Zia POV. “Batagor lima, Mang. Mie baso yamin hiji.” “Siap, Teh. Makan di diyeu?” “He euh. Di ditu nyak?” ujarku lagi seraya menunjuk ke Rain yang menempati salah satu meja. Sontak aku terkekeh. Ia merebahkan kepala di meja, kedua mata terpejam, namun tangannya tetap menggenggam botol teh dan mulutnya khidmat menyesap cairan manis tersebut. “Atuh, masih ngantuk iyeu si Aa,” ujar si Mamang penjual salah satu menu sarapan favorit wargi Bandung dan para turis. Kami memang berangkat sepagi mungkin demi menghindari antrian yang terkadang rasanya tak masuk akal. “Iya, Mang,” jawabku lalu melangkah ke tempat suamiku berada. “Bangun ih, bee,” pintaku. Oh, jangan kira aku perempuan yang lemah lembut dan gemar memanjakan Rain. Tidak. Rasanya aneh berlaku demikian. Aku itu … biasa saja sih. Ka