Chapter Tangisan Ibu

1035 Kata
Hari ini aku benar-benar lelah dikerjai oleh Ian dan Ani. Pulang olahraga, aku harus jemur bantal, guling, selimut. Kasur yang berat juga harus aku angkat sendiri karena ibuku lagi memasak dan aku tidak ingin mengganggunya. Mereka memang kebangetan usilnya. Haduh capek! Lelah hayati! Ini weekend yang buruk bagiku. Jadwal rebahan berkurang ditambah lagi PR yang menumpuk, untungnya masakkan sudah siap dan tinggal makan saja. Jadi seorang anak memang enak karena masih tidak tahu apa-apa masalah asap ngepul di dapur. Yang penting apa yang dimasak ibu dan itulah yang aku makan. Tidak boleh menuntut ini dan itu karena orang tua bekerja dengan susah payah demi sesuap nasi kata ibu guru di sekolah. Tetapi semua itu benar. Ibuku rela pergi ke luar pulau demi mencari pekerjaan dan aku dititipkan ke rumah Ian saat masih SMP. Perjuangannya sungguh berat untuk menghidupi aku. Aku mengambil nasi, lauk ikan goreng, tempe goreng, sayur asem dan kerupuk lalu duduk di depan televisi. Menikmati makan siang sambil ditemani acara gosip para artis. "Lan, " Baru saja sesuap nasi masuk ke dalam mulut, ibu memanggiku, "Iya bu, " Ibu duduk disampingku dan saat aku meliriknya sambil mengunyah, dia tertunduk sedih, ada apa ya? Aku menghentikan suapan nasiku selanjutnya lalu meletakkan piring dan duduk memutar menghadapnya. "Kenapa Bu?" Apa ibu ada masalah tentang ekonomi, atau aku gak bisa sekolah lagi. Maklumlah, ayahku sudah meninggal dan ibu jadi tulang punggung keluarga ini. Untungnya aku anak semata wayang jadi beliau hanya fokus untuk membiayai aku. "Kamu sudah punya pacar? " Aku kaget, saat ditanya seperti itu. Apakah Ian yang mengadu, tetapi gak mungkinlah karena dia gak pernah mengadu apa pun tingkah laku aku selama di sekolah. Aku menggeleng, "Gak ada, Ibu tahu dari siapa? " Dia menghela napas, "Ada yang melihat kamu dengan cowok sedang gandengan tangan keluar dari ladang dan rambut kamu berantakkan." Aku paham, pasti saat pulang awal berapa hari yang lalu, " Ooooh, itu hanya teman dan rambut berantakkan karena angin. Gak ada apa-apa Bu, sumpah! " Hari itu angin memang lumayan kencang dan menerbangkan rambutku. Aku dan Gerry tidak melakukan apa-apa. Kami hanya tertawa dan bergurau bahkan kami mencoba memancing belut. Kalau gandengan tangan sih, ya ... susah mau jelasin hal ini. "Terus gandengan tangan? " tuntutnya. Aku berpikir keras, apa yang harus aku katakan dan akhirnya sebuah ide tercetus," Itu karena dia takut jatuh makanya kami gandengan tangan, orangnya gak suka kotor tetapi malah ingin merasakan duduk di ladang, aneh 'kan Bu? " kataku dengan sedikit bohong. "Wulan, terkadang kita tidak pernah tahu apa yang terjadi nanti. Omongan orang dari mulut ke mulut selalu ada tambahan bumbu penyedap dan ibu tidak ingin kamu di cap buruk dengan mereka." Aku menunduk, tidak berani untuk menjawab omongan ibu. Aku tahu aku salah, kami orang biasa dan bukan apa-apa. Mungkin ibu tahu siapa Gerry. "Dan juga, pulang sekolah wajib pulang ke rumah bukan keluyuran gak jelas, paham Wulan?" Aku mengangguk, masih tidak berani menjawab karena aku salah dan aku janji tidak akan begitu lagi. "Suatu saat nanti, kamu pasti mengerti kenapa ibu seperti ini. Ibu sayang sama kamu dan Ibu --" Ibu menggeleng dan menangis, aku tidak tahu apa penyebabnya. Apa ibu diancam seperti Ayu mengancamku atau omongan tetangga yang tidak baik tentang aku? "Bu, kenapa Bu ... maafin Wulan ya, Wulan janji gak gitu lagi, sumpah." Ibu menangis dan memelukku erat sangat erat hingga aku merasa ada sesuatu yang mungkin membuat ibu seperti ini. Bahkan tubuhnya bergetar kuat. "Ibu selalu mendo'akan yang terbaik untuk kamu dan semoga suatu saat nanti kamu bisa mendapatkan jodoh yang baik, yang bisa terima kamu apa adanya, apa kekurangan kita, dan kamu harus kuat ya Nak, " ucapnya sembari mengelus kepalaku berulang kali. Apa Ayu kemari dan mengancam ibu? Aku melepaskan pelukkan ibu dan bertanya, "Apa ada yang datang kemari dan marah-marah sama ibu tentang aku, jawab Bu! " Ibu menggeleng, "Tidak ada, habiskan makanan kamu dan istirahatlah." Aku masih terpaku di tempat, rasa lapar pun hilang dengan sekejap dan aku ingin sekali bertemu dengan Ayu untuk menanyakan hal ini. Jangan pernah dia mengganggu ibuku untuk urusan ini, karena Ibuku tidak bersalah! *** "Semangat ya hari ini, jam 6 sudah langsung stanby di depan teras." Aku terkekeh pelan sembari memasang sepatuku lalu berdiri dan berjalan bersama mereka berdua. "Kemarin aku dilabrak sama kakak kelas yang naksir Gerry, " ucapku membuka topik pembicaraan. "Ayu? " tanya mereka kompak dan aku mengangguk. "Terus, diapain?" tanya Ian kepo dan Ani antusias mendengar ceritaku lalu aku ceritakan semuanya, sekaligus memancing mereka, apakah ada melihat Ayu datang ke rumah dan menemui ibu. "Pantas, dia ada lewat jalan kita dan ternyata cari kamu? " "Ada mampir ke rumah ibu? " tanyaku sambil memperhatikan mereka berdua. "Gak ada karena aku ngobrol dengan Bibi lama dan kamu pulang itu, kami baru selesai." Aku jadi curiga, sepupuku ini tersangka utama kasus aku dan Gerry yang diketahui ibu. Dengan cepat aku berspekulasi dan menuduhnya. "Nah, kamu ... ada bilang kalau aku dan Gerry ke sawah." Dia menunjuk-nunjuk kepalaku dengan jarinya, "Hmm ... rasain kamu, ada yang ngadu tetapi bukan aku ya, tu anak pak RT yang sensi sama kamu dan kata Ibuku, dia malah nyuruh Ibu kamu agar bawa kamu ke dokter ngetes keperawanan kamu." Kurang ajar! "Aku akan buktikan bahwa aku tidak mungkin bobol sampai pernikahanku kelak! " teriakku tak terima. Ingin aku melabraknya saat pulang nanti tetapi Ian pasti tidak setuju dan ibu pasti marah dan malu. "Eh, PR udah ngerjain belum, coba di cek nanti kamu dihukum lagi, cepat cek di sini." Amarahku redup karena Ian mengubah topik pembahasan yang membuat aku trauma. Tidak ingin dihukum lagi seperti tempo hari yang lalu. Membuat betis bengkak dan pegal 2 hari. Di pinggir jalan aku mengecek satu per satu tugas yang mungkin terselip dan syukurnya, aman. Dari arah belakang aku mendengar bunyi sepeda motor Gerry yang langsung berhenti disampingku. "Yuk, sama aku." Aku menggeleng dan menolak secara halus, "Maaf kak, aku sama temen-temen jalan, kamu duluan saja. " Aku tidak mau lagi berurusan dengan Gerry karena ibu. Aku tidak ingin beliau menangis lagi jika anaknya dikatain tidak benar, padahal sedikit pun aku tidak pernah mencampuri urusan orang lain tetapi kenapa orang lain mencampuri urusanku. Dunia memang kejam dengan orang-orang yang tidak pernah bisa menghargai perasaan orang lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN