000:RAIN-CERAI
“Ayo kita cerai?”
“Apa, bear?”
“Jangan panggil bear lagi, aku ngga suka.”
Ok, here we go again. Sabar, Rain!
“Tiba-tiba aja ngga sukanya?” tanya gue lagi.
“Hmm.”
“Sama panggilan bear atau sama aku?”
“Dua-duanya.”
Gue tertawa. Lucu sih.
“Bee, aku haus,” ujarnya kemudian.
“Kamu ngga suka lagi dengan panggilan bear, tapi tetap manggil aku bee?”
Ia mendengus keras. Istri gue. Percayalah, gue sangat mencintainya.
“Bear dan bee kan emang ngga cocok.”
“Cocok kok. Aku suka. Daripada bed and breakfast, kurang cocok buat panggilan sayang.”
“Kamu ngga mikirin perasaan aku?”
Gue sadar ada yang salah, tapi gue ngga tau apa tepatnya. Hanya saja, satu bulan belakangan, Zia kerap menyambut gue pulang dengan kedua mata yang membengkak. Dan gue … terlalu takut untuk bertanya.
Apa rutinitas gue di rumah sakit terlampau padat hingga ia merasa terabaikan?
Atau gue melakukan kesalahan fatal yang ngga gue sadari apa itu?
“Bear, aku ngga bisa hidup tanpa kamu,” ujar gue, yang rasanya seperti mantra untuk diri sendiri. Gue tuh selalu merasa kalau cinta kami ngga setara. Rasanya Zia ngga mencintai gue sebesar gue mencintainya.
Dekapan ini gue eratkan, bibir ini menyapu bahunya, menjalar ke ceruk leher, lalu ke bibirnya.
“Kamu ngga dengar ya kalau aku haus? Bee?”
Pertanyaannya ngga gue jawab. Justru gue melebarkan kakinya. Seraya melenguh, gue menyatukan diri kami lagi, untuk kali kedua di malam ini. Zia tak menolak, ia menyambut gue di dalam sana, memijit mesra.
“I love you, bee.”
Tau kenapa nyaris setiap hari, jika kami tengah bersama, gue mengajaknya bercinta? Satu, bersatu dengannya melepaskan semua penat. Dua, suaranya indah saat memanggil gue dengan panggilan sayang itu. Tiga, cintanya begitu terasa, tanpa ragu! Di saat inilah gue merasa cinta kami setara.
"Why are you suggesting divorce then? Are you joking?" tanya gue.
Zia ngga menjawab, ia memagut bibir gue. Saat panggulnya ia gerakkan, gue tau jelas jika ia mengejar pelepasannya. Gue pun berfokus padanya, sekaligus mengejar pelepasan sendiri. Dan saat itu tercapai, tak ada yang menandingi kenikmatannya.
“I love you, bear,” lirih gue, di telinganya.
“Aku serius, bee,” balasnya.
“Ah, tunggu. Aku ambilin airnya. Aku wudhu sebentar ya?’
Zia diam saja, tak menanggapi, hanya menatap lekat ke gue yang tetap memaksakan senyuman.
Gue melepaskan penyatuan kami, lalu melangkah ke kamar mandi. Di sana gue membersihkan diri seadanya, lalu berwudhu. Berharap kegundahan ini ikut tersapu.
Saat gue kembali ke kamar dengan segelas air dingin, Zia baru saja mengenakan chemise-nya lagi. Gue juga baru tau kalau lingerie ada nama-namanya ya setelah menikah.
“Minum, bear?”
Zia mengangguk.
Ia lalu duduk di tepi ranjang, tepat di samping gue. Dalam hati gue berdoa, semoga Zia ngga lagi-lagi bercanda dengan kata terkutuk tadi. Ngga masuk akal kan istri lo ngajak cerai setelah bercinta? Lebih terdengar kayak gue ngga bisa muasin dia di ranjang ngga sih? Ngga mungkin!
“Aku suka chemise-nya. Thanks, bee.”
Ada permintaan lucu dari istri gue sebagai syarat dia mau menikah dengan gue. Adalah lingerie baru pertiga bulan. Tapi, pas tadi gue ke mall untuk farewell party salah satu konsulen gue, chemise ini bikin gue jatuh cinta. Terpampang di sebuah etalase pakaian dalam wanita. Warnanya hitam, rendanya juga demikian, tapi bagian belakangnya terbuka hingga ke garis panggul. Seksi banget kan?
“Hmm. Sama-sama,” balas gue seadanya.
Air di gelasnya tak butuh waktu lama untuk tandas. Zia lalu memandang gue, tersenyum namun berduka. I mean, bibirnya melengkung indah, namun matanya berkaca-kaca.
“Bee, ayo kita cerai?” ujarnya lagi, kali ini dengan menitikkan air mata.
Rasanya, gue berharap terkena serangan jantung saja, agar tak perlu menanggapi kalimat barusan dengan cara apa pun.
“Tidur yuk, bear. Aku ngantuk. Agak ngelindur jadinya. Berhalusinasi ngga jelas.”
“Kamu ngga salah dengar, bee. Aku mau bercerai.”
“Atas dasar apa?” Gue masih berusaha tenang, meski suara gue terdengar jelas begitu kalut. Kedua tangan ini mengepal erat, menahan serbuan emosi menyakitkan yang menyesakkan dad4. “Did I do something hurt you?”
Zia diam saja. Justru air matanya mengalir deras.
“Ada apa, bear?” Suara gue lebih terdengar seperti mengemis daripada bertanya.
“Kamu ngga cinta aku,” jawabnya, sengau sembari terisak.
“Siapa yang bilang aku ngga cinta kamu?”
“Jangan bohong! Aku benci dibohongi!”
“Aku mencintaimu, sangat! Aku sungguh-sungguh saat aku bilang aku ngga bisa hidup tanpa kamu.”
“Kamu bohong!”
“Zia ….”
“Sedari dulu kamu ngga pernah menganggap aku ada. Aku berubah banyak. Aku berusaha jadi menarik. Saat kamu akhirnya melamarku, kupikir aku berhasil.”
‘Berubah banyak? Jadi menarik?’
“Tiga bulan pertama pernikahan kita, aku bahagia. Terima kasih untuk itu, bee. Tapi, segala yang ditutup-tutupi ngga akan selamanya menjadi rahasia. Iya kan?” lanjut Zia lagi.
“Kamu ngomongin apa sih? Berubah apa? Dari dulu gimana? Kamu selalu menarik di mataku! Aku ngga paham. Kamu nuduh aku selingkuh atau apa?” balas gue.
“Kamu merasa selingkuh?”
“Ya, dengan waktu! Karena waktuku lebih banyak di rumah sakit dibandingkan sama kamu. I often feel guilty about it.”
Zia mendengus, lalu sepenuhnya naik ke atas ranjang, merebahkan diri, membelakangi gue.
“Think about it, bee. Please.”
“Kamu bercanda kan bear? I can’t live without you. I can’t, bear!”
Gue menangis.
Sama seperti Zia yang juga menangis tersedu.
Allah, ada apa dengan pernikahanku? Di mana salahnya?