Prolog
Selamat membaca.
Mencintai diri sendiri sungguh itu lebih sulit daripada mencintai orang lain.
***
Sudah hampir dua tahun Nayla masih terbaring lemah dengan segala alat bantu yang menyambung detak jantungnya di dunia ini, Navla hampir saja merelakan anaknya itu, ia ingin mencabut semua alat pendukung kehidupan yang berada di tubuh Nayla itu, Navla hanya berpikir bahwa ini semua hanya menyulitkan Nayla, hanya semakin membuat Nayla sakit, membuat Nayla tidak bebas, dan ini juga sama sekali tidak membantu Nayla untuk kembali, sudah dua tahun anaknya itu masih saja, tidak bisa sadar, sebelum Cakra mengatakan sesuatu padanya, membuat Navla benar-benar terpukul hebat atas apa yang dikatakan oleh Cakra itu.
“Tan, bukan kah Tuhan yang harusnya mencabut nyawa Nayla?” ucap laki-laki itu. “Bukan kita, bukan hambanya Tuhan, yang berhak membuat Nayla kehilangan nyawanya.”
Cakra, calon suami Nayla mengatakan itu tanpa suara yang bergetar ke calon mertuanya itu, padahal Cakra sendiri hampir saja tidak bisa bernapas karena setiap hari Nayla sama sekali tidak menunjukan kemajuan yang pesat, yang mampu memberikan harapan kepada semua orang yang sudah menunggu Nayla untuk sadar.
Padahal Cakra sendiri pun sama hancurnya dengan Tante Navla, Cakra jelas menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi sekarang, benar, ini semua karena salahnya dua tahun yang lalu, karena kecerobohan laki-laki itu, hingga perempuyan yang begitu ia damba saat ini terbaring lemas tidak berdaya, terbaring dengan nyawa yang tidak bisa dikatakan ada di tubuhnya, naywa Nayla sungguh sangat terancam.
Cakra, ingat sekali, dua tahun lalu, ia pernah menasehati Nayla, untuk berteman kembali dengan mantan tunangannya, orang yang sudah mengkhianati Nayla dengan cara menyelingkuhi perempuan yang paling ia sayang itu, Cakra pikir, berteman dan berbaikan kembali dengan laki-laki itu adalah cara terbaik untuk bisa membuka lembaran baru dengan tenang, dengan damai tanpa ada dendam dan kekesalan di dalam hati Nayla, tapi, berteman dengan orang yang b******k selamanya akan menjadi masalah, walau kejadian itu sudah lewat bertahun-tahun lamanya.
Saat itu Nayla diculik Keral -- mantan tunangannya, saat perempuan itu ingin menyelenggarakan pernikahan dengan Cakra, tepat di hari pernikahan mereka, Keral pun saat ini tengah mendekam di penjara, karena menjadi salah satu pencandu barang haram, sekaligus ia menjalani tuntutan sebagai penculik, dan menyebabkan Nayla kecelakaan hingga tak sadarkan diri sampai detik ini.
Waktu itu, jelas saja Cakra menjadi menyalahkan dirinya sendiri, coba saja, dirinya tidak membiarkan Keral yang membawa Nayla menuju tempat akad pernikahan mereka saat itu, mungkin ini semua tidak akan terjadi, ia dan Nayla mungkin sudah menikah dan menjadi keluarga yang bahagia, yang dikarunia anak-anak yang lucu.
Tapi, sekali lagi, Cakra tidak bisa menyalahkan masa lalu, ia juga tidak bisa memutar masa lalu, menjadikan semuanya tidak terjadi, menjadikan Nayla baik-baik saja, tidak, itu semua sama sekali tidak bisa Cakra lakukan saat ini, yang bisa Cakra lakukan saat ini adalah menjadi laki-laki setia, laki-laki yang menunggu belahan jiwanya tersadar dari komanya, laki-laki yang menunggu calon istrinya bagun, laki-laki yang tidak akan tergoda oleh perempuan lain, ya, itu lah yang harusnya Cakra lakukan saat ini, dan tentu semakin mengencangkan do’a kepada Tuhan, agar calon istrinya itu cepat bangun, cepat sadar, sungguh, Cakra amat tersiksa dengan keadaan Nayla yang seperti ini.
Cakra menatap wajah Nayla, yang semakin hari semakin pucat itu, tangan Nayla yang putih pucat itu dipegannya, diciumnya, berharap agar Nayla segera bangun dengan cara seperti itu.
“Hey cantik, boleh bangun sekarang yuk ….” Cakra berucap lirih sambil memegang tangan itu. “Tidurmu sudah terlalu lama, sudah sangat lama malahan, apa kamu enggak kangen aku?” ucap Cakra lagi sambil tersenyum kecut.
Jujur saja, dua tahun ini, di tengah malam, di tengah saat ia meeting, Cakra masih memikirkan Nayla, berdo’a agar perempuan itu bisa hidup, sungguh, selama ini pun Cakra sangat-sangat dihantui oleh perasaan bersalahnya, Nayla seperti ini karenannya, dan Cakra juga harus menanggung ini semua.
“Tuhan, sekali lagi, bolehkah aku meminta Nayla agar bisa hidup lagi?”
***