Aga melajukan mobil membelah kepadatan jalanan kota Jakarta, menuju ke sebuah pemakaman setelah mengantar sang kekasih. Percakapan singkat dengan Meylira mengingatkan lelaki itu pada ibunya. Rasa rindu selalu mengusik benak jika hal-hal tentang orang tua tidak sengaja menjadi pembahasan.
Beberapa menit berlalu, mobil itu terpakir di halaman luar pemakaman. Lelaki itu kemudian berjalan menuju sudut halaman luas pemakaman, di mana singgasana terakhir sang ibu berada di sana. Sesampainya di depan makam itu, ia berlutut sambil mengusap lembut nisan putih tercetak nama malaikat tanpa sayap bagi Aga. Meskipun, lelaki itu tidak sempat merasakan kasih sayang penuh dari sosok ber-tittle ibu.
"Ma, Aga kangen sama mama. Kenapa mama pergi ninggalin Aga secepat itu, sih? Aga rindu kasih sayang seorang ibu. Aunty Gladis enggak bisa gantiin posisi Mama, enggak akan pernah bisa," ungkap Aga.
Aga tampak sedih, karena sejak kecil yang terlihat oleh mata hanya sosok Aditya semata, tidak ada Anggi di sisi mereka. Meskipun sang ayah memberikan segala hal kasih sayang yang cukup diikuti materi yang sangat berlimpah, tetapi Aga rasa masih kurang lengkap. Timbul rasa iri di dalam hati, saat sang ayah seringkali mengajak untuk berkumpul dengan keluarga Nugraha. Ia selalu mengulum senyum saat melihat keluarga utuh dengan berbagai suka cita yang tercuat.
"Ma, kalau mama waktu itu meninggal karena sakit ... Kenapa papa enggak berusaha sembuhin mama? Apa separah itu penyakit mama? Atau papa yang emang enggak berusaha?" lanjut Aga cenderung mempertanyakan hal yang selama ini tertahan di benaknya.
Ia mengusap pelan nisan Anggi dan mencurahkan segala hal tentang perasaannya pada Anggi. Walau ia tahu tidak mungkin mendapatkan jawaban apa pun.
"Den, Aga ...."
Sontak Aga terkejut saat namanya dipanggil oleh seseorang. Ia lantas menoleh ke sumber suara. Ia lihat sosok pria berusia sekitar 60 tahun tepat di depan makam Anggi. Ia mengenyitkan alisnya tanda tak mengenali pria itu.
"Bapak ini siapa? Kenal saya? "
Kini, giliran sang pria yang terkejut. Tak menyangka bahwa ia bertemu dengan keturunan Kavindra di tempat itu. Sudah lama bahkan lima belas tahun berlalu, ia tidak pernah mendengar kabar tentang kekaurga Aditya. Ia hanya berharap keluarga mantan majikannya itu selalu bahagia dan dilindungi.
"Bener ini Aden Aga? Ya Tuhan, kamu sudah besar, Nak. Aden sangat mirip dengan Tuan Aditya, matamu mirip dengan Nyonya Anggi. Bagaimana saya tidak mengenalinya, apa kabar, Den?"
Pria itu pun berlutut di samping Aga, memandangi makam ibunya dengan raut wajah sedih. Rasa bersalah masih meliputi walau bukan salah pria itu sepenuhnya. Sedangkan Aga, menatap pria itu lamat-lamat sedari tadi, penasaran akan pernyataan sebelumnya.
"Bapak siapa? Kenal papa sama mama saya?" tanya Aga menelisik lebih jauh.
"Saya sudah mengabdi pada Tuan Aditya sejak ia masih kecil. Saya sudah bekerja di rumah kakek aden dan kemudian di rumah papa Aden Aga. Saya Diman, Den. Sopir Tuan Aditya dulu," ujarnya.
Aga memutar otaknya mencari ingatan tentang pria di sampingnya ini. Beberapa kali ia mencoba mengingatnya, tetapi sama sekali tidak didapatkan memori tentang pria di sampingnya ini.
Pak Diman memang berhenti mengabdi pada Aditya sejak meninggalnya Anggi, karena rasa bersalahnya pada Anggi dan Aditya yang tak akan bisa ia tebus sekalipun dengan nyawa. Ia mengundurkan diri setelah satu minggu kepergian Anggi. Ia merasa telah gagal menjalankan pesan Aditya waktu itu, menjaga dan melindungi Anggi. Mengingat memori itu membuat Dimas menunduk dalam-dalam.
Pria tua itu mengeratkan tangan pada nisan putih milik Anggi. Bahunya bergetar karena tetesan air mata mulai mengalir mengingat semuanya dan tatapan itu nanar.
"Nyonya, maafkan saya. Saya menyesal tidak dapat berbuat apa pun saat itu. Saya harap nyonya memaafkan saya yang lalai. Saya minta maaf, Nyonya," ucap Diman menyesal.
Aga semkain mengerutkan dahi mencoba menerka segala ucapan Diman. Ia mencocokan alasan sang ayah tentang kematian Anggi yang disebabkan oleh penyakit yang diderita. Namun, justru yang terdengar dari penuturan pria paruh baya itu seakan-akan telah terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan sebab kematian ibunya.
"Pak Diman ... boleh saya bertanya?"
Dimas menyeka air mata dan kembali menatap Aga. "Ada apa, Den?"
"Sebenarnya mama saya meninggal karena apa? Kata papa ... mama sakit, tapi Pak Diman kenapa berbicara seperti itu pada mendiang mama saya?"
DEG.
Sontak saja Dimas terdiam. Ia tidak tahu bahwa Aditya sama sekali tidak memberitahu perihal kematian mendiang istrinya. Pria itu pikir, sang anak sudah mengerti di usianya yang sudah menginjak dewasa. Namun, ternyata Aga tidak tahu menahu.
"Maaf, Den, saya— maaf saya harus pergi dulu, Den."
Diman spontan saja bangkit dan tergesa-gesa untuk pergi dari Aga. Namun, Aga yang selama ini memang mencari kebenaran itu lantas berdiri dan mengejar ke mana Diman pergi. Ia berlari cukup kencang dan lantas menghentikan langkah Diman.
"Tunggu! Tunggu, Pak Diman. Saya mohon, beri saya penjelasan lebih.. Saya mohon, Pak, saya janji tidak akan memberitahu papa. Saya sudah lama mencari tau tentang kenapa ibu saya meninggal. Papa tidak pernah bicara apa pun dan saya merasa mama meniinggal bukan karena sakit. Bener 'kan, Pak?"
Diman yang dirundung rasa bimbang, sama sekali tak berkutik di depan Aga. Ia bingung akan menceritakan yang sebenarnya atau tidak, asalnya Aditya tidak menyukai seorang penghianat. Membicarakan tentang perihal masa lalu yanh ditutupi, itu artinya ada benteng rahasia yang harusnya dijaga dengan baik.
"Maaf, Den. Saya bener-bener enggak tau banyak. Saya permisi dulu. Maaf," ucap Diman seolah menyesal menyembunyikan semua perihal itu pada Aga.
"Pak Diman, saya mohon, Pak! " teriak Aga ketika Dimas tak lagi menanggapi permintaanya.
Diman terus berjalan meninggalkan Aga yang memanggil namanya dan terus memohon. Sampai sebuah kendaraan umum yang membawa Diman pergi barulah Aga berhenti mengejarnya. Ia mengepalkan tangannya, kecewa terhadap semua orang yang seakan merahasiakan hal tersebut padanya.
****
Dua tahun yang lalu ~
"Pa, Ada map warna merah enggak? Aga lupa beli," ujar lelaki berusia 17 tahun itu.
"Di ruang kerja papa kayaknya ada, coba lihat," balas Aditya sambil tetap fokus pada laptopnya.
Aga pun buru-buru ke ruang kerja Aditya. Ia membuka pintu itu dan mulai mencari apa yang ia perlukan. Setelah ketemu map berwarna merah yang persis di atas meja itu, ia pun berniat untuk segera pergi. Namun, mata cokelat gelap itu tercekat saat laci sang ayah terbuka dan di sana terdapat foto sang ibu. Aga lantas mengambil foto itu berikut dokumen dibawahnya.
"Apa ini? Berkas pencabutan laporan kepolisian? Siapa yang dilaporkan? Tunggu, ini 'kan mama, ini apa?" Aga mulai bertanya - tanya sambil memegang foto Anggi.
Aga pun berniat membuka dokumen itu untuk memastikannya, tetapi tiba-tiba suara langkah Aditya yang menuju ke arah ruangan tersebut membatalkan niat lelaki remaja itu. Ia pun menaruh kembali dokumen ke dalam laci dan segera menutupnya tepat pintu ruangan itu terbuka.
"Aga, kamu sudah menemukan apa yang kamu butuhkan? Papa lupa bawa file ini," ucap Aditya sambil menyabet berkas yang ketinggalan di meja kerjanya.
"Ah, iya, Pa. Ini ... ini udah ketemu, kok," ucap Aga yang langsung menyabet map berwarna merah yang ia perlukan.
Aditya mengangguk dan tersenyum. "Baguslah. Oh iya, kamu bukannya buru-buru? Nanti terlambat tes masuk universitasnya, loh."
Aga menepuk jidat, ia hampir saja lupa jika hari ini ada tes masuk universitas. Lelaki itu segera berlari menuju keluar ruangan kerja Aditya. Sebaliknya, Aditya menatap anaknya dengan khawatir, pasalnya ia belum memindahkan dokumen tentang laporannya 15 tahun lalu dari laci. Di mana siapa pun bisa mengaksesnya, tak terkecuali Aga. Ia lirik dokumen di lacinya yang masih rapi di dalam sana. Ia tak mau anaknya mengetahui apapun perihal kematian ibunya dan masalalu dirinya
****
Aga mencoba mengatur napasnya kembali, entah harus dengan siapa dia bertanya lagi. Kevin—sahabat papanya— jelas tidak mungkin memberitahu jika mantan sopir pribadi saja enggan berbicara. Ia pun kembali ke arah makam Anggi, mendengus kesal atas ketidak adilan bahwa dirinya tak tahu menahu hal yang sebenarnya terjadi.
"Ma, benar 'kan dugaan Aga. Mama ninggalin Aga bukan karena sakit 'kan, Ma. Kenapa sih enggak ada orang yang mau kasih tau Aga, sebenernya mama kenapa?"
Rasa penasaran itu semakin menguat seiring penggalan-penggalan peristiwa yang terjadi. Aga tidak ingin lagi ada kebohongan, mau tidak mau, ia akan mencari tahu lagi pada sang ayah.
"Ma, Aga pergi dulu ya ... nanti Aga ke sini lagi," ucap Aga.
Setengah berlari ia menapaki jalanan pemakaman hingga berada di sisi mobilnya. Rasa penasaran lelaki itu kembali menyeruak seiring ingatan dua tahun lalu mulai menginterupsi pikiran.
"Pasti ada sangkut pautnya sama berkas di laci papa," gumamnya.
Mobil itu melaju membelah kota Jakarta dengan cepat. Pemakaman yang tak jauh dari kediamannya membuat Aga membelokkan mobil ke rumah terlebih dahulu. Tepat di depan rumah, ia klakson gerbang yang otomatis terbuka dan segera melesatkan kendaraan itu di halaman tanpa mematikan mesin. Aga segera berlari menuju ke arah ruang kerja sang ayah.
Lelaki remaja itu beranjak langsung ke laci di bawah meja kerja Aditya, membukanya dengan tidak sabar dan mencari dokumen yang sempat ia lihat dua tahun lalu. Namun sayang, nyatanya berkas itu tidak berada di tempatnya. Aga semakin yakin bahwa semua ada korelasi. Mata cokelatnya menyusuri setiap rak buku milik sang ayah, membongkar setiap arsip yang sudah tertata dan membuka setiap laci-laci, tetapi berkas itu tak kunjung ditemukan.
"Sial!" umpat Aga yang kini menyandarkan diri di samping meja kerja sang ayah.
Harusnya, ia tidak mempermasalahkan ini lagi. Betul ucaoan snag ayah bahwa semua tidak dibahas lagi. Namun, rasa ingin tahu Aga tentang sang ibu menjadi pemicu. Permasalahan apa yang membuat semua orang bungkam padanya? Apakah ia tidak berhak mengetahuinya?
Tidak ada jalan lain selain menemui sang ayah lagi, ia kembali keluar dari ruang kerja itu dan menuju ke mobilnya. Ia segera melajukan lagi mobil itu ke kantor Aditya. Hingga, tiga puluh menit berlalu, Aga telah sampai di depan Artha Group. Ia parkirkan sedan itu tepat di depan pintu lobi utama perusahaan. Dengan hati yang gundah ia menuju ke ruang Aditya dengan terburu - buru. Ia segera menakan angka sembilan pada tombol lift dan setelah itu segera menuju ke ruangan Aditya.
"Kak, papa ada?"
"Oh, Mas Aga. Ada. Ada di ruangannya."
Aga menganggukan kepalanya, tanpa basa-basi lagi, ia langsung bertandang ke ruangan Aditya.
"Aga," gumam Aditya yang mendapati sang anak tepat di ambang pintu ruangannya.
"Loh, Aga di sini. Ngapain?" tanya Kevin.
Aga berjalan ke arah Aditya dan Kevin yang masih bingung melihat kedatangan lelaki remaja itu.
"Pa, jawab pertanyaan Aga kalau papa anggap Aga anak."
Aditya mengerutkan dahi, tak mengerti maksut anak lelakinya itu. Ia lantas menatap Kevin yang sama halnya dengan dirinya tak mengerti maksut Aga.
"Jawab apa, Nak?"
"Mama meninggal kenapa?!"
DEG.
Pertanyaan yang sama terulang lagi kali ini. Aditya termangu menatap sang anak yang terlihat menggebu. Bibir itu kembali kelu, otaknya berputar memikirkan jawaban sebagai alasan lagi.
"Bu—bukannya papa sudah bilang berkali- kali kalau mamamu sakit," ucap Aditya, berusaha setrnang mungkin menjawab segala pertanyaan Aga.
"Bohong! Sampai kapan Papa membohongi Aga?"
Mendengar penuturan sang anak memhuat Aditya sontak berdiri dari kursi kebesarannya. Ia tak menyangka Aga akan menanyakan hal ini dan mampu membuat Aditya kembali bungkam dan tentu merasa bersalah.
"Oke. Kalau papa memang enggak mau berbicara apapun terhadap Aga ... Aga akan cari sendiri semuanya dan kalau Aga tau apa yang sebenarnya terjadi, papa enggak boleh mencegah apa pun yang akan Aga lakukan."
Aga lantas pergi dari kantor Aditya tanpa berpamitan lagi. Dengan perasaan kesal bercampur amarah ia menggebrak pintu ruangan Aditya. Aditya sontak berlari untuk mengejar Aga, tetapi langkahnya dicegah oleh Kevin sesegera mungkin.
"Biarkan dia tenang dulu, Dit."
"Tapi anak gue—"
"Dit, udah waktunya Aga tau semua tentang ibunya. Dia udah cukup dewasa untuk menyerap informasi, lo enggak—"
"Enggak! Sekali enggak tetap enggak! Lo tau rasanya kehilangan dan dendam yang menerus 'kan, Vin? Lo tau rasanya itu dan gue ... gue gak mau anak gue juga begitu. Anggi pun enggak akan ngijinin Aga terlibat dalam masal alu gue dan Anggi," ucap Aditya yang kembali terlihat frustasi mendapati sikap pemberontakan Aga.
Mengingat semua membuat Aditya kembali dirundung rasa kehancuran mendalam. Kesedihan itu cukup sulit untuk dihapus begitu saja. Ia mengepal tangan dengan kuat, menahan segala bentuk emosi yang mulai menyeruak batin.
"Dit, tapi—"
"Enggak! Gue enggak akan bilang apa pun tentang Anggi!" tegas Aditya.
Kevin mengalah, ia menghela napas perlahan. Masih saja Aditya ingin merahasiakan semua hal yang seharusnya bisa dibicarakan dengan baik-baik tanpa menimbukan dampak negatif. Entah apa yang ada dipikiran Aditya, Kevin hanya mendukung sang sahabat kali ini.