Bab VI – Teringat Kanaya

2631 Kata
                                                                        Selamat membaca                                                                                   ***                                                             Aku mengatakan bahwa aku mencintaimu, dan itu adalah hal yang paling benar yang pernah aku ucapkan selama aku hidup.                                                                                 ***             Cakra memandang koper yang sudah ia bereskan, yang sudah ia siapkan, laki-laki itu juga memandang jam tangan yang masih terikat jelas di pergelangan tangannya, jam satu pagi, Cakra menghembuskan napas berat dari bibinya, sisa empat jam lagi waktunya untuk beristirahat, sebelum menyambut hari yang berat nantinya, karena Cakra harus sudah berangkat dari Apartemennya jam lima pagi, dan bertemu dengan perempuan itu.             Pikrian Cakra masih saja mengelana jauh dari tubuhnya saat ini, kearah perempuan yang tadi siang ia bentak-bentak dan ia katai dengan kasar, bahkan sempat ia usir, padahal Cakra sungguh paham bahwa Kanaya bukan lah penyebab utama atas kejadian yang menimpanya ini, ini semua terjadi karena kesalahan Keral yang benar-benar serakah, menginginkan dua perempuan itu disaat waktu yang bersamaan, dan mungkin sebenarnya di sini juga Kanaya menjadi korbannya, hanya saja terlihat bahwa Kanaya juga sebagai pelaku utama.             Cakra kembali meneguk segelas minuman yang menemaninya sejak tadi, kepalanya sudah sangat pening, memikirkan masalah yang rasanya datang tapi langsung berat seperti ini, mengingat Nayla yang belum bisa melihat dunia indah ini, mengingat Kanaya yang kini menjadi rekan kerjanya, sungguh, kenapa rasanya Cakra merasakan deja vu seperti ini.             Kepala Cakra sungguh merasa pening, melihat waktu yang kini sudah menjukan waktu pukul dua pagi, sebenarnya laki-laki itu juga ingin tidur, tapi rasanya tanggung sekali, ia tidak yakin bisa bangun dengan tepat waktu kalau ia merelakan matanya terpejam saat ini, jari jemarinya mengirimkan beberapa pesan kepada Nino, bawahannya yang sudah sangat setia bekerja denganya, dengan Ayahnya, sejak Cakra masih menjadi pegawai biasa di perusahaan Ayahnya, Nino memang sudah menemaninya, hingga kini Cakra yang sudah mempunyai peruahaan sendiri, Nino masih sedia menemaninya, menjadi orang kepercayaanya, menjadi orang yang memahaminya.             “Nin, temenin gue buat beli makan.” Cakra berucap, menelpon bawahannya itu, lebih tepatnya merengak untuk ditemani oleh Nino, Cakra merasa kesepian, Cakra merasa kepalanya ingin pecah, dan jelas saja Cakra ingin ada orang yang menemaninya, mendengarkan keluh kesahnya atas apa yang ada di kepalanya saat ini.             Di seberang sana, Cakra bisa mendengar lenguhan rekan kerjanya itu, ia yakin Nino sudah tidur, lebih-lebih Nino harus ikut dengannya besok pagi untuk ke Kalimantan, belum lagi laki-laki itu harus mengurusi dirinya, Nino harus punya banyak tenaga untuk bekerja dengan Cakra, Cakra tersenyum, ia tahu, ia pasti menggangu Nino, tengah malam seperti ini, ia masih sempat menggangu Nino, tapi sungguh, saat ini otak Cakra benar-benar dalam keadaan tidak karuan, ia juga tadi sempat membaca pesan dari Tante Navla bahwa Nayla sudah tidur, perempuan itu saat ia tinggalkan tadi sudah melakukan pengecekan di beberpaa bagian tubuhnya sedangkan besok, Nayla kembali dilakukan pengecekan dipenglihatannya, memastikan, kenapa saat bangun dari tidur panjangnya Nayla malah dalam keadaan buta seperti ini, aduh ya Tuhan, memikirkannya saja rasanya kepala Cakra sudah mau pecah.             Nino menautkan keningnya, mendengarkan Cakra yang masih saja mengadu tentang kegelisahannya kali ini, ia tahu, ia bisa merasakan bahwa Cakra baru saja minum, laki-laki itu mungkin sudah berusaha untuk menenangkan dirinya, tak lama terdengar laki-laki itu kembali meminum, minuman yang Nino yakin akan membuat atasannya itu sakit kepala nantinya, bukan hanya sakit kepala, juga pasti tidak akan bisa sadar dengan mudah, padahal Cakra pasti masih sadar bahwa jam lima nanti mereka harus pergi dari kota ini.             Nino kini memijit kembali kepalanya, Kanaya, nama perempuan itu yang sejak tadi disbeutkan oleh Cakra, ia tidak tahu pasti apa yang terjadi saat atasannya itu pergi dengan perempuan itu, tapi ia sempat mendengar dari cerita Cakra, bahwa selama ini Cakra menyimpan perasan tidak suka kepada Kanaya, tapi Nino yang sudah kenal Cakra hampir sepuluh tahun, sejak Cakra masih berumur tujuh belas tahun, sejak Cakra masih dalam suasana repot-repot berlajar tentang binsis, ia sudah mengenal laki-laki itu, saat itu Nino yang berusia tiga tahun lebih tua dari Cakra memang sedang bekerja di perusahaan Ayah Cakra, saat itu Nino yang masih kuliah, memang ditugaskan sambil mengajari Cakra.             Sejak sepuluh tahun yang lalu, ia tahu Cakra bukan orang yang pendendam, laki-laki itu adalah orang yang sangat baik, sangat, sangat, sangat baik, beberapa orang yang akan menjatuhkannya, beberapa orang yang menjahatinya, sama sekali tidak dipikirkan oleh Cakra, mau orang itu sejahat apa pun dengan hidupnya, Cakra masih saja maju, melakukan apa yang ia anggap benar, tanpa ada niatan untuk membalas orang yang sudah menjahatinya itu, lebih dari itu, Cakra sebenarnya tidak ada kemauan, tidak ada waktu dan jelas tidak ada niatan untuk membalas atau mengurusi hidup orang itu.             “Ya, lo omongin sama Kanaya lah kalau lo merasa bersalah, telpon sana, atau nunggu entara aja deh, anaknya juga nanti ketemu sama kita.” Nino akhirnya memberikan saran, laki-laki itu memang akan menggunakan kata lo-gue saat sudah diluar jam kerja, laki-laki itu juga memberikan saran kepada Cakra yang merasa bersalah atas katanya ia membentak Kanaya kemarin saat mereka pergi berdua, laki-laki itu memang begitu, sungguh tidak bisa melakukan satu hal yang jahat seperti ini.             Cakra memang laki-laki yang baik, bahkan Nino rasanya tidak pernah melihat Cakra berpilaku jahat, membentak orang lain, atau melakukan hal yang diluar nalar, laki-laki itu juga sungguh setia dengan Nayla, tunangannya yang dua tahun sudah tak sadarkan diri.             “Enggak, enggak bakal gue telpon,” sahut Cakra di seberang sana yang jelas membuat Nino tertawa karena mendengarnya.             Ya benar saja, Cakra tidak mau menelponnya, tapi sejak tadi, laki-laki itu selalu membahas tentang perempuan itu. Nino akhrinya memutuskan panggilan telpon laki-laki itu, di tengah malam hampir jam tiga pagi itu laki-laki itu memutuskan untuk tidak tidur lagi, ia takut karena nantinya akan kebablasan, karena ia akan jalan jam lima kurang, sebelum laki-laki itu harus ke apartemen Cakra lebih dulu.             Tangan lincah Cakra mengirimkan pesan kepada Kanaya, siang tadi ia sempat meminta nomor perempuan itu dari Arya, firasat Nino sudah tidak enak dengan perempuan itu, dan benar saja, perempuan itu lah orang yang diceritakan oleh Cakra akhir-akhir ini, lebih-lebih Cakra yang membentak perempuan itu hari ini, dan jelas saja itu yang membuat Cakra tidak bisa tidur akhirnya hari ini, sungguh, ribet sekali rasanya punya teman yang terlalu perasa seperti ini.             Kanaya baru saja meneguk air dari gelas yang ada di atas nakasnya, perempuan itu melirik jam yang ada di atas nakasnya, jam empat pagi, merasa waktu yang pas untuk bersiap karena ia akan berangkat jam lima pagi, akhirnya Kanaya bagun dari tidurnya yang pendek, perempuan itu hari ini memilih untuk tidur di apartemennya, perempuan itu tidak mau merepotkan Ayahnya, Ibu sambungnya dan semua orang yag ada di rumahnya hanya karena ia akan bernagkat jam lima pagi, karena biasanya saat ia akan tugas di luar kota orang rumahnya akan selalu repot dengan urusannya.             Notif yang muncul dari ponselnya membuat perempuan itu menoleh sebentar, selurusnya Kanaya kembali melanjutkan pekerjaannya, memerika barang-barnag yang akan ia bawa, tidak banyak, paling ia berada di Kalimantan sekitar tiga hari, tapi berkas sketsa gedung yang memang banyak ia bawa, walau sebenanrya salinan itu juga berada di iPadnya.             Kanaya memilih mandi lebih dahulu, ia tahu, pesan itu pasti dari Arya, menanyakan apakah Kanaya sudah bangun atau belum, menanyakan apakah Kanaya sudah siap atau belum, tautan dari kening Kanaya akhirnya bermunculan, ia kembali melirik waktu, jam mepat lewat dua puluh menit, dan pesan yang dua puluh menit tadi masuk ke ponselnya bukan lah dari Arya, tapi dari nomor yang belum tersimpan di kontak ponselnya.             081348xxxxxx ; Selamat pagi, ini saya, Nino, dari PT Cakrawala, kemarin saya dapat nomor Ibu dari Pak Arya, saya mau konformasi hari ini kita jadi pergi bersama ke Kalimantan, ya Bu.             Kanaya mentap pesan itu, Nino, ya, dia ingat Nino, orang yang bersama dengan Cakra kemarin siang, perempuan itu belum mengetikan pesan untuk membalas pesan dari Nino, tapi tak lama dari itu kembali lagi pesan masuk ke dalam ponselnya.             081348xxxxxx ; Karena ini belum masuk jam kerja, boleh saya minta tolong, Pak Cakra lagi kurang sehat, dia di apartemennya, di alamat, jalan kenangan, gedung dua, nomor 313, lantai enam, saya minta tolong buat diperiksa soalnya saya takut terlambat ke sana, terima kasih, sebelumnya.             Kanaya menautkan keningnya, jalan Kenangan, ya ampun, apartemen Cakra ada di seberang gedungnya, karena apartemen yang saat ini ditempati Kanaya, Jalan kenangan, gedung satu, kalau begitu sungguh gampang sekali.             Jam empat lewat dua puluh, Kanaya sudah siap, karena ini baru subuh, perempuan itu mengenakan sweater berwarna abu-abu dengan celana jeans, tdak lupa tas gandeng dan juga tas jingtingnya yang berisiskan beberapa pakaian yang ia bawa.             Kanaya harusnya pergi ke Bandara bersama dengan Arya, tapi, mengingat Kanaya harus pergi ke gedung sebelah, Kanaya, mengirimkan pesan kepada Arya, bawah laki-laki itu silahkan pergi sendiri saja, dan mereka akan bertemu di Bandara saja.             Kamar 313, Kanaya berada tepat di depan kamar itu sekarang, perempuan itu kembali menarik tangannya, saat ingin memasukan pin yang ia ketahui dari Nino, Nino sungguh kurang ajar sekali rasanya, bisa-bisanya ia membocorkan segala rahasia laki-laki itu, Kanaya tiba-tiba tersadar, kenapa ia berada di sini, kenapa ia bisa berada di depan apartemen ini, untuk apa ia repot-repot ke sini? Bukan kah kemarin laki-laki ini sudah mebentaknya, memerahinya atas apa yang bukan ia lakukan, lalu, untuk apa ia ke sini, berbaik hati atas laki-laki itu, melihat keadaan laki-laki itu, untuk apa ia berepot-repot ke sini.             “Ya ampun Kan, lo ngapain sih, bodoh,” kata hati Kanaya, ia pun tidak tahu apa yang akan ia lakukan setelah ini.             “Cakra, saya masuk,” menghiraukan apa yang sudah ada di benaknya, tentang buruknya  sikap laki-laki itu kepadanya, perempuan itu ternyata tetap melakukan apa yang ia mau, ia masuk ke dalam apartemen Cakra, masuk sendiri, tanpa diundang oleh sipunyanya.             Apartemen ini tidak jauh berbeda dengan apartemen yang dimiliki Kanaya, typenya sama, tata letak ruangannya pun sama, membuat Kanaya tiak canggung lagi di apartemen milik laki-laki itu. “I’m sorry, aku sudah lancing masuk sini, tapi kamu harus sadar dan terbang bersamaku ke Kalimantan, Cakrwala,” lirih Kanaya sambil menyalakan lampu yang ada di ruangan itu.             Kanaya memejit kepalanya, melihat Cakra yang tengah tertidur di sofa, laki-laki itu masih berpakaian yang sama saat kemarin terakhir ia bertemu dengan Cakra, Kanaya tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat melihat ada lemari es, ide gila Kanaya tiba-tiba muncul di benaknya.             “Bangun.” Kanaya, mempercikan air dari gelas yang ia pegang kearah Cakra. Air dingin yang ia dapatkan dari lemari es di Apartemen Cakra.             Cakra langsung memerjakan matanya, melihat cahaya yang bernyala dengan terang di atas kepalanya, Cakra juga merasakan air dingin di wajahnya sangat dingin malahan, yang membuat Cakra lebih terkejut, perempuan itu sekarang ada di depannya, sungguh, ia sama sekali tidak bermimpi saat ini, ia yakin, ini adalah nyata, perempuan itu berwujud nyata di depannya. “Ngapain kamu di sini? Di apartemenku?” Tanya Cakra terkejut meliha Kanaya di sini, dengan rasa pening yang masih ada di kepalanya, Cakra sungguh tidak menyangka, perempuan yang ada di depannya ini, benar-beanr nyata, benar-benar berpijak di Apartemennya.             “Enggak usah banyak nanya, kamu ini sakit atau habis minum sih?” Kanaya bertanya, ia merasa dibohongi oleh Nino kalau begini caranya, Nino mengtakan bahwa Cakra sakit hingga akhirnya Kanaya mau berepot-repot datang ke sini, memeriksa keadaan laki-laki itu, tidak, jangan berpikir bahwa Kanaya khuwatir dengan Cakra karena laki-laki itu sakit, tidak sama sekali, Kanaya hanya berpikir bahwa kalau Cakra sakit, ia tidak akan bisa bekerja hari ini, akan sia-sia kalau ia tetap ke Kalimantan tanpa laki-laki itu. “Cepat sana bangun, ke Bandara, aku tunggu lima menit kita berangkap,” ucap perempuan itu sambil bersedekap, melihat Cakra yang masih memandangnya dengan bingung, wajar saja sih. “Kamar kamu di mana? Mana koper kamu? Aku bawain sini, Cepat sana kamu bangun.” Kanaya kembali berucap, melihat Cakra yang masih diam saja di tempatnya.             Cakra masuk ke dalam kamarnya, mengeluarkan tas yang ia bawa nantinya untuk ke Kalimantan, Cakra juga memaksakan diri untuk tidak mengikuti rasa peningnya yang menyusahkan ini, Cakra membilas dirinya sebentar, mencuci muka, juga giginya, tak lupa, saat keluar dari kamarnya laki-laki itu menyempaytkan mengambil buah apel dua biji, saat melihat Kanaya yang duduk di sofanya laki-laki itu meleparkan buah apel yang langsung ditangkap oleh Kanaya dengan cepat dan tepat.             “Thank you,” ucap Kanaya sambil melangkah menuju pintu apartemen Cakra, perempuan itu juga menatap jam yang ada di pergelangan tangannya tepat waktu, tepat di jam lima pagi walau lewat lima menit, ia mulai melangkah pergi dari tempatnya saat ini, menuju Bandara.             Jujur saja, Kanaya juga tidak tahu jelas, hanya karena ia mendengar laki-laki itu sakit, Kanaya malah mau-maunya datang ke sini, dan nyatanya ia menemukan laki-laki itu tengah habis meneguk minuman yang jelas-jelas akan membuatnya pusing nantinya.             Cakra mentap perempuan itu, ya, mungkin ini waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya, mengatakan apa yang ada di hatinya, agar perasaanya menjadi lebih ringan, agar semua menjadi lebih enak untuk nantinya, ternyata sampai ia dan Kanaya sudah berada di dalam taksi, ia sama sekali tidak bisa mengatakan apa yang seharaunya ia katakana sejak tadi, meminta ma’af kepada perempuan itu atas apa yang sudah ia lakukan kemarin, tapi, Cakra sama sekali tidak menemukan kalimat yang bagus untuk pembukaan masalah ini.             Hingga, sampai di Bandara Soekarno Hatta, Cakra masih sama sekali tidak menemukan, kalimat yang pas, bukan, bukan kalimat, ia sama sekali tidak menemukan keberanian untuk mengucapkan kalimat yang sejak tadi sudah ada di kepalanya itu.             “Kanaya,” akhirnya Cakra memanggil perempuan itu, saat mereka sudah masuk ke dalam Bandara, waktu menunjukan pukul enam pagi, mereka juga sudah melakukan cek in, jadi rasanya tidak akan menjadi masalah lagi kalau Cakra memotong perjalanan mereka menuju ruangan tunggu dengan berbicara tentang masalah di kepalanya itu. “Aku salah atas kejadian kemarin,” kata Cakra menuntaskan apa yang ingin ia katakan kepada perempuan itu. “Aku minta ma’af.”             Kanaya menghentikan langkahnya, jari jemarinya yang tengah mengirimkan pesan kepada Arya pun terhenti, perempuan itu menatap Cakra, sebenarnya ia hanya tersinggung saja dengan apa yang laki-laki itu ucapkan, tapi Kanaya mencoba untuk paham posisi laki-laki itu, wajar saja, ya Kanaya mencoba mewajarkan apa yang dialami oleh Cakra, juga dialami oleh Nayla. “Sebenarnya saya marah, kamu telah salah, saya sudah tidak ada urusan lagi sama Keral, tapi, mau marah gimana juga, kalau kamu menganggap saya begitu ya yaudah.” Kanaya berucap, menatap laki-laki itu dengan tatapan sedih sekaligus bercampur dengan kesal. “Kadang, biarkan orang lain meanggap kamu jahat, enggak usah repot-repot ngejelasin gimana baiknya kamu, gimana hidup kamu, kadang orang yang sudah menganggap kita jahat, walau sebaik apa pun kita, di mata dia kita akan tetap menajdi manusia paling jahat.” Kanaya kembali berucap lalu meninggalkan Cakra di tempatnya.             Cakra terdiam, perempuan itu, sungguh, banyak hal yang tersimpan di perempuan itu, mungkin kah setelah kehilangan Keral, Kanaya benar-benar sudah berubah, berubah menjadi lebih baik, atau kembali menjadi lebih baik, dari sebelum bertemu dengan Keral, entah lah.             Di lain tempat, Kanaya mengatakan itu tidak hanya ingin mendapatkan perhatian dari Cakra, sama sekali tidak niatan seperti itu di benaknya, Kanaya rasanya sudah memakan pahitnya cinta karena pengalamannya bersama dengan Keral, Kanaya juga sudah merasakan asinnya patah hati, melihat Nayla, perempuan yang sudah ia rebut kebahagiannya, sejak saat itu, rasanya hati Kanaya mati, ia tidak ingin lagi menjelaskan tentang hidupnya ke orang lain, Kanaya hanya ingin bahwa ia hidupnya kali ini, setelah melakukan kesalahan besar itu, ia bisa benar-benar hidup, benar-benar menjalani hidupnya dengan baik, tidak melakukan kesalahan seperti dulu lagi, lagi pula, kalau Cakra atau pun Nayla, atau pun orang lain menganggapnya jahat, Kanaya sama sekali tidak mengambil pusing atas itu semua.             Orang lain yang menganggapnya jahat, punya kehidupan masing-masing, terkadang, kita memang menjadi peran antagonis di cerita orang lain, pun di cerita jalan hidup orang yang lainya, mungkin kita menjadi peran yang sangat pratagonis, jadi, Kanaya sama sekali tidak akan mengatakan kepada orang-orang bahwa dia adalah orang yang paling baik di dunia ini, tidak akan pernah, Kanaya hanya ingin, orang lain melihatnya melakukan apa yang Kanaya mau, tanpa harus memaksanya, hanya itu.                                                                             ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN