Bab II – Pemain Piano Terkenal.

2484 Kata
                                                                        Selamat membaca cerita ini :)                                                                                        ***                             Memisahkan dua orang yang sudah ditakdirkan untuk selalu bersama, bukan menjadi hak manusia biasa, dan jelas itu tandanya bahwa sebanyak apa pun orang yang menggangu hubungan kalian, kalian tidak akan terpisah, kalau Tuhan tidak mengizinkannya.                                                                                        ***                 Salah satu hal kenapa Kanaya selalu suka kembali ke Negara ini, ia selalu suka kota ini selain karena pemandangannya, grup laki-laki yang ia suka, kota ini juga selalu menampilkan salah satu pemain piano yang ia suka, dan orang itu, acara musik itu selalu tampil di bulan-bulan seperti ini, musim gugur, tahun kemarin pun, laki-laki itu tampil di sekitaran bulan September hingga November ini, itulah sebabnya Kanaya bisa di sini sekarang.                 Detingan piano saat laki-laki itu memainkannya sangat membuat Kanaya terharu , Kanaya seolah larut dari masa lalu yang mencengkram di kepalanya, perempuan itu selalu merasa nyaman, bahkan sejak menemui – lebih tepatnya saat melihat permainan pertama kali laki-laki itu, Kanaya sudah jatuh hati dengan cara laki-laki itu memainkan pianonya, tidak hanya dia – pelaku yang memainkan piano itu yang harus larut dalam permainan itu, tapi juga Kanaya yang hanya menonton dan mendengarkan permainan piano dari laki-laki itu hanyut dan merasa tenang, itu lah sebabnya Kanaya selalu ingin kembali ke kota itu, dan melihat penampilan laki-laki itu.                 Kanaya memandang gedung di mana musikal piano itu diselenggarakan, dari depan tempat pengambilan tiket, Kanaya dapat melihat sudah banyak sekali orang-orang yang sudah menunggu penampilan dari laki-laki itu, Elang namanya, yah kebetulan orang itu orang yang saat ini menjadi idola Kanaya berasal dari Indonesia, Kanaya yang sudah jatuh hati itu jelas pun ingin tahu tentang identitas laki-laki itu pun mencarai informasi di internet, tidak susah mencari data tentang laki-laki itu terlebih Elang yang sudah tenar di Negara itu.                 Elang Nugraha, berumur dua puluh Sembilan tahun, sungguh, Kanaya benar-benar girang mendapatkan nama asli dari laki-laki itu, dan jelas tentang kewarganegaraan Elang.                 Suasana menjadi hening saat lampu sudah dimatikan, Kanaya memang memilih untuk duduk di barisan paling depan, menjadikan dirinya semakin puas untuk melihat laki-laki itu, Kanaya terdiam di tempatnya, musik ini bukan musik biasa yang Elang main kan, selama mengikuti Elang tiga tahun belakangan ini, Kanaya tidak pernah mendengar Elang membawakan musik sedalam dan sesedih ini.                 Kanaya benar-benar terhanyut dalam musik itu, musik itu menyakitkan tapi menenangkan, judulnya saja Love In Loneliness, padahal harusnya cinta yang sebenarnya tidak seperti ini menurut Kanaya, cinta selalu membawa kebahagiaan, membawa keceriaan, kespeian bukan dari tanda cinta, itu menurut Kanaya, walau selama ini Kanaya sadar ia tidak pernah mendapatkan cinta yang sesungguhnya, love in loneliness, ya Kanaya juga selama ini merasakan cinta dalam kesepian, cinta dalam kesunyian, dan kesakitan.                 Kanaya memeluk erat buket bunga yang ia bahwa, ya, hari ini, Kanaya ingin berkenalan secara resmi dengan laki-laki, tidak bermaksud apa-apa, hanya saja Kanaya ingin mengucapkan terima kasih kepada Elang, karena pekerjaan Kanaya yang begitu banyak, dan rasa kesepian yang menusuk setiap malamnya, walau Kanaya sudah lelah dengan pekerjaanya, tapi, setiap tengah malam Kanaya sama sekali tidak bisa beristirahat dengan benar dan tenanga, Kanaya merasa hidupnya ada beban, dan setiap kali Kanaya menyalakan detingan piano yang dimainkan oleh Elang, malamnya benar-benar menjadi lebih tenang, ya, detingan piano Elang seolah menjadi cahaya di malam Kanaya yang gelap dan sepi, padahal Kanaya tahu musik yang dimainkan oleh Elang adalah musik yang menyakitkan, ada perasaan kesepian di dalam suara piano itu, tapi, Kanaya malah tenang saat mendengarnya, benar-benar membuat Kanaya bisa tenang dan tetridur dengan damai, tanpa ada rasa yang menyakitkan.                 Kanaya yang mengenakan mantel panjang berwarna putih yang di dalamnya dipadukan dengan sweater berwarna jingga, sungguh Korea bulan ini benar-benar dingin, dan Kanaya tidak mau mati kedinginan di sini, perempuan itu beridiri di tempatnya, memperhatikan laki-laki itu yang sudah menerima banyak bunga dari pegemarnya yang datang, yang menikmati penampilannya malam ini.                 “Gomawo, gil-eseo josimhae.” Elang mengucapkan banyak terima kasih kepada para penontonnya yang banyak sekali memberinya hadiah dan bunga malam ini, laki-laki itu masih mengintari gedung di mana dirinya melaksanakan pemainan seperti biasanya ia lakukan sebelum pulang.             Ya, Elang memang selalu melakukan pertunjukan musiknya di gedung ini, sama seperti tahun-tahun yang lalu, dan biasanya orang itu selalu datang, tak pernah melewatkan pertunjukannya sekali pun, bahkan saat Elang melakukan pertunjukan di kota Paris tiga bulan yang lalu, yang jelas-jelas lebih jauh daripada jarak Indonesia ke Korea, orang itu berhadir, walau memang langsung pergi setelah menyapa Elang tanpa makan malam seperti biasanya, karena orang itu memang lagi diburu waktu, tapi kali ini, orang itu masih tidak kelihatan bahkan saat Elang sudah hampir habis menyapa semua tamu-tamunya yang datang, apa orang itu benar-benar tidak datang malam ini?             “Gomawo, gil-eseo josimhae,” kata  itu kembali Elang ucapkan kepada sseorang perempuan yang mengenakan mantel putih bersih, dengan bunga lili dan bunga krisan yang digabung menjadi satu buket, yang kini sudah berpindah tempat ke tangannya dari tangan perempuan itu.             Kanaya memilih memberi Elang bunga lili yang melambakangkan kesucian, kemurnian, dan ketulusan, yang maksud dari Kanaya adalah Elang yang selalu melakukan penampilannya dengan baik dan murni, Kanaya juga malam ini memilih bunga krisan yang memiliki makna rahasia, kasih sayang dan persahabatan, jujur saja Kanaya merasa ia menyayangi Elang, merasakan sayang dan jatuh cinta atas penampilan laki-laki itu, atas musik yang selalu dimainkan oleh Elang.             “Pak Elang, selamat,” bukanya berucap dengan bahasa Korea atau Inggris, Kanaya malah mengucap kalimat Ibunya kepada Elang, jelas saja, menurut Kanaya untuk apa ia susah-susah mengucap bahasa Korea, kalau Elang juga sesama orang Indonesia.             “Ah, Nona …”             “Terima kasih, penampilan Pak Elang selalu menakjubkan,” kata Kanaya memotong ucapan dari Elang, Kanaya hanya ingin mengatakan apa yang ingin ia katakana, sungguh mengucap kata terima kasih saja kepada laki-laki itu bagi Kanaya begitu menyulitkan, ia terlalu gugup, terlalu gemetar, padahal Elang tidak lah mengigit, manusia itu begitu manis memandang Kanaya, menunggu apa yang dikatakan Kanaya, Kanaya yang sudah tiga tahun mengikuti Elang memang baru pertama kali menyapa laki-laki itu, wajar saja Kanaya merasa begitu gugup seperti ini.             