Semua sudah jelas, Aga sudah mendengar penjelasan yang selama ini ingin ia dengar. Kemelut di hati semakin terasa, sesak di d**a semakin menyakitkan. Aga tidak menyangka bahkan menggerutu, apa salah sang ibu hingga seseorang tega menghabisinya. Rahangnya mengetat, tatapan itu tajam menatap langit-langit kamarnya. Ada sebulir air mata di sudut pelupuk.
Dimas Anggada, gue bakalan cari lo ke mana pun lo pergi! Lo harus tanggung jawab semuanya! batin Aga berapi-api.
Tekad Aga sudah tidak mampu dibendung. Meskipun sang ayah melarang dirinya untuk menaruh dendam pada sosok Dimas, tetapi kepedihan hidup mamanya tidak mampu terbayangkan. Ia harus benar-benar membuat perhitungan pada sosok Dimas. Ia tidak akan tinggal diam saja saat keadilan tidak ditegakkan.
Maaf, Ma, Pa. Aga enggak bisa diem aja.
^^^^
Latar gelap membuat Dimas bingung seketika. Ia tidak tahu dirinya ada di mana. Semula raganya masih ada di ruangan tengah rumah. Namun, lama-lama ruangan itu berubah menjadi gelap tanpa tepi. Bahkan, ia sudah memanggil anak dan istrinya, tetapi tidak ada sahutan.
Hingga, dari salah satu sudut, sosok perempuan berjalan perlahan ke arahnya. Dimas memicingkan pandangan. Rambut lurus sedada, badan mungil dan cara berjalan itu mirip dengan seseorang.
"Anggi," tebak Dimas lirih.
Sebuah sosok yang benar-benar tepat dengan tebakannya kini berada persisi di depannya. Sosok yang selama ini dirindukan dan tengah menatapnya tanpa ekspresi sama sekali. Tatapan itu bahkan membuat Dimas salah tingkah. Peluh membasahi pelipis karena gugup dan tidak percaya bahwa ia kembali bertemu Anggi.
"Anggi, kamu—"
"Kenapa kamu membunuhku? Aku salah apa, Dim? Kenapa kamu tega sama aku?"
Dimas mengernyit, tidak tahu maksud dan tujuan ucapan Anggi. Ia belum sadar hingga ia teringat ucapan Kevin.
Gara-gara lo, Anggi meninggal! b******k!
DEG
Ingatan tentang ucapan Kevin membuat pria yang masih berdiri di depan sosok perempuan yang tengah diperdebatkan waktu itu, merasa syok. Takut dengan segala opini pribadi. Jika Anggi sudah meninggal, lantas siapa yang ada di depan mata?
"Ka—kamu, si—siapa?" tanya Dimas gagap.
"Kenapa kamu membunuhku, Dimas! Kenapa kamu tega menghabisi nyawaku dan calon anakku! Kamu jahat, Dimas! Jahattt!"
"Anggi!" teriak Dimas.
Seketika pria itu terbangun dari tidurnya sambil mengatur napas yang terengah-engah. Peluh yang mengucur tidak dapat membohongi bahwa mimpi buruk kembali menghantui. Ya, sejak Kevin memberitahunya tentang kematian Anggi, dirinya semakin tidak tenang dalam menjalani kehidupan. Malam ini ia dihantui oleh rasa bersalahnya pada Anggi sehingga pikiran terkontaminasi oleh halusinasi tak masuk akal. Sudah dua hari ia selalu merasa tidak tenang.
"Dimas, ada apa?" tanya Anindya dengan suara parau khas orang bangun tidur.
"Hah? Enggak, iya enggak kenapa-kenapa, lanjutkan tidurmu."
Anindya sempat terdiam sesaat mendapati perilaku sang suami, tetapi akhirnya kembali melanjutkan tidurnya setelah dipastikan Dimas benar-benar baik-baik saja. Sebaliknya, Dimas menelungkupkan kedua tangan pada wajahnya. Rasa takut dan bersalah kembali menyeruak batin.
Aku bukan pembunuh! Aku bukan pembunuh! batin Dimas frustasi.
Kejiwaannya sedikit terguncang saat pertama kali mendengar Anggi telah tiada karena perbuatannya. Hal itu berlanjut hinga beberapa hari. Ia selalu saja dihantui oleh sosok Anggi dalam mimpinya yang selalu mempertanyakan kenapa dirinya tega membunuh Anggi.
Ia semakin stress dibuatnya, tetapi mencoba untuk mengatur emosi dalam dirinya. Sejenak ia lirik jam dinding dan menunjukkan tepat tengah malam. Hampir beberapa hari ini tidurnya selalu tidak tenang. Ia pun bangkit dari ranjang dan menuju ke arah dapur.
Ia langkahkan kaki menuju ke kulkas untuk mengambil minum. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba angin berhembus kencang tatkala pintu samping rumah itu terbuka dengan sendirinya.
Brak! Sekali lagi pintu itu menggebrak dan terbuka. Dimas menatap dengan keterheranan, pasalnya ia tidak mungkin lupa menutup satu pintu itu. Dengan langkah pelan menuju ke arah pintu itu. Ia lirik kanan dan kirinya, memastikan bahwa tidak ada perampokan dan sejenisnya di rumah itu. Bahkan Dimas mengambil sebuah tongkat golf yang berada di sisi almari pajangan. Namun, sampai beberapa langkah, ia tak menemukan tanda-tanda seseorang masuk ke dalam rumah. Pria itu pun akhirnya berjalan normal menuju ke arah pintu, menaruh tongkat golf ke tempat semula dan berniat menutup pintu.
Akan tetapi, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sosok seseorang yang berdiam di bangku taman belakang. Dimas mengerutkam dahi, tidak mungkin ada orang lain yang masuk ke dalam rumah mereka karena tembok belakamg rumah dipenuhi serpihan pecahan kaca botol yang runcing. Pria itu hanya berpikiran bahwa dia adalah anak gadisnya, Liona.
Untuk apa Liona malam-malam di situ? batin Dimas.
Ia yang semakin penasaran mencoba melangkahkan kaki menuju keluar halaman rumah, dengan langkah pelan ia mencoba menghampiri perempuan itu. Dimas berjalan dengan rasa penasaran dan sedikit takut. Siapa pun pasti memiliki naluri untuk itu. Belum sempat ia pegang pundak perempuan itu, tiba - tiba sosok tersebut menoleh ke arahnya. Sontak Dimas langsung terkejut dan ketika ingin berlari justru tersandung dan jatuh. Larinya terbirit-b***t sebab melihat Anggi di depannya. Ia benar- benar terkejut dibuatnya hingga logika tak jalan hanya untuk mencerna apa pun yang terjadi di depannya.
"Kenapa kamu membunuhku, Dimas? Aku salah apa?"
Kembali, kalimat yang sama persis seperti yang ada dalam mimpi didengar lagi.
Dimas menggeleng kuat, peluh di dahi bercucuran. Jantungnya sudah berdegup dua kali lipat dari biasanya. Bulu kuduknya meremang kuat saat sosok itu mendekatinya.
"Anggi, ka—kamu ... a—aku tidak membunuhmu. Tidakk! Akuu tidak membunuhmu!'
Dimas berhalusinasi parah hingga menyebabkan delusi yang membuat apa yang terlihat seolah nyata. Ia selali beranggapan bahwa Anggi terus menuntut dirinya. Padahal kenyatannya hal itu tidak pernah terjadi, semua itu atas dasar rasa bersalah terlalu dalam pada Anggi yang kehilangan nyawa karena perbuatan masa lalu.
"Pergi! Pergi! Aku tidak membunuhmu!" teriak Dimas yang kini berdiri dan beranjak dari taman itu sesegera mungkin.
Ia terus berjalan hampir berlari menuju ke arah dalam rumah. Namun, dalam bayangannya justru Anggi mengejar hingga memasuki rumah. Entah apa yang ada di pikirannya, ia mengambil sebilah pisau, mencondongkan ke arah Anggi yang terus menatapnya.
"Pergi! Pergi!" teriak Dimas yang semakin panik ketakutan.
Anggi menghilang tiba-tiba saat pria itu sudah benar-benar ketakutan luar biasa, Dimas melirik ke arah kiri dan kanan mencari sosok itu. Hingga seseotang menepuk bahunya membuat Dimas lantas langsung mencondongkan pisau itu ke arah siapa pun di belakangnya. Pikirannya sudah terjebak dalam delusi tanpa ia sadari.
"Papa, Papa ini kenapa? Malam-malam begini bikin gaduh. Kenapa pisau itu ada di tangan, Papa?"
"Li—liona ...."
Dimas langsung tersadar seketika, ia jatuhkan pisau itu dan tubuhnya yang gemetar jelas tertangkap oleh Liona. Napas memburu masih membuat jantungnya tak karuan. Namun, tidak mungkin juga dirinya berhicara perihal ini terhadap anak gadisny. itu
"Papa akan kembali tidur. Ka—kamu tidurlah, Liona " ucap Dimas yang langsung pegi dari depan sang anak.
Ia lantas melangkahkan kakinya ke arah kamar dengan cepat. Namun, di sisi lain Liona yang tak mengerti mengapa sang ayah bersikap sangat aneh itu hanya bisa mengernyitkan alis. Ia menatap punggung Dimas dengan keterheranan yang menggantung di benaknya. Ia pun mengambil pisau yang terjatuh tadi dan menaruh kembali di tempat semula. Gadis itu pun lantas kembali ke kamarnya setelah menyabet minuman dingin di dalam kulkasnya.
Ada apa ini? Kenapa pikiranku ke Anggi terus. Ya Tuhan, kenapa bisa begini? batin Dimas hampir frustasi.
Ia merebahkan diri ke ranjangnya, menyapu atap plafon dan berdiam diri memikirkan hal yang barusan terjadi.
Aku harus segera memastikan bahwa Anggi benar - benar meninggal atau Kevin hanya menggertakku saja, batin Dimas.
Ia pun mencoba untuk memejamkan mata meskipun selalu terbayang Anggi dan kejadian barusan, ia tetap mencoba memejamkan matanya.
^^^^^
Keesokan harinya~
"Aga, Papa mau kasih tau kamu, mungkin nanti bisa mengobati rasa rindumu terhadap mamamu," ucap Aditya tampak antusias.
"Maksud, Papa?"
Aditya masih tersenyum, seolah apa yang akan disampaikan akan membuat sang anak juga merasa senang.
"Papa akan jemput nenekmu, ibu dari mamamu. Papa akan ajak mereka tinggal di sini. Kamu tau, mamamu sangat merindukan nenekmu. Dan papa menemukan mereka. Oh iya, satu lagi, Mamamu punya adik dan dia sangat mirip sekali dengan wajah mamamu."
DEG.
Pernyataan terakhir Aditya membuat Aga tersentak. Bukannya harusnya dia merasa senang? Namun, kenapa ada rasa kekhawatiran di benaknya saat ini?
"Oh ya? Kapan ∆apa mau bawa mereka kemari?"
"Hari ini. Papa akan bawa mereka ke rumah ini. Biar mereka tinggal di sini dan kamu enggak kesepian lagi."
"Hemm, gitu. Oke, terserah Papa saja kalau begitu."
Aditya memang memiliki rencana untuk mengajak ibu dan adik Anggi untuk tinggal bersama dirinya. Setidaknya ia bisa menebus semua kesalahan dengan membahagiakan bagian terpenting dalam hidup Anggi.
"Kalau begitu Papa pergi dulu."
Aga hanya mengacungkan jempolnya dan tetap berfokus pada game di ponsel pintar itu. Aditya pun langsung bergegas ke arah parkiran dan melajukan mobil SUV itu tepat ke arah pinggiran kota Jakarta.
^^^^
Aditya kembali berdiri di sebuah rumah kontrakan kecil milik ibu Anggi. Ia lantas tersenyum tipis, ia langkahkan kaki menuju ke depan pintu rumah itu. Belum sempat ia mengetuk pintu rumah itu tiba-tiba pintu terbuka.
"Loh, Mas Aditya. Mas Adit ke sini ngapain?" tanya Elia.
Masih saja, Aditya masih terpaku saat Elia menyapanya. Ia selalu terbuai dengan wajah Elia yang mirip sekali dengan Anggi. Ia pun tersenyum pada perempuan itu.
"Ibu ada?"
"Ada, Kak. Ayo masuk, maaf ya rumahnya berantakan banget."
Aditya pun hanya menganggukan kepalanya dan lagi - lagi menatap Elia yang sedang membereskan sesuatu di meja ruang tamu itu. Sangat mirip sekali dengan Anggi. Sikap, wajah, dan senyumnya semuanya mirip dengan Anggi. Ia pun menepiskan segala pikiran tidak jelas itu dan duduk di kursi. Ia mengedarkan ke beberapa tempat di rumah ini, di mana banyak sekali sisa lembaran kain bekas jahitan. Rupanya sang mertua adalah seorang penjahit di wilayah ini.
Beberapa saat kemudian~
"Nak Aditya. Ada apa Nak Wdit kemari?"
"Begini, Bu. Saya berniat mengajak Ibu dan Elia untuk tinggal bersama saya di rumah saya. Apakah Ibu bersedia?"
Ibu Martha—nama perempuaj paruh baya itu—tengaj berpikir. Seolah terlihat ragu dan menatap Elia yang berada di sampingnya.
"Di rumah Nak Adit? Apakah Ibu tidak merepotkan, Nak Aditya?"
"Sama sekali tidak, Bu, ibu adalah orang tua Anggi , dan siapa pun keluarga Anggi itu juga merupakan keluarga saya. Lagipula Ibu tidak perlu bekerja lagi. Semuanya biar saya yang menanggungnya. Saya harap Ibu dan Elia setuju dengan ini."
Elia menatap Aditya yang tengah berbicara dengan ibunya dengan senang. Memang inilah yang ia tunggu, sebuah kesempatan emas sudah ada di depan mata. Menjadi orang kaya telah menjadi impiannya dan ia akan merebut apa yang telah menjadi milik kakaknya.
"Bu, benar kata Mas Adit. Ibu sudah terlalu capek untuk bekerja seperti ini. Lagipula Mas Adit 'kan juga anak ibu karena Mas Adit masih menjadi suami kakak meskipun kakak udah lama enggak ada."
"Benar, Bu. Saya harap Ibu setuju meninggalkan rumah ini dan tinggal bersama saya."
Ibu Martha sejenak memikirkan tawaran Aditya yang diberikan padanya dan anak semata wayangnya itu. Ia sekali lagi melirik Elia dan terlihat perempuan itu pun berharap bahwa ibunya akan mengiyakan tawaran Aditya.
"Baiklah jika Nak Adit memaksa. Tapi Ibu benar-benar tidak ingin merepotkan Nak Aditya."
"Tidak sama sekali, Bu. Saya justru senang Ibu bisa tinggal dengan saya."
Ibu Martha pun tersenyum pada Aditya. Ia senang Anggi mendapatkan suami yang sangat baik dan perhatian seperti Aditya.
Yes, akhirnya aku jadi orang kaya, tinggal satu misi yang harus kujalani. Dapetin hati dia, maafin aku Mbak Anggi, tapi suamimu sangat menarik perhatianku. Batin Elia girang sambil melirik Aditya yang tengah membantu ibunya mempersiapkan segala sesuatu.
Hampir tiga puluh menit berlalu, akhirnya mereka pun siap untuk meninggalkan rumah itu. Namun Ibu Marta tampak sangat sedih meninggalkan rumah itu.
"Bu, setelah ini Ibu harus bahagia bersama saya. Anggap Adit pengganti Anggi, ya. Ibu tidak perlu sungkan meminta apa pun dari saya. Saya anak Ibu juga."
"Kamu memang anak baik, Nak, Anggi pasti bahagia memiliki suami seperti kamu," ucap Ibu Marta sambil mengusap bahu Aditya.
"Mari, Bu," ucap Aditya.
Mereka pun berjalan menyusuri lorong kecil di kampung itu hingga tepat di depan mobil milik Aditya. Ibu Marta pun masuk ke dalam mobil SUV Aditya dibarengi oleh Elia. Setelah itu barulah Adit masuk ke dalam mobilnya. Ia pun segera melajukan kuda besi itu meninggalkan perkampungan di pinggiran dan menuju ke arah pusat kota.
Perasaan senang dan hidup seolah kembali menghangatkan hati. Rasa memiliki keluarga juga dirasakan. Setelah kedua orang tuanya meninggal, semua kesepian itu semakin menguat dan berlangsumg selama bertahun-tahun. Hari ini, semua kesepian itu sedikit demi sedikit terkikis. Kehadiran Ibu Martha dan Elia mampu mengobati luka hati.