Can We Fix It?

2852 Kata
Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, Tiara tiba di butik lebih awal dibanding Bunda Intan. Tiara sudah melarang Bunda Intan ikut menjaga butik, beliau bisa bersantai dirumah menikmati masa pensiun. Namun, apalah daya, jika seseorang terbiasa bekerja, maka akan sangat aneh jika dirinya tidak memiliki kesibukan apapun. Jadi, meski telah dilarang, Bunda Intan akan tetap datang, tidak setiap hari, mungkin seminggu bisa tiga atau empat kali. Bunda tiba di butik dua jam setelah Tiara tiba disana. “Tadi bunda mampir beli donat, lagi viral di sosial media, Ti” “Donat dekat pertigaan ya, Nda?” “Iyaa, owner nya artis, penyanyi dangdut” “Iya, tau kalau itu mah” “Tapi bunda nggak sempet beliin kamu kopi, beuh, macet banget jalanan pagi ini” “Hahaha, it’s okay. Kan bisa order, Nda” Ditengah percakapan singkat pagi itu, suara pintu butik terbuka, secara otomatis Tiara langsung melengkungkan sebuah senyuman hangat, bahkan hangatnya matahari kalah oleh senyuman Tiara. “Pagi, Kak. Ada yang bisa Tiara bantu?” Bunda Intan berjalan kebelakang sementara Tiara mulai melayani pengunjung. “Oh, haiii, Kak. Aku lagi cari gaun yang simpel aja, buat acara nanti malam.” “Kalau boleh tau acaranya apa? Supaya Tiara bisa kasih beberapa referensi untuk Kakak.” “Makan malam aja sih kak, sama calon mertua” Gadis yang Tiara prediksi berusia kisaran dua-empat itu nampak malu-malu. Tiara kembali tersenyum, “Wah, kakak beruntung datang hari ini, Tiara punya koleksi, satu-satunya, dan baru selesai Tiara kerjakan kemarin lusa.” Keduanya berjalan menuju salah satu spot gaun-gaun terbaru koleksi Proserpine. Tiara mengambil salah satu yang ada di gantungan, “Ini salah satu gaun dengan drapping yang indah, memberikan siluet klasik yang menakjubkan. Dibuat dengan nuansa musim gugur yang chic bisa menambah sentuhan keanggunan. Tiara rasa, kakak cocok pakai yang ini, mau dicoba?” “Mau, mau!” Begitulah kesibukan pagi Tiara dengan para pelanggannya. Sekitar tiga puluh menit kemudian, pelanggan tadi membawa dua gaun pilihannya. Tiara tersenyum lebar seraya menyerahkan kembali debit card milik pelanggan pertamanya setelah selesai melakukan transaksi. “Terima kasih, Tiara tunggu kedatangannya kembali ya, Kak..” Pelanggan pergi, Tiara menghempaskan tubuh di kursi, Bunda Intan tengah sibuk mencatat stok barang yang masih tersisa, mendaftar mana saja yang displaynya akan diganti hari ini. Baru saja hendak mengecek ponsel, suara telepon berdering nyaring, Tiara segera mengangkat gagang pesawat telepon tersebut. “Proserpine, selamat pagi..” “Pagi.. Kak, aku Micelle, pelanggan kakak yang kemarin lusa dateng.” “Iya, Kak Micelle, ada yang bisa Tiara bantu?” “Kak, sori aku mendadak ngabarin, kalau aku pengen revisi pesanan aku yang kemarin. Konsep acaranya berubah” “Baik,” “Ah, syukurlah.. detail revisinya aku kirim ke email kakak ya?” “Baik, segera Tiara cek dan memastikan semua sesuai keinginan kak Micelle” “Terima kasih ya, Kak” “Sama-sama” Brak! Suara gagang pesawat telepon itu sedikit nyaring, Tiara memang membantingnya. Tiara memejamkan mata, pesanan tersebut sudah selesai ia matangkan, tinggal mengeksekusi semua bahannya. Tiara mencoba menahan agar mood nya tidak memburuk sepagi ini. “Kenapa, Ti? Masih pagi lho ini,” Bunda Intan datang seraya meletakan kembali kertas-kertas yang tadi ia bawa ke tempatnya semula. “Ada pelanggan yang minta revisi karna konsepnya berubah, Nda. Padahal semuanya udah siap, tinggal aku kerjakan hari ini” “Seberapa banyak?” “Belum tau, emailnya belum dikirim ke