In The Middle of Chaos.

2001 Kata
Harusnya, Daniel tidak ada disini. Terjebak di sebuah minimarket untuk tujuan mulia. Mommy Ana adalah alasan kenapa Daniel tertahan di minimarket sementara di luar hujan deras kembali mengguyur. Musim penghujan sepertinya mulai datang, akhir-akhir ini air dari langit sering mengguyur bumi, membawa aroma sejuk, namun kadang tidak sempat tercium teredam oleh kesibukan Ibukota. Kedua netra Daniel menatap deretan warna roti bersayap. Dia tidak paham mana yang harus diambil, Mommy Ana hanya meminta tolong ke Daniel untuk membelikan pembalut sebab stok di rumah telah habis. Tidak menyebutkan merk atau kriteria tertentu. “Ini gue harus ambil yang mana coba,” Tidak mau terjadi kesalahan, Daniel memutuskan untuk menelepon Mommy Ana, percakapan keduanya hanya berlangsung sekitar 10 detik, persis. Tangan Daniel cekatan memasukan tiga pack besar roti bersayap berwarna hitam, dan dua lagi berwarna pink. “Kalo aja bukan Mommy yang minta, ogah gue disuruh beli ginian.” Gerutu Daniel. Kesibukan Daniel sejak tadi tak luput dari tatapan sosok perempuan berambut panjang yang saat ini berdiri beberapa langkah dibelakangnya, langkah kaki perempuan itu tertahan sejak tadi. Matanya fokus menatap sosok laki-laki yang mengenakan jaket kulit hitam dan tampak sibuk dengan ponselnya. Adalah Tiara yang sejak tadi menahan langkah kakinya, jantung Tiara berdetak lebih cepat, tidak mungkin. Kedua tangan Tiara terkepal, jelas sekali laki-laki yang terpisah beberapa langkah darinya itu adalah Daniel Dirgantara. Tempo hari, Lucas mengirim foto terbaru Daniel atas permintaan Tiara sendiri, dia merindu. Meski begitu, tanpa foto terbaru atau apalah itu, Tiara yakin sekali laki-laki itu adalah Daniel. Dari caranya berbicara, dari suara dan gerak-geriknya, masih basah diingatan Tiara. Tidak mungkin dia melupakan detail tentang Daniel semudah itu. Saat Daniel beranjak, secara spontan Tiara ikut melangkah maju. Masih dengan kecamuk kenangan dipikirannya, Tiara bahkan tak sadar dia semakin mengikis jarak antara mereka. Saat akhirnya Daniel tersadar ada seseorang yang mengikutinya, laki-laki itu menoleh, tatapan mata mereka bertemu. Daniel melihat ekspresi terkejut yang tidak bisa diabaikan seolah-olah dia baru saja melihat hantu. “Sori, lo ngikutin gue ya?” Tiara menelan saliva susah payah. Satu, karena pertanyaan Daniel. Dua, karena Daniel tidak mengenali dirinya. Demi tuhan, Tiara memang ingin bertemu dengan Daniel, tapi tidak dengan cara seperti ini. “Kita pernah ketemu?” Lagi, Daniel melempar pertanyaan. Sebab, sebab semakin ditatap, dia seperti tidak asing dengan bentuk mata, hidung, dan bibir perempuan itu. Tiara memangkas jarak kembali seraya menenangkan diri, dia akhirnya menghentikan langkah tepat didepan Daniel, Tiara tidak bisa mundur, dia memutuskan untuk menghadapi kenyataan. Perempuan itu tersenyum tipis, mendongak, “Seberapa banyak perubahan di wajah gue sampai lo nggak ngenalin gue…Daniel?” Suara itu! “Nggak mungkin,...oh my…gosh!” Lagi, Tiara menarik sudut bibirnya ke atas, “Bisa minggir? Gue mau lewat,” Saat Tiara hendak melewatinya, Daniel segera menahan bahu perempuan itu, sekali lagi dia menatap wajah cantik yang sumpah, Daniel bahkan tidak bisa mendeskripsikan betapa cantik dan matangnya wajah perempuan ini. “Tiara?” ○○○○ Daniel melupakan roti bersayap milik Mommy Ana. Membiarkan benda itu tergeletak di lantai teras minimarket, sementara ia dan Tiara duduk berseberangan, sembari menunggu hujan berhenti. Hujan masih turun di sekitar mereka, aroma kopi panas yang ia beli dari dalam minimarket menguar, keduanya sama-sama terdiam.Tidak tau harus memulai percakapan dari mana. “Masih hujan, Ti” “Mata gue masih bisa ngeliat, btw.” Suasana yang tadinya damai tiba-tiba penuh ketegangan dan kebingungan. Daniel mencuri pandang ke arah Tiara, sang empu jelas sekali tau jika Daniel sejak tadi terus mencuri pandang ke arahnya. Perempuan itu ikut menoleh sehingga tatapan mereka kembali bertemu. “Kenapa liatin gue?” “Nggak, lo makin cantik” Tiara menghela napas, mengalihkan tatapan. “Gimana kabar lo?” Jujur saja, Tiara tau itu pertanyaan basa-basi. Tanpa bertanya pun ia jelas tau kabar Daniel yang sehat, segar-bugar, dan semakin tampan. Dirinya hanya tidak tau harus bertanya apa, semua kenangan berkelindang di dalam otaknya. “Bukannya mata lo masih bisa ngeliat?” Sumpah, entah bagian mana yang lucu, saat Tiara melemparkan tatapan tajam, Daniel justru nyengir seakan dia bisa merasakan ada kupu-kupu yang berterbangan di perut kala menatap wajah masam itu. Tiara tidak pernah berubah. Batin Daniel. “Lo paham basa-basi gak sih?” “Lah? Tadi gue juga basa-basi lo jawabnya ketus begitu, sekarang gue lempar balik lah.” “Dendaman banget jadi orang, cih!” “Gue nggak dendam, gue cuman….” “Apa?” Tatapan Daniel melunak, bibirnya bergetar hendak mengucap satu kata. Satu kata yang tersangkut di tenggorokan, satu kata yang sering diucapkan diam-diam, namun mendadak tidak lancar saat berhadapan langsung dengan Tiara. Satu kata, hanya satu kata.. “Kangen.” Suara Daniel mencicit, tidak terlalu jelas namun Tiara masih bisa mendengarnya. “Gue kangen, tapi nggak tau gimana cara menyampaikannya, Ti. Otak gue mendadak kosong, rasanya nggak bisa didefinisikan. Pertemuan ini, lo, hujan, kopi, semuanya… gue kangen, Ti.” Tiara merasa seolah-olah dia terjebak di antara dua dunia–dunia yang penuh harapan dan kebahagiaan yang telah lama hilang dan dunia baru yang dia coba bangun setelah perpisahan mereka. “Napas, Niel. Nggak usah belibet ngomongnya, gue nggak akan kemana-mana kok” Pertemuan tak terduga ini membawa kembali emosi dan kenangan yang belum sepenuhnya dia hadapi. Sekarang, di tengah hujan yang terus turun dia harus menghadapi masa lalu yang tiba-tiba muncul kembali dalam hidupnya. “Napas nggak sepenting itu dibanding harus kehilangan momen bareng lo, Ti” Tiara tertawa, “Lo bilang napas nggak sepenting itu tapi tanpa napas lo bisa mati. Kalo lo mati, lo nggak bakal bisa ketemu gue lagi” “Amit-amit!” “Panik banget,” “Gimana nggak panik, susah buat cari keberadaan lo.” Tiara hanya mengangkat bahu singkat, “Enggak susah kok, lo nya aja yang nggak pernah niat cari gue, ‘kan? Akan lebih mudah buat cari pasangan baru dibanding cari keberadaan gue. Yakan, Niel?” Telak! Daniel tidak bisa mengelak, selama beberapa hari terakhir dia berniat mendekati Tavisha. Meski di hatinya belum ada rasa jatuh cinta, tidak ada salahnya mencoba, begitu pikir Daniel. “Kok ngomongnya gitu?” “Iya atau enggak?” “Ini serius lo ngajak berantem di hari pertama kita ketemu setelah sekian lama?” “Ngelak aja terus, Niel.” Hujan mulai reda, Tiara sejak tadi tertahan sebab ingin mengobrol lebih lama dengan Daniel. Dia membawa mobil, kalau bukan karena Daniel, sudah sejak tadi Tiara mlipir ke rumah. “Ti,” “Kita ngobrol lagi lain kali, gue balik dulu.” Perempuan itu bangkit dari kursinya, “Thanks buat kopinya, next time gue yang traktir” “Ti, gue belum selesai ngomong– Ti, nomor hape lo?” “Minta aja ke Lucas, dia ada kok.” Setelah itu, Tiara berlari menuju mobilnya tanpa sempat Daniel cegah lagi. Di dalam mobil, Tiara menghela napas, dia segera mengemudikan kendaraan roda empat itu pergi menjauh dari pelataran minimarket. Perasaan Tiara campur aduk, dia masih belum bisa menguasai emosi saat bertemu dengan Daniel setelah sekin lama. Namun, disisi lain, Tiara tak ingin berbohong, dia bahagia, amat sangat bahagia karena bisa melihat wajah Daniel, lagi. ○○○○ Jangan lupakan bahwa hari ini, lebih tepatnya sore ini Lucas telah membuat janji dengan Tiara, sesuai permintaan Daniel kemarin yang ingin bertemu dengan Tiara. Daniel tidak memberitahu Lucas perihal pertemuannya secara tidak sengaja di minimarket siang tadi, pun Tiara tak menceritakan perihal Daniel kepada Lucas lewat telepon. Karena kebetulan sore nanti mereka ada janji untuk bertemu, Tiara ingin menceritakan secara langsung saja. Tempat yang dipilih oleh Tiara adalah SummerX. Tempat itu nyaman, tidak terlalu sesak oleh pengunjung, dia bisa memesan kursi khusus di sudut ruangan dekat dengan jendela pada Tavisha karena kebetulan dia mengenal anak dari pemilik cafe tersebut. Disanalah mobil Tiara terhenti. Sepertinya Lucas belum tiba, Tiara segera masuk ke dalam. Sore ini perempuan itu tampak lebih santai dengan balutan dress berwarna biru muda, rambutnya di urai seperti biasa. “Mbak!” Tavisha melambai, dia selesai mengantar pesanan ke salah satu meja. “Hei!” Tiara balas menyapa dengan senyum manis mengembang di bibir tipisnya. “Meja yang gue reservasi udah siap?” “Tentu dong, tuh” Tavisha menunjuk ke arah meja yang dipesan oleh Tiara. “Mau pesen langsung atau nanti aja, Mbak?” “Nanti aja deh, gue lagi nunggu temen” “Mas Sam, ya?” “Sam mulu, enggak lah. Ini temen SMA gue, nanti gue kenalin deh ke elo” Tavisha terkekeh, “Nggak ah, malu.” “Yaudah, gue kesana dulu ya” “Okay! Panggil aja kalo butuh sesuatu, Mbak.” “Iyaaa,” Lampu-lampu gantung mulai dinyalakan, sebab senja telah datang tepat waktu, cahaya lembut menciptakan suasana akrab dan santai, sementara aroma masakan yang baru saja dipindahkan dari panci ke mangkuk-mangkuk mengisi udara. Tiara yakin ini adalah tempat yang cocok baginya untuk mengobrol santai bersama Lucas. Dari tempat duduknya, Tiara bisa melihat saat pintu SummerX tiba-tiba terbuka, Tiara mendapati sosok Lucas melangkah masuk, dia tidak sendiri, Lucas bersama seseorang yang beberapa jam yang lalu ditemui di minimarket. “Mas!” Tiara baru hendak berseru memanggil Lucas, namun suara lain menyerobotnya. Suara yang amat sangat dikenali oleh Tiara, itu suara Tavisha. Gadis berkuncir kuda itu berjalan menghampiri Daniel dan Lucas dengan wajah riang. “Udah lama Mas Daniel sama Mas Lucas nggak datang kesini, ayo aku carikan tempat duduk–” Sebelum Tavisha menyeret lengan Daniel, Lucas segera mencegah, membuat gerakan Tavisha terhenti. “Sha, gue sama Daniel ada janji,” “Janji?” Tavisha mengedarkan pandangan, menebak dengan siapa dua tamu spesialnya ini memiliki janji temu. Sudah dua kali dalam sehari jantung Tiara berdetak dengan tempo secepat ini. Melihat interaksi di depan matanya membuat waktu seolah terhenti sejenak. “Cas..” Dengan bibir bergetar, Tiara memanggil nama Lucas. Ada perasaan takut saat menatap Tavisha yang dengan intens menggandeng lengan Daniel. Dia berusaha mengusir semua kemungkinan terburuk, tidak, Tiara tidak bisa menyimpulkan sedini ini. “Mbak Tiara?” Beo Tavisha, jelas sekali raut wajahnya terkejut. “Mas Lucas kenal sama Mbak Tiara?” “Lah? Lo juga kenal sama Tiara, Sha?” Tavisha mengangguk polos. Daniel dengan ekspresi campur aduk antara kebingungan dan ketakutan, mulai ikut melangkah pelan menuju meja yang terletak di sudut ruangan, dekat dengan kaca, menghadap langsung ke jalan raya. Setiap langkahnya terasa lebih berat dari biasanya, dan Tiara bisa merasakan ketegangan di udara, seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka. “Mbak, jadi temen SMA yang Mbak maksud itu… Mas Lucas? Eh, sama Mas Daniel juga dong?” Hati Tiara rasanya seperti diremas, perempuan itu berusaha mengontrol perasaan dan raut wajah. Dia mengangguk setenang mungkin. “Iya, Sha. Gue satu SMA sama mereka, reuni kecil-kecilan” “Wah! Bagus dong, aku siapin makanan buat kalian ya, tunggu sebentar!” Tavisha segera kabur dari sana, dia tau mereka bertiga butuh ruang untuk mengobrol, dia cukup tau diri. Tavisha memilih menyiapkan makanan saja. “Jadi, benar kan tebakan gue tadi siang?” tanya Tiara, menatap Daniel intens. “Tadi siang? Maksud lo, lo berdua udah ketemu?!” tanya Lucas dengan wajah syok, matanya melotot seperti hendak keluar saja dari tempatnya. “Nggak sengaja ketemu,” Tiara yang menjawab sebab sejak tadi Daniel masih diam membisu. “Gue pikir kita bakal ketemu berdua aja, taunya dia ngikut.” Tiara sengaja berbicara dengan intonasi menyindir seperti itu, dia jengkel. “Berdua? Justru Daniel yang kemarin minta ketemu sama lo, Ti.” “Oh ya?” “Ti, gue–” “Sssstthh, calm, Daniel. Gue nggak marah atau apalah itu liat lo deket sama cewek lain. That’s normal untuk seorang Daniel Dirgantara.” Tiara menepuk bahu Daniel, kelihatannya saja santai, padahal hatinya seperti diiris sembilu, perih. “Dengan begini, gue jadi bisa ngejar orang yang gue taksir sejak lama..” tatapan Tiara pindah ke Lucas, perempuan itu tersenyum lembut, manis sekali. “Gue?” Lucas menunjuk dirinya sendiri. Tiara hanya membalasnya dengan senyuman. Sementara dalam hati, Daniel ingin mengumpat, marah, memaki siapa saja. Hatinya panas, terbakar oleh api cemburu yang tiba-tiba datang. Tidak, sampai kapanpun Tiara adalah miliknya, titik. Tidak Lucas, tidak juga orang lain. Tidak ada yang boleh memiliki Tiara selain dirinya, final.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN