Dimas melangkahkan kakinya setelah cukup lama ia berada di pusara Anggi. Pria itu cukup frustasi dengan kenyataan di depannya. Ia berjalan dengan lemas ke arah mobil , sesekali menegok lagi makam Anggi dan kemudian memasuki mobil.
Ia pun melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, tetapi pikiran yang tengah terkontaminasi dengan semua peristiwa tadi, membuat Dimas tertekan keadaan. Ia sedikit melamun saat berkendara.
Ciiitt!
Tiba-tiba ia mengerem dengan cukup keras hingga tersentak hebat. Degup jantung yang tak beratuan mendadak hadir ketika ia seolah melihat sosok Anggi di depan mobilnya seolah tengah menatap dengan tatapan kebencian.
"Argh! Tidakk! Pergi! Aku bukan pembunuh!" teriak Dimas dari dalam mobil.
Ia memegang keras kepalanya yang terasa sangat sakit. Napas tengah memburu, ia menjadi tidak tenang dan panik seketika.
Tinnn! Tinn!
Bunyi suara klakson dari kendaraan lain pun tak menyadarkan Dimas yang sudah diselimuti rasa takut dan bersalah yang teramat dalam. Hingga beberapa orang mulai mengecek mobil pria itu dan Dimas justru semakin ketakutan dibuatnya. Di dalam pikirannya, semua orang yang berada di luar mobil berkumpul untuk menghakiminya.
Di sisi lain, Evan yang tengah melajukan motor menuju ke rumahnya, melihat keramaian di sudut jalan. Ia belokkan motor itu menuju ke arah tersebut. Ia melirik mobil yang sama persis dengan milik keluarganya. Ia sedikit heran dan memberhentikan motornya segera. Ia turun dari motor dan menghampiri mobil yang ia yakini adalah milik papanya.
"Permisi," tegur Evan pada beberapa orang di sana.
Dan benar ketika berada tepat di samping mobil, ia melihat sang ayah tengah tersudut di dalam sana. Ia tak mengerti apa yang membuat sang ayah seperti itu. Ia mencoba mengetuk pintu mobil dan Dimas pun akhirnya menoleh ke arah samping. Ia cukup lama mengolah informasi seseorang di sampingnya, hingga akhirnya tersadar dan berani membukakan pintu karena yang disamping mobil adalah sang anak.
"Maaf, Pak, Buk. Bapak dan Ibu boleh pergi saja. Ini Papa saya. Maaf jika merepotkan kalian," ujar Evanders yang tidak enak pada beberapa orang di sana.
"Huh! Kalau berhenti jangan di tengah jalan dong, Pak!" gerutu ibu-ibu pada Dimas.
Dimas sontak meminta maaf pada semua orang. Ia juga tidak tahu mengapa rasa cemas dan khawatir berlebihan itu justru membuat dirinya tidka kontrol.
"Papa ini kenapa, sih? Kalau Papa enggak sehat mending di rumah aja jangan keluar-keluar. Ngerepotin aja."
"Papa minta maaf, Nak," ujar Dimas lirih.
"Ya udah lah Papa pulang aja jangan di tengah jalan kayak gini! Demen banget diamukin massa."
Evan pun lantas segera pergi dari Dimas dan berlalu ke arah motor yang terparkir tak jauh dari mobil sang ayah. Ia naiki motor itu dan melesat ke arah rumahnya. Begitupun Dimas, ia lantas segera melajukan mobil kembali ke kediamannya.
Beberapa menit kemudian, Dimas pun telah sampai di pelataran rumah. Ia tampak benar - benar kacau hari ini.
"Dimas, kamu enggak kenapa-kenapa? Kata Evan kamu tadi di jalan—"
Dimas hanya mengangkat tangan sebelahnya saja untuk menyetop ocehan istrinya tanpa berkata apa pun. Ia lantas menuju ke kamar sambil memijit kepalanya yang sedari tadi sakit.
"Dim, kamu itu kenapa? Jangan diam begini," tanya Anindya yang mengejar suaminya itu.
Akan tetapi, tiba-tiba hal yang tidak terduga pun terjadi. Dimas mendorong tubuh Anindya hingga perempuan itu terjatuh ke lantai.
"Jangan ganggu aku! Ngerti!" bentak Dimas.
"Tapi, Dim ... aku hanya—"
"Diaamm!" Dimas berteriak lagi, emosinya sama sekali tidak mampu dikontrol dengan baik.
Anindya tampak terpukul dengan sikap Dimas yang berubah. Selama ia menikah dengan pria itu, tidak pernah Dimas menampakan sedikit pun sikap kasar terhadap dirinya. Membentak saja tidak pernah, dan hari ini hal itu terjadi. Ia tidak tau hal apa yang menyebabkan Dimas melakukan semua itu.
Evanders yang mendengar kegaduhan antara orang tuanya lantas segera beranjak dari kamarnya. Ia buka pintu kamar dan benar saja ia melihat sang ibu tengah menangis dan terduduk di lantai. Sedangkan Papa tirinya tengah dirundung emosi di sana.
"Sial!" gerutu Evan.
Evan segera berjalan setengah berlari ke arah Dimas. Ia tidak terima ibunya disakiti oleh siapa pun. Ia lantas memegang bahu Dimas dan memukulnya hingga Dimas tersadar bahwa serangan mendadak itu berasal dari anak tirinya.
"Jangan sakiti ibu gue! b*****t!" bentak Evanders.
Evan segera menenangkan sang ibu. Ia memang tidak pernah cocok dengan Dimas dari remaja hingga saat ini. Kejadian 15 tahun lalu saat Evan bertemu sosok laki-laki yang menyapanya dan mengaku sebagai ayah kandungnya, membuat pria itu tak gentar mempertanyakan soal itu pada ibunya. Ia yakin sesuatu telah terjadi. Akhirnya di usianya yang menginjak remaja sang ibu akhirnya mengungkap bahwa ayah kandungnya masih ada. Namun, dibumbuhi dengan cerita dari sang ibu membuat Evan membenci ayah kandungnya sendiri dan tidak ingin mencari keberadaan ayahnya.
Sejak saat itu ia sama sekali tidak begitu tertarik dengan kata "ayah" dalam hidupnya. Evan menyetujui pernikahan ibunya dengan Dimas hanya karena ingin ibunya meraskan kebahagiaannya. Berusaha terlihat menerima dengan berpura-pura manis hanya untuk membuat sang ibu tersenyum dan tidak merasa khawatir.
Akan tetapi, hari ini, Dimas telah menyakiti hati ibunya dan Evan tidak akan pernah tinggal diam.
"Evan, Nak, maafin Papa. Maaf Papa lagi banyak pikiran. Papa enggak sengaja. Anindya, maaf, maaf pikiranku lagi kacau," ujar Dimas yang tersadar akan guncangan mental yang berhasil merubah segala sikap diri.
Ia tepiskan tangan Dimas yang mencoba meraih ibunya. Ia benar- benar muak dengan semuanya.
"Bu, ikut Evan, ya ...."
Evan pun mengangkat tubuh ibunya dan membawanya ke arah dapur, ia ambilkan sang ibu minum untuk sekedar menenangkan diri.
"Evan sudah bilang kan dulu, Bu. Ibu tidak perlu menikah lagi kalau ujung-ujungnya disakiti seperti ini lagi."
"Papamu hanya banyak pikiran hari ini, Evan. Ibu tidak apa."
"Ck. Bu, mungkin itu sifat asli Papa yang kasar sama Ibu. Ibu jangan membela Papa terus!"
Anindya menggeleng, tidak mungkin lagi ia berpisah dari Dimas hanya karena masalah sepele. Selama ini banyak hal manis yang dilakukan pria itu dan Anindya tidak ingin satu kesalahan menghancurkan segalanya. Dimas mungkin benar-benar tengah memikirkan sesuatu yang berat, dan Anindya belum tahu mengetahui pasti apa yang mengganggu pikiran suaminya.
"Enggak, Nak. Papamu orang baik. Ibu yang terburu-buru dan tidak memberi waktu papamu untuk sendiri," ujar Anindya mencoba menenangkan anak lelakinya.
"Halah persetan. Evan enggak mau ya, Bu, Ibu disakiti sama kayak dulu yang ibu cerita. Evan enggak mau pada akhirnya ibu sendirian lagi. Buat apa ibu menikah lagi kalau harus berpisah."
"Sudah, Nak. Ibu tidak berpikiran seperti itu. Papamu benar- benar orang baik. Dan kamu jangan menyalahkan papa kandungmu. Dia tetap papamu."
Evanders mendecak untuk kesekian kalinya ketika lagi dan lagi snag ibu berusaha mencuci nama ayah kandungnya, agar terlihat tidak bersalah.
"Biar saja. Dia meninggalkan Ibu begitu saja, 'kan? Bahkan Evan tidak tau siapa dia. Untuk apa Evan menghormatinya kalau dia saja tega meninggalkan kita...."
Anindya hanya terdiam. Ia salah, telah menanamkan kebencian pada diri Evan terhadap Aditya. Keegoisannya telah membuat Evan tidak ingin mengenal sosok ayah kandungnya. Ia merasa bersalah saat ini, ia menyadari satu hal kali ini semua perkataannya mampu membuat dampak buruk pada sisi anaknya sendiri.
"Nak, Papa kandungmu tidak sepenuhnya salah. Dia meninggalkan kita karena suatu hal. Kamu tidak boleh membenci Papa kandungmu, ya ...."
Evanders mendcak lagi, rasanya muak mendengar kebaikan sang ayah kandung, padahal ia sendjri belum bertemu lagi dengan sang ayah.
"Bodo amat lah! Dia juga nggak berusaha nyari Evan kan? Kalau memang dia memiliki hati dan masih anggep Evan anaknya otomatis dia pasti cari Evan!"
Anindya pun terbungkam dan hanya mampu menenangkan sang anak dengan mengusap punggungnya. Kesalahan terletak pada dirinya yang benar-benar memisahkan Evan dengan Aditya, padahal Aditya sudah berusaha keras menemui Evan. Namun, rumah yang diberi Aditya telah lama ia jual untuk pindah ke rumah lain. Otomatis Aditya kehilangan kembali jejak dirinya dan Evan, anaknya.
"Ya sudahlah, Ibu jangan sedih lagi. Kalau Papa sampai begini lagi, Evan nggak segan buat ngasih pelajaran sama Papa. Ibu jangan terus membela dia."
Anindya menghela napas. "Sudahlah, Nak, Ibu enggak kenapa-kenapa. Kamu istirahat aja ... maaf Ibu dan Papamu mengganggu waktu istirahatmu."
Evan pun segera beranjak dari kursi meja makan itu dan berlalu menuju ke arah kamarnya begitu saja. Disisi lain, Anindya yang masih dirundung rasa cemas terhadap Dimas, melangkahkan kaki menuju ke kamarnya. Ia ingin berbicara pada Dimas.
"Dimas, aku boleh masuk?" Anindya berucap setelah ketukan pintu kamar tak mendapat jawaban.
Akan tetapi, hal itu itu masih tidak mendapat jawaban, Anindya pun masuk ke dalam kamar itu. Ia melihat Dimas yang tengah bersandar di sisi tempat tidur mereka. Meringkuk yang entah mengapa pria itu berperilaku seperti itu.
"Dimas ...," tegur Anindya lembut.
Sontak Dimas langsung menoleh ke arah Anindya. Ia langsung memeluk istrinya itu, sangat erat bahkan Anindya heran dengan tingkah laku Dimas. Namun, perempuan itu membiarkannya saja. Ia tau Dimas dalam keadaan yang tidak baik sekarang.
"Kalau kamu ingin bercerita, ceritalah tapi kalau belum siap, aku tidak akan memaksanya," ucap Anindya yang mengusuk punggung sang suami.
Dimas melepas pelukannya. Ia tak tau harus berkata apa pada istrinya itu. Ia hanya mengepalkan tangannya menahan semua emosi dalam dirinya. Sedangkan Anindya berusaha menenangkan dengan memegang telapak tangan pria itu.
"Aku pembunuh Anindya. Dia benar-benar sudah meninggal dan itu karenaku."
Anindya terdiam sejenak, mencerna ucapan Dimas. Ucapan tentang kasus yang pria itu sembunyikan ternyata benar adanya. Selama ini, ia pikir Dimas hanya bercanda, tetapi melihat sikap sang suami rasanya hal itu benar terjadi. Dan kenapa harus ada sangkut pautnya lagi dengan Aditya?
"Maksud kamu ... perempuan istri Aditya itu? Lalu kenapa kamu sefrustasi ini?"
"Iya benar ... maaf Anindya, tapi aku masih mencintai wanita itu selama ini ...."
DEG.
Sontak Anindya mengendurkan genggaman tangannya pada Dimas, ia tidak menyangka bahwa selama ini suaminya masih mencintai wanita lain. Ia menangkupkan tangan ke mulutnya tak menyangka bahwa sesakit ini mencintai seseorang yang ternyata mencintai yang lainnya. Anindya sudah sangat mencintai sang suami, menurutnya Dimas adalah yang terbaik. Namun, kenyataan hari ini mampu dengan sangat menyakiti hatinya.
"Terus, selama ini kamu menikah denganku? Semuanya palsu?"
"Enggak, enggak Anindya. Aku hanya—"
"Cukup, Dim! Semuanya sudah jelas sekarang. Karena dia kamu tidak berusaha mencintaiku, 'kan? Kamu hanya memilihku sebagai istri untuk menutupi semua kesalahanmu."
"Anindya dengarkan aku ...."
Anindya yang benar-benar tak kuat lagi menahan perasaan sakit hatinya lantas berdiri dan beranjak meninggalkan Dimas. Namun Dimas yang tersadar akan hal itu mencoba mengejarnya. Ia tarik lengan istrinya itu ke pelukannya. Ia peluk sang istri dengan erat. Ia sudah kehilangan Anggi untuk selamanya dan ia tak mau lagi kehilangan seseorang yang sudah menemaninya selama ini dan melahirkan anak untuknya.
"Maafkan aku, maaf aku tidak pernah cerita apa pun padamu. Aku hanya takut Anindya, aku hanya bingung harus mulai dari mana ...."
"Kamu sama sekali tidak mencintaiku, Dim," ujar Anindya yang kini menangis di pelukan sang suami.
"Enggak Anindya, kamu salah, dengarkan aku dulu .... Kamu mau mendengarkanku, 'kan?"
Anindya pun sedikit melunak. Ia tidak ingin keegoisan merusak rumah tangganya kembali. Dulu ia tak mampu mendengarkan penjelasan Aditya dan mengutamakan sisi egois dalam diri yang menyebabkan Aditya meninggalkannya. Ia tidak ingin hal itu terjadi lagi. Ia ingin memperbaiki semuanya.
Ia pun menganggukan kepalanya pada Dimas untuk sejenak mendengarkan seluruh penjelasan Dimas tentang semua ini. Dimas pun mengajak Anindya untuk duduk di sofa kamarnya, menjelaskan semuanya.
Dimas pun akhirnya menceritakan semua persoalannya dimulai dari siapa Anggi hingga ia harus melepaskan Anggi untuk Aditya, sampai bagaimana ia melakukan hal kriminal terhadap wanita yang tidak bersalah itu. Dan mengapa dirinya menjadi dendam terhadap sosok Aditya.
Anindya bahkan tak menyangka bahwa Dimas melakukan semua perbuatan keji itu. Ia langsung berpikiran pada Aditya. Bagaimana Aditya menjalani kehidupannya saat ini, membesarkan anaknya tanpa sosok istri di sisinya. Ia juga tidak menyangka bahwa kehidupan Aditya sangat kelam dan semua itu diketahui dari suaminya sendiri.
"Apa kamu membenciku sekarang, Anindya? Aku tidak sebaik yang kamu pikirkan."
Anindya menatap mata sayu suaminya itu. Ia tampak benar-benar menyesali perbuatannya. Bahkan Dimas sedikit terguncang dengan kenyataan sebenarnya.
"Aku tidak akan pernah membencimu, Dimas. Kamu adalah ayah dari anakku dan selama ini kamu baik padaku. Apa alasanku membencimu? Masa lalu memang milikmu tapi masa depan tetap milik kita. Anak-anak membutuhkanmu dan aku, Dim. Masa lalu biarlah jadi pelajaran kita untuk ke depannya." Anindya menggenggam telapak tangan sang suami, mencoba meyakinkan bahwa pria itu tidak sendiri.
"Aku beruntung memilikimu, Anindya. Maaf aku menyakiti hatimu ... aku benar-benar minta maaf."
"Sudahlah, Dim. Lupakan, ya, kamu bisa memulai semuanya lagi dari awal. Ingat, kamu masih punya alu, jangan ngerasa sendiri, jangan ngerasa takut, cetita kalau kamu mau cerita."
Anindya lantas memeluk Dimas yang tampak kacau itu. Ia memahami penuh perasaan suaminya. Dimas tidak berniat sekalipun membunuh seseorang, tetapi kenyataan nya berbeda. Semuanya telah berjalan diluar ekspetasi yang direncanakan manusia. Dimas memetik pelajarannya untuk tidak menggunakan ego yang terlalu tinggi dalam mencapai suatu tujuan atau semuanya akan hancur berantakan.