aku” “Ngopi dulu gih, Ti. Hari ini masih panjang loh, nggak bagus kalau kamu udah badmood sepagi ini” “Ntaran aja lah, Nda.” Tepat saat mulut Tiara terkatup, seorang pelanggan datang. Bunda Intan mencegah saat Tiara hendak menyapa pelanggan, “Biar bunda aja,” Tiara menurut, dia membuka laptop, mengecek beberapa email juga pesanan-pesanan barang yang belum dikirimkan. “Hari ini gue harus nganter pesanan ke tiga tempat” Perempuan itu menyugar rambut panjangnya, Tiara menghela nafas sekali lagi sebelum akhirnya beranjak. Jika dia sedang sibuk, maka pesanan akan dikirimkan via kurir langganan Tiara, namun jika perempuan itu merasa bisa mengantarnya sendiri, maka akan ia lakukan sendiri, seperti hari ini. Semua pesanan yang telah siap dikirim ia masukan ke dalam mobil, benar apa kata bunda Intan, tidak baik jika mood Tiara rusak sepagi ini. Untuk itu ia memilih pergi mengantar pesanan saja, sembari mampir ke coffee shop. Tiara selesai menata pesanan di mobil bersamaan dengan Bunda Intan menyelesaikan transaksi dengan pelanggan yang keluar membawa tiga paper bag. “Hari ini aku harus nganter pesanan, Nda. Nggak apa-apa kan aku tinggal? Paling sorean aku udah balik” “Nggak papa-papa dong, biar bunda yang jaga disini” Sembari meraih sweater dan tas, Tiara berpamitan, “Kalau ada apa-apa langsung telepon ya, Nda” “Iya, sayaang. Kamu hati-hati ya” “Siap, see you, Nda” ○○○○○ “Terima kasih” Tiara menerima pesanannya, Matcha Frappe. Sudah lama ia tidak minum minuman berwarna hijau dengan whip cream diatasnya. Saat hendak keluar dari coffee shop, Tiara berpapasan dengan Tavisha. Perempuan itu tersenyum, tangannya sudah terangkat hendak menyapa, namun ada yang menahan Tiara untuk melakukan hal itu. Sikap Tavisha yang langsung melewatinya begitu saja, kepala Tiara menoleh, menatap punggung Tavisha dan seorang temannya berjalan menuju kasir. “Lah, tumben tuh anak” gumam Tiara, lalu dia teringat percakapannya dengan Daniel dan Lucas kemarin. Mereka bertiga sibuk bercerita banyak hal, seolah Tavisha tak ada disana. Tiara merasa tidak ada yang salah dengan topik kemarin, pembahasannya hanya seputar kegilaan dia dalam mengagumi Lucas, serta betapa bucinnya Daniel pada Tiara dulu. Dan tentu saja, betapa galaknya Tiara pada Daniel. Hanya itu. Tapi bagi Tavisha tidak pernah hanya itu. Dia sekarang tau tentang hubungan masa lalu Daniel dan Tiara. Tiara sengaja menunggu Tavisha di luar, “Tavisha!” panggil Tiara saat melihat siluet Tavisha keluar dari coffee shop. Langkah kaki Tavisha berhenti, dia menoleh ke arah Tiara, wajahnya masam, seperti malas bertatapan langsung dengan Tiara. “Kenapa, Mbak?” “Eh? Lo kenapa? Kok nggak kayak biasanya” “Bukan urusan mbak Tiara, aku duluan ya, Mbak” “Sha!” Tiara menahan pergelangan tangan Tavisha, “Lo marah sama gue karena kejadian kemarin ya? Soal gue sama Daniel?” Kali ini Tavisha hanya diam, dia enggan menjawab. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Tiara bisa menebak pertanyaannya mengenai sasaran. “Gue sama Daniel udah nggak ada hubungan apa-apa, Sha. Bukannya sekarang dia deket sama lo? Jadi, lo nggak perlu bersikap kayak gini ke gue” “Mbak, aku duluan ya, setelah ini mau ada kelas.” Tavisha menarik lengan sahabatnya, dia segera pergi dari sana meninggalkan Tiara yang mematung ditempat. Sumpah, dari dulu Tiara sangat malas terjebak di situasi percintaan semacam ini. Usianya sudah tidak muda lagi, tidak cocok juga dengan drama seperti ini. “Ck. Terserah lah, kerjaan gue banyak.” Melupakan Tavisha yang tengah marah padanya, Tiara kembali masuk ke dalam mobil, dia melanjutkan pekerjaannya, masih ada dua pesanan yang belum diantar. Satu hal yang pasti, Tiara malas berurusan dengan drama percintaan, untuk itu dia yang akan mundur. Biarlah Daniel bersama Tavisha, toh selama ini dia bisa hidup baik-baik saja tanpa sosok Daniel. Baru saja Tiara menyalakan mesin mobil, sebuah panggilan masuk dari orang yang ingin Tiara hindari. Namun, apalah daya, jarinya dengan cepat menggeser tombol hijau, meresponnya. “Cewek lo marah sama gue, bisa stop gangguin gue nggak?” “Waduh, calm, Ti. Gue bahkan belum ngomong apa-apa.” “Cepetan, gue nggak ada waktu buat ladenin lo, kerjaan gue banyak, Niel.” Lain di mulut, lain juga di hati. Di mulut Tiara boleh sejutek itu, namun di hatinya, Tiara menyimpan sedikit rasa senang saat melihat notifikasi dari Daniel. “Oh iya, Tavisha belum jadi cewek gue, btw.” “Belum berarti akan, tinggal tunggu waktu yang tepat aja, ‘kan?” “Cemburu?” “Huek! Nggak ada di kamus gue kata cemburu itu” “Hahaha, apa kata lo aja deh, Ti.” “Jadi? Lo telepon gue kayak gini ada perlu apa?” Daniel, diseberang sana bersandar santai di kursi empuk ruangan kerjanya, “Harus ada alasan dulu baru boleh telepon lo ya?” “Niel–” “Gue kangen.” Ada jeda selama beberapa saat, mata Tiara menatap ke arah matcha frappe yang ada di sampingnya. Hanya dua kata, namun dengan dua kata itu Daniel berhasil mengacak-acak keyakinan hati sang dara. “Lucas udah kasih alamat butik sama alamat rumah lo–” “Jangan datang!” Sergah Tiara cepat, dia belum siap jika Bunda Intan harus bertemu dengan Daniel sekarang. Dulu, Daniel adalah favorite Bunda Intan. Setelah semua rahasia masa lalu itu terbongkar, sikap Bunda Intan berubah total, dia seperti membenci sosok Daniel. “Santai, Ti, santai. Gue nggak akan tiba-tiba datang kesana kok,” “Gue hari ini ada di luar, share loc, lo mau ketemu dimana?” Terdengar tawa Daniel diseberang membuat kening Tiara mengkerut, apanya yang lucu? “Eh, emang gue udah bilang ngajak ketemuan ya? Gue cuma bilang kangen sih, Ti.” Tut! Tiara langsung mematikan sambungan telepon. Pertama, karena dia malu. Malu banget sialan! Dua, karena dia kesal. Daniel benar-benar tidak pernah berubah, suka sekali membuatnya kesal. Sebuah notifikasi pesan masuk, dari Daniel yang mengirimkan lokasi dimana mereka akan bertemu. “Sialan! Mau ditaruh dimana muka gue, Tiara b**o!” Tiara memaki dirinya sendiri. Perempuan itu segera melajukan mobil, menyelesaikan pekerjaan sebelum bertemu dengan Daniel. Sepanjang perjalanan dari satu rumah ke rumah lain, Tiara tampak berpikir, bagaimana dia akan menghadapi seorang Daniel Dirgantara? Bagaimana dia bisa mengendalikan diri agar tidak meledak saking kesalnya, atau mengendalikan perasaan yang setiap kali berulah ketika melihat sosoknya? Tiara memukul kemudi saat mobilnya harus berhenti di lampu merah. Perempuan yang hari itu memakai dress selutut juga sweater putih itu tampak gelisah. “Apa gue batalin aja ya?” gumam Tiara, menimbang sejenak keputusannya. “Nggak, nggak, plin-plan banget kalau gue batalin sekarang” Mobil Tiara sudah separuh jalan, Daniel tidak mengirimkan lokasi cafe atau restoran SummerX, juga bukan mall atau tempat-tempat fancy. Daniel mengirimkan lokasi sebuah taman yang tidak terlalu terkenal. Tiara tau taman itu, jarang ada yang mampir kesana hanya untuk bercakap-cakap. Lima belas menit kemudian, mobil Tiara menepi. Dia segera mencari lahan untuk parkir. Sebelum keluar, dia memutuskan untuk menelepon Daniel terlebih dahulu, memastikan posisi laki-laki yang pernah bertahta di hatinya, mungkin sampai hari ini juga