BAB 17

1977 Kata
Setelah diperbolehkan untuk pulang, Aditya segera membawa Elia kembali ke rumah agar bisa beristirahat. Rasa panik yang menyerangnya tadi membuat rasa peduli muncul begitu saja. "Ayo saya bantu," ucap Aditya yang baru saja membukakan pintu mobil untuk Elia. "Makasih, Mas, aku bisa jalan sendiri, kok." Tetap saja Aditya berusaha membantu Elia, setidaknya mendampingi takut jika perempuan itu tiba-tiba sakit lagi. "Pelan-pelan saja, kamu benar-benar sudah nggak kenapa-kenapa, 'kan?" Elia tersenyum tipis dan mengangguk. "Aku baik-baik saja, Mas. Mas Adit tenang saja, ya ...." Ibu Martha, yang kebetulan baru kelaur dari kamarnya mendadak terlejut saat mengetahui Aditya yang memapah Elia, langsung menuju ke arah sang anak. "Elia, Nak Adit ... ini kenapa? Elia kenapa?" tanya Bu Martha cemas. "Tadi kami terjebak di lift kantor saya yang macet, Bu. Elia mengalami sesak nafas dan pingsan. Saya membawanya ke rumah sakit tadi, tapi kata dokter sudah tidak apa-apa. Jadi, saya membawanya pulang." "Astaga, Elia. Kamu lupa bawa inhalermu? " Elia menganggukan kepalanya pelan tanpa banyak bicara. "Bu, lebih baik Elia beristirahat terlebih dahulu agar baikan," ujar Aditya. Ibu Martha pun akhirnya membawa anaknya itu menuju ke kamar. Elia pun sesekali menatap ke arah belakang melihat sang kakak ipar yang masih menatapnya dan tersenyum tipis pada Aditya. Aditya lantas menatap foto mendiang istrinya dan menghela napas. Entah apa yang ia rasakan saat ini, yang jelas semuanya terasa bias. Pria itu pun berjalan menuju ke arah kamarnya untuk sejenak mengistirahatkan pikiran dan fisiknya. •°•°•°• Aga terlihat sudah membereskan notenya dan bergegas untuk pergi dari kampusnya. Ia pun berjalan keluar kelas dan lagi-lagi tertabrak oleh Liona yang sedang berjalan keluar juga. "Ya Tuhan, lo ini kenapa sih?! Gue dulu kek! Lo sengaja mau bareng gue apa gimana? Cari perhatian gue, ya? Ngaku lo!" tuduh Aga. "Idih, apaan sih nggak jelas banget lo! Minggir! Ladys first. "Ish, kalo begini aja ngurusin gender lo! Enak aja, gue yang duluan jalan juga." Aga masih tidak mau mengalah. "Apaan sih, minggir!" gertak Liona sambil mengepalkan tangannya seperti akan menghantam Aga. Liona pun akhirnya pergi setelah Aga membiarkannya. Aga terkekeh kala melihat tingkah Liona. "Cewek ini, seru juga," gumam Aga. Ia kembali tersenyum tipis dan lagi-lagi pikirannya terpusat pada sosok Liona. Perempuan dengan paras cantik, tetapi memiliki sikap yang sangat jutek, membuat dirinya penasaran dengan sosok Liona. Bukan ia ingin mengkhianati Hana, hanya saja Liona cocok dijadikan bahan keusilannya. Aga pun akhirnya berjalan dengan santai melewati koridor lantai empat. Namanya yang sedikit tersohor karena prestasi bela diri yang disandang, membuat beberapa sering meliriknya jika berjalan. Namun, Aga cuek saja, tidak terlalu menggubris lainnya kecuali teman yang dikenal. Sesampainya di depan lobi kampus, ia segera mengarahkan langkah ke arah mobil berwarna merah di parkiran dengan santai. Masih dengan sikap tidak acuhnya dengan sekeliling, sesekali mengikuti alunan musik yang terdengar di earphone, membuat ia langsung membuka pintu mobil dan melempar tas ke dalamnya. Namun, pandangannya tercekat pada sosok cewek yang tengah kebingungan di depan sebuah mobil sedan keluaran lama, yang tak lain ternyata adalah Liona. Ia berusaha cuek tanpa memedulikan, toh sikap Liona tadi juga seolah tidak bisa berteman. Namun, hati kecilnya membuat ia menutup kembali pintu mobil dan berjalan ke arah Liona. "Hemm, lo lagi ... lo lagi. Kenapa gue harus bantu lo lagi ya?" ujar Aga yang menyandar di badan mobil milik Liona. Liona yang terkejut lantas menatap sosok lelaki yang melesungkan senyum lebarnya. "Ck, gue 'kan nggak minta bantuan! Pergi aja, deh, bikin kesel aja." Aga terkekeh lagi dan mulai berjalan ke depan mobil tepat di sisi Liona. "Terus lo mau diem aja sampai besok di sini? Kayak bisa benerin aja, sana deh, gue lihat dulu, mumpung gue baik nih ...." Aga lantas melihat bak mobil yang terbuka itu, mengecek mesin mobilnya apakah ada yang bermasalah atau bagaimana. Sebelumnya ia menyuruh Liona untuk menstarter mobilnya dan memang tidak menyala. Mobil itu memang tidak bisa dijalankan. Aga mencoba mencari di mana letak kesalahannya. "Nah ketemu, ini yang bikin mobil ini nggak jalan. Tapi kalo udah gini sih ke bengkel harusnya," ujar Aga menunjukkan di mana letak kesalahan pada mobil Liona. "Hah? Serius harus ke bengkel? Astaga gue nggak tau bengkel di sini di mana?" Liona mendadak panik. "Lo baru juga di sini?" Liona menganggukan kepalanya. Aga menghela napas dan segera mengambil ponsel dari sakunya, lantaa memencet nomor seseorang. "Hallo ... Bro mobil gue macet. Di kampus ini posisinya, bisa kemari? Kayaknya butuh ke bengkel," oceh Aga sembari kembali melihat permasalahan yang terjadi pada mobil Liona. "Oke, lo tunggu di situ. Gue sama ke sana sekarang." "Oke gue tunggu, thanks, Bro." Aga pun lantas mematikan panggilan itu dan menatap liona mengisyaratkan semua beres. Sedangkan Liona terlihat tersenyum canggung, tetapi tatapannya sarat akan ucapan terima kasih tersirat. Aga dan Liona pun menunggu sang montir dengan mengobrol ringan. Dari obrolan itu juga Aga mengetahui siapa Liona sedikitnya. Hingga, Beberapa menit kemudian, para montir pun menuju ke arah Aga dan mobil Liona. "Akhirnya dateng juga, coba cek ini gimana?" "Siap, Bos, bentar-bentar," balas sang montir yang berjalan ke arah kap mobil terbuka. Montir itu pun kembali mengecek bersama Aga. Tampak Liona memperhatikan Aga yang sedang berbincang dengan montir itu mengenai masalah mobilnya dengan lekat. Sikap Aga kali ini terlihat menawan di mata Liona. Ia saja sampai tersenyum tipis mengamati Aga. "Yodah, bawa aja ke bengkel kalo ribet. Masukin ke bill gue nanti. Kalo udah beres kabarin gue," ujar Aga sambil menepuk pundak sang montir. "Oke siap, Mas Bro." Aga pun lantas melirik Liona yang sedari tadi berdiam diri di tempatnya, masih memandang sang montir yang tengah mengotak-atik mobilnya "Lo nunggu apaan? Ayo gue anterin pulang." "Hah? Ehh itu, nggak perlu. Gue bisa panggil taksi online, kok." Aga kembali mendecak, masih saja ada penolakan. Padahal niat yang tertuang sudah cukup tulus. "Udah deh, gue lagi baik loh. Jarang-jarang gue mau anterin orang asing modelan lo begini." Mata Liona membulat, ia langsung memicingkan pandangan ke arah Aga yang tidak memerhatikannya. "Dih, nggak perlu dianterin juga! Siapa juga yang minta anterin! Huhhh nyebelin!" "Ngegas lagi, yodah-yodah, serah lu dah. Gue cabut, ya ... bye!" Aga pun lantas berjalan menuju ke mobilnya dan tiba-tiba hujan turun dengan deras padahal sedari tadi cuaca sedang cerah. Aga lantas melirik ke arah Liona yang sedang bingung mencari tempat berteduh. "Liona! Masuk ke mobil, cepet!" teriak Aga yang buru-buru masuk ke mobilnya. Tanpa pikir panjang dan melepas gengsi, akhirnya Liona berlari ke arah mobil Aga dan masuk ke dalamnya. Ia mencoba mengusap baju dan badannya yang terkena air hujan. "Sial amat hidup gue!" gerutu Liona. "Lepas jaket lo," ujar Aga tiba-tiba. "Hah? Mau ngapain? Lo jangan macem-macem ya, gue bisa laporin—" "Ck, jaket lo basah begitu, lo bisa masuk angin. Nih pake punya gue aja," sela Aga sambil mengambil satu jaket di kursi belakang mobilnya. Liona tertegun menatapnya sekaligus malu telag menuduh Aga sembarangan. Ia tak menyangka lelaki itu memiliki sisi yang sangat lembut dan berbeda dengan yang biasa terlihat olehnya. Liona pun akhirnya mengambil jaket yang diberikan oleh Aga dan memakainya. "Terima kasih," lirih Liona. Aga tersenyum samar. "Sama-sama." Aga pun segera melajukan mobilnya meninggalkan kampus mereka. Hingga di tengah perjalanan mereka terjebak oleh kemacetan panjang, sebab memang hari sudah menjelang sore. Banyak orang- orang juga yang pulang bekerja maka suasana di jalanan pun juga padat ditambah hujan masih mengguyur kota metropolitan ini. "Rumah lo di mana?" tanya Aga yang lupa menanyakan hal krusial itu sedari tadi. "Di Jalan Braga nomer empat puluh enam ... nanti di pertigaan itu belok ke kanan aja." "Oke-oke gue tau." Aga pun melajukan mobilnya lagi setelah kemacetan sedikit demi sedikit mengurai. Hingga tiba-tiba, Liona mendadak terserang flu yang membuat Aga langsung meliriknya. Liona tampak memijit kepalanya yang terasa sedikit pusing karena guyuran hujan tadi. Memang, sejak kecil dirinya tidak bisa terkena guyuran hujan barang sedikit pun, karena kesehatannya bisa mudah sakit seperti sekarang. "Lo nggak kenapa-kenapa? Kita mampir ke apotek dulu buat beli obat ya?" Liona menggoyangkan tangannya pertanda penolakan lagi atas tawaran Aga. "Enggak kenapa-kenapa. Gue oke, kok. Langsung pulang aja, gue nggak mau bikin nyokap khawatir kalo pulang telat." Aga pun menganggukan kepalanya saja dan tidak memaksa. Namun, di sisi lain ia tampak khawatir dengan Liona. Aga pun segera membelokkan mobilnya ke arah rumah Liona. ***** "Yang mana rumahnya?" "Itu, iya itu pagar warna putih," tunjuk Liona pada sebuah rumah di sebelah kiri jalan. Aga pun menengok ke arah depan, tepat ke sebuah rumah berdominasi warna putih di ujung jalan itu. Ia pun segera memarkirkan mobilnya di depan gerbang rumah Liona. "Terima kasih, ya, emm—" "Alex, nama gue Alexrado." "Ah, iya terima kasih, Alex. Gue Liona," ujarnya memperkenalkan diri lagi. Liona pun berjalan keluar ke arah rumahnya. Aga pun ikut turun untuk sekedar mengantar Liona. Namun tiba-tiba tubuh cewek itu limbung dan dengan cepat Aga menangkapnya. "Lo kalo dibilangin kenapa susah sih? Orang gue udah nawarin buat ke apotek dulu nyari obat." "Enggak, sorry, gue cuman agak pusing doang, nggak bisa kena hujan." "Yodah, gue anter sampe ke depan pintu." Liona pun mengiyakannya saja karena memang kondisinya sangat sensitif jika sudah berhubungan dengan cuaca. Aga pun memencet bel di samping pintu rumah itu dan menunggu siapa pun untuk membukanya. Hingga, beberapa saat kemudian, pintu pun terbuka dan tampak seorang pria seumuran dengan papanya tepat di depan mata Aga. "Loh, Liona, kamu kenapa, Nak? Ayo masuk. Terus kamu siapa?" tanya pria yang tak lain adalah Dimas, Papa Liona. "Saya Alex, Om, teman sekelas Liona di kampus. Tadi mobil Liona mogok dan saya mengantarnya ke sini. Sepertinya Liona juga sedang tidak enak badan," jelas Aga dengan tegas. "Astaga, ya sudah ayo masuk dulu. di luar masih gerimis itu." Aga kembali tersenyum. "Makasih, Om, tapi saya pulang aja ... yang penting Liona udah sampe di rumah," ujar Aga sopan. "Tapi bajumu basah itu, nggak mau amsuk, ganti baju dilu. Ada baju kakaknya Liona, kok." "Enggak masalah, Om. Saya pamit saja, selamat sore," ucap Aga mssih dengan sopan santunya pada Dimas. Dimas pun menganggukan kepalanya. Entah kenapa ia seperti mengenal sosok lelaki muda itu. Bahkan, Dimas seperti melihat seseorang dalam diri Aga. Namun, ia tepiskan karena keadaan Liona di sampingnya. Ia pun membawa Liona ke arah kamarnya dan sesekali menatap jendela luar melihat kepergian Aga. "Liona anak itu siapa?" "Oh, dia temen sekelas Liona, Pa. Namanya Alexrado, dia yang menolong Liona tadi. Dia juga yang bawa mobil Liona ke bengkel." Dimas mengangguk dan cukup simpati dengan perlakuan Aga. "Jarang ada anak sebaik itu di Jakarta." Liona hanya mengedikan bahunya. Cewek itu tampak menuju ke kamarnya dan Dimas tetap masih memikirkan Aga. Ia benar-benar seperti mengenal Aga, tapi lupa di mana dan kapan. "Dimas ...." Sapaan itu sontak membuat Dimas sedikit terkejut. Ia langsung menoleh ke sumber suara yang tak lain adalah istrinya. "Iya ...." "Kenapa. Kamu liatin apa?" "Enggak, tadi ada temen Liona yang nganterin liona kemari." "Nganterin Liona? Bukannya Liona bawa mobil?" "Mobilnya mogok katanya dan ada seorang anak laki-laki yang mengantarnya. Tapi entah kenapa aku seperti mengenalnya ... tapi juga nggak tau di mana dan kapan." Anindya menepuk pundak sang suami san tersenyum. "Mungkin hanya perasaanmu saja, Dim, atau memang kamu pernah bertemu dengannya sekilas." "Mungkin saja." Dimas pun termenung dibuatnya. Ia benar-benar mencoba mengingat kembali memori tentang Aga. Namun sama sekali tak ia temukan di mana- mana. Ia yakin bahwa pernah melihat anak lelaki itu, bahkan hatinya meyakini bahwa ia pernah mengenal dekat. "Sudahlah, Dim. Kamu jangan terlalu pusing memikirkannya .. ingat kesehatanmu, kamu nggak boleh mikir terlalu keras." Dimas pun menganggukan kepalanya. Memang benar mental Dimas sedikit terguncang saat terakhir kali mendengar kabar dari Kevin tentang Anggi beberapa bulan lalu. Ia harus melawan segala kegelisahan hatinya agar tidak menjadi gila yang dibantu oleh psikiater. Cukup lama ia berusaha keras, cukup sulit akhirnya ia bisa mengontrol dirinya sendiri dengan mencoba memaafkan apa yang telah ia perbuat. Meskipun tak sepenuhnya itu terjadi. Terkadang rasa takut dan bersalah yang berlebihan muncul tiba-tiba di benaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN