TIGA PULUH

1232 Kata
Mataku masih terpejam meski aku ingin mukanya. Entah kenapa begitu sulit dan berat untukku menggerakkan. Tubuhku terasa begitu lemas setelah keluar dari suatu tempat, entah di mana. Yang aku tahu, disana sangat gelap, tempat para jiwa dikurung di dalam diriku. Mungkinkah aku berada di alam bawah sadar? Aku merasa tubuhku di guncang. Seorang tengah menggendongku di punggungnya. Punggung yang begitu lebar menopang tubuhku, surai panjang yang menggelitik di sekitar wajahku, aroma kayu manis yang bercampur dengan mint yang menyegarkan indra membuatku menerka-nerka, siapa? Aku mendengar begitu banyak suara bising di sekitar. Suara ledakan yang menggema. Jerit pilu yang menyayat. Serta suara geraman yang terdengar menakutkan. Aku tidak tahu apa Sesampainya di sana sungguh aku terkejut yang telah terjadi. Aku merasa tubuhku melayang seakan-akan terbang di awan. Seseorang telah membawa aku lari sekencang mungkin, sangat terasa dari embusan udara yang begitu kencang menerpa wajah dan tubuhku. Samar-samar aku mendengar suara seseorang yang berbicara kepadaku. Entah siapa, yang jelas suara itu sangat familiar di telingaku. Aku coba terus mengingat siapa pemilik suara itu. Dan aku sama sekali tidak bisa mengingatnya. "Ayo cepat, sebelum mereka menemukan kita." ucap seseorang dari kejauhan. Kemudian mereka meletakkan tubuhku bersandar di bawah pohon. Mereka pergi begitu saja tanpa menghiraukan aku yang memejamkan mata. Di saat aku membuka mata. Tak ada satupun orang di sana. Aku pun menuju ke gubug, untuk beristirahat. Sesampainya di sana aku terkejut gubuk yang telah kami tempati, kini berubah menjadi abu. "Siapa yang telah tega melakukan ini?" aku melihat tak satu pun yang mereka sisakan. Semua menjadi abu tak terkecuali. Di kejauhan aku melihat Gary dan Jack telah pulang. Wajah mereka masam dan muram. Seperti tak ada gairah untuk hidup lagi. Tapi di mana Grace, kenapa dia tidak ikut pulang kembali? "Kek, di mana nenek? Kenapa beliau tidak ikut belum bersama kalian?" pertanyaanku membuat mereka terkejut. Jack seketika berlari menghambur kearahku, seakan tidak percaya bahwa ini adalah aku. "Tuan, benarkah ini anda? Aku pikir anda telah dibawa oleh mereka, seperti halnya Grace yang tiba-tiba menghilang entah kemana. Bagaimana tuan bisa berada di sini?" ucap cek seakan tidak percaya dengan apa yang ia lihat. "Entahlah, Jack. Aku sendiri tidak tahu, bagaimana aku bisa berada di tengah hutan. Saat aku membuka mata aku sudah berada di tengah hutan. Entah siapa yang membawaku ke sana. Dan ketika aku sampai disini, aku melihat gubuk sudah berubah menjadi abu." Aku melihat Gary begitu sedih, aku bisa merasakan bagaimana perasaannya. Gary seolah tidak lagi memiliki gairah untuk hidup. Bagaimana bisa ia memiliki gairah hidup, jika belahan jiwanya tidak diketahui dimana keberadaanya. "Sebenarnya apa yang telah terjadi pada kalian?" tanyaku. Dan Jack telah menceritakan semua yang telah terjadi di air terjun kecuali ketika aku menghilang. Tidak ada yang tahu siapa yang telah membawaku pergi dari sana. Kejadian itu berlalu begitu cepat. Yang jelas, orang itu memang berniat untuk menolongku dari incaran orang-orang serakah. Aku bisa merasakan, kini Gary tengah menatapku dalam diam. Aku rasa dia berpikir tentang siapa yang telah menolongku. "Kei, cairan apa yang berada Di tubuhmu itu?" tanya Gary. Aku hanya mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu, seseorang telah mengolesnya ketika aku masih tidak sadar." Aku benar-benar tidak tahu cairan apa ini. "Kei, biarkan tubuhmu tetap seperti itu. Jangan pernah mandi ataupun sekadar membasuh muka. Cairan itu akan sangat membantu," ujar Gary kepadaku. Aku hanya mengangguk menuruti semua yang dikatakan oleh Gary. Gary mengucapkan beberapa mantra, serta mengayunkan tongkat sihirnya. Dalam waktu yang cukup cepat, gubug yang tadinya menjadi abu, kini sudah kembali seperti sedia kala. "Masuklah dan istirahat," perintah Gary kepadaku. Aku tahu, saat ini Gary sedang menahan tangis kerena menghilangnya sang istri. Tapi juga beliau tidak ingin menunjukkan kesedihan ya kepadaku maupun Jack. Lebih baik kalau aku mengalihkan perhatiannya. Dengan begitu, Gary tidak akan terlalu sedih. "Kek, kapan kau akan melatihku menggunakan sihir?" mungkin dengan tetap fokus melatihku, perhatian beliau sedikit teralihkan. "Apa kamu sudah siap? Ketika kamu belajar sihir, kamu harus bisa menggenngam air. Apa kamu sudah bisa menggenggam air?" "Aku memamg tidak bisa menggenggam air, Kek. Tapi untuk membawanya, aku bisa menggunakan kedua telapak tanganku. Aku hanya perlu membawanya dengan hati-hati dan lembut." Jawaban Keiyan membuat Gary tersenyum. "Baiklah kalau memang benar-benar sudah siap. Persiapkan tubuhmu luar dalam. Dalam menggunakan sihir, kamu membutuhkan energi yang cukup serta konsentrasi yang tinggi." Aku mengangguk mantap. "Aku siap, Kek." Kakek mengambil beberapa cawan yang sudah di isi dengan air. Lalu meletakkan ya di atas meja. "Sekarang kamu coba untuk memindahkan cawan ini. Pindahkan ke atas bangku itu!" sambil menunjuk bangku yang berada agak jauh dari meja. "Tutup matamu, konsentrasi, pusatkan energimu pada satu titik. Dan lepas perlahan pada benda yang ingin kamu pindahkan." Aku coba melakukan seperti apa yang Gary arahkan. Aku merasakan tubuhku perlahan semakin panas, rasa panas itu seperti mengalir di dalam tubuhku menuju ujung jariku. Ya, ini adalah energi yang berkumpul pada satu titik. Yaitu ujung kedua tanganku. Aku coba mengarahkan salah satu jariku pada salah satu cawan dan melepas energi secara perlahan, rasanya seperti air hangat yang mengalir di tanganku. Aku merasa ringan dan nyaman. Dalam beberapa kali percobaan, aku bisa memindahkan cawan tersebut tanpa tongkat sihir. Tongkat sihir sebenarnya adalah sebuah media tempat berkumpulnya energi. Bagi orang lain, mereka tidak sanggup mengumpulkan energi pada tangan atau titik lainnya. Hal itu akan membuat tubuh mereka sakit dan kepanasan. Sebab itulah mereka membutuhkan tongkat itu. Berbeda denganku. Aku merasa nyaman dan hangat ketika energi tersebut berada dalam diri. Aku senang dan merasa lega, akhirnya aku memiliki kemampuan lain. Tapi hal tersebut juga merupakan salah satu ketakutan terbesarku. Aku senang, jika kemampuan itu bisa membantu orang lain, akan tetapi akan menakutkan bagiku jika sampai kemampuan itu menjadi alasan aku menyakiti orang lain. "Hebat kamu, Kei. Memang Kamu lah cucu mending raja Arlan yang sesungguhnya. Beliau juga sama sepertimu, sangat mudah dalam menyerap pelajaran." puji Gary kepadaku. "Tidak, Kek. Jangan memujiku seperti itu. Aku takut akan menjadi serakah karena pujian darimu. Mungkin ini memang suatu kelebihan yang tidak dimiliki sembarang orang, akan tetapi hal ini juga bisa membuat orang lupa diri, tentu aku juga akan termasuk dalam golongan itu." Elak ku. Karena memang itu hal terbesar yang aku takuti. "Tidak, Kei. Aku yakin kamu akan bisa mengendalikan semuanya. Termasuk dirimu sendiri. Sebab itulah semua kelebihan yang tidak dimiliki orang lain kini berpusat kepadamu. Bahkan Dunia Immortal pun bergantung kepadamu." "Sudah cukup kakek berkata seperti itu. Aku tidak ingin mengundang banyak kejahatan. Apalagi kalau sampai berdampak pada orang yang aku sayang." "SREET" sesuatu telah menancap pada salah satu pohon yang ada di dekatku. Sebuah anak panah dan sepucuk surat telah mendarat dengan sempurna yang hampir saja menggores wajahku jika aku terlambat menghindar. Aku mengambil surat tersebut dan membacanya, di dalam kertas tersebut tertulis, "Bawa Keiyan kepadaku jika kamu ingin istrimu Grace kembali dengan selamat. Aku tunggu di ujung tebing bukit duri tengah malam nanti". Begitulah isi dari pesan itu. Baru saja aku mengatakan semua ketakutan, dan kini benar. Apa yang aku takutkan terjadi kepada Grace. Andai saja aku tidak membutuhkan kekuatan ini untuk melindungi dunia Immortal ini dari penyihir hitam. Aku tidak menginginkan kekuatan ini ada padaku. Ya, aku mengetahui semua tentang diriku beserta hubungaku dengan dunia ini tak lain dari Gary dan Lea. Merekalah yang telah mengirim ku ke dunia manusia waktu aku masih bayi. Sedikit banyak aku mulai mengerti dan memahami siapa aku sebenarnya. Berat memang, disaat kita mengetahui ada satu kewajiban besar yang menunggu kita dimasa depan. Aku hanya perlu mengikuti arus alur takdir yang sudah digariskan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN