BAB 12

1847 Kata
"Elia?" gumam Kevin tak percaya. Ia lantas melirik ke arah Aditya guna meminta penjelasan lebih. Ia masih tidak percaya jika yang ia lihat adalah orang lain bukan Anggi. "Udah jangan lama-lama itu tangan kalo kenalan. Inget anak istri di rumah," sindir Aditya yang masih terkikik dengan tingkah Kevin. "Eh iyaa. Maaf-maaf," ucap Kevin seraya melepaskan tangannya dari jabatan tangan Elia. "Dia adik kandungnya Anggi. Namanya Elia," jelas Aditya yang kini terdengar serius. Kevin masih mengerjap tidak percaya. Pasalnya Elia benar-benar sebelas dua belas dengan mendiang Anggi. "Serius? Mirip banget asli. Ini kalau dia jalan sendiri hari ini, gue kira arwahnya Anggi pasti." "Begooo! Istri gue enggak gentayangan!" tukas Aditya sambil memukul kepala Kevin. Elia hanya bisa tertawa kecil saja. Ia hanya bisa mengetahui bahwa kakak ya memang benar-benar beruntung mengenal Aditya dan semua tentang dirinya. Pasalnya seseorang terdekat Aditya pun sangat mengenal sosok sang kakak dengan sangat baik. Bahkan Elia penasaean bagaimana dulu mendiang kakaknya bertemu Aditya hingga dikenal baik oleh semua orang. Di tengah obrolan antara Aditya dan Kevin, tiba-tiba dari arah belakang mereka sebuah suara membuat Aditya terlonjak. "Anggi! Kamu Anggi, 'kan?" Dimas menyela tanpa basa-basi hari itu. Aditya lantas menoleh ke sumber suara. Betapa terkejutnya dirinya saat mengetahui Dimas juga berada di tempat yang sama. Aditya tercengang dan sedikit menahan emosinya saat melihat kembali sosok seseorang yang membunuh sang istri itu. Pria itu sudah mengepal kuat kedua telapak tangannya. Namun, seketika berusaha menepis semua rasa dendam karena percuma saja, Anggi tidak akan pernah kembali. Elia yang sedari tadi bingung hanya terdiam saja, ia hanya berpikiran siapa lagi yang mengenal kakaknya itu. Tiba- tiba pikiran jail Aditya muncul. Ia tertawa tipis saat mengetahui Dimas begitu terperangah bertemu dengan Elia. Ia membisikan sesuatu pada Kevin dan Kevin tampak setuju dengan itu. Dari belakang tubuh Dimas, Aditya mengodekan pada Elia agar tak berbicara sepatah kata pun dengan menaruh telunjuk jari di bibirnya. "Dim, lo sehat ?" tanya Kevin. Sontak Dimas yang tersadar, langsung menoleh ke arah Kevin. Ia tampak bingung dengan pertanyaan Kevin terhadapnya. "Maksud lo? Lo bohong, Vin. Jelas- jelas Anggi masih hidup gini, lo bilang udah enggak ada," ucap Dimas yang kembali menatap Elia. "Lo kali yang halu. Orang gue enggak lihat siapa- siapa di sini. Lagian gue cuman janjian sama Adit doang, kenapa ada Anggi, sih?" Kevin terlihat semakin serius dan hal itu justri membuat Aditya nyaria tertawa. Dendam di hati terasa begitu tak lagi membara kala menatap raut kebingungan Dimas. Entah, perasaan Aditya saja atau bagaimana, ia seolah melihat kekoaongan di mata Dimas. "Hah? Ini ... ini Anggi, 'kan? Lo liat ini Anggi, Vin. Adit, Dit, gue ... gue minta maaf atas semua kesalahan gue dulu, gue nyesel, Dit. Gue minta maaf," ujar Dimas yang kini menyesali semuanya di depan Aditya. Aditya menatap Dimas datar. Mata cokelat gelap itu seolah yang berbicara dan membuat Dimas selalu mengalihkan pandangan. "Maaf lo enggak ngembaliin nyawa istri gue, Dim." Semakin bingung sudah Dimas dengan ucapan kedua pria di sampingnya. "Loh, Dit, ini Anggi. Dia di sini," tunjuk Dimas pada Elia yang juga terlihat semakin bingung dan hanya diam saja. "Lo lagi mimpi? Halusinasi lo enggak lucu, Dim! Anggi udah meninggal lima belas tahun yang lalu dan lo tau itu kenapa? Stop, ngehayal seolah-olah Anggi masih hidup, itu nyakitin gue!" Aditya lantas berlalu dari hadapan Dimas dan tak menuruti kembali perdebatan singkat itu. Ia kodekan Elia untuk ikut masuk ke dalam mobilnya tanpa bersuara sama sekali. "Dit, Adityaa! Anggi masih hidup, Dit. Dia masuk ke mobil lo," ujar Dimas bersikeras. Tubuh yang tengah mengetuk kaca mobil Aditya, bermaksud untuk meyakinkan pengelihatannya tiba-tiba ditarik oleh Kevin. "Dim! Lo udah gila? Anggi udah meninggal dan sedari tadi lo nunjuk siapa? Gue enggak lihat siapa- siapa. Aditya sendirian ke sini dari tadi." Kevin semakin ahli dalam akting yang meyakinkan. Dimas menatap kepergian mobil Aditya, lantas ke arah Kevin. "Tunjukkin gue makamnya kalo emang ucapan lo bener." "Oke, kalau lo emang enggak percaya." Dimas pun tergesa-gesa ke arah mobilnya dengan keterbingungan yang luar biasa, begitu pun Kevin yang menuju ke arah mobilnya. Ia segera melajukan mobil itu mengikuti Kevin. Beberapa saat kemudian, mereka telah sampai di pemakam umum dekat dengan lingkungan perumahan Aditya. Dimas benar-benar tak percaya Kevin benar-benar membawanya kemari. Dengan perasaan campur aduk, ia turun dari mobil itu. Ia menelan salivanya saat melihat pelataran pemakaman luas di depan mata. Kevin lantas mengajaknya ke sebuah sudut pemakaman dan Dimas masih mengikuti dengan langkah berat. Sampai akhirnya Kevin berhenti di sebuah nisan bertuliskan nama Anggi Putri. "Lo, bisa lihat sendiri ... ini makam Anggi. Anggi udah meninggal 15 tahun lalu dan semua karena lo!" Dimas tercekat,mematung dan membisu tak percaya menatap nisan itu. Ia tiba-tiba bersimpuh di depan makam Anggi. Pikiran penuh pertanyaan itu teryakinkan oleh tanggal dan tahun kematian Anggi, di mana satu hari setelah ia meninggalkan Anggi waktu itu. Ia meremas tanah makam Anggi dan tanpa terasa air matanya mengalir. Tubuhnya bergetar mendapati semua kenyataan di depannya. "Enggak mungkin. Enggak mungkin ini— enggak mungkin Anggi meninggal." Dimas meremat tanah makam milik Anggi. Tidak mampu rasanya mempercayai segala ucapan kebenaran yang ada di depan mata. "Semua adalah kenyataan, Dim. Dan gue bener-bener enggak nyangka lo bisa ngehilangin nyawa orang yang sama sekali enggak bersalah apa pun. Gue emang bukan orang baik, Dim, tapi gue enggak sekeji itu. Lo tau, lo ngehilangin semua harapan orang banyak. Lo ngehilangin harapan Aditya dan anaknya. Lo bisa bayangin bagaimana anak sekecil itu sudah kehilangan seorang Ibu di usianya yang bahkan belum ngerti apa-apa. Gue rasa lo enggak pernah mikirin itu, Dim," ujar Kevin panjang lebar. Persetan ia akan membuat mental Dimas semakin hancur, ia tidak peduli. Kevin meluapkan segala apa yang menjadi rasa sesak di hatinya selama bertahun-tahun Dimas semakin tersudut dengan pernyataan Kevin. Ia benar-benar menyesali semuanya. Semua yang telah ia lakukan pada Anggi. "Gue tau lo perkosa dia. Dan lo yang enggak tau kalau waktu itu dia sedang mengandung anak kedua dari Aditya. Dia keguguran dan pendarahan cukup hebat. Karena itu dia meninggal, semya karena Anggi terlambat ditangani. Semua karena perbuatan lo, dia dan calon anaknya enggak bisa tertolong." Sontak Dimas terhenyak mendengar pernyataan Kevin. Ia tidak tahu bahwa waktu itu Anggi sedang mengandung anak kedua dari Aditya. Perlakuannya memang sangat keterlaluan. Bahkan ia tak segan-segan main tangan dengan perempuan itu kala Anggi berusaha memberontak. Ia semakin terpuruk, menangis sejadi-jadinya di depan makam Anggi. "Anggi, maafin aku, Nggi. Maafin aku, maaf karena ego dan obsesiku kamu seperti ini." Kevin kembali merasa sedih ketika semua akhirnya terungkap di depan Dimas. Penyesalan dari pribadi masing-masing membuat ia, Dimas dan Aditya dirundung rasa bersalah hingga detik ini. "Andai Aditya tidak kuat menahan semua lukanya. Mungkin dia juga mati dan semua cuman karena perbuatan lo. Dendam lo emang bener-bener kebales dengan sempurna, Dim. Lo ngancurin hidup Aditya sejak lima belas tahun lalu. Lo berhasil, Dim." Dimae menggeleng kuat dan masih meratapi semua di depan Anggi. Bukan ini yang ia pikirkan. Ia tidak pernah berpikir membunuh Anggi, sama sekali tidak. "Sekarang, penyesalan lo percuma. Aditya mencabut semua laporan itu karena dia merasa enggak lagi ada gunanya pertanggung jawaban lo dan sia-sia, karena hukuman buat lo tidak akan mampu mengembalikan Anggi ke dunia ini." Kevin menghela napasnya dan berlalu dari Dimas. Ia biarkan Dimas dalam rasa bersalah yang teramat dalam. Ia acuhkan seseorang yang pernah menjadi sahabatnya itu dan melangkahkan kaki menuju ke mobilnya, setelah itu berlalu meninggalkan pemakaman itu. Sementara Dimas masih terpaku di makam Anggi. Ia benar- benar tidak menyangka bahwa ucapan Kevin benar adanya. I "Tapi, tadi siapa yang aku lihat.. Enggak mungkin. Enggak mungkin aku berhalusinasi." Ia memijit kepalanya dengan keras, terasa sangat sakit beberapa hari ini karena ia merasa dihantui oleh sosok Anggi dan melihat kenyatan bahwa benar Anggi telah tiada, membuat seluruh raga terasa luruh. "Arghh!" teriak Dimas saat kepalanya semakin terasa sakit. ^^^^ Di tempat lain, Aditya sama sekali belum bersuara sejak bertemu dengan Dimas. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa akan bertemu dengan Dimas kembali. Menatap raga itu lagi setelah apa yang pernah terjadi di antara mereka hingga meninggalnya sang mendiang istri. Pria itu mengetatkan genggamam tangannya pada setir mobil dengan tatapan lurus ke jalanan. "Mas, Mas Adit?" "Hah? Eh iya, Elia. Ada apa?" tanya Aditya. Ia lupa bahwa di sisinya masih ada Elia, sang adik ipar. "Mas Adit kenapa? Kenapa dari tadi diem aja. Ada yang salah kah?" Aditya pun tersenyum pada pertanyaan Elia.Tidak mungkin ia menceritakan seluruh peristiwa mengenaskan perihal sang kakak pada adiknya. Aditya masih menjaga perasaan Elia. "Enggak Elia. Enggak ada yang salah. Saya hanya terlalu lelah saja hari ini." "Mas Adit kalau ada apa-apa, sekarang bisa cerita sama Elia, kok," ujar Elia yang kini meletakkan tangannya pada lengan Aditya. Aditya hanya menatapnya tanpa tanggapan berarti. "Enggak ada apa-apa, Elia. Semuanya baik-baik saja." Aditya pun tersenyum pada Elia dan kembali menatap jalanan di depannya. Namun, mengingat ekspresi Dimas tadi, membuatnya sedikit menahan tawa saat pria keji itu benar-bemar dibuat bingung oleh dirinya dan Kevin. Dimas juga harus merasakan bagaimana rasanya frustasi ketika ditinggalkan seseorang yang sangat berharga di hidup Aditya. Aditya telah melewatinya dan menjadi setegar sekarang itu tidak lah mudah. Kehadiran Dimas mampu memutar balikkan semua ingatan Aditya tentang perilakunya pada sang istri. Ia tidak ingin lagi dendm merasuki benaknya. Aditya berusaha menetralkan diri dengan menghela napas untuk meredam semua emosi di dalam diri. Elia menatap kakak iparnya itu dengan penuh tanda tanya. Ia masih penasaran dengan apa yang terjadi di masa lalu. Mengapa seolah-olah kematian kakaknya menjadi sebuah misteri bagi siapa pun. Namun, ia tak akan terburu-buru, masih banyak waktu untuknya menemukan jawaban dari setiap pertanyaan- pertanyaan yang menumpuk di kepala. Di balik itu semua juga, l Elia mulai mencerna setiap peristiwa sejak ia bertemu Aditya. Bahkan di rumah Aditya foto kakaknya masih tampak terpanjang rapi di sana, padahal sudah 15 tahun berlalu. Ia tampak mencintai sang kakak. Namun, satu yang ia tidak ketahui apa yang menyebabkan Aditya begitu mencintai kakaknya dan hingga saat ini tidak mencari pengganti Anggi. "Emm, Mas Adit, boleh Elia tanya?" "Silakan, Ellia." "Mas Adit cinta banget sama Mbak Anggi, ya?" Aditya menoleh ke arah elia tepat saat lampu merah menyala. Ada sebuah senyum simpul di bibir Aditya. "Kenapa masih kamu tanyakan hal itu? Jelas saya mencintai kakakmu melebihi apa pun, Elia. Dia gadis yang baik, sederhana, tidak menuntut apa pun pada saya. Dan dia sangat sabar menghadapi sifat saya. Tidak ada celah yang membuat saya tidak mencintainya. Saya selalu mencintai kakakmu sampai kapan pun." Aditya menarik napas lagi lebih dalam dan mengembuskannya. "Ya meskipun memang sudah sangat lama fisik kakakmu meninggalkan saya. Tapi dia akan selalu hidup di hati saya, Elia." "Tapi kata Mas Adit, sudah lama Mbak Anggi meninggal? Apa Mas Adit, tidak berniat sama sekal mencari penggantinya? Lagipula Mas Adit masih terlihat muda." "Tidak, Elia. Kakak kamu cukup bagi saya." Elia tampak tertegun mendengar ucapan Aditya. Begitu berharganya sang kakak di mata dan hati Aditya. Ia semakin mengagumi Aditya diam-diam. Memurutnya Aditya sangat romantis saat sebuah kata setia tersemat dalam prinsipnya. Aku harus bisa mendapatkan kamu, Aditya, harus! batin Elia menekadkan keinginannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN