Chapter Saat Putih Abu-Abu
Prolog
"Wulan ... Wulan--" teriak sepasang muda-mudi di sekitar sawah saat penghujung senja. Mereka mencari keberadaan temannya yang hilang berapa jam yang lalu.
Acara bersih-bersih kampung akan dimulai namun sang teman yang katanya izin sebentar tak juga datang di balai acara tersebut.
"Yan, itu mungkin di sana," tunjuk gadis ini setelah menepuk keras lengan si cowok yang berada di sisi berlawanan darinya.
Keduanya bergegas, berlari menghampiri satu gubuk yang berada di tengah-tengah sawah yang terlihat ada sosok yang terbaring dengan kaki terjuntai ke bawah.
"Ya Tuhan Wulaaaan-" teriak gadis ini histeris, sembari menutup mulut dengan kedua tangannya. Sedangkan si cowok bediri kaku di tempat dengan kedua mata yang membulat besar melihat sosok yang mereka cari, tergeletak pasrah dengan kedua mata tertutup dan pakaian yang sudah tidak layak pakai, terbuka hampir keseluruhan.
"Gimana Yan, aduh ... malu kalau dilihat orang."
"Tunggu hari semakin gelap, kita bawa dia ke tempat kamu, biar aku yang gendong."
Pemuda yang bernama Ian ini melepaskan pakaiannya untuk menutupi bagian atas tubuh si korban yang tak berdaya sedangkan yang cewek menutupi bagian bawah si korban dengan potongan pakaian yang tersisa diikat dan disimpul agar tertutup rapi saat digendong nanti.
***
"Ya Tuhan apa yang terjadi Ian, Wulan, Ya Tuhan ... Wulan--"
Wanita dewasa kisaran 40 tahunan ini menangis tersedu melihat keadaan putri semata wayangnya yang tertidur nyenyak di atas ranjang.
Ian berusaha menghentikan tangis si wanita dengan memeluk dan membawanya keluar dari kamar. Menenangkan wanita itu, memberinya segelas air putih, hingga bisa lanjut bicara.
"Dia pamit sama Ani untuk bertemu teman dan ditunggu-tunggu gak kembali makanya kami cari dan gak taunya, dia di gubuk Bi," jelasnya. Agar bibinya tahu bahwa semua ini bukan kesalahan dia yang tidak bisa menjaga saudarinya.
"Jangan beritahu apa pun, jangan--"
"Tapi Bi, kalau dia--"
"Jangan Yan, tolong. Bibi tahu bagaimana sikap Wulan. Dia pasti kecewa dan Bibi takut dia akan bunuh diri, tolong ya Nak, jangan--"
Demi menurut perkataan orang tua, akhirnya dia pun bungkam tidak menceritakan hal ini pada Wulandari.
***
"Aku akan menikah."
"Serius sama siapa?"
"Lettu Ben, kamu kenal gak?"
Ian mengerjapkan matanya berulang kali ketika mendengar jabatan yang familiar dalam satuannya disebut. Lettu adalah Letnan Satu berpangkat Perwira pada TNI. Calon suami sepupunya ini adalah seorang tentara dan itu fatal.
"Lan, serius kamu mau sama tentara?"
"Kenapa nggak, dia baik, lucu dan unik dan oh ya ... itu dia orangnya."
Seorang pria bertubuh tegap menghampiri mereka berdua yang menikmati es krim. Melihat seniornya datang, Ian berdiri dan memberi salam ala militer sebagai tanpa hormat lalu saling berjabat tangan.
"Ternyata kamu sepupunya Wulandari, calon istri saya."
"Siap! benar Dan!"
Wulandari tersenyum melihat interaksi antara sepupunya dan calon suaminya itu. Setidaknya mereka akur dan bisa saling bantu ke depannya. Namun berbeda terbalik dengan Ian yang mengkhawatirkan proses dari syarat yang harus dipenuhi sebelum menikah, salah satunya periksa keperawanan.
***
Rona merah di pipi Wulandari tak berhenti ketika calon suaminya akan datang mengunjunginya sambil membawa hasil tes yang sudah dilaluinya sebagai syarat pernikahan mereka.
Wajah cantik Wulandari bersinar terang ketika membuka pintu dan melihat pria tampan pujaan hatinya ini berdiri tegap dan menatapnya kaku. Wulan tersenyum dan menarik tangan si pria untuk masuk ke dalam namun tangannya ditepiskan dengan cepat.
Wulan masih tersenyum, karena tingkah sang kekasih sudah terbiasa membuat dirinya menangis dibohongi pura-pura marah. Pria itu bahkan masuk tanpa membuka sepatu boot miliknya lalu duduk di kursi dengan wajah tegang.
"Mas, mau minum apa, aku buatin."
"Gak usah, kamu duduk dan kita bicara,-" ucapnya tegas dan tanpa senyuman.
"Ya ampun, apalagi sih salahnya aku," jawab Wulan enteng, dikiranya bercanda.
Wulandari duduk disampingnya sembari mengulum senyum ketika sebuah amplop putih dilempar oleh si pria ke atas meja sembari berkata, "Saya tidak menyangka, orang yang saya cinta dan saya bela mati-matian demi nama baiknya ternyata penipu!"
"Penipu, maksudnya apa?"
Wulan masih berusaha tenang dan mengambil amplop putih tersebut lalu menarik kertas yang berada di dalamnya. Mata Wulan menyipit ketika keterangan di atas kertas menyatakan bahwa dia 'TIDAK PERAWAN'.
"Gak! Aduh, kamu jangan keterlaluan bercandanya Mas, aku bisa tersinggung loh."
"Memangnya saya terlihat bercanda sekarang!"
Raut wajah pria ini semakin tegas dan matanya menatap nyalang pada Wulan. Hal ini tidak pernah sang kekasih lakukan. Meskipun tegas, pacarnya ini tidak pernah menatapnya begini.
"Mas--mungkin salah--"
"Ya salah, saya salah menilai kamu, harusnya saya percaya dari awal omongan perempuan itu yang menyatakan kamu perempuan murahan."
Wulandari berdiri dan langsung menampar wajah kekasihnya. Dia tidak terima difitnah dan masih bersikukuh bahwa dirinya perawan dan akan memberikan tes yang benar di Rumah Sakit yang lain.
"Silakan kamu tes dan berikan saya bukti dalam seminggu. Jika dalam seminggu kamu tidak bisa membuktikan jika kamu perawan maka, kita putus!"
***
Desember 2009
Suatu daerah Jawa di Indonesia
Suara bel berbunyi,
"Horeee! " sorakku dalam hati, gak berani nyaring karena guru yang sekarang mengajar kami adalah guru ter-killer di sekolah ini.
Suara bel sekolah bergema menandakan proses belajar mengajar antara murid dan guru telah usai untuk hari ini.
Bunyi bel bagi semua siswa mengisyaratkan kebebasan. Bebas dituntut guru untuk mengerjakan tugas yang mungkin berat bagi kami. Tetapi kadang guru tetap saja ngeyel dan memberi kami tugas tambahan untuk di rumah padahal di rumah juga sudah banyak kerjaan. Nyapu, ngepel, cuci piring ditambah dengan PR tiap mata pelajaran juga WoW gitu, padat jadwal dan gak bisa nongkrong bareng teman se-usia.
Tetapi tidak semua dari kami pulang karena para senior masih akan ada les tambahan untuk persiapan ujian kelulusan.
Tak terasa waktu terus berputar dan sekarang sudah tahun kedua bagiku di Sekolah Menengah Kejuruan. Masa-masa sekolah adalah masa terindah untuk semua orang karena semua ini hanya sekali seumur hidup dan kita semua akan berkembang menjadi apa yang kita mau.
Bisa jadi yang seseorang yang diandalkan atau, entahlah ....
Aku juga bingung ingin jadi apa? Haruskah aku kuliah atau langsung kerja karena sekolah kejuruan sudah memberikan pelatihan yang terbaik untuk murid-muridnya.
Atau bahkan menikah?
Hahahaha
Dengan siapa?
Pacar saja aku gak punya tapi gebetan sih ada tetapi dianya tidak tahu aku menyukainya, jadi seperti lirik lagu. Dia mau tetapi aku yang gak percaya diri karena dia salah satu most wanted incaran gadis di sekolah. Selain good looking, dia juga pintar. Dia terlalu sempurna dimata aku, sedangkan aku B aja.
Tidak merendah sih, akan tetapi malas bersaing dengan para gadis yang suka mengerlingkan mata ke dia. Aku takut saja kalau hanya jadi bahan taruhan. Karena biasanya cowok itu gak benar-benar nyatain perasaan.
Apalagi aku punya keahlian bela diri, dan bisa saja 'kan kalau mereka anggap aku adalah sebuah game yang bisa didapatkan dengan mudah atau susah. Jadi sudah aku pastikan bahwa aku susah untuk dia dapatkan.
"Hei, melamun."
Aku tersentak kaget ketika bahuku ditepuk keras dari belakang oleh cowok ini, yang berstatus sepupuku plus teman baikku.
Dulu aku pernah tinggal serumah dengannya saat masih SMP. Karena aku manja dengan orang tuanya tetapi sekarang aku memutuskan untuk kembali ke kodrat, dimana seharusnya aku tinggal, yakni rumah orang tuaku yang berada tepat di depan rumahnya.
Kami hanya tinggal berdua dan terasa sepi, makanya dulu aku suka tinggal di rumah ni cowok biar rame dan aku suka buat ulah.
Tetapi ibuku bilang, cewek dan cowok gak boleh terlalu dekat, apalagi tinggal serumah walaupun kalian masih sepupu kecuali adik kandung.
Entah apa yang mereka pikirkan tetapi itu juga yang membuat aku minggat terhormat dari rumah sepupuku itu.
"Siapa yang melamun, nungguin kamu lama banget. Mana lagi si Ani ... oh Aniiiii, lalalala ... Aniiiii."
Aku bersenandung mencari-cari keberadaan si Ani temanku itu agar kami bisa pulang bersama. Dan tak lama kemudian yang ditunggu pun datang.
Gadis manis dengan rambut kepang satu ini berlarian menuju ke arah kami dan sesampainya dia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya kasar.
"Dikejar setan? " tanya Ian sepupuku ini.
"Debat," jawabnya dengan napas putus-putus.
"Haaaa? "
Kompak aku dan Ian saling berteriak dan menatap bingung ke arahnya. Siapa yang diajaknya berdebat.
"Kamu berantem? " tanya Ian.
"Adu mulut ke mulut?" Aku pun tak mau kalah bertanya.
"Debat Bahasa Inggris! Aduh kalian! " keluhnya sambil berjalan lebih dulu dan kami berdua masih bingung bertanya-tanya.
"Lah kenapa? " tanyaku kepo.
"Lomba Debat dan aku diminta untuk jadi peserta lalu kami harus latihan dalam 2 minggu ini, ya aku kabur karena gak siap."
Aku pikir apa? Ternyata oh ternyata. Kalau dia berantem bisa aku bantuin, tanpa dia meminta demi membela kebenaran.
Kami bertiga jalan beriringan sambil mengobrol. Rumah kami berdekatan maka dari itu setiap pulang sekolah kami selalu saling tunggu karena kelas yang berbeda. Si Ani bagian Sekretaris, aku di Akuntansi dan Ian di Marketing.
3 jurusan dan kami beda jurusan tapi tetap akur dan saling mendukung satu sama lain.
"Lan, guru sejarah kita sama gak?"
"Beda! " jawabku ketus karena sepupuku ini pasti ada maunya.
"Eh sama loh, Bapak berkumis 'kan, " jawab si Ani dan aku jadinya tarik napas dalam, bisa ketahuan ini.
"Nah, mau boong kamu ya, pinjam catatan."
Nah, itu yang aku gak mau. Semua cowok kalau dipinjamkan suatu barang pasti kembalinya tidak sempurna atau antara kembali atau tidak, ngambang.
"Aku gak nyatat hari ini."
"Lah, aku minta bukan catatan hari ini tapi catatan sebelumnya."
"Sebelumnya juga aku gak nyatat, " jawabku mengelak dan dia terus saja membujuk pantang menyerah."
"Oh, ayolah sepupuku sayang ... jangan pelit sama mas."
"Ah, sayang apanya ... kamu itu sering menghilangkan barang-barangku, pulpen, penghapus, celana dalam juga waktu itu, " ucapku asal hingga mata Ani melotot padaku.
"Loh, kok Iyan pakai celana kamu, emang gak sakit?" tanya Ani dengan wajah cengo.
Aku pun ngakak tertawa, sedangkan Ian ingin memukulku dengan tas ranselnya tetapi aku cepat mengelak.
"Sembarangan kamu!"
"Iya dulu waktu aku tinggal di rumahnya waktu SMP. Dia angkat jemuran karena hujan, eh celana aku dibuang katanya jijik."
"Ya iyalah, masa' aku harus angkat jemuran baju perempuan, gak pantes!"
"Nah makanya, jangan pinjam barang aku!"
Dia masih mengemis-ngemis padaku sepanjang jalan agar bisa meminjamkannya buku catatan sampai dia harus memohon dan merayuku.
"Wulan yang cantik, adik kesayangan mas."
"Alah, basi' ada maunya aja kamu sayangi aku."
"Ckckk, minta jitak!" katanya dan ingin benar-benar menjitak kepalaku.
Aku langsung berlari masuk ke rumah karena kami telah sampai hanya Ani yang masih harus berjalan sendirian karena rumahnya masih berada berapa langkah dari kami.
Sampai di dalam rumah aku tarik ulur napas dan ibuku bertanya,
"Habis ngapain? "
"Iyan, mau jitak kepala Ulan," Aku mengadu pada ibu dengan wajah memelas seolah teraniaya.
"Kalian berdua itu, seperti anjing dan kucing selalu saja ada yang diributkan."
Aku tertawa melewati ibuku yang masih geleng-geleng kepala.
"Ulan,"
"Iya, bu? "
"Besok acara penutup kalian bantu-bantu ya."
"Siap! "
Acara tahunan itu sudah digelar selama 6 hari yang lalu dan besok penutupannya maka wajib datang bersama Ian dan Ani tentunya. Kami bertiga tidak akan pernah terpisahkan.
Dan di acara tersebut juga bisa saling bertemu dengan anak kampung sebelah. Aku dan Ani suka mencari-cari cowok seumuran kami yang ganteng, hanya sekedar ingin melihat tidak lebih karena tidak berani. Jadi gak sabaran ingin langsung berada di acara tersebut.