Beberapa jam kemudian Elia mulai mengerjapkan matanya. Ia tampak baru sadar kalau tertidur di kantor Aditya. Ia segera mengedarkan pandangan dan terhenti pada sosok Aditya yang tengah bergelut di depan ipad-nya.
"Mas Adit, duh, maaf ya, Mas, aku jadi ketiduran ya di sini. Maaf banget ya ...."
Aditya melirik Elia yang sudah duduk di sofa lagi dan melemparkan senyumnya pada perempuan itu.
"Enggak kenapa-kenapa, Elia. Daritadi juga saya tidak ada tamu siapa-siapa, kok."
"Aku minta maaf banget, Mas. Jadi nggak enak sama Mas Adit."
"Santai saja, Elia. Kamu tenang saja. Jangan merasa tidak enak begitu sama saya. Saya ini juga kakakmu bukan?"
Elia menganggukan kepalanya dan tersenyum pada Aditya. Sedangkan Aditya pun membalas senyuman itu.
Iya sekarang kakak. Sebentar lagi kamu jadi milikku Aditya, batin Elia percaya diri.
"Oh iya, Mas, Elia baru inget— yahhhh gimana dong tadi aku bawa makanan ini padahal buat Mas Adit."
"Apa itu Elia?"
Elia buru-buru membukakan box berisi sebuah makanan dan dibawanya menuju ke meja kerja Aditya. Ia segera menunjukkan isinya. Beberapa makanan seafood pun tersaji di depan Aditya.
"Tau saja kamu kesukaan saya," ujar Aditya
"Oh iya? Masa sih, Mas?" Elia semakin antusias mendapati bahwa apa yang ia bawa mendapat respon baik
"Iya, saya paling suka seafood. Biasanya kakakmu yang membawakan untuk saya
Sini saya makan, kamu juga harus makan, ya ... ini terlalu banyak untuk saya."
Elia menganggukan kepalanya senang. Ia tak menyangka pilihannya tepat untuk Aditya dan membuat sang kakak ipar senang. Namun sedikit hatinya terluka karena Aditya selalu saja menyebutkan kakaknya.
Adit pun memakan makanan dari Elia. Sesekali memberinya pada Elia. Sikap perhatian Aditya membuat Elia salah paham terhadapnya. Sikap baik dan terbukanya Aditya padanya membuat dirinya semakin mengagumi sosok kakak iparnya. Sesekali juga mereka terlibat perbincangan seru dan tawa ada bersamanya.
Tiba tiba, suara ketukan pintu mengacaukan suasana hangat di dalam ruangan itu.
"Kamu habiskan itu, saya buka pintu dulu."
Elia tampak menghela napasnya sedikit kecewa dengan tamu tidak diundang itu. Sedangkan Aditya pun tampak membukakan pintu untuk seseorang di luar sana.
"Uncleeee," sapa Mei yang lantas memeluk Aditya karena memang sudah terbiasa sejak ia kecil.
"Wah, Mey kemari, ada apa? Di suruh Papamu ngapain lagi? Ayo masuk dulu, Mey," ajak Aditya.
Elia yang tidak suka dengan sikap Meylira menatap perempuan itu penuh kebencian, rasa cemburu mengusik sanubari. Ia tidak suka melihat perempuan lain sedekat itu dengan Aditya, padahal ia tak tahu bahwa Mey adalah anak sahabatnya. Mey pun masuk ke dalam ruang kerja Aditya dan ia terdiam sejenak saat melihat sosok Elia disana.
"Paman, apa dia Tante Anggi? Atau Meylira berhalusinasi, ya?" tanya Mey yang langsung menatap Aditya penuh pertanyaan.
"No, Mey. She's real. Tapi dia bukan Anggi, dia adiknya istri Paman."
"Oh, really? Dia mirip banget, Uncle. Hai, aku Mey. Senang bisa mengenal emm— Paman, aku harus memanggilnya Tante atau ...."
Aditya yang memahami arah pertanyaan Meylira lantas menatap Elia.
"Emm, tnggu .Elia berapa usiamu?"
"Siapa? Aku? Aku 25 tahun, Mas."
"Oh berarti aku panggil Kakak aja. Usia kita tidak jauh beda. Hanya saja kamu masih di atasku."
Elia hanya tersenyum kecut menerima jabatan tangan Mey. Mey pun duduk di kursi samping Elia.
"Ada apa, Mey?"
"Ini, Uncle dateng 'kan ke fashion show pertama Mey? Sama Aga ya, Uncle ... ya ... ya," ucap Mey sambil menyerahkan dua buah tiket VVIP untuk Aditya dan Aga.
Adit tertawa tipis mendapati permintaan Meylira. Pria itu merasa perempuan di depannya menyukai sang anak.
"Kamu suka dengan anak Uncle, ya?"
Mendapati pertanyaan seprti itu membuat pipi Meylira merona, malu, tetapi juga ada kalanya membenarkan.
"Ih, Uncle, enggak, enggak tau!"
Aditya terkekeh. "Jangan gugup begitu, Uncle, 'kan cuman bercanda."
"Ish, Pamam tuh, ya, dari dulu suka banget ledekin Mey."
"Kamu lucu kalau sudah begitu Mey sama seperti mamamu."
Elia menatap mereka berdua dengan begitu heran dan sedikit ada perasaan cemburu lagi melanda hatinya.
"Mas, Aku pulang dulu deh kalau begitu."
"Wait-wait. Sama saya saja, jangan sendiri. Oke, Mey, kamu perlu apa lagi? Apa hanya ini saja yang ingin kamu sampaikan?"
Meylira mengangguk dan mulai bangki dari tempat duduknya. "Iya, Uncle, hanya itu. Dateng ya ... kalau enggak awas aja biar Papa yang datengin, Uncle."
"Haha, iya-iya, Uncl pasti dateng. Salam sama Papa dan Mama kamu ...."
"Pastu, uncle...daahhh uncle..."
Mey pun melirik singkat Elia dan lantas segera pergi dari ruang kerja Aditya. Mey merasa ada yang janggal dengan perempuan itu. Ia merasa meskipun Elia mirip dengan Anggi, tetapi rasanya memang beda jika bertemu. Tidak ada keteduhan sama sekali seperti yang ia rasakan dulu ketika melihat Anggi.
Mungkin hanya perasaanku saja, batin Mey.
Ia lantas berjalan terus ke arah lift dan mengenyampingkan perasaannya.
Di sisi lain, Elia mulai menelisik tentang siapa Meylira.
"Tadi itu siapa sih, Mas? Deket banget sama Mas Adit, ya?"
"Oh itu, itu anak sahabat saya. Ya memang sudah dekat sejak dia kecil. Sudah seperti keluarga ... kenapa, Elia?"
"Enggak sih, Mas, cuman pengen tau aja, kok."
"Oh iya katanya mau pulang. Ayo saya anterin."
"Eh, enggak Mas, nggak perlu repot-repot. Mas Adit kan lagi kerja."
"Ya kerjanya bisa dilanjutin besok, 'kan ... ayo ... atau kamu mau tidur di sini?"
"Idih, ngapain di sini, eh tapi kalo sama Mas Adit nggak kenapa-kenapa, deh" ujar Elia yang diikuti gelak tawa.
Adit hanya tertawa kecil saja menanggapi ucapan Elia. Ia pun membereskan apa yang ada di mejanya. Menata dengan rapi dan menyabet jas kerjanya. Ia lantas mengajak Elia keluar dari ruangannya. Terbesit sekilas masa di mana Anggi menjadi sekretarisnya dahulu yang selalu setia mengikuti di belakang kemana pun ia pergi. Ia pun tersenyum tipis dibuatnya. Sekarang sekalipun hanya seorang adik dari mendiang istrinya dan bukan sekretarisnya ia merasa cukup senang. Melihat Elia mengobati kerinduannya terhadap mendiang istrinya. Hanya sebatas mengobati pengelihatan bukan hati.
Aditya pun berjalan ke arah lift dan Elia mengikutinya. Kali ini hanya mereka berdua di dalam sana. Keanehan pun terjadi, tiba-tiba lift mendadak mati tepat saat mereka sudah berada di lantai dasar.
"Loh! Mas ini kenapa? I—ini ke—kenapa berhenti?" Elia mulai panik.
"Tenang, bentar."
Aditya mulai memencet alarm di tombol lift itu. Sedikit panik jelas dirasakan Aditya, baru kali ini lift di kantornya macet. Ia pun menoleh ke arah Elia dan terkejut saat Elia terduduk sambil memegang dadanya. Ia mengalami sesak napas.
"Elia, kamu kenapa?! Eliaaa!"
Aditya sontak terduduk, meraih tubuh Elia ke pangkuannya. Ia mencoba menyadarkan Elia, tetapi semakin lama Elia semakin melemah.
"Elia! Wake up! Eliaaa." panggil Aditya panik.
Ia langsung mengontak Marco pada ponselnya agar Marco mengetahui bahwa lift yang ia kenakan terjadi kemacetan dan cepat membawa bantuan.
"Elia, bangun Elia!" panggil Aditya sekali lagi.
Namun di tengah kepanikannya , sepintas terlintas saat terakhir kali ia melihat wajah istrinya di rumah sakit dan kepalanya mendadak sangat sakit mengingat kepergian Anggi. Ia tidak ingin kejadian sama terulang hari ini.
"Arghh, s**t!... Eliiaaa... Wake up....."
Ia lantas memijit kepalanya dengan keras dan berusaha sekali lagi membangunkan Elia. Tak sabar dibuatnya karena ia merasa Elia kehabisan nafas di dalam lift dan ia semakin melemah. Ia pun membuat pilihan untuk menyelamatkan Elia, memberikannya nafas buatan agar Elia setidaknya mampu bertahan hingga lift terbuka.
"Elia, pleasekwake up," ucap Aditya.
Sekali lagi Aditya memberikan nafas buatan untuk Elia agar Elia tersadar dan berhasil. Elia mulai terbatuk dan akhirnya tersadar, tubuhnya sangat lemas dan Aditya tau hal itu. Beberapa menit kemudian, lift akhirnya terbuka, Aditya menoleh ke arah pintu yang mulai terbuka itu.
"Tuan Aditya, Tuan tidak apa?" tanya Marco.
Lantas Aditya bangun, ia menggendong tubuh Elia dan sedikit berlari menuju ke arah mobilnya yang terparkir tidak jauh dari pintu masuk. Langkah Aditya diikuti oleh Marco dan ia membukakan pintu belakang untuk Aditya.
"Mari Tuan saya antar."
Aditya pun mengiyakan saja tawaran Marco. Ia pun segera memberikan kunci pada Marco dan ia masuk ke pintu belakang mobilnya. Marco pun langsung masuk ke dalam mobil dan melesat ke arah rumah sakit terdekat. Kepanikan di benak Aditya jelas sangat terasa. Marco menangkap kepanikan Aditya melalui kaca di dalam mobilnya.
Beberapa saat kemudian, mereka telah sampai dirumah sakit. Aditya segera menggendong tubuh Elia dan setengah berlari ke arah IGD.
"Suste, Dokter! Tolong, tolong dia."
Dengan sigap tim medis pun membawa Elia ke tempat tidur pasien dan membawanya ke arah IGD.
"Bapak mohon tunggu di luar selama pemeriksaan dokter."
Aditya pun menganggukan kepalanya dan seraya mundur dari pintu IGD itu. Tampak kekhawatiran yang teramat dalam di benak Aditya.
"Tuan Aditya tenang..." ucap Marco tiba-tiba.
"Bagai bisa tenang ! Hah! Kau....ah sudahlah.. Maafkan saya.. Saya terlalu khawatir jadi emosi..."
"Saya mengerti, Tuan. Tidak apa, Tuan tenang. Jangan ikut panik, saya mengerti apa yang Tuan takutka, tapi Tuan sudah sigap dengan cepat membawa Nona Elia kemari."
"Yang saya pikirkan hanya ... saya tidak ingin kehilangan siapa pun lagi Marco kecuali itu saya sendiri. Elia benar-benar mirip dengan Anggi ... keadaan seperti ini , melihat Elia lemah seperti itu membuat saya mengingat kejadian lima belas tahun yang lalu saat terakhir kali saya melihat Anggi."
"Iya saya mengerti, Tuan. Nona Elia akan baik-baik saja. Tuan hanya perlu tenang saat ini."
Aditya menghela nafasnya mencoba menenngkan dirinya sendiri. Beberapa menit berlalu, seorang dokter keluar dari ruang IGD dan mencari keluarga Elia. Aditya pun langsung berdiri dan menghampiri dokter
"Bagaimana, Dok. Bagaimana keadaan pasien
"Tidak ada masalah yang berarti, Pak, pasien hanya mengalami syok saja dan kehabisan udara. Pasien menderita penyakit asma...tapi bapak tenang saja semuanya baik - baik saja.. Pasien sudah sadarkan diri dan bisa kembali ke rumah jika keadaannya semakin membaik ...."
"Boleh saya masuk, Dok?"
"Silakan, Pak."
Aditya pun segera melangkahka kakinya menuju ke dalam ruang IGD dan mencari keberadaan Elia. Ia pun melangkahkan kakinya menuju ke arah Elia di sudut bed pasien.
"Hei, kamu sudah tidak apa," ucap Aditya.
"Mas, maa aku merepotkan Mas Adit."
"Hei, kamu tidak merepotkan saya Elia. Justru saya yang minta maaf telah membuatmu seperti ini."
"Aku sudah tidak apa, Mas. Aku tadi lupa bawa inhaler dan juga aku panik tadi. Jadinya sampai begini."
"Maafkan saya ya, Elia. Saya janji tidak akan membuatmu seperti ini lagi."
Elia hanya tersenyum tipis pada Aditya. Ia melihat raut kekhawatiran Aditya padanya dan ia senang jika diperhatikan seperti itu. Rasanya Aditya akan lebih memperhatikannya karena kejadian ini. Di sisi lain ia merasa beruntung kejadian ini terjadi karena secara otomatis perhatian Aditya akan semakin banyak terhadapnya dan ia bisa memanfaatkan hal ini untuk menarik hati Aditya.