BAB 22

1823 Kata
Pagi hari, Aga tampak mulai mengerjapkan mata. Rasa pusing di kepala masih saja terasa. Ia mencoba membuka kelopak matanya perlahan, sinar matahari sudah sedikit demi sedikit menyilaukan pandagannya kali ini. Ia berniat menutup mata, tapi apa daya ikatan simpul di badannya benar-benar kuat. Kesadarannya pun mulai kembali meskipun obat bius itu masih berpengaruh pada badannya dan Aga kembali mencoba untuk melepaskan diri. "Woy! Lepasin gue, Anjinggg!" teriak Aga, lepas dari kata sopan yang berlaku. Ia sekali lagi mencoba mengurai tali yang mengikat, tetapi semakin ia mencoba melepasnya ikatan itu semakin kuat membelit tubuhnya. Aga belum mengetahui titik untuk meloloskan diri dari ikatan simpul seperti itu. Brak! Pintu gudang itu terbuka dan tampak sosok seorang pria yang ia tolong kemarin malam. Pria yang memiliki sifat berbeda jauh dari tampang baiknya. "Lepasin gue! Atau gue bakal habisin kalian semua!" Pria yang kini berjalan ke arah Aga hanya bisa tersenyum tipis. "Lo ngancem kita? Lo nggak sadar ada di mana?" "Wah, persis bapaknya nih anak. Nurun banget sifat Aditya ya, Dod?" celetuk Frank yang sudah berada di belakang Dodi. Hanya anggukan diiringi tawa pelan dari pria-pria di depan Aga. Tatapan tajam itu ditunjukkan oleh Aga pada Dodi. Andai dia lebih memiliki sedikit saja tenaga pasti sekarang dia bisa bertindak menumbangkan pria-pria itu. Namun, jangankan untuk melawan sekarang, bergerak saja sangat susah. "Siksa dia!" perintah Dodi. Tampak Frank dan Dodi berada tepat di depan Aga. Mereka menatap lelaki remaja itu seperti mangsa yang siap mereka terkam kali ini. Hari ini, Frank tengah memegang pisau belati di tangannya. "Apa yang mau kalian lakukan?" Pria itu menatap Aga penuh seringai. Ia maju ke arah Aga yang sama sekali tidak mampu berbuat apa pun itu. Ia menekankan pisau ke wajah lelaki itu dan tatapan kebencian Aga selalu menusuk pada mereka. Meskipun nyatanya Aga tidak bisa sembarangan bergerak atau ujung pisau itu menusuk kulitnya. "Benar-benar mirip Aditya," ucap Frank sekali lagi. "Apa yang kalian lakukan? Hah? Lepasin gue! Gue nggak punya masalah sama kalian!" Dodi tersenyum lagi, nyaris tertawa. Begitu pun Frank yang ada di hadapannya. Seolah memutar kisah lama, mereka terlihat senang jika menyiksa pemuda yang berpotensi menjadi anak buah mereka. "Lo emang nggak punya masalah dengan kita anak muda, tapi orang tua lo itu yang mempunyai masalah dengan kita! Heh! Lo bersedia membuat perjanjian dengan kita?" tanya Dodi. Aga mengerutkan dahi, perjanjian apa pula yang harus disetujuinya. "Apa?" "Bujuk bokap lo agar mau nebus lo dengan seluruh aset yang dia miliki! Tanpa terkecuali!" "Hah? Kalian gila!? Nggak akan pernah gue turutin apa mau kalian! Bodoh!" umpat Aga. Slash! Satu sabetan mampu membuat Aga terkejut dan merasakan perih yang luar biasa. Frank menyabetkan pisau itu tepat di lengan Aga. Darah sudah terlihat mengalir di sana. Aga hanya bisa menahannya. Tidak puas dengan darah yang mengucur deras, Frank mengambil sesuatu dari luar. Ia berjalan ke arah Aga yang masih menatapnya meskipun sayatan itu mampu membuat tenaganya sedikit melemah. Rasa perih cukup membuat napas Aga sedikit terganggu. "Arrggh!" teriak Aga. Rasa yang teramat perih di luka Aga bertambah saat Frank dengan tega meneteskan air perasan jeruk nipis itu. Aga hampir saja tidak kuat menahan rasa sakit di bagian lengannya. Ia bahkan tidak tahu mengapa orang- orang di depannya memperlakukannya sedemikian rupa. Napas memburu, daeah yang terus mengalir dan kepala juga sudah memberat. "A—apa ... salah—gue?" tanya Aga terbata-bata. "Salah lo ... karena lo anak Aditya Regha!" tandas Dodi. Aga benar-benar tidak mengerti dengan penuturan Dodi. Ia bahkan tidak tahu masa lalu apa yang dirahasikan papanya terkait hal ini. Ia sadar telah membuat satu kesalahan besar kali ini, kekecewaan dan rasa penasaran mampu membuatnya tidak lagi awas dan ternyata pria-pria di depannya adalah musuh dari sang ayah yang bahkan ia tidak tahu masalah apa yang menghinggapi keluarganya. "Lo mau buat kesepakatan dengan kita atau tidak?!" Aga menggelengkan kepalanya dengan kuat. Ia tidak akan pernah mau menyerahkan apa pun pada orang-orang b******k di depannya itu. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, lelaki remaja itu menendang tubuh Dodi hingga terjatuh ke lantai. Dodi yang tidak menyangka akan serangan Aga, mendadak geram. Bughh! Satu pukulan keras tepat mengenai wajah Aga. Bukan Aga tidak mampu melawan mereka, tetapi ikatan simpul pada tubuhnya semakin menyakitkan jika terus bergerak. Sekali lagi Dodi menanyakan hal yang sama, tetapi Aga tetap tidak mau menuruti kemauan mereka. Dodi semakin tidak sabar dan sekali lagi menghantam wajah Aga sampai sudut bibirnya mengeluarkan darah segar. Aga tidak peduli, sekali pun mungkin nyawanya akan melayang ditangan pria-pria di depan matanya, ia akan menjaga privasi keluarga. "Sampai mati pun gue nggak akan pernah turutin mau kalian! b******n!" Masih, Aga masih mampu mengumpat dengan fasihnya. "Heh, bocah bodoh! Lo harus turuti semua ucapan kami atau lo mau melihat bokap lo mati di tangan kami? Iya?" Aga tertawa tipis. "Terserah! Bokap gue bukan orang yang picik dan pengecut seperti kalian yang memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan sesuatu!" Aga tetap bersikukuh tidak mau mengikuti kemauan Dodi dan Frank. Ia tidak peduli berapa banyak pukulan yang akan menghampirinya dan justru Aga tidak mau jika sang ayah yang mengalaminya. Tiba-tiba Frank menggeledah jaket yang semalam sudah terlepas dari badan Aga yang bahkan Aga tidak tahu kapan jaket itu terlepas dari badannya, dan mereka mencoba mengambil ponsel lelaki itu. "Heh! Kembalikan! Lo mau apa?!" Frank tidam memedulikan ucapan Aga, ia segera menghidupkan ponsel itu dan kembali kesal saat nyatanya benda pipih canggih itu dikunci. "Apa kata sandinya?!" Aga hanya terdiam tidak mengatakan apa pun pada Frank. Frank yang merasa geram pada Aga lantas membanting ponsel lelaki itu hingga hancur. Ia mencengkeram rahang Aga dengan kuat. "Lo mau main-main sama kita ya? Oke mari kita mulai!" Bugh! Satu pukulan lagi mendarat di wajah yang sudah tampak lebam. Namun tidak juga mampu membuat Aga mengeluarkan sedikit pun informasi tentang Aditya lagi. "Dod, lo tau 'kan rumah Aditya?" "Gue inget-inget lagi, gue lupa tuh rumah di mana," ujar Dodi. "Bram, cari tau tentang Aditya Regha. Dia pengusaha pasti ada informasinya." "Siap, Bos." Anak buah Dodi pun pergi mencari tahu informasi terkait Aditya. Ia pun lantas kembali menatap Aga yang tampak terus menatapnya dengan tatapan tajam sekaligus lemah. Aga tidak akan pernah mengampuni pria tua itu jika ia berhasil lepas dari ikatan sialan itu. ****** Suara bel dibunyikan oleh seseorang di kediaman Kevin. Gladis yang baru saja terbangun langsung menuju ke arah pintu untuk membukakan tamu yang entah siapa sepagi itu datang ke rumah mereka. "Adit? Kamu ngapain ke sini pagi-pagi?" tanya Gladis sesaat tepat membuka pintunya. "Gladis, emm, apa Aga kemarin sempat ke sini?" "Aga?" Gladis balik bertanya dengan nada heran. Aditya menganggukan kepalanya, raut wajah khawatir dan lelah bersarang pada Aditya, hal yang jelas tertangkap oleh Gladis. Memang, Aditya tidak tidur semalaman menunggu anak semaga wayangnya itu, sesekali ia terlelap, tetapi tidurnya tidak lah tenang. Hatinya benar-benar gelisah dan perasaannya tidak enak pada anaknya itu. "Aga sama sekali nggak ke sini, Dit. Memangnya ke mana Aga? Tumben dia nggak pulang ke rumah, nggak biasanya bukan?" "Oh, nggak ke sini sama sekali, ya. Ya karena itu, nggak biasanya Aga seperti ini." "Sayang, ada siapa?" Percakapan itu terinterupsi oleh suara lain yang turut hadir. "Loh, Dit, ngapain kemari sepagi ini?" tanya Kevin. "Vin, Adit cari Aga. Aga dari semalam nggak pulang katanya," jelas Gladis. "Aga? Nggak pulang? Dit, masuklah dulu. Sepertinya lo juga keliatan kacau," ucap Kevin khawatir. "Sorry, Vin, ganggu lo pagi-pagi. Tapi makasih, gue masih banyak urusan ... kalo memang Aga nggak