Pagi yang cerah menyapa kota dengan kepadatan luar biasa setiap detiknya. Elia mulai terbangun dari tidur nyenyaknya sejak tinggal dirumah Aditya. Ia sudah tidak perlu lagi bekerja susah payah hanya untuk sesuap nasi semata. Ia hanya makan, tidur, nonton tv dan melakukan apa yang ia sukai di rumah Aditya. Aditya juga memperlakukannya dengan baik bahkan menawarkan kartu kredit unlimited untuknya dan ibu Martha agar jika membutuhkan sesuatu tidak perlu menemuinya terlebih dahulu.
"Enak ya ternyata jadi orang kaya," ungkap Elia.
Ia pun beranjak dari kamarnya menuju ke arah dapur. Langkahnya berhenti di tengah-tengah rumah dan memerhatikan seklilingnya terlebuh dahulu, barulah Elia beranjak ke arah dpaur begitu melihat sang pembantu sibuk di sana.
"Selamat pagi," sapa Elia dengan ramahnya.
"Eh, selamat pagi juga Non Elia..."
"Bi, aku bantu ya," ujae Elia lagi yang kini berdiri tepar di sebelah Dini.
"Jangan, Non. Nanti Tuan marah, kalau tau Non elia bantu saya.
Elia tertawa kecil. "Ah biar. Aku kan tinggal di rumah ini juga, jadi udah pantes lah ikut bantuin dikit-dikit."
Elia pun langsung memegang sebuah pisau untuk memotong sayuran yang pembantu siapkan untuk makan siang kali ini. Terjadi perbincangan akrab di antara mereka berdua, hingga akhirnya Elia memberajikan diri bertanya tentang Aditya.
"Mas Aditya ke mana, Bi? Udah berangkat kerja ya?"
"Oh, Tuan Adit. Iya, Non, sudah berangkat kerja sedari tadi pagi," ujar sang pembantu yang kini mulai memasukkan beberapa sayur mayur ke dalam panci.
"Emm, gitu. Oh, iya, Bi. Aku boleh tanya sesuatu?"
"Boleh, Non, silakan."
"Bibi di sini udah berapa lama? Kenal kakak saya banget gak, Mbak Anggi?"
"Oh Nyonya. Kenal sekali, Non. Sebelum nyonya jadi istri Tuan juga saya sudah di sini. Kenapa ya, Non?"
"Emm, gitu. Mbak Anggi itu di sini bagaimana sih, Bi? Ya aku dan Mbak Anggi udah lama kepisah jadi enggak tau Mbak Anggi gimana deh. Tau-tau Mbak Anggi udah nggak ada."
Elia mencoba mencari informasi tentang sisi kakaknya itu untuk menarik perhatian Aditya. Ia akan menjadi seperti Anggi yang di idamkan oleh kakak iparnya itu. Sedikit bumbu kebohongan dan kelicikan telah bersarang di hati Elia. Ia ingin semuanya tentang Adit, apa pun tentangnya. Entah sejak kapan ia mulai terobsesi dengan kakak iparnya itu padahal baru sejenak ia bertemu dengan Aditya.
"Hemm, jadi sedih kalau Non tanya tentang Nyonya. Nyonya itu baik banget sama semua orang, murah senyum, perhatian sama Tuan sama den Aga. Kalau bicarain Nyonya, saya jadi sedih, Non. Nyonya baik sama saya sama mendiang Bi suin juga."
"Siapa itu Bi Suin?"
"Itu pembantu paling setianya Tuan, Non. Dari Tuan kecil udah dijagain sama Bi Suin. Tapi takdir berkata lain, Bi Suin harus pergi ninggalin kita semua karena peristiwa itu," ujar Dini yang benar-benar sedih jika masalah itu diungkit lagi.
Sontak Elia bertanya-tanya perihal apakah yang sedang dibicarakan pembantu Aditya ini. Namun dibalik itu semua, Dini mulai tersadar ia tak seharusnya bercerita tentang kejadian 15 tahun lalu pada siapapun karena teringat ucapan Aditya.
"Maksud Bibi, kejadian apa?"
Sontak saja Dini tersentak dengan pernyataanya sendiri. Ia langsung kembali mengalihkan pandangan ke masakannya.
"Eh enggak, Non. BS suin waktu itu jatuh dan nggak bisa diselamatin karena mungkin faktor usia juga sih,"ucap Dini mengalihkan pembicaraan.
Elia hanya menganggukan kepalanya dan mempercayai ucapan pembantunya ini. tanpa repot-repot menanyakan lagi.
"Non Elia bener-bener mirip sama nyonya, makanya awal saya ketemu saya pikir nyonya."
Elia tertawa kecil mendapati itu, masih saja semua orang menganggap dirinya mirip dengan kakaknya. Ia ingat betul bagaimana teman Aditya benar-benar tidak percaya bahwa dirinya adalah orang yang berbeda dari mendiang istri kakak iparnya itu.
"Enggak kenapa-kenapa, Bi. Mas Adit juga gitu kok awalnya. Oh iya, Mas Adit pulang jam berapa biasanya ya?"
"Enggak tentu, Non. Kadang bisa siang udah pulang, sore bahkan bisa malem banget."
"Oh nggak tentu, ya. Kerjaannya pasti banyak ya, Bi?"
"Ya sepertinya begitu, Non. Tuan Aditya itu tipe pekerja keras, Non. Apalagi sejak Nyonya meninggal, jadi gila kerja lagi. Kalau ada nyonya enggak begitu. Kasian sebenarnya, kesehatannya jadi nggak kekontrol."
Elia hanya menganggukan kepalanya saja. Ia mencerna setiap informasi tentang kakaknya dan Aditya dari pembantunya ini.
"Emm. Bi, aku ke kamar dulu deh, ya, enggak apa kan aku nggak bantuin sampai selesai?"
"Iya, enggak kenapa-kenapa, Non ... makasih bantuinnya ya, Non," ucap Dini ramah.
Elia pun segera melesat ke arah kamarnya. Ia membelokkan kakinya ke lain arah, ke kamar ibunya. Ia lihat ibunya tengah merapikan baju di sana.
"Ibu, Ibu sedang apa?"
"Oh, Elia. Ibu sedang membereskan baju Ibu. Kamu sudah bangun?"
"Hemm, iya, Bu. Ibu suka nggak tinggal di sini?" tanya Elia yang kini duduk di samping sang ibu.
Ibu Martha menghentikan kegiatannya dan melirik ke sekelilingnya. Masih saja perempuan paruh bayanitu merasa tidak enak hati dan tidak pantas berada di rumah anak mantunya itu.
"Suka, tapi Ibu tidak enak dengan kakak iparmu, Elia."
"Kenapa, Bu? Mas Adit 'kan juga anak Ibu. Mbak Anggi kan istrinya Mas Adit. Nggam masalah, dong."
"Iya, tapi kakak iparmu itu terlalu baik sama kita. Ibu jadi sungkan sama kakak iparmu," lirih Bu Martha.
"Kalo Elia jadi pengganti Mbak Anggi, Ibu nggak bakal sungkan lagi sama Mas Adit."
Ibu Martha sedikit terhenyak mendengarkan pernyataan Elia. Ia mulai mencerna ucapan anak perempuannya itu barusan.
"Maksud Elia apa?"
Elia terdiam sejenak, tertunduk selagi menyiapkan kata-kata untuk mengungkapkan niatnya pada sang ibu.
"Elia ... suka sama Mas Adit, Bu."
"Hah? Bagaimana bisa? Aditya itu kakak iparmu, Nak, suami kakakmu."
Elia mendecak kesal, karena menurutnya Aditya sudah tidak memiliki ikatan apa pun dengan kakaknya. Mendiang istrinya saja sudah meninggal lama, otomatis Aditya sudah resmi melajang lagi.
"Tapi kan Mbak Anggi udah meninggal lama. Emangnya nggak boleh? Boleh dong, Bu, lagipula Mas Adit sedang nggak menjalin hubungan dengan siapa pun, kok."
"Tapi, Nak. Kita sudah dibantu tempat tinggal harusnya ini sudah lebih dari cukup. Kamu jangan meminta yang lebih dari ini."
"Ah, Ibu. Pokoknya aku mau deketin Mas Adit. Ibu jangan ngelarang aku terus!"
"Nak, tapi—"
"Udah deh, Bu. Pokoknya aku tetep mau deketin Mas Adit. Mbak Anggi udah meninggal dan nggak mungkin balik lagi ... jadi nggak ada larangan bukan?"
Elia segera bangkit dari ranjang ibunya dan pergi keluar kamar itu. Ibu Martha tertegun, ia bukan melarang Elia, hanya saja ia tidak enak pada Aditya yang sudah banyak membantu mereka. Namun, ternyata Elia malah ingin meminta lebih pada Aditya. Meskipun tidak ada larangan jika Aditya bisa bersama Elia, tetapi Ibu Martha tetap tidak enak hati menyetujuinya.
Tanpa mereka berdua sadari, di waktu yang bersamaan Aga telah mendengar semua obrolan antara Elia dan Ibunya. Ia yang hendak berangkat ke kampus tak sengaja mendengar percakapan yang menyebutkan nama papanya itu di sebuah kamar tamu. Ia pun telah mendengar semuanya. Semua rencana Elia yang akan menggantikan posisi ibunya.
Enggak ada yang boleh ganti posisi Mama. Gue nggak akan membiarkan semua terjadi! batin Aga seraya mengepalkan tangannya.
Ia lantas pergi dari depan kamar itu sebelum Elia keluar. Ia segera menuju ke arah luar dengan sedikit berlari agar apa yang ia lakukan tak diketahui oleh Elia. Ibu Martha pun hanya melihat punggung anaknya yang pergi dari kamarnya dan menghela napasnya.
"Elia, dari dulu kamu memang keras kepala," keluh Ibu Martha yang kembali membereskan baju-bajunya.
Di sisi lain , Elia tampak sedikit kesal dengan ibunya. Ia tidak salah menyukai Aditya, tidak ada larangan apa pun. Sekali lagi, ia tekankan bahwa kakaknya sudah meninggal lama otomatis Aditya bukan lagi suami kakaknya meskipun sampai saat ini Aditya tidak memiliki pasangan. Tekad nya sudah membulat, ia harus bisa mendapatkan hati Aditya.
"Bagaimana kalau aku ke kantor Mas Adit saja," ucap Elia.
Ia tersenyum tipis dan itu terlihat dari sudut bibirnya saat menemukan ide yang menurutnya bagus. Ia akan intens untuk mendekati kakak iparnya itu mulai saat ini. Ia pun segera berbenah diri, mandi dan berganti baju.
Selang beberapa menit ia sudah tampak rapi. Ia mengenakan celana jeans, kaos berwarna putih serta jaket jeans dengan rambut yang terikat. Tidak lupa sepatu kets kesukaannya. Ia tampak berjalan keluar rumah dan memesan taksi online untuk menuju ke Artha Group.
"Ibuu, aku keluar sebentar!" teriak Elia.
****
Aga tengah melajukan mobilnya ke arah kampus. Ia masih saja teringat ucapan Elia tadi. Lelaki remaja itu tidak ingin posisi ibunya digantikan oleh siapa pun dalam rumah itu sekalipun perempuan itu adalah adik kandung ibunya. Jika dibilang egois, Aga memang egois, ia tak ingin papanya menikah lagi.
Ia lantas membelokan mobilnya ke sebuah universitas ternama di kota itu. Ia parkirkan mobilnya di tempat parkir mahasiswa. Kemudian segera turun dan sesekali merapikan rambutnya di kaca mobil sebelum pergi dari sana.
Ia pun melangkahkan kaki ke arah gedung kampus itu. Sebelum memasuki area gedung kuliah ia berniat menyalakan putung rokoknya, tetapi belum sempat niatnya terwujud, tubuhnya tertabrak oleh seseorang sampai terjatuh ke depan.
"Woy! Punya mata ngga sih lo! Loh— lo!"
"Lo lagi! Astaga .... hidup gue kenapa ketemunya lo lagi lo lagi. Kena kutukan kayaknya hidup gue!"
"Harusnya gue yang bilang gitu!! Sial mulu ketemu sama lo!!"
Aga segera berdiri dan meninggalkan cewek yang ternyata Liona sendiri di sana. Entah mengapa ia membalikkan badannya dan melihat Liona tampak kesusahan membawa dokumen-dokumennya. Aga mendecak kala rasa tidak tega melihat perempuan kesulitan menyeruak. Lelaki itu lantas mengenyampingkan egonya dan berbalik arah ke Liona. Ia akhirnya membantu Liona membereskan dokumennya. Sedangkan, Liona pun tampak tertegun melihatnya.
Cowok ini baik juga ternyata, batin Liona.
Tanpa sadar ia hanya melihat Aga yang tetap membereskan dokumen-dokumennya.
"Ngapain liat gue? Iya-iya gue ganteng, keren, nggak usah diliatin sampe begitunya, nanti li naksir kan repot," ujar Aga dengan entengnya.
Liona yang sontak tersadar lantas mencibir Aga kembali.
"Idihh, percaya diri amat lo! Huhh. mana?! Tau gitu nggak perlu dibantuin!!"
Liona lantas mengambil paksa dokumen di tangan Aga dan pergi meninggalkan Aga. Ia hanya mengernyitkan alisnya heran terhadap cewek yang berlalu darinya.
"Dasar aneh!" gumam Aga.
Ia pun segera beranjak ke arah gedung itu dan menghiraukan wanita tadi.
"Morning, Alex ...," sapa seorang cewek.
Sontak Aga langsung terkejut dibuatnya. Lagi- lagi cewek yang sama sekali tak dikehendakinya muncul di depannya. Cewek yang bernama Claudia memang dari awal OSPEK hingga saat ini terus mencoba mencuri perhatiannya. Aga pun kembali memasang earphone di telinga dan berjalan lurus ke arah kelas.
"Alex, ish aku dicuekin masa! Alexxx ... wait me!" teriaknya
Aga tetap tak mengidahkan sama sekali, tingkah laku cewek di sebelahnya ini sudah seperti seorang jalang saja. Ia pun juga tak begitu merespon Claudia, ia tak suka cewek yang agresif. Hingga, tiba-tiba Claudia memeluk lengan Aga dari samping.
"Apaan sih, lo! Lepas nggak! Gue yang malu kalo lo begini!"
"Biarin aja, nanti jalan yuk habis kuliahnya Pak Andi. ya ... ya ... ya."
"Enggak ! Gue sibuk!"
"Yaahh Alex, please ...." Claudya kembali memohon seolah hanya Aga cowok satu-satunya di tempat itu.
"Talkinh with my hand," ucap Aga seraya melayangkan tangan kanannya pada Claudya dan pergi meninggalkan Claudya.
Aga pun berlalu dari Claudya yang tampak kesal dibuatnya. Pasalnya ia sama sekali tak pernah bisa menaklukan hati Aga, apa pun yang ia lakukan untuk Aga terasa percuma saja.
Aga pun duduk sembarangan di dalam kelasnya sampai dosen pada hari itu datang.
"Morning, everybody," sapa sang dosen.
"Morning, Sir ...."
"Oke, i just introduce you about your new friend in this class. Oke, Liona, come on," ucap sang dosen sembari mempersilakan Liona masuk.
Liona tampak percaya diri masuk ke dalam kelas itu. Aga yang terpaku melihatnya hanya bisa terdiam di bangkunya.
"Hallo guys. My name Liona Angelita Anggada, you can call me just with Liona. Nice to meet you all. Thank you."
Oh namanya Liona, batin Aga.
Tiba-tiba pandangan mereka bertemu. Cukup lama tatapan itu berserobok, tetapi tampaknya Liona bukan orang yang menyebalkan seperti yang dipikirkan Aga dan Aga bukan orang yang jahat menurut Liona.