masih. “Dimana?” “Udah sampai, Ti?” “Kalo gue udah bisa telepon lo, itu tandanya udah sampai.” “Galak banget, gue masih di dalem mobil nih,” “Mobil lo yang warna silver bukan? Kayaknya gue liat” “Iya,” “Gue turun deh.” Tiara kembali memutus sambungan telepon, netranya menangkap satu-satunya mobil berwarna silver yang terparkir beberapa meter dari tempatnya berada. Tak harus Tiara mendatangi mobil Daniel, laki-laki ternyata sudah berjalan lebih dulu menghampiri Tiara. Kemeja satin hitam, lengan digulung, dua kancing atas terbuka, jam tangan, rambut sedikit berantakan. DEMI TUHAN! DANIEL CAKEP BANGEEETT!!! Alih-alih memuji, Tiara menatap aneh ke arah Daniel, “Abis bergerilya dimana lo? Berantakan amat?” “Mau berantakan kayak gimana pun, muka gue tetep ganteng kan, Ti?” “Dih, pede gila!” Satu lagi yang tidak berubah dari Daniel, sifat narsisnya! Untung saja Daniel itu beneran ganteng, bukan yang sok ganteng. Seperti kebiasaannya dulu, Tiara melipat kedua tangan diatas d**a, membuat Daniel tersenyum. Ah, lihatlah, dia benar-benar ingin memeluk Tiara jika diberi izin oleh sang empu. Kata rindu saja tidak mampu menggambarkan betapa Daniel ingin menghabiskan waktu bersama Tiara selama yang ia bisa. Menyadari tatapan Daniel sejak tadi terfokus padanya, Tiara berdehem, “Mau berdiri sambil liatin muka gue sampai lebaran gajah, Niel?” “Ck, dikurangi bisa gak sih galaknya?” dalam hati, Daniel agak sedikit menggerutu sebab kesibukannya menikmati wajah cantik Tiara harus buyar. “Gak bisa kalau sama lo.” Cukup, berbicara dengan Daniel sepertinya bisa menguras kesabaran Tiara. Dia menatap sekitar yang sepi, hanya ada beberapa petugas yang menyapu disana. “Kita ngapain kesini?” “Lo lupa sama tempat ini?” Daniel memutar arah, menatap hamparan taman dengan pohon yang menghijau sepanjang mata memandang. “Biar gue bantu supaya lo inget, dulu lo pernah pinjem duit gue buat beli nasi bungkus—” “Ah! Gue inget! Waaahh, ternyata udah lama banget…” Tiara menatap takjub, tentu saja dia mengingat kejadian itu. “Eh, lo ngajakin gue kesini bukan sekedar nagih duit lo itu, ‘kan?” Daniel menggelengkan kepala seraya nyengir, aduh, berada disamping Tiara membuat senyumnya jadi murah. “Nostalgia aja.” “Ah, harusnya lo bilang kalau mau ajak gue kesini, tau gitu gue bisa bawa sesuatu” Kedua netra Tiara menatap dua remaja melintas didepan sana sembari membawa gitar kecil yang tampak lusuh. “Tenang aja, gue udah bawa kok. Mau bantu bawain?” Dengan senang hati Tiara mengangguk, seolah melupakan rasa kesalnya pada Daniel, dia mengekor di belakang Daniel menuju mobil laki-laki itu. Di dalam bagasi ada dua kardus berisi teh botol dan nasi bungkus. “Wah, lo nyiapin semua ini?” “Exactly! Tapi ini berat, Ti” “Tenang aja, gue nggak selemah itu kok” Daniel jelas tau itu, Tiara bukan tipikal perempuan lemah yang membuka tutup botol saja harus laki-laki yang melakukannya. Lihatlah, enteng saja Tiara mengangkat salah satu kardus berisi nasi bungkus itu. “Ayo!” Melihat binar semangat dan senyum cerah yang terpancar membuat Daniel spontan nyengir, memamerkan deretan giginya yang rapi. Tak perlu jauh-jauh, Daniel memilih tempat yang strategis, disana ada bangku kayu, meski terlihat usang, namun bersih. “Eh, kawan-kawan! Liat! Ada kakak-kakak bawa makanan!” Salah satu remaja berseru kepada teman-temannya. Daniel dan Tiara kompak melambaikan tangan, memanggil mereka semua. Tak butuh waktu lama, kedua orang itu diserbu oleh anak-anak jalanan. “Satu-satu, jangan berebut. Semua kebagian..” Tiara memberitahu, namanya anak jalanan kalau lihat yang gratisan pasti berebut, takut tak kebagian. “Eh, tong! Pelan-pelan, cewek gue jangan lu senggol-senggol!” Daniel terlihat kesal saat melihat posisi Tiara terjepit oleh anak-anak jalanan yang masih belum mendapatkan jatah. Anak jalanan itu nyengir, “Sori, Bang, sori!” lantas menyingkir setelah mendapatkan jatah. Setelah mengucapkan terima kasih, mereka berjalan menjauh, ada yang mencari tempat untuk makan, ada pula yang langsung kembali mencari nafkah di jalanan. Benar-benar waktu yang sikat, dua kardus itu telah kosong. Daniel menyobek kardus itu, melebarkannya diatas kursi kayu sebagai alas tempat duduk. “Kayak gini nggak apa-apa kan, Ti?” “Nggak papa banget malah, thanks ya” Mereka berdua akhirnya bisa duduk. Tiara terkekeh saat melihat tiga anak membuat lingkaran kecil tak jauh dari mereka, dengan lahapnya memakan nasi pemberian Daniel. “Rasanya udah lama banget gue nggak ngerasain hal-hal semacam ini,” Tiara yang pertama kali membuka mulut, netranya melirik Daniel sekilas, lantas kembali menatap ke arah depan. “Haahh… rasanya gue hidup lagi, Niel.” “Emang selama ini lo ngerasa mati?” Berhubung lagi dekat, Tiara memukul paha Daniel, laki-laki itu mengaduh, pukulan Tiara serius sekali. “Bukan mati, b**o! Gue cuma ngerasa kosong. Hidup gue berputar di pekerjaan, rumah, butik.” “Kenapa nggak nyoba sama yang baru?” “Pasangan maksud lo?” Daniel mengangguk. Sementara Tiara menghela napas, agak bingung jawabnya gimana. Mendadak ada dinding canggung tak kasat mata di antara mereka. “Kesibukan gue menyita waktu, Niel. Bikin gue nggak sadar, kalau waktu terus berlalu, dan umur bertambah. Banyak kesempatan yang udah gue lewatkan buat kenalan sama laki-laki” “Hampir aja gue kepedean, gue pikir lo masih nungguin gue.” “Itu salah satunya, sih.” Senyum Tiara tak selebar tadi, bibirnya hanya menukik ke atas, sinarnya menghilang digantikan dengan tatapan sendu. Tiara bukan sengaja melewatkan banyak kesempatan untuk memiliki hubungan baru, tak terhitung banyaknya dia menolak laki-laki, karena Tiara memiliki keyakinan jika Daniel akan kembali hanya untuknya, entah kapan itu. “Sori ya, Ti..” “Untuk apa?” “Udah ngecewain lo, lagi.” “Soal hubungan lo sama Tavisha?” Tiara memperjelas sekali lagi, takut salah paham. Daniel mengangguk samar, tak terkira rasanya, seperti ada paku yang sengaja di tancapkan di hati Tiara. Sebisa mungkin Tiara tersenyum, “Santai aja,” “Gimana sama kehidupan lo selama gue nggak ada? Perkuliahan? Pekerjaan? Lucas cerita ke gue kalau sekarang lo punya butik” “Banyak fase yang udah gue lewatin, naik-turun. Apalagi pas perkuliahan, jauh dari Bunda, jauh dari temen-temen. Untungnya gue bisa lulus tepat waktu” “Kayaknya lo bakal bosen denger gue minta maaf terus,” “Nggak, kali ini gue yang harusnya minta maaf. Karena waktu itu, gue mendadak menghilang dan menjauh dari semua orang, gue pindah, gue punya masalah, dan gue nggak bilang ke lo.” Kepala Tiara menoleh ke samping, ini pertama kalinya Tiara benar-benar menatap wajah Daniel versi lebih matang dengan seksama, garis rahangnya semakin tajam, matanya semakin indah, juga hidung dan bibir itu. “Maafin gue ya, Niel.” Tangan Daniel yang sudah tidak tahan lagi terangkat, mengusap pucuk kepala Tiara, lantas menepuknya pelan. “Kayak bukan Tiara kalau lagi minta maaf begini, seru liat versi galaknya” “Singkirin tangan lo dari kepala gue atau mau gue pukul?” Tawa Daniel pecah, juga Tiara. Keduanya sama-sama tertawa, hingga mata mereka sama-sama membentuk bulan sabit. “Can we fix it?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN