BAB 21

1792 Kata
Sepuluh menit Jack hanya berdiam diri merenungi segala perdebatannya dengan Hana. Rasa penyesalan hadir dalam benaknya. Hanya karena takut kehilangan, hal konyol telah terlampiaskan pada sosok Hana. Jack mengusap wajahnya kasar. Ia bermaksud ke kamar Hana, meminta maaf atas segala perlakuannya selama ini. "Hana ..." panggil Jack dengan nada setenang mungkin. Akan tetapi, ketukan dan panggilan yang dilayangkan tidak membuay pintu itu terbuka. Bahkan sahutan saja tidak ada. Jack masih berpikir positif bahwa Hana tertidur. Namun, hatinya gelisah. "Hana, kamu tidur? Hana buka pintunya. Aku minta maaf," ucap Jack yang masih mengetuk pintu kamar Hana. Merasa tidak ada jawaban dari Hana, Jack mulai panik. Ia gedor pintu itu dan lagi- lagi tidak ada respon apa pun. Jack tidak lagi bisa sabar, ia dobrak pintu kamar Hana dan pria itu benar-benar syok melihat banyaknya darah dan tubuh Hana yang tergeletak di lantai kamarnya. Ia segera berlari menuju ke arah perempuan itu. "Hanaaa! Apa yang kamu lakukan! Hana bangun Hana!" teriak Jack risau. Ia periksa vital Hana dan masih ia rasakan denyut nadi di sana meskipun sangat lemah. Ia membuang gunting yang diyakininya membuat Hana menjadi nekat melakukan percobaan bunuh diri. Ia segera mengangkat tubuh perempuan itu dan setengah berlari menuju ke salah satu mobil majikannya. Jack segera membawa Hana ke rumah sakit dengan kepanikan tingkat tinggi. Di dalam perjalanan pun ia tampak sesekali melirik tubuh Hana yang benar-benar pucat dan lemah. Ia merasa sangat bersalah dan tanpa terasa air matanya menetes begitu saja. Ia segera menyekanya dan berfokus pada jalanan agar Hana segera mendapatkan pertolongan medis. Beberapa menit kemudian, ia telah sampai di rumah sakit. Pria itu langsung memberhentikan mobilnya tepat di depan pintu IGD. Ia segera berlari ke arah pintu samping dan menggendong Hana menuju ke dalam IGD. "Suster! Dokter! Susterr!" panggil Jack panik. Para tenaga medis pun segera menindak panggilan panik Jack. Mereka segera membawa Hana dengan bed pasiennya menuju ke ruang IGD. Jack terus menemaninya hingga terpaksa berhenti karena sang perawat menghentikannya di pintu IGD. Ia tampak mondar mandir panik, takut Hana tidak mampu bertahan karena kehilangan banyak darah. Jantungnya berpacu dua kali lipat dari biasanya, keringat dingin memebasahi pelipis dan matanya memanas menahan air mata yang bisa saja terkuras andai apa yang dipikirkan terjadi. Apa yang telah kulakukan! Hana kamu harus bertahan, aku mohon, batin Jack menyesal. Ia tampak menyesali apa yang selama ini ia perbuat pada Hana. Hingga berujung saat ini, Hana dengan nekat ingin mengakhiri hidupnya karena tekanan yang selama ini ia terima. Jack sadar, semua bersumber dari kelakuan bejadnya sendiri. Aku minta maaf, Hana. **** Aga masih tetap mengedarkan pandangannya pada isi rumah itu. Ia terlihat tidak mendengar ucapan pria di depannya. Sedangkan pria yang tidak lain adalah Dodi Arjasa yakin bahwa lelaki di depannya mirip sekali dengan Aditya. "Pak, maaf, boleh saya pinjam kamar mandinya. Saya mau ke kamar kecil bentar. Bentar lagi saya sekalian pulang." "Oh, boleh, Nak. Kamar mandinya di ujung. Kamu lurus aja, terus belok kanan, dekat dapur itu kamar mandinya," tunjuk Dodi. Aga mengangguk mengerti dan segera beralu dari hadapan pria itu. Hingga, beberapa menit Aga tampak selesai dari kamar mandi dan akan menuju ke arah pria itu—bermaksud pamit akan pulang—justru menghentikan langkah saat melihat kedatangan seseorang bertubuh kekar ke arah pria tua itu. Lelaki remaja itu mengerutkan dahi penasaran dan justru terdiam di balik pilar dekat dapur. "Bos, ini semuanya sudah ada di tas. Tinggal pengiriman barang saja," ujar lelaki dengan pakaian serba hitamnya. Dodi mengambil tas koper kecil dan membukanya sembari tersenyum puas. Sedangkan Aga terbelalak saat melihatnya, sejumlah uang seratus ribuan berbandel tersusun rapi di sana dan satu buah pistol tengah berada di antara tumpukan uang itu. Entah apa pekerjaan pria tua itu sehingga mendapatkan uang sebanyak itu. Bahkan Dodi pun tidak menyadari bahwa ada orang asing di rumahnya yang akan mengetahui pekerjaannya nanti. "Bagus, kamu bisa atur semuanya?" "Bisa, Bos. Tapi ada satu hal yang saya ingin sampaikan." Pria itu sedikit ragu, tetapi tetap maju ke arah Dodi. "Ada apa?" Pria itu pun membisikan sesuatu ke telinga pria tua itu. Seketika pria tua itu meradang setelah mendengar ucapan antek-anteknya. "Bodoh! Begini saja kamu tidak becus! Apa dari dulu sampai sekarang kamu tidak pernah belajar?! Heh, kamu ikut denganku bertahun-tahun lamanya, tapi kenapa pekerjaan seperti ini saja kamu tidak becus mengurusnya? Dulu Aditya tanpa ada yang mengajarinya saja mampu melakukan hal sekecil ini! Kalian ini bodohh atau bagaimana? Pergi!" "Ma—maaf, Bos. Saya akan atur ulang semuanya." Aga tersentak saat nama papanya disebutkan oleh pria itu. Entah benar atau tidak nama Aditya itu adalah nama papanya, tetapi rasa ingin tahu mendominasi benaknya. Namun tiba-tiba sebuah tangan mencengkram jaket Aga dari belakang, didorongnya ia ke depan ke arah Dodi. Aga mencoba memberontak, salah menilai pria itu karena kini ia tahu bahwa pria itu bukanlah orang biasa. "Dia mata-mata?" Dodi terhenyak mendapati suara seseorang di belakangnya. Ia melirik ke arah belakang, tampak sahabat karibnya—Frank—tengah mencengkeram kerah jaket Aga yang sedari tadi mencoba memberontak. "Lepaskan dia, aku mengenalnya." "Lagi-lagi kamu ceroboh, Dodi. Jangan biarkan siapa pun orang asing untuk singgah kemari! Atau ku ingin masuk penjara lagi?" "Dia tidak akan bicara apa pun," sanggah Dodi santai. "Kamu percaya? Oke kalau begitu, kamu tidak akan pernah keluar dari sini!" tandas Frank. Aga kembali terkejut saat mengetahui titah pria di sampingnya itu. Bagaimana pun nakurinya tidak ingin ikut campur apa pun mengenai urusan pria-pria itu. "Saya tidak akan bicara apa pun dan akan saya anggap semuanya tidak pernah terjadi. Tapi ijinkan saya pergi dari sini." Aga mulai terlibag negosiasi dengan Dodi dan Frank. Frank dan Dodi pun melihat kesempatan pada diri Aga. Mereka saling melirik dan mempunyai pemikiran yang sepertinya tertuju pada satu titik yang sama. "Dia sepertinya bisa jadi aset kita, Dod. Sama seperti Aditya, dia masih muda, peluang besar."" "Maksud kalian apa?" "Kamu mau uang sebanyak itu?" tanya Dodi. Aga lantas melirik ke arah koper kecil yang ditunjuk Dodi. Namun, lelaki remaja itu sama sekali tidam tertarik dengan uang-uang itu, ia hanya ingin keluar dari tempat ini. "Lepaskan saya, saya tidak butuh uang-uang itu." "Sangat berani, persis dengan Aditya dulu, Dod," ucap Frank yang masih mencengkeram kuat tubuh Aga. "Aditya? Dari tadi kalian nyebutin Aditya itu siapa?" tanyabAga dengan beraninya. Dodi lantas terhenyak saat Aga menanyakan hal yang membuatnya semakin lekat memandangi Aga. Dodi melangkah lebih mendekat lelaki remaja itu, menatap lamat-lamat iris mata yang membuat yakin akan instingnya. "Aditya Regha Kavindra," jelas Dodi. Aga cukup tersentak dengan penuturan Dodi, bahkan justru sekarang ia menghindari bertatapan dengan pria tua itu. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tetapi melihat perangai Dofi, Aga bungkam mengenai sang ayah. Sebaliknya, Dodi semakin curiga dengan gelagat Aga. "Kamu mengenalnya?" tanya Dodi memecah keheningan. Aga masih bungkam, hingga sebuah tangan menyekik leher Aga, membuat lelaki remaja itu memberontak hebat. "Katakan!" bentak Dodi. "Pa—Papa saya!" Darr! Dodi tidak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan keturunan Aditya. Selama ini ia belum melancarkan dendamnya karena suatu hal. Namun, melihat kesempatan emas di depan mata, ia yakin, ia mampu menaklukan Aditya kali ini. Dodi pun tersenyum dengan licik. "Frank kurung dia! Dan ikat dia! Bram, bantu Frank," perintah Dodi pada anak buahnya. "Siaap, Bos!" Diseretnya Aga menuju ke sebuah ruangan, tetapi ia memberontak. Lelaki remaja itu berusaha melepaskan diri dari cengkraman dua pria yang membawanya. Hingga, Frank yang merasa geram, segera memerintahkan Bram untuk mengambil sesuatu. Aga yang tidak sadar akan hal itu masih terus memberontak dan Frank menusukkan jarum ke lengan Aga. "Arggh!" Selang beberapa detik tubuh Aga serasa lemas, obat bius yang dimasukkan ke dalam diri Aga mulai bereaksi dengan cepat. Ia tidak mampu lagi memijakkan kaki, kesadarannya pun mulai hilang dan semua gelap. Frank menyuruh anak buahnya menyeret tubuh Aga ke sebuah gudang di rumah itu dan mengikat tubuhnya pada sebuah kursi di sana. Frank tersenyum puas pada tubuh Aga yang sudah melemah itu. "Biarkan dia di sini dan kalian kami panggil yang lain untuk jaga dia jika sudah sadar ... jangan sampai dia lolos! Paham!" "Paham, Bos!" Frank pun berjalan keluar menuju ke arah Dodi. Ia telah melakukan tugasnya dengan lancar hari ini. "Jadi dia anak Aditya?" "Ya, seperti yang kamu dengar sendiri tadi." "Lantas apa rencanamu?" Dodi terlihat berpikir, raut tenang, tetapi menghanyutkan itu kembali kuat mendominasi. Segala bentuk dendam yang bersaeang seolah meminta penuntasan sesegera mungkin. "Manfaatkan anak Aditya untuk dapatkan seluruh hartanya. Kamu tau 'kan sekarang Aditya sudah berjaya? Kita buat perjanjian dengannya." "Oke ... jadi kamu ingin memakai si anak itu untuk ditukar dengan aset Aditya?" "Yes, that's right. Kita akan berjaya lagi setelah mendapatkan semuanya ...." Dodi melesungkan senyum di sudut bibir untuk semua rencana tidak terduganya. Seorang keturunan Aditya seolah datang sendiri ke pihaknya dan membuat ia kembali membarakan api dendam pada Aditya. ~~~~~ Dokter akhirnya keluar dari ruang IGD setelah Jack menunggunya selama dua jam. Jack segera berdiri dan menuju ke arah dokter itu. "Dokter, bagaimana pasien di dalam? Dia baik-baik saja 'kan, Dok?" Sang dokter pun memegang pundak Jack mencoba menenangkan pria itu. "Pasien dalam kondisi kritis karena banyak kehilangan darah. Kami akan memaksimalkan perawatan, kita berdoa saja agar pasien bisa melewati masa kritisnya. Jika kondisinya semakin membaik, kami bisa memindahkannya ke ruang perawatan, namun saat ini kondisinya masih kritis dan perlu adanya perawatan itensif," jelas sang dokter yang menghantam telak nalurinya. "Lakukan yang terbaik untuk dia, Dokter. Selamatkan nyawanya, saya mohon." "Kami akan berusaha semaksimal mungkin, saya permisi dulu, kalau begitu," ucap sang dokter. Jack mengangguk, kemudian tampak takut dibuatnya. Percobaan bunuh diri Hana membuatnya syok dan menyesal berkepanjangan. Ia tidak akan pernah memaafkan dirinya apabila terjadi sesuatu hal dengan Hana. Saat ini ia hanya mampu menunggu Hana di rumah sakit dan tidak akan tega memberitahu ibunya terkait kondisi Hana saat ini. Semaksimal mungkin ia akan menncari biaya pengobatan perempuan itu ***** Di sisi lain, Aditya tampak melirik jam di dindingnya. Ia tampak mulai khawatir dengan sang anak. Sudah hampir pukul dua malam Aga tidak kunjung pulang ke rumah. "Ke mana anak itu?" gumam Aditya. Ia menghela napas panjang, mencoba berpikiran positif terhadap semua perasaan gundahnya. "Mas Adit belum tidur?" Suara itu cukup membuat Aditya terkejut, ia lantas menoleh dan dilihatnya Elia sudah berdiri di sampingnya. "Belum, Elia," balas Aditya singkat. "Kenapa, Mas?" tanya Elia yang sembari duduk di sisi Aditya. "Aga belum pulang sampai jam segini dan nggak biasanya seperti ini. Semarah apa pun dia, dia pasti pulang, Elia." "Mas, mungkin Aga bermalam di rumah temannya, Mas Adit tenang, ya. Mas Adit istirahat saja dulu, jangan sampai kesehatan Mas terganggu." "Kamu tidur duluan saja, Elia." Elia pun menghela napasnya. Ia sedikit tidak tega dengan Aditya, karenanya lah Aditya dan Aga bertengkar hebat dan sekarang demi menunggu seorang anak yang Elia pikir sudah bisa menentukan mana yang baik dan buruk itu, ia rela begadang seperti menunggu seorang anak kecil yang masih harus dikhawatirkan berlebihan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN