PROLOG
Ruangan berinterior eropa klasik itu mendadak hening. Hanya embusan angin kecil menyapa, berasal dari pintu utama yang terbuka. Sosok pria terlihat membelakangi seorang lelaki remaja yang tengah menunggu satu jawaban kejujuran, rahangnya terkatup dengan keras, berusaha tidak membuka informasi sedikit pun.
"Pa, sebenernya mama itu meninggal kenapa? Apa Aga enggak boleh tau sampai sekarang? Papa pasti bohong 'kan soal mama sakit. Banyak yang bilang—"
"Kenapa kamu bertanya lagi?" potong pria itu segera.
Suasana semakin mencekam, aura pria itu berubah, terlihat kesedihan di sorot matanya. Sudah beberapa tahun berlalu, nyatanya semua kenangan tidak dapat enyah begitu saja. Haruskah ia membuka seluruh tentang dirinya dan juga mendiang sang istri di depan anaknya? Ia tidak yakin akan mendapatkan maaf dari sang anak jika hal itu terjadi.
"Pa, kata—"
"Sudah, cukup, Aga! Tolong berhenti nanya hal yang sudah papa jelaskan berkali-kali!"
Aditya—sang ayah lantas pergi meninggalkan putera semata wayangnya berlalu guna menghentikan secerca pertanyaan yang berkali-kali membuat pria itu merasakan sakit hati luar biasa. Bukan tujuannya menyembunyikan segala peristiwa masa lalu, tetapi mengingat kematian sang istri akan membuat dirinya kembali dalam kubangan keterpurukan.
Sebaliknya, Aga mematung tetap tidak mendapatkan jawaban pasti atas pertanyaannya. Memang semua penjabaran jelas dan masuk akal, tetapi ada rasa yang masih mengganjal perihal perginya sang ibu sejak ia berusia empat tahun. Rasa rindu pada ibunya membuat lelaki berusia 19 tahun itu selalu berusaha mencari tahu lewat ayah sebagai informan satu-satunya. Namun, ternyata sang ayah tidak pernah memberitahu secara pasti perihal apa yang ditanyakan, semua bias tanpa ia memahami bagaimana sosok ibu yang ia rindukan.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" gumamnya lirih sembari menatap potret sang ibu yang masih terpajang manis di dinding ruang tengah kediamannya.