Memakai pakaian serba hitam, Laura menghadiri prosesi pemakaman seseorang yang dikenal baik olehnya. Baru kemarin dia bertemu dan minum bersama di sebuah kedai pinggir jalan, dan hari ini, dengan begitu mengejutkan orang tersebut meninggal dunia.
Di antara banyaknya tamu yang datang di pemakaman tersebut, Laura bisa melihat dengan jelas orang yang pernah dia temui beberapa kali ada di antara kerumunan banyak orang.
Tapi dalam sekejap mata, orang itu menghilang begitu saja. Laura menoleh ke kanan dan ke kiri, namun dia benar-benar tidak menemukan orang tersebut.
"Tidak mungkin aku berhalusinasi ‘kan?" gumamnya pelan.
Laura kembali menyingkirkan pikirannya itu dan kembali fokus dalam prosesi pemakaman tersebut hingga selesai.
Dia melangkah mendekati salah satu rekannya yang masih berada di sana. Seorang pria yang dia kenal sangat baik selama beberapa tahun ini.
"Bukankah ini terlalu tiba-tiba, Ash?"
Pria bernama Asher itu menoleh ke samping, menatap Laura sekilas, lalu kembali melempar pandangannya ke arah makam.
"Ya, sangat tiba-tiba. Tapi bukankah umur tidak ada yang tau? Kematian bisa terjadi kapan saja. Dokter juga mengatakan jika kematian Mr Sammy karena penyakit jantung."
"Tapi kemarin saat dia bertemu denganku, Mr Sammy terlihat baik-baik saja, Ash. Aku jadi berpikir jika—"
"Jangan berpikiran yang tidak-tidak, Laura." potong Asher dengan cepat. Dia lantas berbalik dan mulai melangkah pergi. Tentu saja, Laura juga turut mengikutinya.
Ketika Laura sudah mensejajarkan langkahnya, pria itu kembali berkata, "ada hal yang sebenarnya sedikit janggal. Kamar Mr Sammy sangat berantakan."
"Lihat, belum ada satu menit, kau sudah berpikiran yang tidak-tidak sama sepertiku." sahut Laura sambil memutar bola matanya.
Memang dari awal mendengar berita kematian Sammy, Laura sedikit curiga. Tapi kecurigaannya bisa saja tidak mendasar, sebab tak ada bukti untuk menyakinkan ucapannya.
"Tapi anehnya, hanya ada satu sidik jari saja, ya sidik jari Mr Sammy itu sendiri. Tapi dokter mengatakan jika Mr Sammy tiada karena penyakit jantungnya. Apa sebelum itu, dia mendapatkan masalah? Sampai mengobrak-abrik seluruh isi kamarnya dan kemudian terkena serangan jantung?"
Laura mengedikkan bahunya. Dia memang merasakan ada sesuatu yang janggal dengan kematian Sammy. Sebab kemarin dia melihat pria paruh baya itu benar-benar dalam keadaan sehat dan tidak seperti orang yang sedang mengalami masalah yang berat.
"Anggap saja begitu. Kita tidak tau apa yang terjadi sebenarnya semalam." ujar Laura memutus pembicaraan. "Setidaknya, kita bicarakan ini di tempat lain." lanjut Laura setengah berbisik.
"Aku ada urusan setelah ini. Kau mau aku antar pulang terlebih dahulu?"
Laura menggeleng, "tidak perlu. Kau pergi saja dahulu. Aku akan naik taksi nanti."
"Selalu saja menolak jika aku menawarkan diri untuk mengantarmu. Memangnya kau mau ke mana jika tidak pulang?"
"Aku ada urusan. Bukan hanya kau saja yang punya urusan, Ash. Sampai bertemu lagi. Kau pergilah lebih dulu."
Laura sedikit mendorong tubuh Asher agar segera masuk ke dalam mobil. Sementara Laura sendiri langsung melambaikan tangan ke arah Asher sampai pria itu menjalankan mobilnya.
Keadaan di sekitar makam memang masih ada beberapa orang. Jadi, Laura berjalan menjauh untuk menelepon seseorang. Sayangnya, ketika hendak menelpon, mendadak sebuah mobil berjalan pelan di sampingnya.
Laura mencoba untuk berhenti terlebih dahulu, dan mobil tersebut melakukan hal yang sama. Jika dia lanjut berjalan, maka mobil itu juga ikut berjalan.
Karena merasa dipermainkan, Laura mendadak kesal. Dia mengetuk kaca jendela mobil tersebut yang super gelap dengan emosi yang hampir saja meledak.
"Buka sialan! Katakan apa mau mu hah?! Jangan—"
Ucapannya mendadak terhenti saat terkejut begitu mengetahui siapa yang ada di dalam mobil tersebut.
Laura sampai menelan ludahnya susah payah saat bertemu tatap dengan mata tersebut. Sepasang mata yang waktu itu pernah menjadi pelanggannya.
"Sepertinya ingatanmu begitu bagus. Kau mengingat siapa aku, Nona?"
"Maaf, aku tidak mengenalmu apalagi mengingatmu. Bisakah bawa mobil dengan benar? Kau sangat menganggu jalanku. Kau—"
"Masuklah. Aku akan mengantarmu." sela pria itu dan Laura menggeleng.
"Aku tidak suka menumpang mobil orang lain. Apalagi orang yang tak pernah ku kenal sama sekali."
"Kalau begitu masuklah, dan mari berkenalan."
Laura sontak menganga sambil menggelengkan kepalanya heran. Dia tidak tau jika di negeri ini ada orang aneh seperti pria tersebut.
Laura lantas mendecih dan melanjutkan jalannya. Mengacuhkan pria itu yang terus menawarkan tumpangan. Sampai akhirnya di depan sana terdapat beberapa preman dengan postur tubuh besar dan wajah menyeramkan mendadak berkumpul. Bahkan salah satunya memperhatikan Laura dari kejauhan.
"Kau tidak takut dengan preman-preman yang ada di depan sana?"
Laura menggigit bibir sambil melangkah ragu. Nampak begitu pelan dan wajahnya terlihat sedang berpikir keras. Dia bingung antara harus melanjutkan atau tidak.
Di satu sisi, dia sedikit was-was dengan munculnya beberapa preman di sana. Tapi di sisi lain, dia tidak mau juga menumpang pada mobil orang yang sama sekali tidak dia kenal.
"Masuklah, aku bersumpah bukan orang jahat."
Laura menghentikan langkahnya dan mobil pria itu juga berhenti. Laura menoleh ke samping dengan tatapan ragu. Tapi jika dia tidak masuk dan menumpang, maka sudah dipastikan jika dia akan menjadi bulan-bulanan para preman tersebut.
Pria itu mendadak membukakan pintu dari dalam dan Laura menatapnya dengan lamat. Seolah sedang menganalisa ekspresi wajah pria tersebut. Apakah benar baik atau justru juga memiliki niat buruk padanya. Apalagi pria itu tau apa pekerjaan malamnya.
"Kau benar-benar bukan orang jahat kan?" tanya Laura dengan serius.
Pria itu mengangguk, tapi Laura masih enggan untuk masuk ke dalam. Di dalam pikirannya sedang berputar-putar, antara iya ikut atau tidak.
"Kau tidak berniat untuk menculikku seperti yang ada di film-film itu kan?"
"Tidak. Masuklah, dan kau bisa buktikan sendiri apa perkataanku benar atau tidak."
Lagi-lagi Laura masih terlihat sangat ragu. Antara ingin masuk atau tidak. Rasanya masih sangat berat dan itu begitu terlihat sekali dari raut wajahnya. Hingga pria yang ada di dalam mobil tersebut kembali bersuara.
"Apa kau percaya takdir?"
Laura yang semula pandangannya menurun, sontak mendongak untuk menatap pria tersebut. Aneh. Satu kata yang muncul di dalam benak Laura.
"Pertanyaanmu sangat aneh. Aku—"
"Takdir kembali mempertemukan kita berdua. Jadi, masuklah. Selain bertemu, Tuhan juga menginginkan kita untuk saling mengenal juga sepertinya." potong pria itu dan tersenyum tipis.
Entah mengapa, Laura langsung memutuskan untuk masuk ke dalam. Pikirannya kacau secara mendadak. Dia hanya berharap jika pria yang berada dibalik kemudi ini benar-benar baik dan bukanlah orang jahat. Jika memang jahat, maka Laura akan memikirkan cara lain agar bisa keluar dari mobil tersebut.
Yang terpenting sekarang, dia terhindar dari para preman-preman yang menyeramkan itu. Sungguh, seingat Laura, sebelum masuk ke dalam area pemakaman, sama sekali tidak ada preman.
Aneh, tapi Laura segera menepis pikirannya tersebut.
+++
"Nicholas Leister,"
Laura melirik tangan pria yang ada di sampingnya itu. Rasanya enggan untuk bersalaman dengan pria asing yang baru dia temui sebanyak tiga kali, terhitung dengan hari ini.
Pertama sebagai customer di toko tempat dia bekerja. Lalu yang kedua sebagai customer VIP club yang menyewa jasanya. Kemudian yang terakhir atau yang ketiga kalinya adalah hari ini.
Laura kembali melirik saat pria itu menarik tangannya karena Laura enggan berjabat tangan. Apalagi balik memperkenalkan diri pada pria tersebut.
"Apa kau masih mencurigaiku sebagai orang jahat?"
Laura mengalihkan wajahnya ke depan. "Turunkan aku di depan minimarket itu."
Nicholas atau yang sebenarnya biasa dipanggil John itu menurut dengan langsung memberhentikan mobilnya tepat di depan sebuah minimarket yang Laura tunjuk.
Ketika gadis itu hendak keluar tanpa berpamitan, Nicholas dengan cepat menahannya. Namun bukan menahan dengan melakukan kontak fisik, melainkan hanya melalui ucapan.
"Setidaknya, beritahu nama mu dahulu." ujar pria itu yang mana membuat Laura mengurungkan niatnya untuk keluar. Dia menatap malas ke arah Nicholas.
"Anggap saja imbalan karena aku sudah menyelamatkanmu dari para preman-preman itu." lanjut John dan Laura sedikit mendecih pelan.
"Tapi awalnya kau yang memaksaku untuk masuk, kan?"
Nicholas tersenyum tipis. "Imbalan tetaplah imbalan. Tidak ada yang gratis di dunia ini, Nona—"
"Laura." sela gadis itu, lalu kemudian langsung turun dari mobil tersebut tanpa mengatakan apa pun lagi.
Sebelum benar-benar menutup pintu mobil tersebut, Laura sempat bertemu tatap dengan mata John. Hanya seperkian detik, dan Laura langsung menutup pintunya dan berlalu pergi.
Sementara itu, sudut bibir John sontak tertarik ke atas, sembari memperhatikan langkah Laura yang mulai menjauh dari mobilnya.
John lantas melajukan mobilnya dan pergi dari sana. Matanya masih sesekali sibuk memperhatikan Laura yang lama kelamaan terlihat mengecil dari kaca spion mobil.
"Gadis yang manis." ujar John sembari menatap lurus ke depan. "Tapi sedikit galak."