Jujur saja, tatapan mata Kanaya terkunci di laki-laki itu, pandangan mata laki-laki itu, tatapannya begitu hangat, senyumnya juga terasa tulus, ya ampun, tidak, Kanaya tidak mungkin merasakan itu kan? Tidak lah, hatinya saja sudah merasa mati rasa, Kanaya merasa tak pantas lagi dengan kata ‘cinta’ sedikit banyak Kanaya merasakan apa yang dikatakan oleh Elang dalam pertunjukannya tadi benar adanya, ketenangan sekaligus kegundahan yang menjadi satu karena cinta disajikan dengan baik oleh Elang lewat detingan musiknya selama hampir dua jam itu.             “Saya, selalu bisa tidur dengan nyaman dengan musik yang Pak Elang mainkan.” Kanaya kembali berucap.             Jujur saja, mulut Elang terkunci rapat dengan kalimat yang dikatakan oleh perempuan dengan rambut diurai begitu saja itu, mantelnya yang putih memancarkan dengan jelas sweater jingga yang dikenakan di dalam mantel itu, perkataan perempuan itu tiba-tiba tersimpan di hati juga otak Elang, bukan karena terlalu lama di luar negeri Elang jadi lupa dengan kalimat bahasa Indonesia hingga membuatnya berpikir tentang kalimat itu, tapi kalimat itu seolah memukul Elang dengan kencang.             Kenapa, orang lain lain yang mendengarkan musiknya bisa tidur dengan nyaman? Sedangkan dirinya sama sekali tidak bisa tidur habis memaikan piano, ya seperti apa yang ia bawakan barusan, cinta dalam kesepian, Elang sadar banyak sekali cinta dalam kesepian di dunia ini, bukan kah kesepian selalu indentik dengan sunyi dan malam?             Yah, Elang sendiri tidak yakin dengan itu semua, tapi Elang merasakannya, cinta dalam kesunyian, kesendirian, selama hampir sepuluh tahun Elang merasakan itu semua, tidak, sepuluh tahun hanya lah waktu yang sebentar, mungkin lebih tepatnya dua puluh tahun sudah Elang merasakan itu semua, cinta dalam kesepian, sama seperti nada yang Elang mainkan tadi.             Cinta dalam kesepian, dalam kebingungan, dan kegundahan, Elang tidak tahu bahwa cinta yang dikatakan oleh orang adalah penuh kebahagiaan, tidak, itu sama sekali tidak pernah Elang rasakan, bahkan di detik ini, saat orang-orang mengatakan bahwa Elang menerima banyak cinta dari penggemar, keluarga, juga orang terdektanya, nyatanya tidak, Elang tidak pernah merasakan cinta dalam bentuk kebahagiaan, dalam bentuk ketenangan, cinta yang Elang kenal adalah cinta dalam kesunyian, dalam kegaduhan hati yang ia tanggung sendiri.             Tatapan mata Elang tak lepas dari derap langkah perempuan itu saat menjauh, Elang tidak pernah sekali pun mendengar bahwa lagu-lagunya bisa membuat seseorang tertidur dengan damai, Elang memang suka membawakan musik yang sedikit, ah banyak maksudnya, tentang kesedihan, Elang yang merasa tak pernah merasakan kebahagiaan dan cinta, sama sekali tidak bisa menjiwai detingan piano yang menyenangkan, yang berbahagia yang menenangkan, hingga, setiap ia melakukan pertunjukan, banyak sekali orang yang mengatakan bahwa mereka menangis, bahwa mereka bersedih saat mendengar penampilan Elang, tapi perempuan itu berbeda, perempuan itu malah merasakan tenang, kok bisa?             Tepukan di bahu laki-laki itu membuat Elang tersadar dari lamunanya, orang itu langsung memeluk Elang saat melihat wajah Elang yang tersenyum, Elang juga tak tinggal diam, ia membalas pelukan Kakaknya itu dengan pelukan hangat dan penuh cinta? Cinta? Atau kebiasaan? Atau kasih sayang?             “Sorry, sorry banget,” laki-laki itu meminta ma’af sambil kembali memeluk Elang. Cakra merasa sangat menyesal karena melewati penampilan adiknya itu hari ini, bukan maksud Cakra begitu, hanya saja, Cakra yang ke sini sekalian melakukan perjalanan bisnisnya pun tidak bisa menangani masalah yang barusan ia hadapi, ada kesalahpahaman antara perusahaanya dan investor itu, hingga Cakra harus menyelesaikan masalah itu sekarang juga, karena ia sama sekali tidak punya waktu luang  lagi, besok ia sudah harus berada di Indonesia, yang sama saja artinya Cakra haruas pulang hari ini ke negaranya itu, dan Cakra juga merasa ia mengambil keputusan yang berat tadi, ia tahu padahal tujuan utamanhya ke Negara ini adalah menonton penampilan adiknya itu, tapi, Cakra malah masih saja bekerja, bekerja, bekerja.             Ya, Cakra sebenarnya memang ingin berlama-lama di sini, berlama-lama bertemu dengan Elang, tapi mengingat orang itu sudah menunggunya pulang, jadi Cakra memang harus segera pulang, lagi pula ia memang sudah lama sekali rasanya tidak menemui Nayla, perempuan yang terakhir kalinya ia tinggal dengan keadaan tertidur itu apa sudah bangun atau belum, ya? Sungguh Cakra penasaran dengan keadaan calon istrinya itu sekarang, Cakra sungguh berharap bahwa Nayla sudah bangun.             “One time, for diner?”             “Oke, last time.” Cakra melihat Elang yang tersenyum, Cakra sungguh merasa bersalah karena melewatkan penampilan Adiknya itu, padahal ia sudah berjanji akan datang dan menjadi penonton pertama yang duduk menunggu adiknya itu, tapi Cakra malah mengingkari janjinya, Cakra malah sibuk dengan urusan dunianya, sungguh, Cakra benar-benar merasa menjadi Kakak yang buruk.             Menjadi anak yang jarang – hampir tidak pernah sekali pulang ke rumah, ke Indonesia, membuat Cakra yang selalu mendatangi Elang, di Negara mana pun adiknya itu menyelanggarakan penampilannya maka Cakra akan datang, malam ini, Cakra memilih diner di hotel yang berjarak tiga puluh menit dari kota Seoul, hotel ini sangat cantik menurut Cakra, makanya laki-laki suka sekali ke sini, ya mungkin ini sudah kunjungan ke lima Cakra di hotel ini.             “Pulang Lang,” perkataan Cakra memang tidak mengenakan, apalagi saat Cakra dan Elang sudah berpisah hampir tiga bulan sejak terakhir mereka bertemu, Cakra malah mengucapkan kalimat sakral, yang sama sekali tidak ingin Elang dengarkan kali ini, ya setiap kali ia dan Elang bertemu, Cakra memang selalu mengatakan itu, Cakra ingin adiknya itu pulang, Cakra ingin Elang pulang ke rumah.             Elang pasti akan pulang, tapi tidak sekarang, rasanya masih menyakitkan, padahal Elang sudah tidak ada di Negara itu selama dua puluh tahun, tapi mengingat tempat itu, mengingat Negara itu masih saja membuat hati Elang sakit, walau sudah lama sekali rasanya.             Ia dibuang oleh orangtuanya, tidak dianggap, dan kali ini Cakra selalu saja menyuruhnya pulang, tidak, tidak semudah itu Elang bisa menerima apa yang sudah orangtuanya perbuat padanya, orangtuanya menganggap Elang bukan lah anugerah, bukan lah pemberian Tuhan yang harus dijaga, lalu untuk apa Elang repot-repot pulang dan bertemu dengan orangtuanya? Padahal orangtuanya juga tidak ingin menerima Elang, tidak menghargai nyawa Elang.             “Bang, ayo lah.” Elang merengek sebagai adik kecil Cakra, seperti Elang tengah minta diberikan permen, Elang tidak bisa pulang sekarang, rasanya berat sekali, dan Elang sendiri tidak tahu ia harus bagaimana agar rasa itu bisa tidak semenyakitkan ini, Elang juga ingin menghentikan gemuruh yang ada di dadanya ini, tapi, apa, bagaimana caranya?             “Berapa lama lagi, De?” Cakra mengucap seolah bermohon, ia tahu bahwa ini sepertinya memaksa Elang, yang harusnya Cakra bisa menghormati keputusan Elang, tapi di satu sisi, Cakra juga ingin Elang segera pulang, Cakra ingin Elang bertemu dengan orangtuanya, menjadi anak dari orangtuanya, tidak menjadi anak yang hilang seperti ini. “Nayla belum juga bangun, Lang.” Cakra kembali berucap, kali ini ia tidak ingin meembahas hal pribadi tentang Elang, ia tidak ingin memkasa Elang, ia hanya menyampaikan apa yang tengah ia rasakan, menjadi anak tunggal tidak lah enak,  Cakra ingin ada Elang di sisinya, di rumahnya.             Elang menatap Cakra dengan tatapan sendu, Nayla adalah calon kakak iparnya yang di hari pernikahannya dengan Cakra mengalamai kecelakaan, dan saat ini perempuan itu mengalamai koma sampai detik ini, Elang sendiri pun memang tidak pernah melihat Nayla karena memang ia tidak pulang waktu Cakra mengadakan pernikahan kemarin.             Malam itu, suasana sangat sepi dan sendu, Kanaya memilih masih berada di tempatnya, memandang kota ini dengan indah. Kanaya baru saja bertemu kembali dengan client yang bertempat di Seoul, salah satu investor untuk perusahaanya, kali ini Kanaya membahas tentang tender yang ia dapatkan di kotanya, untuk membangun gedung pemerintah yang baru di daerah Kalimantan, ya, Kanaya sendiri tidak menyangka bahwa ia bisa mendapatkan tender itu, rasanya sungguh luar biasa, ini adalah proyek besar, proyek yang menguntungkan untuk perusahaan Kanaya.             Kanaya akhirnya selesai memandang pemadangan dari tempatnya duduk, sungguh, kota ini, hotel ini, malam ini sungguh menakjubkan, lagi pula ia juga besok akan perjalanan pulang ke Indonesia yang juga cukup memakan waktu, dan lusa Kanaya juga harus sudah masuk kantor, memantau perancangan biaya (RAB) yang akan ia ajukan ke pemerintah, agar pemerintah bisa menyesuaikan dengan APBN atau APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia) Kanaya juga sudah tidak lagi menunggu penampilan dari Elang, Kanaya juga sudah merasa lega karena sudah menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan kepada pianis itu, Elang benar-benar mencuri hatinya.             Kanaya berniat ingin pergi ke kamarnya, ya untungnya hari ini meeting yang ia adakan ada di tempat ia menginap, sungguh akhirnya liburan sekaligus bekerja ini sudah selesai, Kanaya harus pulang sekarang, harus kembali kerja.             Malam itu, di restoran hotel The Sheilla Seoul yang tidak terlalu ramai pengunjung karena jam makan malam sudah lewat, Elang bisa melihat perempuan itu, perempuan tadi siang yang sudah membuatnya berpikir keras dengan perkataan perempuan itu.             Elang yang tengah mengenakan kemeja hitam, dan bercelana jeans biru yang sama sekali tidak menunjukan umurnya yang hampir tiga puluh tahun itu, langsung melepaskan garpunya, menyusul perempuan yang mengenakan mantel abu-abu yang berjalan dari arah luar restoran, yang memang langsung disuguhkan dengan pemandangan Seoul itu.             Cakra langsung melebarkan matanya, ya Elang tak berbicara apa-apa saat ia melangkah pergi, laki-laki iu langsung melesat saja, dan itu benar-benar membuat Cakra tercengang karena ulah adiknya itu. Lebih-lebih saat Cakra melihat ke mana Elang melangkah dengan cepat itu, tidak, Cakra tidak salah lihat, Elang tengah berjalan mengarah kearah seorang perempuan, siapa, siapa dia, pacarnya Elang?                                                                                     ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN