Bab VII – Lapangan

2774 Kata
                                                                    Selamat membaca                                                                                     ***                                 Bahkan, saat orang-orang berprilaku jahat kepadamu, hiraukan saja, jangan dianggap serius, mereka sama saja seperti menjahati diri mereka sendiri, karena ingat, setiap prilaku di dunia ini, memiliki balasannya, baik mau pun buruk.                                                                                 ***             Kanaya, Cakra dan dua orang yang masing-masing bawahannya akhirnya tiba di Kalimantan Timur, tempat seharusnya Ibu kota untuk Indonesia akan dibangun, tempat di mana semua harapan bangsa Indonesia ada di sana untuk melakukan perubahan di masa depan.             Saat di pesawat, Cakra yang duduk bersebrangan dengan perempuan itu pun menatap apa yang dilakukan oleh Kanaya sesekali, perempuan itu sama sekali tidak melakukan apa pun selain membaca, membaca n****+, membaca beberapa berkas yang tersimpan di dalam tasnya, hanya itu yang dilakukan Kanaya.             Kanaya, Cakra, Nino dan Arya menerima jemputan dari pemerintah, yang memang menyediakan semua fasilitas untuk dua perusahaan itu. Kanaya memilih untuk duduk di belakang bersama dengan Arya dan Cakra, sedangkan Nino memlih duduk di depan.             Cakra menatap perempuan itu dari samping, perempuan yang kali ini mengenakan kacamata berwarna hitam itu masih saja tidak mau menatapnya, debaran di jantung Cakra makin mengencang saat Kanaya memang sama sekali tidak menegurnya sejak tadi, sejak ia menyampaikan pemrintaan ma’afnya atas kesalahannya.             “Kamu marah ya sama aku?” bisikan dari Cakra membuat Kanaya menoleh.             Perempuan itu menarik napas dan melirik Cakra sekilas begitu saja, mau dikatakan marah, rasanya Kanaya tidak sedang marah dengan laki-laki itu, mau dikatakan tidak marah, tapi Cakra benar-benar membuat Kanaya khuwatir, ya, jelas saja bersama dengan laki-laki itu, hati Kanaya sama sekali tidak bisa tenang karena selalu bertemu dengan Cakra, tidak, tidak karena Kanaya sedang jatuh hati dengan laki-laki itu, tidak sama sekali, Kanaya masih punya harga diri untuk tidak merebut laki-laki yang kini tengah bersama dengan Nayla itu, cukup bersama dengan Keral di masa lampau Kanaya melakukan kesalahan itu.             Jujur saja, hati Kanaya sama sekali tidak tenang saat bersama dengan Cakra, ia selalu merasa bersalah saat melihat laki-laki itu, karena Kanaya yang dulu sempat melakukan kesalahaan karena merebut Keral dari Nayla, hingga akhirnya Keral berlaku nekat untuk merebut kembali Nayla dari Cakra, dan membuat kehidupan Nayla dan Cakra hancur lebur, sungguh, rasa bersalah itu semakin meningkat karena kini, laki-laki yang hidupnya hancur itu berada di sampingnya, bekerja sama dengannya untuk beberapa waktu ke depan.             “Hati-hati,” ucap Cakra sambil menangkap tangan Kanaya saat tubuh perempuan itu ingin jatuh saat keluar dari mobil yang mereka tumpangi.             Kanaya tersadarkan, matanya mengerjap, saat merasakan tangannya ditahan oleh Cakra, mobil yang membawanya dari Bandara kini sudah sampai di depan hotel yang akan mereka singgahi selama dua hari ini, perempuan itu yang ingin turun dari mobil pun tiba-tiba tersandung kakinya sendiri, sungguh, Kanaya merasa sangat sial dengan proyeknya saat ini, kenapa, kenapa ia harus satu proyek dengan orang yang berhubungan dengan Nayla.             “Hah, oke,” ucap Kanaya melepaskan tangannya dari pegangan Cakra.             Empat ornag itu memilih untuk ke hotel terlebih dahulu, setelahnya mereka makan siang bersama dan jadwal selanjutnya mereka akan langsung ke lapangan, melihat keadaan lapangan yang harusnya akan mereka kerjakan dua sampai tiga minggu ke depan lagi.             Kanaya sudah mengikat rambunya lebih rapi lagi, setelah meletakan barang-barangnya di kamar, perempuan itu segera turun untuk makan siang, meja perempuan itu kembali melibatkan Nino, Cakra juga Arya, perempuan itu sungguh merasa menjadi orang yang paling cantik karena berarda diantara tiga laki-laki itu.             “Habis ini kita langsung ke lapangan?” pertanyaan dari Kanaya mengarah kepada Cakra.             Cakara mengangguk setuju, apalagi yang harus mereka tunggu, mereka harus menyelesaikan ini secepatnya, agar pembangunan dan persiapan juga lekas dilaksanakan.             Dua jam setelahnya, mereka sampai di lapangan, tempat yang dulunya hutan, kini mulai dikosongkan di titik pusat pembangunan akan terjadi, walau sebenarnya di sekitaran mereka masih penuh dengan pephonan yang tinggi, di beberapa tempat sudah ada pembangunan yang tidak terlalu memakan tempat, seperti tempat untuk para tukang yang nantinya akan mengejakran lahan ini, ya memang Kanaya yang memerintahkan itu sudah harus dibangung, harus sudah disiapkan, targetnya satu minggu lagi pembangunan akan dilakukan, sedangkan Cakra mengiyakan bahwa ia bisa menyediakan bahannya kemungkinan dua sampai tiga hari ke depan, sebenanrya pihak Cakra juga sudah siap, tinggal mengirimkan saja, sungguh ini pekerjaan yang sebenarnya yang sudah ia lakukan sejak dahulu, ini hanya berbeda dengan rakan kerja saja, haya itu, tidak lebih, bagi Cakra.             Kanaya memandang rancangannya yang sudah disetujui oleh pihak terkait, bahan bakunya yang sudah ia perkirangan juga disetujui oleh Cakra, rasanya pembangunan akan fix diadakan minggu depan, besok, sebelum lusa mereka akan kembali ke Jakarta Kanaya juga akan mengdakan perbincangan dengan kepala mandor yang ada di lapangan, untuk memastikan pembangunan nantinya.             “Ahh, selesai,” perempuan itu berucap setelah tiga jam berkutat di tempat itu, dengan berkas, dengan catatan, dengan orang-oramng yang ada disekitarnya, perempuan itu pun kebelet dan ingin buang air kecil menggelengkan kepalanya, bisa-bisanya ia kebelet di tempat seperti ini.             “Mau diantar enggak?” Cakra berucap dnegan kekehan, membuat perempuan itu menatapnya dengan tajam, padahal Cakra sedang tidak bercanda, ia sungguh ingin mengantar Kanaya, sungguh ingin menemani perempuan itu.             Kanaya harus menahan diri karena dalam beberapa waktu ke depan ia harus bekerja sama dengan laki-laki seperti Cakra, Kanaya hanya menarik napas, dan menghiraukan laki-laki itu, hanya itu yang bisa dilakukan oleh Kanaya saat bersama dengan laki-laki itu.             Kanaya kearah belakang, di mana toilet yang disediakan masih dijejeran pohon yang besar dan menjulang tinggi, sejujurnya Kanaya memang rada sedikit takut, tapi ia juga tidak mungkin meminta bantuan dari tiga laki-laki itu, benar, Arya adalah bawahannya, benar Cakra adalah temannya dengan segala tingkah yang menyebalkan darinya, tapi Cakra memang temannya, walau bagaimana keadaan Cakra, Cakra dalah temannya, tapi tidak mungkin kan Kanaya meminta bantuan dari laki-laki itu, sebaik-baiknya mereka terhadap Kanaya, mereka tetap laki-laki, jujur saja, Kanaya tidak tahan lagi untuk menahan ingin buang air kecilnya, oleh karena itu ia memberanikan diri untuk ia membuang air di sini, di hutan ini.             Suara samar-samar membuat  Kanaya yang baru saja mengelapkan tangannya dengan tisu basah menghentikan kegiatannya, di balik dinding kayu itu, ia mengintip kearah luar, ada sebuah mobil berwarna hitam dengan tiga laki-laki yang tengah merokok, di sana, mereka juga tengah bersama perempuan yang tengah terduduk di tanah, dengan tangan yang terikat kearah belakang.             Kanaya yakin betul, perempuan yang tengah menangis itu tengah tidak baik-baik saja, tiga orang laki-laki, bersama dengan satu peremuan yang tengah menangis, jelas saja itu meyakinkan Kanaya bahwa perempuan itu tengah tidak aman, ia tengah dalam bahaya.             “Ngapain kalian di sini?’ suara Kanaya memecah kebahagian yang terpancar diantara tiga orang laki-laki itu, sedangkan perempuan yang tengah terduduk di atas tanah itu menggeleng sambil terus menangis, ia bahagia ada yang melihatnya, tapi, kalau itu perempuan juga akan menakutkan, ia tidak mau menambah korban lagi kalau begini caranya.             Perempuan itu merintih agar Kanaya segera pergi dari tempat angkar ini, Kanaya harus melarikan diri dari tempat ini, jangan, jangan berada di sini.             “Seharusnya kami yang harusnya mengatakan itu, kamu ngapain di sini?” seorang laki-laki dengan kepala plontos berucap, lalu melangkah menuju Kanaya berada.             Kanaya merasakan bahwa ia berada di waktu yang tidak aman, Kanaya berada di satu tempat dengan tiga cowok yang benar-benar membuat bulu tubuhnya merinding, tapi, Kanaya sudah ada di sini, tidak mungkin kan dia meninggalkan perempuan yang tengah menangis itu, dan berlari, pasti akan sia-sia, ia pasti akan dikejar oleh laki-laki itu.             “Cantik, sini temanin dia, temanin kamu,” seorang laki-laki dengan tubuh gempal berjalan mendekat ke arah Kanaya berada, laki-laki itu melirik tubuh Kanaya dari atas sampai bawah, memandang permepuan itu dengan seksama, melihat perempuan itu penuh dengan nafsu.             “Lepasin dia, kalian sebaiknya pergi dari sini, dari kawasan sini.”             Muak mendengar apa yang dikatakan oleh Kanaya, laki-laki bertubuh gempal itu menghampiri Kanaya dan menyergapnya dengan cepat, menarik Kanaya yang kini sudah mulai memberontak minta dibebaskan, satu orang laki-laki menyusul temannya, melihat Kanaya yang terus memberikan perlawanan.             Suara teriakan menggema di sana, suara perlawanan dari Kanaya yang ingin berbuat baik terdengar di sana, hingga saura tangis perempuan itu tidak membuahkan hasil apa-apa saat seutas tali kini mengikat erat tanganya.             Kanaya adalah perempuan yang lemah, ya, tapi Kanaya bukan perempuan yang bodoh, kaki perempuan itu masih dengan bebas tanpa terikat, hingga, Kanaya mencoba memberikan perlawanan dengan menendang tangan seorang laki-laki yang menodongkan pistol kepada permepuan yang ia lihat tadi, karena perempuan itu ikut memberontak saat melihat Kanaya yang mencoba melawan dan menyelamatkan dirinya.             Pistol dari laki-laki gempal yang fokusnya kearah perempuan itu kini terjatuh akibat ia mendapatkan tendangan dari Kanaya, perempuan itu menatap dengan tajam laki-laki yang bertubuh gempal yang tengah mencaci maki Kanaya atas pebuatannya itu.             Setelah mendapatkan pistolnya laki-laki gempal itu menodongkan pistolnya kearah Kanaya akbiat kesal, sedangkan perempuan yang bernama Eneng, yang baru saja ditucilik itu akibat melihat perlakuan Kanaya mencoba untuk memberontak juga.             Suara tembakan akhirnya terlepas agar perempuan bernama Eneng itu terdiam dan tidak memberontak lagi, Kanaya memejamkan matanya saat mendengar suara nyaring dari benda mengerikan itu, ia tidak tahu, daerah yang akan dibangun Ibu kota ini tetap menjadi sarang penjahat, ya, dia tahu ini adalah daerah hutan yang lebat, tapi, kenapa penjagaan di sini kurang ketat, hingga ada penjahat seperti ini.             Suara tembakan itu terdengar di telingan Cakra, laki-laki yang baru saja menyambungkan panggilannya kepada Nayla itu tercengang, ia pun buru-buru mematikan panggilan itu, lebih-lebih saat mendengar bunyi itu, ia takut Nayla mengkhuwtairknya, karena itu akan menjadikan Nayla khuwatir padanya.             Cakra, Arya, bergegas mencari Kanaya karena perempuan itu masih saja belum pulang, lebih-lebih mereka mendengar suara tembakan. Arya berjalan dengan cepat, menuju  kamar mandi yang Kanaya pakai, ternyata perempuan itu sudah terduduk dengan darah yang mengalir di perutnya, di belakang toilet itu.             “Ka … Kanaya.” Cakra merasakan tubuhnya sudah melemas saat melihat Kanaya sudah terbujur dengan darah yang mengalir dari sekitaran perutnya.             “Ca … Cakra.” Kanaya memanggil laki-laki itu dengan lemas, ia, ia merasakan sudah diawang-awang, tubuhnya sudah lemas, lebih dari itu, Kanaya memikirkan Eneng yang dibawa oleh tiga laki-laki itu.             Kanaya sudah tidak bisa tetap sadar diri, tapi, ia masih merasakan bahwa ia diangkat oleh Cakra dan Arya, mobil yang tadi dipakai oleh rombogan Cakra dan Kanaya yang diisi dengan pembahasan pekerjaan kini mendadak menjadi suasana yang tegang, kepala Kanaya berada di paha Cakra, sedangkan Nino kini terpaksa duduk di bangku paling belakang, sedangkan Arya mencoba untuk berpikir yang positif dan jernih, memikirkan apa yang harusnya ia lakukan setelah ini, laki-laki itu juga tidak lupa menelpon polisi agar segera datang ke rumah sakit yang akan mereka tuju, jelas ia harus mengusut hingga tuntas tentang kejadian yang tertimpa pada atasnanya itu.             Mobil hitam itu melesat melalui jalanan yang rusak dan penuh lumpur, Kanaya, kini berada di dalam waktu yang sekarat, darah dari pinggang Kanaya tetap keluar dengan deras walau sudah ditahan oleh Cakra, yang kini tangannya juga penuh dengan darah, sausana di mobil itu pun semakin menegang, mencemaspkan keadaan Kanaya.             Setelah menempuh perjalanan dengan harap-harap cemas, Kanaya akhrinya berada di rumah sakit, rumah sakitnya pun masih tergolong kecil, wajar saja, karena ini masih berada di sekitaran hutan, bukan di tempat kota yang besar, Cakra sebenanrya sudah merasa bersyukur karena setidaknya rumah sakit ini bisa menyambung pernapasan Kanaya yang sudah diambangambang kematian rasanya, daripada sama sekali tidak ada pertolongan kan.                                    Cakra merogoh ponselnya, mengabari Nayla karena panggilan mereka yang terpurtus karena Cakra memutuskannya secara sepihak, Cakra kini sungguh merasa kacau, tidak bermaksud apa-apa, tapi melihat Kanaya yang mengalami luka tembak itu benar-benar tidak bisa dinalar oleh pikiran Cakra sendiri, apa yang sebenanrya terjadi, terlihat dari tas dan ponsel perempuan itu yang masih utuh tidak hilang, kalau pun Kanaya dirampok, barang berharganya tidak hilang sama sekali, aneh rasanya kalau ada peluru nyasar di pinggang perempuan itu tanpa sebab.             Polisi datang dengan cepat, mendengar ada penembakan yang melupuhkan seorang perempuan.             “Sebenarya kami tidak tahu kronoligis pastinya Pak, saat itu, Ibu Kanaya pamit ke kamar mandi, lalu tidak lama dari itu, terdengar suara tembakan, waktu dilihat, Ibu Kanaya sudah terkapar dengan luka tembak disekitaran pingganya,” kejelasan dari Arya mendapatkan anggukan dari Cakra dan Nino, tiga laki-laki itu sungguh merasakan pusing dengan apa yang terjadi di hadapannya, juga merasa sedikit menyesal karena saat itu membiarkan Kanaya pergi sendiri.             Selain mendapatkan tugas untuk memberikan kesaksian dengan jalan cerita kenapa Kanaya bisa dalam keadaan seperti itu, polisi mengatakan bahwa ia nantinya akan meminta kejelasan dari Kanaya, karena mereka sama sekali tidak bisa menemukan cerita apa pun dari kejelasan Arya, saat ini Arya juga tengah menelpon Ayahnya Kanaya yang berada di Ibu kota sana, karena Kanaya harus segera dioperasai, walau berat, Arya tetap menelpon Ayah dari atasnanya itu.             “Baik Pak, bapak tidak usah khuwatir, setelah semua keadaan lebih baik, segera saya jadwalkan penerbangan untuk Ibu Kanaya ke sana, saat ini kita memang tidak punya pilihan lain Pak.” Arya menjelaskan, jelas saja, setelah keadaan perempua itu membaik, ia akan memindahkan Kanaya dari kota mengerikan ini.             Surat menyurat dari keluarga atau wali untuk pengoperasian Kanaya sudah lengkap, perempuan itu pun segea ditangani, melihat keadaan ini, Cakra memastikan ia tidak akan bisa pulang dengan tepat waktu, hingga akhrinya ia memutuskan untuk pulang lusa nanti hanya Nino saja, sedikit banyak juga ia tahu Arya yang akan mengambil alih semua kerjaan Kanaya di sini.             Malam itu, di depan ruang operasi keadaan semakin hening, Cakra memilih pamit bersama dengan Nino untuk mencari makan, yang sebelumnya Arya sudah dipaksa untuk mencari makan lebih dahulu, harusnya operasi yang dilakukan kepada Kanaya tidak memakan waktu lama.             “Pak, ini baru tiga puluh menit Pak, kita do’akan saja yang terbaik buat Ibu Kanaya.” Nino berucap, saat meluhat atasannya itu masih saja gelisah.             Menurut Nino bisa saja penyelesaian operasi itu satu sampai dua jam, jadi rasanya tiga puluh menit ini hanya pembukaan saja, lebih-lebih nantinya luka Kanaya akan dijahat, bukan kah itu akan menambahkan waktu yang dibutuhkan oleh Dokter.             “Bapak, kenapa sih begitu mengkhuwatirkan Ibu Kanaya sampai seperti ini?”             Cakra mentap Nino, ya, ini juga menjadi pertanyaan dirinya sejak tadi, kenapa ia begitu mengkhuwatirkan perempuan itu, apa sebenarnya yang sedang Cakra lakukan kepada perempuan itu, kenapa ia begitu khuwatir dan takut terjadi kenapa-kenapa dengan Kanaya.             “Akhir tahun saya harus membawa perempuan itu kepada Elang, jadi kalau Kanaya kenapa-kenapa, saya tidak akan bisa menepati janji saya kepada Elang.” Cakra tidak berdusta saat mengatakan itu, di hari saat Cakra ingin pulang dari menemui Elang, Elang mengatakan saat nanti, desember, di saat libruan natal dan tahun baru, ia akan kembali menyelenggarakan permainan pianonya, dan katanya Kanaya akan datang, jadi ya Cakra ingin ia datang bersama dengan Kanaya, Cakra ingin Kanaya menaklukan adiknya itu untuk segera pulang ke Indonesia, lalu, kalau Kanaya kenapa-kenapa bagaimana nanti nasibnya, bagaimana janjinya kepada Elang? Bagaimana bisa ia menyuruh Elang untuk tetap pulang?             Setelah selesai makan, Nino dan Cakra kembali kehadapan Arya, di depan ruangan opersi yang di dalamnya ada Kanya, setelah berdebat tentang Cakra yang ingin tetap berada di sini, Arya akhirnya memenangkan usulnya, Cakra harus segera kembali ke hotelnya, ke kamar hotelnya, lak-laki itu harus memastikan tentang pengiriman barangnya yang harus tiba tepat waktu, agar pekerjaan bisa dilaksanakan mulai minggu depan, Arya akan mengatur semuanya di sini, tentang Kanaya tentang pekerjaan perempuan itu.             Cakra akhirnya mengiyakan apa yang dikatakan oleh Arya, Cakra dan Nino memilih untuk pulang ke hotel, beristirahat di hotel, syukurnya jarak hotel dari rumah sakit hanya berjarak lima kilometer, dan tidak memperlukan waktu lama.             Setelah melakukan operasi yang terjadi hampir tiga jam, Kanaya dipindahkan di ruangan rawat inap, perempuan itu masih belum sadarkan diri. Arya, terduduk di dalam kamar rawat inap Kanaya, perempuan itu terlihat diam, seperti biasanya ia melihat perempuan itu saat berduaan, tapi kali ini, mereka tengah berada di rumah sakit, di satu suasana yang menyeramkan.             Arya tidak bisa tidur, ia terus memandang Kanaya, pikriannya kacau, apa yang sebenarnya terjadi dengan atasannya ini, ini juga salahnya karena tidak menjaga dengan benar Kanaya, hingga akhirnya tangan perempuan itu bergerak, yang membuat Arya langsung memanggil dokter yang berjaga untuk memerika perempuan itu.             Kanaya sedang diperiksa oleh dokter, perempuan itu kini sudah tidak kenapa-kenapa lagi, peluru yang tadinya bersarabf di pinggang Kanaya sudah diangkat, dan dokter mengatakan bahwa Kanaya harus berisitirahat selama kurang lebih dua minggu, istirahat total.             “Cakra, aku mau ketemu Cakra,” lirihan dari Kanaya saat dokter pamit dari ruangan inapnya membuat Arya bingung, sudah jam dua pagi, rasanya tidak mungki Arya menelpon laki-laki itu, meminta Cakra untuk datang ke rumah sakit untuk menemui Kanaya. “Sekarang juga Arya!” bentak Kanaya tidak sabaran karena melihat Arya yang masih diam tidak berkutik.             akhirnya Arya memilih menelpon Cakra meminta laki-laki itu datang ke rumah sakit, sekarang juga, sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Kanaya. “Pak Cakra, ma’af menggangu waktunya, tapi, Ibu Kanaya ingin bertemu dengah anda, sekarang,” ucap Arya di telpon, saat Cakra sudah menerima panggilannya.             Cakra terdiam di tempat tidurnya, Kanaya ingin bertemu dengannya, sekarang, ada apa?                                                                             ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN