harus ia bawa, hingga lima belas menit kemudian Lucas siap dengan kopernya, sekaligus semua transaksi pembelian tiket pesawatnya. Ponsel laki-laki itu kembali bergetar, kali ini nama Tiara yang muncul. Senyum tipis Lucas muncul. "Hei, Ti" "Hei, sori ya gue belum bales chat lo seharian ini. Gue hectic di butik. Gimana? Lo jadi berangkat nyusul abang Kai?" "Hm, jadi. Barusan selesai packing" "Beneran nggak mau gue temenin? Butik bisa di handle sama bunda" "Nggak usah lah, Ti. Tapi thank you ya," "No problem, Cas. Kayak sama siapa aja" Lucas berjalan dan berdiri memandang ke luar jendela, mengamati lampu taman yang berpendar kekuningan. "Jujur aja tadi gue sempet bingung antara berangkat atau enggak, Ti. Lalu Mama sama Papa telepon, kita ngobrol bentar, rasanya.. entahlah" "Lo udah minta maaf ke mereka?" "Udah, justru mereka yang lebih banyak bilang maaf ke gue. Selama ini gue pasti udah durhaka banget ke mereka ya, Ti" "Nggak selalu, Cas. Dulu, ego lo dan kedua orang tua lo sama besarnya. Nggak ada yang mau mengalah di antara kalian" "Seiring bertambahnya usia, gue jadi bisa melihat sisi lain dari setiap kejadian yang selama ini menimpa gue" "Kadang, emang butuh waktu lama untuk memahami sesuatu yang bahkan dekat dengan kehidupan kita, Cas. Sama kayak hubungan antara anak dan orang tua" "Selama mengambil keputusan, gue mempertimbangkan banget saran-saran dari lo, Ti" "Ah, seneng dengernya kalo saran gue bisa membantu lo" Kini, Lucas bertekad untuk berdamai dengan keadaan. Dengan segala kerumitan dan ketidakpastian yang menyertainya. Lucas menyadari bahwa kehidupan adalah sebuah perjalanan, penuh dengan belokan tak terduga dan perubahan yang sulit diprediksi. Mengontrol segala hak adalah ilusi, menerima dan beradaptasi adalah kunci. A kind of peace that wraps around you like a warm embrace after a long, cold journey. ○○○○ Bagaimana keadaan perusahaan Kupido setelah masalah keuangan yang terjadi beberapa pekan lalu? Semua teratasi dengan baik, bantuan konsultan keuangan, relasi Daddy Nat turut serta membantu memulihkan rasio keuangan perusahaan. Sebagai ucapan syukur atas masalah yang telah teratasi, Mommy Ana dan Daddy Nat mengadakan syukuran di pabrik, mereka melakukan doa bersama supaya tidak ada masalah-masalah serius lagi. Selesai dengan doa bersama, tiga pucuk tertinggi Kupido pamit undur diri, mereka melanjutkan perjalanan untuk berziarah ke makam Bima Aga, anak sulung sekaligus kakak Daniel. "Assalamualaikum, Aga.." Mommy Ana tersenyum dibawah langit yang cerah, awan-awan menggantung seakan menyelimuti bumi dengan pelukan lembutnya. "Mommy, Daddy, Daniel, datang, Nak." Daddy Nat berjongkok, sementara mereka berdua menyapa, Daniel di bantu Antonio (yang memang ikut sejak dari pabrik) mencabut rumput-rumput kecil yang tumbuh. "Gimana kabar Aga disana? Mommy kangen sama Aga.." Daniel termangu saat menatap air mata jatuh dari pelupuk sang Ibunda. "Seandainya Aga disini, keluarga kita pasti damai dan bahagia, sayang. Kita tinggal bareng serumah, berempat" Daddy Nat mengusap bahu sang istri yang bergetar karena tangis. "Maafin mommy jarang berkunjung kesini ya, Ga. Banyak hal yang harus mommy lakuin selama ini" Sementara Mommy Ana terisak seraya mengusap pusara Aga, Daddy Nat berkali-kali menelan saliva. "Meskipun kamu udah nggak ada disamping kita, Ga. Kenangan yang kamu tinggalkan abadi di ingatan Daddy, Mommy, dan Daniel" Daddy Nat ikut bersuara, meski pada akhirnya suara laki-laki itu ikut tercekat. "Kita semua udah ikhlas, Ga. Hanya saja, kadang kita kangen sama kamu, kamu juga pasti kangen sama Daddy, sama Mommy, 'kan?" Daddy Nat mengucek matanya, mencegah bulir bening terjatuh. "Daddy janji bakal jagain Mommy sama Daniel, Ga. Daddy nggak akan biarin mereka sakit, Daddy juga nggak mau hal yang sama terulang, Daddy gagal jagain Aga.." Setelah mengobrol dua sampai tiga kalimat, Mommy dan Daddy selesai, mereka berdua menutupnya dengan berdoa untuk Aga. "Kamu masih mau disini, Niel?" Tanya Mommy Ana saat melihat Daniel masih membisu di tempatnya. "Duluan aja, Mom. Nanti aku nyusul ke mobil" kata Daniel, dia menoleh ke arah Antonio, "Bisa tinggalin gue sendiri dulu, Gus?" "Nggak apa, Niel?" "Hm, lo bisa balik ke mobil duluan" Antonio juga mengirim doa untuk Aga sebelum akhirnya menyusul kedua bosnya. Kini, hanya Daniel yang tersisa disana. Sejak tadi, Daniel diam mendengar percakapan kedua orang tuanya. Tapi, ada hal lain yang menarik perhatian Daniel, sebuket bunga yang mulai mengering. "Siapa yang datang, Ga?" Pertanyaan itulah yang pertama kali muncul. Daniel mengusap buket tersebut, lantas menatap intens ke arah pusara Aga. "Siapa, Ga? Siapa dia? Siapa orang itu? Gue yakin bukan Lucas atau temen SMA lo..." Daniel menggigit bibir bawahnya, "Bukan Tiara kan, Ga?" Bibir Daniel bergetar menyebut nama itu, entah kenapa perasaannya yakin sekali jika bunga itu dari Tiara. Itu artinya, Tiara masih di sini, di kota ini. "Gue dateng lagi setelah sekian lama. Perusahaan abis kena masalah, tapi syukurlah semua udah pulih dan sekarang udah baik-baik aja.." Daniel tersenyum tipis, menyedot ingusnya. "Meskipun dulu gue benci banget sama lo, bahkan hampir gak pernah nyebut nama lo. Sekarang yang terjadi sebaliknya, Ga. Gue banyak bicara tentang lo ke orang-orang di sekliling gue, supaya nama lo tetap hidup dan itu salah satu cara buat gue terus mengenang lo" Sekuat tenaga Daniel menahan tangisnya, "Ga, gue lagi deket sama satu cewek. Tapi gue belum yakin 100%, perasaan gue masih utuh buat Tiara, Ga" Seandainya Aga bisa berbicara, mungkin dia akan memaki Daniel, lantas melarang Daniel untuk dekat-dekat dengan Tiara. Sama seperti yang almarhum lakukan saat mereka masih duduk di bangku SMA. "Gue bakal cari dia, Ga.."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN