Bab III – Pertemuan ke Tiga atau ke dua?

2225 Kata
                                                            Selamat membaca                                                                             ***                                  Banyak makna di balik pertemuan, entah itu pertemuan yang pertama, atau yang ke sepuluh, tidak peduli itu pertemuan keberpa, tapi yang pasti akan selalu ada makna dari pertemuan itu.                                                                             ***             Perjalanan dari Seoul ke Jakarta bisa menghabiskan kurang lebih waktu tujuh jam, pesawat yang ditumpangi Kanaya berangkat jam sepuluh lewat empat puluh pagi waktu Korea, yang kemungkinan akan sampai di Jakarta sekitar jam empat sore waktu setempat, Kanaya sudah tiba di Bandara Incheon sejak dua jam yang lalu, perempuan itu kini memilih mengisi perutnya di Bandara yang indah itu, Kanaya terdiam di tempatnya mengingat kejadian tadi malam, ya, saat Kanaya baru selesai meeting, dan berniat untuk kembali ke lantai kamarnya berada, Elang menahan pijakannya saat itu, dan terjadi sesuatu yang benar-benar membuat kanaya akan selalu mengingat laki-laki itu.             Iya, Elang Nugraha, Pianis yang kemarin siang Kanaya tonton penampilannya ada di hotel yang sama dengan dirinya sekarang itu, jantung Kanaya tadi malam rasanya mau lepas dari tempatnya, dua tahun hubungannya berlalu dengan Keral, laki-laki terakhir yang berhubungan dengannya, dan setelah itu Kanaya tidak lagi pernah dan mau terpikat kepada laki-laki lain, bukan karena Kanaya masih menginginkan dan mencintai Keral, enggak, hanya saja, karena kejadian itu Kanaya rasanya tidak lagi ingin merasakan cinta, menyukai laki-laki, atau apalah itu.             Tadi malam Elang hanya ingin berkenalan dengannya, Elang sangat lah ramah, bahkan Elang mengatakan bahwa ia menunggu untuk Kanaya melihat pertunjukannya lagi, kira-kira dua bulan lagi Elang memang akan berancana memainkan pertunjukannya lagi, di awal tahun 2021, dan Kanaya juga sudah berjanji untuk datang menontonya.             Kanaya kembali ke ruang tunggu, ponsel perempuan itu bergetar, hingga ia meminggir ke samping jendela benadara itu, memepetkan tubuhnya ke jendela, agar tidak menggangu jalan, ia memang tidak suka bermain ponsel dengan berjalan, karena Kanaya yakin ia akan menggangu jalan orang lain saat ia bermain ponsel di tengah jalan, bukan kah itu tidak sopan, dan akan menggangu pejalan lainnya?             Kejadian tak mengenakan menimpa Kanaya detik itu, kaki perempuan itu tersandung pot bunga yang berada di sampingnya saat Kanaya ingin melangkah pergi, yang benar-benar Kanaya tidak menyadari ada pot itu di sana, Kanaya jatuh, yang langsung ditolong beberapa orang yang melihatnya, Kanaya sama sekali tidak merasa malu saat itu, karena sakit yang saat ini berada di kakinya lebih penting dari apa pun, dari malu yang ia rasakan, Kanaya sama sekali tidak keberatan saat menjadi tontonan atas kecerobohannya itu, karena ia yakin ornag-orang juga tidak akan mengenalinya, tidak akan mengatainnya juga.             “Oh, Nona, are you okay?” salah satu petugas di Bandara yang kebetulan membantu Kanaya sejak jatuh, kini bertanya kepada perempuan itu, tentang keadaan Kanaya.             Sebelum menggelengkan kepala, Kanaya sempat meringis kesakitan, ia jelas kenapa-kenapa, Kanaya yakin ia tidak bisa berjalan sampai ke pesawat kalau begini caranya, sungguh, kaki Kanaya rasanya sakit sekali. “I’m okay, but, I think I don’t can’t walk.” Kanaya menjawab dengan tatapan nanar, dan memhon pertolongan, berharap petugas itu mengerti bahwa Kanaya butuh pertolongannya.             “Oh, Yes …..”             “It's okay, let me help him get to the plane.” Cakra yang melihat orang yang jatuh itu adalah Kanaya, langsung melangkah dengan pasti menuju perempuan itu, ia yakin perempuan itu adalah perempuan yang dua hari lalu ia lihat di halte, juga ia lihat tadi malam bertemu dengan Elang di hotel saat mereka diner.             Tadi malam, Cakra tidak berkutik saat melihat langkah Elang menuju perempuan yang baru saja masuk dari restoran outdoor, ya, Cakra ingat sekali dengan perempuan yang ia kenal itu, lebih tepatnya saat perempuan itu berebut dengan dirinya naik bus beberapa hari lalu, saat Cakra menyapanya pun perempuan itu membalas dengan bahasa Indonesia dan ia merasa memang dari Indonesia, tadi malam pun Elang bercerita bahwa perempuan itu adalah penggemarnya, perempuan itu suka sekali mendengar musik dari penampilannya, dilihat dari tatapan mata Elang dan tingkah laku Elang saat melihat perempuan itu, jelas Cakra tak bisa mengatakan bahwa Elang tidak tertarik kepada perempuan itu.             Cakra yang saat ini berusia dua puluh Sembilan tahun, jelas paham dengan keadaan, jangan lupa ia sudah dewasa, dan Elang juga sudah dewasa, tatapan mata Elang dan tingkah laku itu aneh, apalagi saat itu ia dan Elang tengah makan bersama, kalau perempuan itu hanya berteman atau kenalan biasa, atau bisa disebut penggemar Elang, rasanya ganjal sekali Elang malah menysul perempuan itu tanpa kata kepada Cakra, tanpa permisi kepada Cakra.             “Kebetulan satu pesawat.” Kanaya berucap saat tubuhnya sudah dipapah oleh Cakra, melewatai ekskalator yang mengantarkan mereka ke tempat di mana harusnya mereka menuggu jam penerbangan, menunggu pesawat mereka.             Cakra terseyum ramah dan mengganguk, ya syukurnya ia dan perempuan itu berada di pesawat yang sama, dijam penerbangan yang sama, bahkan lebih parah dari itu, tempat duduk mereka berdekatan, ya tadi Cakra sempat melihat tiket Kanaya yang jatuh, ya, tujuh jam yang akan mendatang Kanaya dan Cakra akan duduk bersisian nantinya di pesawat, benar-benar takdir yang mengasikan? Hem ya mengasikan bisa bertemu dengan perempuan itu lagi.             “Kamu, benearan enggak apa-apa?” ulang Cakra lagi.             Kanaya sempat melirik ke pergelangan kakinya, ia yakin tadi ia tidak hanya tersandung, lebih parah dari itu, Kanaya merasa bahwa kakinya sempat tertindih, dan itulah yang membuat kakinya lebih terasa sakit. “Kayaknya, langsung cari tukang urut kalau sampai ke Jakarta.” Kanaya berucap sungguh, tapi Cakra malah menggapainya dengan tertawa geli.             Kanaya akhrinya dengan selamat diletakan oleh Cakra di tempatnya duduk, laki-laki itu juga dengan telanten membantu pramugari yang juga tengah melayani Kanaya. “Mau diolesin salep enggak, atau dipijet gitu?” Tanya Cakra ramah kepada kanaya, Cakra sungguh bertanya dengan jujur, ia juga tidak tega melihat Kanaya seperti ini, lagi pula mereka baru tiba ke Jakarta tujuh jam lagi, belum lagi perjalanan dari Bandara Soekarno Harto ke rumah Kanaya, memakan waktu yang berapa lama lagi itu, bagaimana dengan keadaan kaki perempuan itu, pasti Kanaya akan merasakan kesakitan.             Jujur saja, Kanaya sungguh tidak bisa diperlakukan seperti ini, Kanaya trauma dengan laki-laki yang tidak jelas dan terlalu baik, sama seperti Cakra terlalu baik, laki-laki yang ada di depannya ini terlalu baik, padahal Kanaya tahu bahwa Cakra hanya iba kepadanya, karena Kanaya berasa dari Negara yang sama dengannya, laki-laki itu baik karena ia punya perasaan, punya hati, hanya itu, dank arena Cakra adalah manusia yang menolong manusia.             “I’m oke.” Kanaya mencoba menguatkan dirinya, walau sesungguhnya kakinya benar-benar merasa sakit, saat Kanaya berucap seperti itu, Kanaya terlihat tersenyum saat Cakra tak lagi bertanya tentang keadaan Kanaya, sesekali hatinya mengerutu, mencoba untuk tidak terlalu akrab dengan laki-laki siapa pun, terlebih laki-laki yang menolongnya itu mengenakan cincin di jari manisnya, bukan kah itu tandanya laki-laki itu sudah berkeluarga? Tidak, Kanaya tidak mau kesalahannya di masa lalu menjadi terulang untuk ke dua kalinya, mungkin, kesalahannya dengan Keral kemarin masih bisa terma’afkan, karena Keral masih lajang, maksudnya tidak punya istri, tidak punya keluarga, kalau sekarang, kalau Kanaya kecantol dengan suami orang bagaimana? Apa yang harus Kanaya lakukan lagi? Lebih baik Kanaya bunuh diri saja.             Kanaya menyalakan laptopnya, beberapa pekerjaan memang harus ia periksa sekarang, walau sesekali perempuan itu juga meringis karena kakinya yang sakit, tidak henti-henti.             “Aku, Kakaknya Elang.”             Jujur saja, jari-jari Kanaya yang berada di atas keybord laptopnya terhenti seketika saja, Kanaya bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan laki-laki itu, tapi Kanaya ingin sekali lagi mendengarnya, sungguh kah yang ia dengar tadi? Atau Kanaya salah dengar karena saat ini ia berada di atas pesawat? Di udara yang tinggi ini, jadi telingan Kanaya terganggu?             “Hah?” kata Kanaya meminta untuk Cakra mengulangi kata-katanya.             Cakra tersenyum, menumpukan wajahnya di tangannya, memadang Kanaya dengan lembut, Cakra tersenyum kegirangan kepada perempuan itu, Cakra seolah bisa menemukan satu harapannya dengan perempuan itu, Cakra seolah bisa menggunakan Kanaya untuk bisa memulangkan Elang, bagaimana pun nanti rencananya Kanaya mungkin bisa digunakan untuk itu semua. “Saya kemarin malam lihat kamu disusul oleh Elang.”             Sah sudah, tangan Kanaya sudah lepas seutuhnya dari laptop yang ia buka tadi, hilang sudah nafsu Kanaya untuk bekerja, memeriksa dokumen yang beruntung masuk ke dalam emailnya, bahkan rasa sakit di kakinya rasanya hilang, kenapa laki-laki yang ia temui ini tahu kejadiannya dengan Elang, dan kenapa bisa laki-laki ini malah menjadi kakaknya Elang, ya bisa sih namanya juga saudaranya, maksudnya kenapa ia malah bisa bertemu dengan Kakaknya Elang saat ini.             “Aku suka lihat Elang waktu nyusul kamu, kayak di drama-drama Korea, ya walau sebenarnya kita emang masih di Korea,” setelah menarik perhatian Kanaya kepadanya, Cakra membenarkan posisi badannya, membiarkan Kanaya menatapnya dengan heran dan penuh penasaran. Cakra tersenyum, melihat Kanaya yang masih terdiam, perempuan itu juga tanpa suara memandangnya.             Kanaya mengalihkan padangnya permepuan itu jadi mengingat bagaimana ia bisa bertemu dengan Elang tadi malam, kaki Kanaya tadi malam langsung terhenti saat melihat laki-laki itu tiba-tiba hadir di depan matanya, Kanaya sungguh merasa terkejut.             “Hai,” tadi malam, laki-laki itu menyapannya seperti itu, Kanaya jelas tidak tahu apa yang harus ia lakukan, ia hanya tersenyum dan mengangguk sekilas saat terkejut melihat Elang ada di sana. “Senang bisa ketemu kamu di sini.” Elang kembali berucap saat melihat Kanaya hanya diam saja, membuat Kanaya akhirnya tersenyum, tetap tanpa mengeluarkan suaranya.             Kanaya hanya bisa tersenyum malu tadi malam, Kanaya baru saja menyelesaikan pekerjaanya, Kanaya merasa kepalanya baru saja berasap karena pekerjaanya, tapi ia sudah kembali dibuat berdebar saat melihat Elang, Kanaya senang, tapi juga merasa sedih, pasalnya Kanaya akan pulang dari negeri itu, akan meninggalkan Elang, akan kembali pergi dari Korea, dari liburan menyendirinya.             “Kok bisa kamu, Kakanya Elang.” Kanaya tanpa sadar beucap seperti itu kepada Cakra. “Enggak, maksud saya, kenapa kamu Kakaknya Elang, ah begitulah maksudnya.” Kanaya menjadi hilang kata-kata, merasa begitu terkejut dengan apa yang dikatakan oleh  Cakra tadi, jujur saja Kanaya tidak percaya dengan takdir yang saat ini tertimpa kepadanya, bisa-bisanya ia bertemu dengan adik kaka sekaligusnya, tanpa ada peringatan apa pun di sekitarnya.             Cakra benar-benar tertawa geli, perempuan itu sungguh lucu, sungguh lacu, wajar saja kalau Elang menyukainya, Cakra juga merasakan bahwa Kanaya begitu mirip dengan Nayla, calon istrinya yang masih tertidur itu, Kanaya lucu seperti Nayla, menggemaskan, membuat rasa rindu Cakra kepada perempuan itu sedikit terobati, pasalnya ia seolah melihat Nayla yang hidup, melihat Nayla yang ada di sampingnya.             Cakra tidak menjawab apa yang ditanyakan oleh Kanaya, laki-laki itu terdiam, membiarkan Kanaya menebak-nebak tentang dirinya, di dalam diamnya Cakra juga tengah menysuun rencana agar bisa memperalat Kanaya untuk bisa membantunya mempulangkan anak yang hilang itu. Cakra rasa, cara menaklukan laki-laki adalah dengan cara memberikan umpan perempuan yang ia suka, lagi pula, pasti lebih mudah kalau Elang dan Kanaya berhubungan di Indonesia saja, walau sepertinya Kanaya terlihat perempuan yang Kanaya dan mudah baginya untuk bolak balik Korea, tapi lebih muah untuk Kanaya bisa mempulangkan Elang ke Indonesia kan? Dan kalau mereka serius dalam menjalin hubungan, akan lebih mudah rasanya.             Kanaya ikut diam, melihat Cakra yang diam, ia tidak bisa menutupi bahwa ia sunggu terkejut dengan apa yang ia dengar kali ini, laki-laki itu ternyataa adalah Kakaknya Elang, pianis yang ia suka, sungguh sekecil ini kah dunia Kanaya? Baru saja Kanaya merasakan dirinya tertarik kepada Elang, tidak, maksdunya baru saja Kanaya mengenal Elang, ia malah langsung mengenal  saudaranya, bahkan laki-laki itu juga membantu Kanaya yang tengah kesakitan ini, dan lebih hebatnya ia dan saudaranya Elang ini pulang ke Indonesian bersama-sama, wow.             Jujru saja, selama ini Kanaya jelas menutup diri dengan laki-laki, ia tidak mau kecerobohan yang sudah ia lakukan di masa lalu ia ulangi lagi, ia juga tidak mau berdekan dengan laki-laki, rasanya hal yang paling menakutankan di dunia ini adlaah berdekatan dengan laki-laki, berdekatan dengan laki-laki, jaruh cinta dengan lawan jenis menurut Kanaya adalah hal yang paling ribet di dunia ini, Kanaya pikir ia harus tahu mana prioritasnya sekarang, dan sayangnya prioritas Kanaya adalah pekerjaanya, keluarganya, dan membenahi kecerobohannya.             Pesawat yang ditumpangi Kanaya dan Cakra akhirnya sudah tiba di Jakarta, perempuan itu langsung merasakan dinginnya cuaca, dikarenakan Jakarta baru saja diguyur hujan yang deras kata Arya, orang yang selama ini membatu Kanaya, menjadi asisten pribadi Kanaya.             Retetan pekerjaan yang niatnya ingin Kanaya baca dan kerjakan di pesawat sekalian mengisi waktu luang, sambil menunggu ia tiba di Indonesia ambyar ia kerjakan, pikirannya langsung terbang menuju Elang dan Cakra, dua laki-laki yang tiba-tiba masuk ke dalam dunianya dalam jangka wkatu yang sangat cepat, sangat singkat, secara berkejutan dan bersamaan lagi, makanya Kanaya jujur saja malas berhubungan dengan laki-laki, dengan pasangan, pasalnya semua yang ia kerjakan menjadi terganggu, contohnya seperti ini, pekerjaan yang harusnya bisa diselesaikan oleh Kanaya secara cepat sebelum deadline jatuh malah terganggu dan sama sekali tidak selesai, ia akhirnya harus tergesa-gesa menyelesaikan pekerjaan itu, sebelum besok bertemu dengan vendor untuk membahas proyek yang baru saja perusahaan Kanaya menangkan, membangun beberapa gedung di Kalimantan, sebagai salah satu rencana untuk pemindahan Ibu Kota Indonesia.             “Oh, iya Bu, besok kita juga bakal ketemu salah satu Vendor bahan bakunya,” ujar Arya, sambal menarik koper punya Kanaya.             Kanaya mengangguk membenarkan, ia hanya sebagai pembangun kontruksi saja, pemerintah juga punya vendor sendiri untuk menyiapkan bahan bakunya, dan itu lah yang menjadi pekerjaan Kanaya sekarang, Kanaya harus betermu dengan pimpinan perusahaan itu, lalu merancang berbagai rencana selanjutnya, wow, Kanaya sungguh tidak sabar dengan itu semua, dan Kanaya harap, dengan banyaknya pekerjaan yang ia hadapi nantinya, Kanaya bisa melupakan kejadian yang benar-benar menggangunya dari kemarin, dan mungkin bisa melupakan Elang dan Cakra, dua saudara yang beanr-benar membuat Kanaya bertanya-tanya, kenapa ia malah bisa bertemu dengan dua saudara itu? Aopa yang sebenarnya sedang Tuhan rencanakan?                                                                                         ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN