BAB 18

1717 Kata
Hujan deras kembali menerjang saat ia sampai di daerah rumahnya. Hingga, beberapa menit kemudian Aga telah sampai di depan gerbang rumah dan segera membunyikan klakson mobilnya. Gerbang pun terbuka dan ia segera masuk ke dalam rumah itu. Ia melepaskan selt belt dan turun dari mobilnya. Berniat dalam hati segrra mengganti baju yang sedikit basah, tetapi pandangannya terhenti saat melihat benda seperti gantungan kunci berbentuk alat musik biola. "Pasti punya Liona..." gumam Aga setelah mendapatkannya di genggaman. Ia pun lantas tersenyum tipis dan membawanya masuk ke dalam rumah. Aga melangkahkan kaki menuju ke arah kamar, hingga langkahnya terhenti saat melihat sang ayah berada di dalam kamar tamu yang jelas ia tahu itu adalah kamar Elia. "Kamu sudah baikan Elia?" tanya Aditya. "Iya, Mas, udah nggak kenapa-kenapa, kok. Makasih ya, Mas, udah repot-repot bikinin ini buat Elia," ujar perempuan itu senang, mendapat perhatian dari Aditya. "Enggak masalah Elia. Makan lah agar kesehatanmu lebih baik lagi. Saya keluar dulu ya, istirahatlah setelah ini." Aga menatapnya dengan tidak suka. Ia tidak pernah suka sang ayah dekat dengan siapa pun dan menggantikan posisi ibunya. Ia mengepalkan tangan dan berlalu saat tahu Aditya akan keluar dari ruangan tersebut. "Pa!" Aditya sedikit terkejut dengan panggilan itu. Pasalnya Aga tiba-tiba sudah berada di tlrumah tanpa ia dengar suara mobil dari luar. Aditya belum sadar bahwa hujan amsih mengguyur dengan derasnya di luar sana. "Kamu sudah pulang, Nak?" "Pa, Aga mau bicara empat mata. Bisa?" Adit mengerutkan dahi tak mengerti maksud dan tujuan anaknya. Raut yang diperlihatkan Aga cukup serius dan membuat Aditya pun hanya menuruti saja kemauan anaknya. "Ada apa Aga? Sepertinya sangat serius." Aditya mulai menagih pertanyaan langsung pada anaknya. "Papa mencintai Mama sampai sekarang atau udah enggak lagi?" Aditya cukup terhenyak dengan penuturan itu. Tidak biasanya sang anak menanyakan hal seperti ini. "Kamu ini bicara apa? Jelas Papa tetap mencintai Mamamu sampai kapan pun. Kenapa kamu bertanya seperti ini?" "Jangan dekat-dekat dengan Elia itu. Aga gak suka sama dia!" cetus Aga. Aditya semakin tidak mengerti. Bahkan dirinya saja tidak pernah berpikiran seperti apa tang dutuduhkan sang anak. Aditya sama sekali tidak berusaha mendekatu Elia selain karena memang dirinta menganggap Elia adalah adik mendiang sang istri. "Dia tante kamu, Ga. Keluarga kamu juga. Lagipula Tante kamu tadi sakit di kantor Papa, jadinya—" "Apa! Dia ke kantor Papa? Mau ngapain?" "Kamu ini kenapa? Tanya sampai sebegitunya?" Aga semakin mendekat ke arah Aditya, bahkan sang ayah justru sampai mundur. "Pa, inget, ya. Aga bener-bener nggak suka sama dia. Bodo deh mau dia adik Mama atau orang lain kek. Aga tetep nggak suka. Pa, apa Papa tidak sadar Elia itu suka pada Papa? Dia coba deketin Papa terus, cari perhatian mulu! Aga nggak mau, ya, Pa posisi Mama digantikan sama siapa pun apalagi sama dia!" Aditya tercengang mendengar penuturan sang anak. Dari mana pula Aga bisa berbicara tidak sopan seperti itu? Aditya tahu, daei dulu memang Aga menunjukkan sikao menolak siapa pun untuk menggantikan sang ibu dan dirinyabjuga sama sekali tidak pernah berpikiran untuk menikah lagi. Jika pun dia berniat menikah, mungkin sudah sejak dulu dilakukan. "Aga, sudah cukup. Berhenti berbicara yang tidak-tidak." Aga tetap membombardir sang ayah dengan ucapan yang mengisyaratkan ketidaksukaannya pada Elia. Hingga, di tengah perdebatan antara Aditya dan Aga tiba-tiba Elia datang menemui mereka. "Mas, hentikan." Aditya terkejut dan langsung menoleh ke sumber suara itu. Rasa tidak enak hati menyeruak begitu saja. "Kamu lihat, bahkan kamu sampai mengganggu tantemu beristirahat. Tantemu sedang sakit Aga. Mengertilah," ujar Aditya lagi. "Halah! Pembual!" "Mas Adit, Aga, udah. Aku nggak mau kalian bertengkar hanya karena ada aku dan ibuku di sini. Lebih baik kita keluar saja dari rumah ini." Rasa tidak enakan Aditya semakin menjadi-jadi. Ia tidka ingin menyia-nyiakan sosok keluarga sang mendiang istri. Bagi Aditya, Elia dan Ibu mertuanya adalah bagian dari hidupnya. Sudah wajar jika ia juga terusik akan ketidaksukaan Aga yang tak beralasan seperti ini. "Tidak, Elia. Kamu tidak ada kaitannya dengan ini. Jangan dimasukkin ke hati, ya." "Ck, Pa! Dia pembual! Oke, Aga tidak masalah mau siapa pun tinggal di rumah ini asal jangan pernah Papa coba-coba menggantikan posisi Mama di sini." "Ya Tuhan. Aga! Kamu ini apa-apaan bicara seperti itu?" Elia mulai tersudut karena merasa apa yang diungkapkan Aga mengancam rencananya, langsung memasang tampang memelas. "Aga, aku ini tantemu, adik mamamu Aku nggak mungkin berbuat seperti itu apalagi sampai merebut kakak ipar sendiri. Lagipula usiaku dan Papamu terpaut cukup jauh, 'kan?" "Ck, apa yang nggak mungkin? Semuanya bisa mungkin!" tandas Aga. Ia menatap tajam Elia dan aura ketidakcocokan juga dirasakan oleh Elia. Ia tampak kesal dengan Aga yang merupakan hambatan baginya untuk rencananya mendekati Aditya. Ia memutar otak lagi agar mendapatkan simpati dari Aditya. Ia pun membuat tangisan palsu agar Aditya merasa iba dengannya. "Kalau memang aku dan ibuku menjadi masalah di rumah ini ... lebih baik aku dan ibuku pergi saja, Mas. Andai, Mbak Anggi masih hidup , semua ini tidak akan pernah begini. Maaf, ya ...." Dan benar saja, Aditya menjadi merasa bersalah pada Elia dan itu tampak dari raut wajahnya. "Aga sudah cukup! Jangan memperbesar masalah ini." "Pa, aku tidak akan pernah diam jika wanita ini berusaha menggantikan posisi Mama! Dan kamu Elia jangan seperti jalang yang suka menggoda papaku!" Plak! Satu tamparan keras mendarat manis di pipi Aga. Membuat seisi rumah yang berada di sekitar mereka terkejut bukan main. Baru hari ini, Aditya bermain tangan dengan sang anak. Selama hampir 19 tahun hidup Aga, lelaki remaja itu sama sekali tidak pernah mendapatkan pukulan dari sang ayah. "Aga! Keterlaluan! Jangan tidak sopan pada Tantemu!" Aga lantas menoleh ke arah Aditya tak menyangka. Ia terkejut saat Aditya dengan mudah menampar dirinya hanya karena membela orang lain. Orang lain yang bahkan baru ayahnya temui beberapa hari. "Papa menampar Aga? Demi dia?" tunjuk Aga. "Dari kecil sampai sekarang kenapa Papa baru hari ini melakukannya?! Hah! Apa semua gara-gara dia! Apa Papa lebih peduli sama dia daripada Aga?" "Kamu yang tidak sopan dan Papa tidak pernah mengajarimu tidak sopan pada siapa pun! Papa berhak menghukum kamu yang seperti ini." Aga lantas pergi dari hadapan Aditya dengan perasaan campur aduk. Marah, kesal dan benci bercampur jadi satu. Ia kembali menatap ke arah sang ayah dan Elia yang berusaha ditenangkan oleh Aditya. Namun, di luar dugaan, Elia justru tersenyum licik pada Aga. Aga hanya mampu mengepalkan tangan menahan emosi di dalam dirinya. Perempuan itu benar-benar licik. Ia pun segera berlari menuju ke kamarnya. Sesampainya di kamar, ia membanting pintu dan membuang tasnya ke sembarang tempat. "Brengseek!" gerutu Aga. Ia pun berdiri tepat di cermin almarinya. Lelaki itu benar-benar tak menyangka kedatangan Elia mampu membuat papanya berubah secepat itu. Mampu memporak porandakan kehidupan keluarganya secepat membalikan kedua telapak tangan. Ia kecewa dengan Aditya yang tidak mau mempercayai ucapannya, tak mau setidaknya menelusuri apakah yang diucapkan benar atau tidak. Ia juga tidak mungkin salah mendengar obrolan Elia dan neneknya di kamar waktu itu. Ma, Aga nggak bakal ngebiarin siapa pun menggantikan posisi Mama! batin Aga. Tatapan kebencian itu muncul di dalam diri Aga. Hidupnya menjadi kacau sejak Elia datang ke rumahnya dan kebohongan sang papa tentang kematian mamanya. Kenapa begitu banyak kebohongan? batin Aga lagi. Ia menghela napas dengan kasar, mencoba menenangkan dirinya sendiri, tetapi tidak berhasil. Amarahnya lebih kuat karena rasa kecewa terhadap papanya. Ia pun menghantam kaca di depannya hingga pecah dan berantakan. Darah segar mengalir di jemari, tetapi tak dirasakannya sakit yang berarti. Hatinya lah yang teramat sakit kali ini. "Aku akan buat perhitungan denganmu Elia!" ????? Aditya tengah termenung di belakang halaman rumahnya. Ia sedikit menyesali perbuatannya pada Aga. Selama ini bahkan mencubit Aga pun sama sekali tak pernah ia lakukan. Namun entah kenapa, hari ini ia sangat ringan tangan pada anak semata wayangnya itu. Emosi mengalahkan akal sehatnya. "Mas Adit ...." Aditya lantas menoleh pada sosok Elia yang tengah berdiri di samping pintu. "Iya, Elia." Elia pun lantas melangkahkan kakinya menuju ke arah Aditya. "Boleh aku duduk di sini, Mas?" Aditya menganggukkan kepala. "Ya, duduk saja ...." Elia pun segera duduk di samoing Aditya. Ia dapat emlihat kekacauan di raut wajah kakak iparnya itu. "Mas, aku minta maaf, ya ... karena aku, anak Mas Adit jadi salah paham. Dan Mas Adit jadi mukul dia." "Tidak, Elia, bukan salahmu." "Tapi ucapan Aga tentang tadi ... Mas Adit nggak salah paham juga, 'kan?" Kini, Aditya menatap Elia dengan lekat. "Yang mana, Elia?" "Yang tadi, Aga menuduhku menyukai Mas Adit, 'kan? Dan menuduhku akan merebut Mas Adit dari Mbak Anggi." Aditya menghela napas, dia ingat ucapan sang anak tentang kekhawatira akan dirinya yang akan berpaling dari Anggi. Terkadang, Aditya juga ingin tertawa saat sang anak sudah turut akan urusan pribadinya. "Sudahlah, Elia. Kamu tidak perlu pusingkan itu. Lagipula semuanya juga tidak benar, 'kan? Aga hanya terlalu khawatir saja." "Seandainya apa yang dikatakan Aga benar bagaimana?" Aditya terhenyak sesaat dan kembali menatap Elia dengan lekat bermaksud meminta penjelasan lebih. Namun, bukannya mendapatkan jawaban, perempuan itu mengalihkan pandangan. "Lupakan, Mas. Aku istirahat dulu ya, Mas. Aku minta maaf udah bikin kekacauan barusan." "Enggak masalah, Elia. Kamu istirahat saja, jangan kamu pikirkan masalah ini." Elia mengangguk, segera bangkit dan berjalan menuju ke arah kamarnya. Tampak Aditya masih menatap punggung Elia yang pergi menggantungkan pernyataan yang disebutkan tadi. Namun sebelum Elia benar-benar menghilang dari pandangan Aditya, ia melirik Aditya dan tersenyum padanya. Aditya tanpa sadar membalas senyuman itu. Senyuman yang sama dengan mendiang istrinya itu kini melekat dalam benaknya. Aditya pun bangkit dari kursi santainya bermaksud menjelaskan pada Aga agar dirinya dan anak semata wayangnya itu tidak berselisih paham terlalu lama. Ia pun berjalan ke arah kamar Aga, tetapi tiba-tiba kepalanya mendadak pusing. Sakit yang sudah lama tak ia rasakan kembali lagi. Ia memegang kuat pinggangnya dan menyandarkan tangan pada pegangan tangga. Sesekali menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya agar rasa sakit sedikit mereda. Ia pun melanjutkan langkahnya setelah merasakan kondisinya cukup membaik. Beberapa saat kemudian, ia sampai tepat di depan pintu kamar Aga. Pria itu mencoba mengetuknya berharap sang anak mau membukakan pintu untuknya. "Aga, Nak, boleh Papa bicara?" "Jangan ganggu Aga!" teriak Aga dari dalam. "Kita harus bicara, Aga ...." Aditya berusaha menggunakan nada serendah mungkin dan menekan emosinya. "Enggak perlu!" Adit menghela napas sekali lagi. Baru kali ini ia berselisih hebat dengan Aga. Sudah dua kali ia berselisih dengan anaknya dan hari ini Aga bahkan tak mampu ia tenangkan secepat yang ia pikirkan. Papa minta maaf Aga, batin Aditya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN