Hari berganti malam, Aga tidak bisa berdiam terus di kamarnya atau ia akan menjadi semakin emosi. Lelaki itu pun memutuskan untuk keluar rumah, sejenak melepas semua masalah yang terjadi antara dirinya dan sang ayah. Ia menyabet jaket dan kunci motor, lalu ia berjalan keluar kamarnya, menuruni anak tangga dan menuju keluar pintu.
"Aga, kamu mau ke mana malam-malam begini?" tanya Aditya yang sedari tadi berada di ruang tamunya, membaca draft pekerjaan.
Aga hanya meliriknya saja tanpa sepatah kata pun terlontar dari bibirnya. Mengabaikan sang ayah yang masih tetap bertanya dan berusaha mengejarnya keluar rumah.
"Aga, kamu mau ke mana?" tanya Aditya sekali lagi.
"Bukan urusan papa!"
Dan ia melesat dengan kencang meninggalkan kediamannya malam itu. Aditya menghela napas panjang, tidak mampu melarang Aga terus menerus, anaknya sudah beranjak dewasa dan remaja itu tahu mana yang baik dan tidak. Aditya hanya mengkhawatirkan kondisi emosional Aga saja, tidak lebih, takut bila bertindak di luar batas yang merugikan dirinya sendiri.
Aga melajukan motor itu ke arah rumah Hana, sang pujaan hati. Hanya Hana lah yang bisa menyembuhkan luka hatinya saat ini. Ia pun ingin setidaknya ada yang menemani saat gelisah menyelimuti malam ini. Ia lajukan motor itu dengan kencang dan tiga puluh menit berlalu, barulah ia sampai di depan kediaman Hana.
Ia matikan mesin motornya dan turun dari motor itu. Ia lepas helmnya dan mengambil ponsel di saku dalam jaket yang dikenakan. Ia mencoba menghubungu Hana, tetapi tidak pernah mendapatkan jawaban sedari tadi.
Aga pun mencoba masuk ke rumah Hana dan menemukan gerbang itu belum terkunci. Ia sedikit heran dan mengernyitkan alis serta membatin betapa cerobohnya sang kekasih. Ia mencoba masuk ke dalam rumah itu dan sekali lagi terkejut saat pintu rumah pun tidak terkunci dengan semestinya. Hal itu membuat Aga akhirnya membuka sedikit pintu di depannya. Ketika ia ingin mengetuk pintu itu, pendengarannya tercekat pada suara pertengkaran di dalam sebuah pavillium di sebelah rumah utama. Ia pun berjalan ke arah sumber suara itu.
"Jack, please ... aku sudah menuruti apa maumu. Tolong lepaskan aku satu hari ini saja. Aku capek menurutimu terus." Hana berusaha melepaskan cengkereman Jack di pergelangan tangannya.
Jack, benar-benar memanfaatkan situasi. Keadaan rumah yang sepi membuat pria itu semakin semena-mena bertindak pada Hana. Bahkan sejak kemarin perempuan itu selalu menjadi objek pelampiasan hasrat semata.
"Kamu nggak akan bisa ke mana-mana, Hana. Pemilik rumah ini sedang tidak ada dan ibumu juga pulang kampung bukan? Kalau kamu mau teriak, silakan aja," ujar Jack dengan santainya.
"Jack, kamu keterlaluan!"
"Apa pun yang aku mau kamu harus turuti, Sayang. Kalau kamu tidak mau, kamu harus siap kehilangan ATM berjalanmu itu!"
Hana langsung meradang saat lagi dan lagi, Jack masih mengancam dengan nama Aga. Ia takut Aga mengetahui semuanya karena sejatinya dia mencintai Aga sepnuh hati.
"Jangan kaitkan ini dengan Aga. Aku mohon, Jack, aku mencintainya," lirih Hana.
"Kamu bilang cinta? Apa kamu nggak sadar diri derajatmu dengannya sangat jauh? Apalagi kamu sudah tidak suci lagi. Kalau dia tau kamu menjadi teman tidurku selama ini, ku jamin dia akan meninggalkanmu Hana. Dia bahkan bisa dapat yang jauh darimu! Sudahlah sadar diri!"
DEG.
Sontak Aga benar-benar syok dibuatnya. Ia bahkan sudah tidak mampu berkata apa pun. Hana, seseorang yang dipercaya dan sangat ia cintai itu ternyata mengkhianati. Tanpa sadar langkahnya mundur secara teratur, ia seperti tidak mampu memijakkan kaki di lantai rumah itu. Pikirannya melayang dan hatinya hancur berkeping-keping.
Prank!
Sebuah vas bunga terjatuh begitu saja dan membuat Aga terkejut sendiri karena tindakannya. Hana dan Jack terlebih lagi terkejut, pasalnya di rumah itu memang tidak ada siapa pun kecuali mereka berdua. Namun dengan cepat Jack melihat keributan di luar dan Aga tepat masih ada di sana. Ia bahkan tidak menyesali perkataannya yang mungkin di dengar Aga, ia justru melesungkan senyum kemenangannya atas Hana yang tercetak di sudut bibir.
"Kamu sudah dengar semuanya?"
Aga hanya mampu mengepalkan tangannya. Ia sontak berlari maju ke arah Jack dan tanpa basa basi menghantam wajah pria itu hingga terjatuh dan hidungnya mengeluarkan darah segar.
"b******k! Lo apain Hana? Hah?!"
"Seperti yang kamu dengar," ucap Jack santai sambil mengusap darah dari hidung mancungnya.
Tatapan Aga langsung tertuju pada kekasihnya itu. Tatapan tajam itu tidak mampu dilihat oleh Hana, ia yang ketakutan hanya mampu menangis, tidak sanggup lagi menatap Aga. Semua kebohongan akhirnya terungkap hari ini dan lagi di saat dirinya benar-benar telah mencintai Aga.
"Hana, lihat aku! Apa yang dikatakan dia semua benar?! Hah!"
Aga lantas menarik paksa lengan Hana untuk menatapnya, tetapi perempuan itu mencoba melepaskan tangan Aga. Aga mencengkram lengan Hana lagi cukup keras dan tampak kekecewaan pada mata Aga, hingga tanpa sadar ia telah menyakiti Hana kali ini.
"Kamu mengkhianatiku Hana?" tanya Aga menahan emosinya.
"Heh, kekasihmu itu bukanlah pemilik rumah ini, dia hanya anak seorang pembantu di rumah ini, kamu sudah ditipu olehnya," lanjut Jack.
"Diam! Gue nggak butuh omong kosong lo!"
Aga menatap kekasihnya itu lekat-lekat. Bibir Hana sudah gemetar sejak tadi, ingin rasanya menjelaskan semua, tetapi bibirnya terbungkam begitu saja dan tidak mampu menjelaskan apa pun pada Aga.
"Ini balasannya Hana? Semua yang telah kita jalani selama ini ... semuanya harus seperti ini? Apa salahku, Hana? Aku tidak pernah menduakanmu, bahkan menyakitimu juga sku tidak pernah berani melakukannya. Tapi lihat dirimu, kamu bahkan telah menghancurkanku dan menusukku dari belakang. Aku tidak peduli kamu dari kalangan mana pun Hana. Bahkan kalau kamu nggak punya apa pun, aku masih akan menjadi kekasihmu, tapi kamu justru bohongin aku. Dan sudah pernah aku katakan aku tidak pernah suka kebohongan!" tandas Aga yang mendorong tubuh kekasihnya hingga terjatuh.
Aga lantas pergi dari hadapan Hana. Rasa kecewa yang teramat dalam kembali Aga rasakan setelah ia terima hal itu dari papanya sendiri. Kini, Hana satu-satunya harapan untuk masa depannya bahkan tidak mampu menjaga kehormatan dirinya sendiri.
Hana bangkit dan berlari sekencang-kencangnya menyusul Aga. Sampai ia terjatuh pun Aga tidak menoleh sama sekali. Hana hanya tidak ingin kehilangan Aga, ia terus berusaha meraih kekasihnya itu kali ini. Hingga, sampai di depan rumah, ia berhasil memegang erat kaki Aga memohon agar tidak meninggalkannya.
"Aga aku minta maaf. Aku akan jelaskan semuanya, tapi maafkan aku ...."
"Lepas! Aku bahkan sudah bukan yang utama bagimu, Hana. Simpan saja maafm , aku sudah tidak membutuhkannya."
"Aga, aku mohon! Aku mencintaimu ... aku benar-benar mencintaimu."
"Harusnya kamu ingat hal itu saat kamu ingin mengkhianatiku!"
Aga pun lantas memakai helmnya dan menyalakan mesin motornya. Deru suara motor terdengar sangat keras, dan ia lajukan motor itu dengan kencang meninggalkan Hana yang terus meneriakkan namanya agar mau mendengar penjelasannya.
"Agaaa!" teriak Hana.
Ia menangis sejadi-jadinya di depan gerbang rumah itu. Bersimpuh di depan rumah tidak berdaya. Hatinya sudah seperti dicabik-cabik. Sakit, marah, benci dan muak pada diri sendiri kini menyelimuti benak Hana. Ia telah kehilangan seorang yang benar-benar tulus mencintai, menjaga dan memberikan apa pun untuknya.
"Sudah dramanya?" tanya Jack santai.
Hana lantas menatap Jack dengan tatapan tajam. Dilihatnya pria yang membuat hidupnya berantakan dan dengan tega mengambil kehormatannya. Pria itu tampak santai di sisi gerbang sambil menyesap rokoknya. Hana lantas bangkit dan menuju ke arah Jack.
"Puas kamu, Jack. Puas sudah membuatku hancur seperti ini!"
"Karena ka.u takdirku! Kamu harus denganku bukan dengan dia!"
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat manis di pipi Jack. Hana yang sudah benar-benar jengah dengan aturan pria itu, mulai mencoba memberontak. Mata merah yang ditunjukkan Hana menandakn bahwa dirinya benar-benar marah dengan ulah Jack.
"Kamu menamparku Hana?"
"Kenapa? Hah! Kamu tidak terima itu? Aku rasa itu pantas untukmu, Jack! b******n!"
Hana lantas mendorong tubuh Jack dan masuk ke dalam rumahnya. Namun, amarah Jack meradang, ia kejar Hana dan menarik lengannya dengan kasar hingga perempuan itu meringis, tetap memberontak.
"Heh! Bodoh! Berani-beraninya kamu melawanku!"
"Lepaskan, Jack. Sakit!"
Jack tidak memedulikan lagi keluhan Hana. Ia seret Hana ke dalam rumah itu. Air mata yang sedari tadi mengalir di pelupuk mata tidak mampu meluluhkan hati Jack. Setelah tepat berada di dalam pavillium, Jack menghempaskan tubuh Hana hingga kepalanya terbentur oleh meja.
"Jack, aku mohon, hentikan. Kamu gila! Kamu bisa membunuhku kalau begini!"
"Kalau memang aku gila, kenapa? Kamu yang membuatku gila, Hana!"
Jack mendekati Hana, ia usap pipi halus perempuan yang sedari tadi basah karena air matanya. Hana yang ketakutan hanya bisa diam dan tak tahu apa yang akan terjadi padanya setelah ini. Ia benar-benar sudah kehilangan semangat dalam hidup. Satu-satunya orang yang ia sayangi sudah pergi meninggalkannya. Tiba-tiba Jack mencengkram rahang Hana dengan kuat sampai perempuan itu berusaha untuk melepaskannya karena rasa sakit.
"Jack, kamu apa-apaan? Lepaskan! Tolong, ini sakit."
"Sakit, ya? Bagaimana kalau begini," ucap Jack yang lantas menempelkan rokoknya yang masih menyala itu di lengan Hana.
"Arghh! Hen—hentikan!" teriak Hana sekencang-kencangnya.
Rasa panas, perih dan sakit bercampur jadi satu. Hana hanya bisa menangis kesakitan dan justru merasa hidupnya tidak akan lama lagi jika pria bertubuh kekar itu terus menerus menyiksanya.
Plak! Satu tamparan keras mengenai wajah Hana. Tercetak darah di sudut bibirnya kali ini. Jack benar- benar membuat wanita itu menderita. Mengidap gangguan psikologi yang mana obsesi Jack pada seseorang begitu kuat membuatnya mampu melakukan hal-hal diluar nalarnya untuk kepuasaan pribadinya. Salah satunya adalah, menyiksa siapa pun yang menyakiti hati menjadi hal menarik untuknya.
"Jack, a—apa maksutmu melakukan semua ini padaku? Aku salah apa Jack?" tanya Hana di sela isak tangisnya.
"Salahmu? Salahmu adalah kamu anak dari Mahendra. Seseorang yang sudah membuat ayahku meninggal!"
"Hah? Maksudmu?"
"Kamu bahkan nggak tau 'kan, Hana? Kamu nggak ingat aku? Seorang yang selalu kalian hina saat kalian berjaya dulu? Kamu nggak ingat itu?!"
Hana membuka kembali ingatan masa lalunya, tetapi tidak pernah ia dapatkan ingatan itu karena memang sejak kecelakaan yang menimpanya dan membuat ayahnya meninggal, Hana sudah tak mengingat apa pun lagi tentang masa lalunya.
"Andai keluarga kalian tidak semena-mena dan memberikan setidaknya bantuan pada kami, ayahku tidak akan meninggal! Ayahku memang bawahan dan dia setia pada keluargamu dulu. Tapi balasan ayahmu apa? Ayahmu bahkan tidak mau membantu ayahku yang sedang sekarat di rumah sakit!"
"Aku ... aku nggak tau hal itu, Jack. Aku nggak inget sama sekali."
Jack lantas menoleh ke arah Hana, ia tidak percaya perempuan itu tidak mengingatnya sama sekali. Mereka tumbuh bersama di lingkungan rumah Hana. Mereka sangat dekat sekali, hampir setiap hari Jack menemani sosok gadis kecil yang penakut itu.
Hana dulunya adalah seorang gadis dari kalangan berada karena bisnis papanya tumbuh sangat pesat. Namun setelah kejadian kecelakaan yang menewaskan ayahnya, hidupnya menjadi 180 derajat berubah drastis. Semua aset milik ayahnya disita oleh Bank karena memiliki hutang hingga milyaran rupiah.
"Kamu benar-benar sama sekali nggak mengingat apa pun?" tanya Jack penuh telisik.