Rumah bercat putih dengan eksterior mewah terlihat jelas oleh Ibu Martha dan Elia. Perempuan muda itu sempat tertegun sejenak melihat kemewahan hidup Aditya. Bahkan, Elia sempat berpikir pekerjaan apa yang membuat hidup pria di depannya itu bisa semewah ini.
Jadi Mbak Anggi dulu hidup di sini. Enak banget, batin Elia, menyaratkan rasa iri yang semakin membuat hati terasa panas.
Aditya pun melajukan mobilnya tepat di depan halaman pintu rumah. Ia turun lebih dahulu dan membukakan pintu bagi Ibu Martha.
"Ayo, Bu. Silahkan masuk. Ini rumah saya dengan Anggi."
Ibu Martha masih takjub melihat betapa megahnya rumah Aditya. Ia pun perlahan masuk dibarengi oleh Elia yang mengikuti di belakang. Lantai keramik yang nyaris tanpa debu menyambut, beberapa tanaman mahal berada di samping kanan dan kiri pintu tak lupa mempersilakan mereka.
"Selamat datang, Tuan," sapa Dini seperti biasa.
"Nyonyaa!" Dini tercekat saat Elia masuk ke dalam rumah.
Aditya hanya tersenyun tipis melihat reaksi pembantunya yang sama dengan dirinya saat pertama kali berjumpa dengan Elia.
"Dini, ini Ibu Martha orang tua istri saya dan ini adiknya, Elia. Tolong siapkan dua kamar untuk Ibu Martha dan satu lagi untuk Elia."
"Loh, duh, maaf sekali lagi, Nona ini sangat mirip dengan Nyonya Anggi. Maaf sekali lagi, saya permisi dulu siapin kamarnya, Tuan."
Adit menganggukan kepalanya. Elia benar-benar kembali takjub tatkala pembantu Aditya sepertinya sangat menghormati Aditya dan kakaknya itu. Rasa ingin memiliki Aditya semakin kuat.
Sedangkan, di sisi lain, Ibu Martha tercekat dan berhenti berjalan saat melihat sebuah foto keluarga berukuran besar tepat di ruang tamu itu. Ia menghampiri sejenak foto itu dan mengusap pinggirang figura berbahan kayu dengan pelan. Tanpa terasa air matanya jatuh kembali. Apa yang dilihatnya benar-benar Anggi, anaknya yang telah lama hilang dari dirinya. Namun, perempuan itu semakin bersedih tatkala saat ini, sang anak sudah tiada dan lagi-lagi hanya foto itu yang menjadi kenangan dalam hati.
Hal yang sama dilakukan Aditya dan menatap ibu Martha dengan nanar. Ia tahu perasaan orang tua Anggi. Pasalnya, bertahun-tahun menahan rasa rindu pada sang anak, berharap dapat bertemu justru dikecewakan lagi dengan kepergian Anggi untuk selamanya. Aditya merasakan bahwa Ibu Martha benar-benar sangat sedih. Bahkan, dirinya yang terlambat beberapa saat saja merasa menyesal sedemikian lama.
"Nak Adit, nanti bawa Ibu ke makam Anggi, ya. Ibu rindu sekali dengan Anggi."
"Pasti, Bu. Nanti saya akan bawa Ibu mengunjungi anak Ibu. Ibu tenang saja ya,"ujarnya.
"Oh iya sebentar, Agaaaa! Agaaaa ...," panggil Aditya.
Merasa tidak ada respon, Aditya memanggil sang pembantu yang kebetulan baru saja keluar dari kamar tamu. "Din, panggilin Aga. Dia ada di atas, suruh ke bawah," lanjut Adit.
"Baik, Tuan."
Pembantu Aditya pun melangkahkan kakinya menuju ke lantai atas di mana letak kamar Aga tepat di ujung kanan setelah melewati dua kamar lainnya .
"Den Aga, Den ...," panggil Dini sesaat setelah sampai di depan pintu kamar pemuda itu.
Sontak Aga terkejut mendapati panggilan itu. Ia yang sedari tadi merebahkan diri karena tidak ada jadwal apa pun hari ini entah kuliah atau sekedar jalan dengan Hana. Ia lantas dengan malas menuju ke pintu untuk membukakannya.
"Ada apa, Bi?"
"Itu, Den. Papa Aden manggil, di suruh ke bawah," ujar Dini.
"Hemm begitu. Ya sudah terima kasih."
Aga pun lantas menutup pintunya dan berjalan menuju ke lantai bawah. Ia yang masih berfokus pada ponsel berjalan di anak tangga, dengan pelan tanpa memperhatikan siapa tamu yang dibawa sang ayah pulang.
"Aga," panggil Aditya.
Sontak Aga melihat ke arah panggilan suara itu dan ia tertegun sejenak melihat Elia yang benar-benar mirip dengan ibunya. Ia lantas melirik ke foto keluarga dan benar Elia sangat mirip dengan ibunya.
"Aga, ini nenekmu dan ini tante kamu, namanya Elia."
Aga terdiam sesaat saat papanya memperkenalkan keluarga ibunya pada dirinya. Namun di dasar benak Aga, ia tampak tidak suka dengan sosok Elia yang memang mirip sekali dengan ibunya. Entah kenapa ia merasa tidak ada kecocokan antara dirinya dan Elia.
Ternyata ganteng juga. Anak sama bapak sama-sama oke. Tapi bapaknya lebih menarik, aku harus manfaatkan semua ini, batin Elia.
"Oh, iya," ucap Aga singkat.
Aga lantas melangkahkan kakinya ke arah Ibu Martha untuk memberikan sedikit sambutan.
"Bu, Aga ini anak saya dan Anggi," ucap Adit memperkenalkan Aga singkat.
"Kamu sudah besar, Nak. Matamu memang mirip sekali dengan Anggi. Ini nenek, nenek kamu," ucap Ibu Martha. Ada pancaran bahagia dari sorot mata wanita paruh baya itu, seolah kerinduan terhadap Anggi tersalurkan pada Aga.
Aga hanya tersenyum tipis dibuatnya. Ikatan yang tidak begitu kuat antara Aga dan Ibu Martha tampak jelas sekali terasa. Aga masih tidak terbiasa dengan adanya orang lain di rumahnya.
"Emm, Pa ... Aga ke atas dulu, ya, Aga lagi sibuk kerjain tugas kuliah tadi. Nanti kita ketemu di jam makan malam."
"Iya sudah. Yang penting kamu sudah bertemu dengan nenek dan tantemu."
Aga pun mengangguk dan tersenyum palsu. Ia melangkahkan kakinya menuju ke lantai atas. Pada beberapa langkah di anak tangga tersebut, ia berdiam sejenak melirik ke arah papanya dan orang baru yang dibawa ke rumah dengan tatapan dingin. Meskipun sang ayah berkata bahwa mereka lah keluarga ibunya, tetapi Aga tak tertarik sama sekali untuk dekat dengan mereka terutama Elia, adik ibunya.
Ia pun lantas melanjutkan kembali langkahnya menuju ke kamar atas agar tak berlama-lama menemui mereka.
"Din, sudah kamarnya?"
"Sudah, Tuan."
"Ibu, mari istirahat di kamar Ibu dan Elia bisa juga istirahat, ya. Saya permisi sebentar."
Aditya tersenyum dan melangkahkan kakinya menuju ke arah kamar. Elia hanya menatap punggung pria berbadan tegap itu dengan kagum. Ia benar-benar terpesona oleh Aditya yang dewasa dan bijak itu. Namun, tiba-tiba suara dering ponsel mengganggu pria itu.
"Ya, ada apa?"
"Pak, ada meeting dadakan yang harus mendapatkan perstujuan Pak Aditya. Kira-kira Bapak bisa datang ke kantor?"
"Oke. Saya ke sana. Tiga puluh menit dari sekarang."
Aditya pun melangkahkan kaki menuju ke kamarnya, menyabet jas kerja yang berada di gantungan almari dan menuju ke keluar rumah. Elia yang tersadar bahwa Aditya ingin pergi langsung mencegat langkah kakak iparnya itu.
"Mas, mau ke mana?"
"Saya, mau ke kantor sebentar. Ada beberapa urusan. Kamu butuh sesuatu?"
Elia menggigit bibir bawahnya karena ragu untuk membicarakan keinginannya.
"Berapa lama Mas Adit di kantor?"
"Emm, tidak lama hanya beberapa menit saja."
"Aku boleh ikut Mas Adit, enggak? Aku pengen tau suasana di sini?"
Aditya tersenyum mendapati keinginan itu.
"Boleh, Elia. Ayo kalau kamu mau ikut, tapi apakah kamu tidak bosan menunggu saya nanti?"
Elia menggelengkan kepalanya. Wajah polos itu kali ini benar-benar mirip Anggi yang membuat Aditya teringat pertama kali mengenal sang istri. Ia pun tersenyum lantas mengajak Elia turut serta ke dalam mobilnya.
Elia yang tampak gugup itu hanya bisa berdiam di samping Aditya dan hanya mampu memadangi kakak iparnya.
"Pakai sabuk pengamanmu."
"Hah? Oh iya-iya."
Elia pun lantas langsung menyabet selt belt itu dengan cepat, tetapi sial selt belt itu malah macet, membuat Elia sedikit kesusahan menariknya. Aditya yang meliriknya lantas langsung menyabet sabuk pengaman itu dan menariknya untuk Elia. Elia hanya tertegun melihatnya. Jantungnya berdegup kencang saat jarak yang dekat antara dirinya dam Aditya berlangsung singkat. Ditambah senyum itu mampu meluluhkan hatinya.
Mbak Anggi pantes aja bisa jatuh cinta sama dia. Dia sangat baik dan perhatian. Batin Elia.
"Sudah, ayo kita berangkat ...," ucap Aditya.
Aditya pun segera melajukan mobil itu ke arah kantornya. Selama di perjalanan Elia hanya memandangi Aditya yang membuatnya semakin mengagumi pria itu . Ia tak peduli dengan jarak usia mereka karena Aditya masih tampak sangat muda.
Beberapa menit kemudian ~
"Elia kamu mau ikut ke dalam kantor atau menunggu di sini?"
"Emm, aku di sini saja, Mas."
"Ya sudah. Tunggu saya 10 menit saja, ya."
Elia menganggukan kepalanya. Ia takjub dengan perusahaan milik Aditya yang sangat besar itu. Ia tidak bisa membayangkan kekayaan sang kakak ipat seberapa banyak. Elia kembali merasa iri dengan hidup kakaknya semasa ia hidup, betapa senangnya memiliki suami seperti Aditya.
Mbak relain suamimu untukku ya. Mbak kan sudah merasakan bagaimana hidup jadi orang kaya. Gantian Elia, batin Elia yang memandang tubuh Aditya yang semakin lama menghilang dari pandangan mata
Niat Elia pun semakin kuat oleh dorongan ego nya. Selama ini ia hanya bertemu dengan orang kaya yang hanya memanfaatkan tubuhnya saja tidak lebih dan ia bahkan tak rela namun harus ia jalani karena itu adalah pekerjaannya, tapi pada Aditya ,ia akan melakukan apapun untuk menarik perhatian kakak iparnya itu.
Selang sepuluh menit berlalu, Aditya benar-benar menepati janji dan segera menuju ke arah mobilnya. Elia yang menangkap sosok Aditya sontak senang melihat wajah ganteng kakak iparnya itu mengarah ke mobil yang ia naiki.
"Maaf, Elia ... lama, ya."
"Enggak kok, Mas. Aku maklumi, kok, Mas Adit pasti sibuk banget. Punya perusahaan segini besarnya pasti bikin Mas sibuk terus."
Aditya hanya tersenyum menanggapi ucapan Elia. Ia segera memasang selt belt-nya dan berlalu dari kantornya.
"Elia, kamu mau makan apa? Kita makan dulu, ya, kamu pasti belum makan, 'kan? Kita beli sesuatu untuk Ibu juga nanti," ujar Aditya yang masih fokus pada jalanan di depannya.
"Apa, ya, Mas? Terserah Mas Adit aja deh kalau gitu."
"Ya udah kalau begitu. Oke, kita ke tempat biasa saya makan saja," ucap Aditya.
Aditya lantas membelokkan mobilnya ke tempat makan favorite Anggi dulu. Beberapa menit kemudian, ia telah sampai di sebuah rumah makan sederhana.
"Ini tempat favorit kakakmu. Dia suka makan di sini. Ayo kamu harus cobain makanan di sini."
Elia hanya tersenyum tipis. Aditya benar-benar tidak bisa melupakan sosok kakaknya. Ia benar-benar suami yang setia meskipun banyak kesempatan untuk memilih wanita lain, tetapi mungkin tidak dilakukan oleh kakak iparnya itu, pikir Elia.
Sebuah rumah makan berkonsep sederhana dengan etalase yang memajang berbagai lauk pauk, sayuran dan aneka sambal tercetak jelas di mata Elia. Rumah makan itu sangat ramai, mungkin makanan merakyat membuat para pelanggan tidak bosan menyantapnya.
"Kamu mau pesan apa, Elia?"
"Emm, apa ya? Itu deh, Mas ...," ucap Elia sambil menunjuk sebuah tumis kangkung dengan ikan berlapis tepung goreng.
Sontak Aditya terhenyak dengan pilihan Elia. Pilihan Elia sama persis dengan kesukaan mendiang istrinya. Ia hampir tidak percaya bahwa di sisinya saat ini adalah adik Anggi karena semua yang dilakukan hampir sama persisi dengan Anggi.
"Kamu ... suka itu?" tanya Aditya sekali lagi meyakinkan pilihan Elia.
Elia mengangguk cepat. "Iyaa, aku suka banget menu itu, Mas. Enak dan pas, apalagi kalau ditambah sambel tomat, enak banget."
Aditya tersenyum miris, sesama itukah selera kedua kakak beradik itu?
"Oke, kita pesan untukmu."
Aditya pun langsung memesankan makanan yang telah ditunjuk oleh Elia pada pelayanan rumah makan itu. Aditya pun mengajak Elia untuk duduk di kursi yang masih tersisa.
"Ah itu, di situ. Ayo ke sana."
"Ah iya, Mas."
Elia dan Aditya pun duduk di kursi yang tersedia. Mereka menunggu makanan mereka datang.
"Mas, apa Kak Anggi suka makan di sini?"
"Iya, dia paling suka di sini. Katanya meskipun tempatnya sederhana, tapi makanannya enggak kalah enam sama restoran bintang lima," ujar Aditya yang kini tertawa mengingat segala tentang Anggi.
"Masa sih, Mas? Wah, Elia harus coba, nih ...."
"Harus ... kamu harus cobain."
Dan mereka pun terlibat obrolan seru di tempat itu sambil menunggu makanan datang.
"Permisi," ucap sang pelayan.
"Makanannya udah datang, ya," ucap Elia.
Pelayan itu pun menaruh beberapa makanan di depan Aditya dan Elia. Setelah itu beranjak pergi setelah meletakkan minumam sebagai suguhan terakhir.
"Cobain, Elia. Bagaimana pendapatmu?"
Elia pun dengan tidak sabar mencicipi makanan yang ia pesan. Ia pun menyendok nasi berikut lauk pauk serta sayuran.
"Astaga ini enak banget, Mas. Kak Anggi bener, di sini emang enak banget makanannya."
Aditya pun tersenyum, ia memandangi Elia yang memakan pesanananya. Sepintas Elia sama seperti Anggi, ia seperti sedang duduk di depan Anggi seperti kebiasaannya dulu. Hatinya bergejolak , entah mengapa Aditya seperti kembali pada masa-masanya bersama Anggi dan ia dibutakan oleh sosok Elia di depannya. Saat ia ingin memegang tangan Elia, ia langsung tersadar begitu saja bahwa sosok di depannya ini bukan Anggi.
Apa yang kulakukan. Dia bukan Anggi dan selamanya bukan Anggi. Jangan bodoh Aditya! batin Aditya.
Aditya pun mengurungkan niatnya dan kembali menyeruput minuman yang ia pesan.
"Mas Adit enggak makan?"
"Enggak, Elia. Kamu habiskan itu, ya. Nanti kita pesan lagi untuk dibawa pulang."
"Ah benarkah? Ini emang enak loh, Mas. Ibu pasti juga suka deh sama ini."
Aditya hanya tersenyum saja menanggapi celotehan Elia.
Beberapa saat kemudian, mereka pun telah selesai dan pesanan mereka pun juga sudah di tangan. Aditya mengajak Elia untuk berlalu dari sana. Di depan rumah makan itu, ketika Aditya ingin melangkah ke arah mobilnya tiba-tiba ada yang menepuk bahunya. Ia lantas menoleh ke arah tersebut
"Loh, Vin. Lo ngapain kemari? Makan juga?"
Ia melirik Kevin yang tercekat dan memandang ke satu arah. Ia ikuti arah mata Kevin dan berhenti pada Elia.
"Dit, gue enggak mimpi, 'kan? Itu ... itu Anggi. Dit, apa cuman gue yang lihat arwahnya atau lo juga?" ujar Kevin tanpa berkedip sekalipun.
Tawa Adit pecah saat melihat ekspresi Kevin yang benar-benar terheran dan tegang. Ia sampai tak memalingkan pandangannya pada Elia yang hanya tersenyum itu.
"b**o! Mana mungkin Anggi jadi arwah gentanyangan, sih!.? Kenalan sana ...."
"Hah? Kenalan. Dia manusia, Dit?"
"Udah-udah jangan bikin gue sakit perut gara-gara ketawa mulu. Sana kenalan dulu."
Elia pun tampak melangkahkan kaki ke arah Kevin dan mengulurkan tangannya pada pria itu. Kevin yang sempat ragu pun akhirnya dengan sedikit gugup menjabat tangan itu.
"Elia ...," ucap Elia sambil tersenyum pada Kevin yang masih tak menyangka bahwa perempuan di depannya itu sangat mirip dengan Anggi.