pernah dateng ke sini ya sudah. Gue pamit dulu ...." Adit segera membalikkan badan, sesekali memijit dahi yang teramat menyakitkan. Kekurangan waktu tidur dan terlalu berat memikirkan Aga membuat kepalanya menjadi sakit. Ia pun segera melangkahkan kakinya ke arah mobilnya dan melaju meninggalkan rumah Kevin. Kevin dan Gladis pun tampak khawatir dengan Aditya. Mereka juga heran dengan sikap Aga yang tidak seperti biasanya. "Honey, kayaknya aku harus temui Aditya, sepertinya masalahnya serius." "Iya, Vin. Aga nggak mungkin kayak gini kalau nggak ada masalah. Aku kenal banget sama anak itu kayak gimana." Kevin pun lantas masuk kembali ke rumahnya dan bersiap -siap menyusul Aditya untuk membicarakan perihal yang tengah terjadi dengannya. Di sisi lain, Aditya tampak melajukan mobil ke arah kantor. Ia tampak lelah dan tetap memikirkan anaknya, sekalipun sang anak sudah beranjak dewasa. Kekhawatiran di dalam dirinya masih saja sama, tidak pernah berubah. Ciitt! Aditya tiba-tiba menginjak pedal rem mobilnya dan sedikit membanting setirnya saat tidak sengaja menabrak motor di depannya. Pikiran tidak fokus ternyata membuat Aditya tidak sadar bahwa ada motor yang melaju melambat, untungnya itu merupakan jalanan yang cukup sepi sebagai jalan pintas menuju ke kantor Aditya. Ia pun memarkirkan mobilnya ke tepi jalan dan langsung melepas selt beltnya, kemudian segera turun menghampiri pemotor itu. "Maaf, maaf saya tidak sengaja. Apakah ada yang luka?" tanya Aditya khawatir. Tampak seorang pria yang tengah terjatuh itu melepas helmnya dan berusaha berdiri dari motornya. Ia menatap Aditya, entah mengapa hati kecilnya merasa tampak dekat dengan sosok Aditya, meskipun ia baru saja bertemu. Pria itu adalah Evanders, anak kandung Aditya yang sudah lama terpisah karena keegoisan sang mantan istri. Namun Aditya sama sekali tidak menyadari akan hal itu, tidak menyadari bahwa di depannya adalah Evan, anak kandungnya yang ia cari selama ini. Pun sebaliknya Evanders tidak tahu jika di depan matanya adalah sang ayah. "Maaf, saya tidak sengaja. Ini kerusakan motor kamu biar saya menggantinya dan apakah kamu terluka? Mari saya antar ke rumah sakit," cerca Aditya khawatir. "Enggak, Pak. Tidak perlu, saya tidak apa. Sebaiknya Bapak yang istirahat sejenak sepertinya apak kurang sehat." Pria muda di depannya memang benar, ia tampak sedikit tidak sehat hari ini. Pria muda itu menatap Aditya dengan lekat, hatinya benar-benar merasa dekat dengan sosok di depannya itu. "Nak, kamu benar-benar nggak kenapa-kenapa?" tanya Aditya lagi. "Hah? Ah, iya Pak, tidak apa. Kalau begitu saya permisi dulu. Bapak kalau misalnya masih nggak enak badan lebih baik istirahat sejenak saja," ucap Evan yang langsung tersadar akan hal konyol yang ia bayangkan barusan. "Sekali lagi saya minta maaf ...." Evan pun mendirikan motornya yang tergeletak begitu saja sejak tadi. Ia memang tidak terluka serius, hanya saja bertemu dengan Aditya rasanya seperti bertemu sosok ayah yang sebenarnya sangat dirindukan. Namn ia tepiskan segalanya, ia melajukan motornya dan menganggap ayah kandungnya tetap saja tidak adil padanya, karena telah meninggalkannya dan tidak mencarinya. Aditya pun akhirnya kembali ke dalam mobil, sesekali ia memijit pelipis dan melajukan kembali mobil itu. Beberapa saat kemudian, ia telah sampai ke kantornya. Ia parkirkan mobil itu di depan pintu masuk gedung perusahaan. Ia masuk dengan malas ke dalam kantor dan sesekali memegang tengkuknya yang sedikit pegal. Ada keanehan terjadi, tampak beberapa karyawan merasa ketakutan untuk masuk dalam kantornya dan pandangan mereka tertuju pada satu titik. Aditya pun mengernyitkan alisnya tidak mengerti. Ia ikuti pandangan beberapa karyawannya dan ia benar-benar terkejut saat tau siapa yang tengah menggebrak meja resepsionisnya. "Berhenti kalian!" Sontak pria itu menoleh ke sumber suara yang sudah lama tidak terdengar. Aditya benar-benar dibuat syok di kantornya sendiri. "Frank? Dodi?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN