"Frank? Dodi?" ucap Aditya dalam terkejutannya menerima tamu yang sama sekali tidak ia duga.
Tatapan mereka bertemu, menimbulkan ketegangan yang semakin menjadi. Hingga, Marco, sang tangan kanan menghampiri Aditya sesegera mungkin.
"Tuan Aditya, apa saya perlu panggil polisi sekarang juga untuk mengusir mereka, saya sudah mencoba bicara baik-baik, tapi mereka tidak mau mengerti?" ucap Marco setengah berbisik.
Aditya hanya bisa mengodekan untuk tidak mengambil tindakan itu. Ia ingin mengetahui tujuan dan maksud para b******n itu datang ke kantornya dan membuat kekacauan seperti itu. Kini semua mata tertuju pada pemilik gedung berlantai sembilan ini. Aditya masih bergeming di tempatnya saat menatap kedua b******n yang muncul kembali di depan mata dan satu lagi ia seperti mengenal sosok pria di sisi mereka.
"Aditya? Akhirnya lo dateng juga. Untung saja belum ada korban," ujar Dodi yang melangkah ke arah Aditya.
Tidak akan bisa sempurna menghilangkan kisah buruk bersama Dodi. Menatap wajah-wjaah pria di depannya membuat semua kilas balik perbuatannya telak membuat keringat dingin meluncur dari pelipis.
"Pergi dari sini atau—"
"Lapor polisi?" Dodi memotong omongan Aditya.
"Aditya, Aditya, Aditya ... lo sekarang bisa jadi orang yang hebat bukan karena berjaya sendiri, 'kan? Tapi sekarang lo lupa diri dan melupakan kami begitu saja!"
"Apa mau kalian? Katakan berapa yang kalian mau?"
Dodi tersenyum tipis. Ia tatap Aditya yang tampak lebih tenang menghadapi dirinya dibandingkan beberapa tahun lalu, walau Dodi tidak tahu ada rasa paranoid dalam diri Aditya.
"Semuanya! Semua aset lo, tanpa terkecuali!"
Aditya terhenyak, ia benar-benar terkejut mendengar permintaan konyol Dodi dan Frank.
"Kalian pikir ini lelucon? Kalau kalian mau semuanya kerja bukan menjadi pemalas yang bisanya cuman minta-minta belas kasih orang!" Aditya mulai meradang mendapati tingkah yang tidak pernah berubah dari Dodi.
"Aditya ... Aditya. Sekarang lo bahkan udah berani seperti ini! Bahkan lo nggak sadar diri dan seluruh karyawan lo ini juga nggak sadar bahwa pemimpin perusahaan mereka adalah seorang buronan kriminal? Sindikat p**************a terhebat di negara ini? Apa lo nggak kenal dia?" tanya Dodi menunjuk pria di sisinya.
Aditya dibuat terkejut dua kali dengan pernyataan Dodi yang mengungkapkan semua masa lalunya dan kali ini di hadapan banyak orang di sekitarnya. Tatapan tajam kembali Aditya tujukan pada dua orang b******n di depannya itu dan satu lagi ia mencoba mengingat siapa pria yang ditunjuk oleh Dodi. Dan ia menemukan jawabannya, Roy kaki tangannya dulu dalam melakukan bisnis gelap selama beberapa tahun. Ia tidak menyangka bahwa Roy bergabung dengan Dodi saat ini.
"Lo nggak bisa jawab? Karena memang semuanya benar 'kan, Aditya? Pembunuh dan sindikat n*****a tidak kasat mata seperti lo memang banyak dicari orang Aditya! Apa lo nggak mau bergelut kembali dengan bisnis besar yang sempat lo ciptain sendiri?"
Pernyataan Dodi mampu membungkam Aditya kali ini. Ia melirik ke arah Roy yang tidak pernah berani menatapnya sama sekali. Sesuai dengan perjanjian yang ada, sebenarnya Roy menepati semua. Dia tidak lagi berusaha menghubunginya sama sekali.
Akan tetapi, Roy menjadi saksi bisnis gelap yang ia jalani dan jika ia memungkiri semua, pria itu pasti mampu bersaksi untuk segalanya. Pernyataan itu juga mampu membuat semua karyawan saling berbisik dan menatap Aditya dengan berbagai ekspresi dan tidak percaya. Dodi dan Frank berjalan ke arah Aditya yang masih tetap berdiri di tempatnya menatap mereka. Dodi berjalan ke samping Aditya dan berbicara pelan di sisinya.
"Kita beri waktu buat lo mikirin tawaran kita? Atau anak lo cuman tinggal sebuah nama aja," bisik Dodi penuh penekanan, seraya berjalan melewati Aditya dengan sebuah senyum tersungging.
Sontak Aditya tersentak mendengar penuturan Dodi. Kondisi hatinya yang memang kacau ditambah khawatir dengan sang anak emndadak meradang. Darahnya mendidih mendengar semua itu. Pasalnya Aditya tahu bahwa seseorang yang sudah berada di bawah kuasa Dodi sangat susah untuk keluar dan berakhir hancur berantakan. Aditya sama sekali tidak ingin Aga mengalami hal terburuk dalam hidupnya.
Aditya lantas membalikkan badan dengan cepat dan menghantam tengkuk Dodi hingga pria tua itu terperosok ke lantai kantor Aditya. Lantas Adit menekan kepala pria itu dengan sepatunya. Semua karyawan pun hanya bisa terkejut dengan peristiwa di depan mata mereka dan melihat bagaimana Aditya memperlakukan orang-orang itu dengan kejam dan kasar. Pria itu sudah tidak lagi memedulikan lingkungan sekitar. Sosok bersahaja yang dikenal seakan berubah menjadi brutal.
"Di mana anak gue?!"
Dodi sama sekali tidak merasa terhina, ia justru tersenyum tipis.
"Sikap lo ini malah akan membuat anak itu mati mengenaskan Aditya!"
"Katakan, b******n!"
Frank yang tidak terima sahabatnya di rendahkan kemudian berniat menghajar Aditya. Namun Aditya yang mengetahui pergerakan Frank hanya bisa menangkis tangannya dan menggenggam tangan itu kemudian dipelintirnya hingga sang pemilik sedikit kewalahan dan Aditya melakukannya tanpa menoleh ke arah Frank sama sekali. Tujuannya adalah Dodi karena pria tua bastard itu benar-benar selalu memuakkan dirinya.
"Di mana?!" bentak Aditya dengan menekankan sepatunya tepat ke punggung Dodi.
"Kalo lo bikin gue mati, lo nggak bakalan pernah ketemu dengan anak lo, Aditya!"
Sontak Aditya melepaskan kakinya dari punggung Dodi. Dodi pun bangkit perlahan, ia menatap Aditya penuh penghinaan. Diangkatnya segera tubuh Dodi oleh cengkeraman Aditya pada jaketnya.
"Gue emang b******n! Tapi gue nggak sebodoh lo yang b**o bisa keluar masuk penjara! Paham lo! Sekarang katakan di mana anak gue atau lo bakalan mati di tangan gue!"
"Lo mau bunuh gue? Nyawa anak lo ada di tangan gue," ujar Dodu yang menunjukkan foto sang anak pada ponselnya. Memberitahu Aditya akan kondisi Aga yang mengenaskan.
DEG
Jawaban inilah yang ia cari, jawaban di mana Aga berada. Foto yang terlalu singkat membuat hati Aditya hancur. Perasaan tidak enaknya sedari kemarin terjawab sudah. Aga berada di sarang Dodi dan pikirannya sudah dibuat kacau oleh hal itu. Bahkan, karena foto itu kepalan di jaket Dodi melemah dan membuat pria itu melepaskan Dodi begitu saja.
"Lepasin anak gue atau lo mati!" Aditya kembali mengancam dan meraih kerah baju pria itu.
"Kalau lo nerima tawaran gue, gue bakal lepasin anak lo!" balas Dodi sedikit berbisik.
"Marco!" Suara gelegar itu membuat Marco paham.
Marco yang mengerti maksud tersirat Aditya dalam keadaan genting seperti ini lantas berdiri tepat di samping Aditya, menodongkan sebuah pistol ke arah Dodi yang diambil tepat dari balik jasnya. Kontan hal itu membuat semua karyawan Aditya terkejut bukan main, karena mereka tidak menyangka bahwa seorang Marco menyimpan sebuah pistol dibalik pakaian rapinya.
"Lepasin atau mati!" gertak Aditya sekali lagi.
"Bos, kalo lo begini, lo nggak bakal dapet jawaban!" ucap Roy tiba-tiba menginterupsi.
"Diam! Atau lo mau mati di sini juga! Hah!"
Aditya tetap mencengkeram jaket Dodi sedangkan pistol masih tepat berada di samping kepala pria itu. Namun, Dodi tampak santai mendapati kondisi tersebut. Hingga, tiba-tiba Aditya menghempaskan tubuh Dodi lagi, mencoba menetralkan emosi.
Dodi tengah mempermainkan emosinya. Bisa-bisanya dia termakan oleh permainan Dodi dan kawan-kawannya. Ia pun menghela napas samar, kemudian memiliki ide dalam otaknya seketika dan akan membuat sebuah permainan pada seorang b******n seperti Dodi.
"Oke, bunuh saja anak itu! Gue nggak peduli, karena anak gue nggak cuman dia. Kalo lo mau bunuh dia, silakan .... Dan jangan harap gue mau nyerahin apa pun ke lo! Bahkan sepeser pun jangan harap lo terima dari gue!"
Aditya pun lantas pergi ke arah ruangannya diikuti oleh Marco yang tampak mengerti maksud dan tujuan Aditya melepaskan orang-orang itu. Ia melewati beberapa karyawannya yang benar-benar syok dengan sisi lain Aditya. Mereka menatap Aditya dengan pandangan ngeri, takut dan tidak percaya. Karena selama ini, Aditya dikenal sebagai sosok yang dingin, tidak pernah ada berita apa pun tentangnya dan hari ini semuanya terbuka.
Dodi dan Frank benar-benar tidak percaya atas sikap Aditya. Apa yang mereka pikirkan tidak sesuai dengan kenyataannya.
"Hei, Aditya! Jangan sampai lo nyesel dengan keputusan lo!" ucap Dodi.
Aditya pun hanya mengangkat ibu jarinya saja mengodekan jika apa yang ia putuskan adalah keputusan final. Dengan bersungut-sungut Dodi dan Frank pun keluar dari kantor Aditya.
Sementara di sudut lain, Elia yang berniat menemui Aditya untuk sekali lagi menarik perhatiannya dibuat ternganga oleh kejadian di depan mata. Ia sampai bersembunyi di balik pilar kantor itu. Elia tidak pernah menyangka Aditya sekejam itu dan sekasar itu. Dibalik sikap lembut dan perhatian pada dirinya, perempuan itu tidak menyangka bahwa Aditya adalah seorang kriminal. Entah benar atau tidak, tetapi hal itu cukup meyakinkan. Elia pun sejenak berpikir keras untuk mendekat Aditya, tetapi tekadnya lebih kuat untuk mencoba menarik hati Aditya.
Mbak Anggi aja bisa dapetin Aditya dan diperlakukan baik, kok. Kenapa aku enggak? Batin Elia
Ia pun membalikkan tubuhnya dan berlalu dari kantor Aditya. Masih benar-benar tidak percaya dengan apa yang ia lihat barusan.
****
"Dod, lo yakin dia nggak peduli sama anaknya?" tanya Frank membuka obrolan.
Dodi masih berpikir, tidak mungkin seorang ayah tidak memedulikan anaknya. Namun, amarah yang menggebu nyatanya membuat kondisi hati Dodi tidak baik.
"Lo nggak denger dia bilang apa? Dia nggak peduli sama tuh anak!"
"Ya, gue denger, tapi gue heran aja," ujar Frank yang memiliki pikiran yang sama dengan Dodi dalam hatinya.
Dodi lantas menjentikkan jarinya. Seolah kembali menemukan cara jitu untuk menarik perhatian Aditya.
"Oke, kalau dia maunya begitu. Kita bikin dia kesiksa. Mana mungkin Aditya mau dan diam saja kalau keluarganya kita sakiti. Dia pasti berubah pikirin kalau kita sakitin tuh anak."
Frank pun menganggukan kepalanya dan melajukan mobil jeep ke arah rumah yang menjadi markas mereka.
****
"Marco, suruh orang ikuti mobil itu. Lacak di mana mereka menyembunyikan anak saya," ucap Aditya sambil melihat mobil jeep berwarna hitam dari balik jendela ruBaik.
"Baik, Tuan. Sudah saya kerahkan anak buah saya untuk mengikuti mobil itu."
"Bagus ...," ucap Aditya singkat.
Enggak akan gue biarin lo hidup kali ini, Dod! Batin Aditya.
Aditya menatap laju mobil itu dengan tatapan tajam. Dodi telah membuka kembali sisi bengisnya yang ia kubur selama bertahun-tahun lamanya. Ia berjanji tidak akan pernah memaafkan siapa pun yang menyakiti keluarganya.
Ia berjalan ke arah ruangan pribadinya. Di sebuah kamar yang tepat di ujung ruangan kerjanya, ia melangkah menuju ke meja nakas di sisi ranjang. Membuka laci itu dan mengambil sebuah pistol di sana. Pistol yang sudah lama terpajang manis di dalam meja nakas itu tanpa pernah berfungsi semestinya.
"Mari kita mulai ...," ucap Aditya.