Di sisi lain, Aga melajukan mobilnya dengan kencang. Rasa kecewa terhadap sang ayah sangat kuat. Ia tak tahu alasan apa yang membuat Aditya menyembunyikan perihal kematian sang ibu. Sejak lama bahkan papanya sama sekali tak jelas memberitahukan perihal penyebab sang ibu tiada.
"Sial!" umpat Aga.
Ia menggebrak setir mobil sebagai pengungkapan rasa kecewa. Kemudian, ia belokan mobil itu ke sasana latihan bela dirinya, setidaknya ada tempat yang ia tuju saat pikiran mulai kalut. Beberapa menit kemudian, ia pun sampai di sasana tersebut. Ia parkirkan mobilnya dan segera melangkah masuk ke dalam sana.
"Loh, Ga, hari ini bukannya enggak ada jadwal latihan?" tanya Coach Romi—pelatih Aga yang tepat bertemu lelaki remaja itu di ambang pintu sasana.
"Enggak kenapa-kenapa, Coach. Gue pengen ke sini aja. Coach, cariin gue lawan, gue pengen fight," ucap Aga sembari melihat-lihat para fighter yang tengah berlatih di dalam sasana.
Coach Romi hanya tertawa kecil, ia jelas tahu Aga tengah dirundung rasa kesal dan ingin melampiaskan rasa kesalnya. "Kenapa lo? Lagi kesel atau gimana?"
"Gue pengen sparing doang, Coach," elak Aga.
Pelatih Aga pun menuruti saja kemauan anak didiknya itu. Baginya Aga adalah anak emas yang ia banggakan, selalu memenangkan turnamen di setiap pertandingan membuat sasana miliknya menjadi terkenal dan banyak yang ingin berlatih di sana. Terakhir adalah event MMA yang dilaksanakan dan Aga memenangkan sebagai juara tahun itu di kategori ringan, membuat sasana menjadi lebih dipercaya.
Mata sang pelatih tengan menelusuri luasnya sasana itu, hingga pandangannya menangkap sosok laki-laki yang tengah berlatih. Pelatih itu pun memanggil, seorang anak didik baru di tempatnya.
"Ga, ini Evan, anak baru di sini. Evan, ini Aga juara MMA tahun ini," jelas Coach Romi seraya mengenalkan keduanya.
Evan menganggukan kepala dan lantas mengulurkan tangan pada Aga. Aga menyambut tangan itu dengan mantap dan tersenyum tipis. Ada isyarat tak asing ketika Aga menatap sosok di depannya.
"Lo lawan dia. Gue pengen liat kemampuan lo, Van."
"Siap, Coach."
Evan pun bersiap untuk menghadapi Aga, begitupun Aga. Lelaki remaja berusia 19 tahun itu terlihat semangat untuk melakukan pertarungan hari ini meskipun hanya sebatas latihan. Hingga, selang beberapa menit, Aga pun telah siap, ia berjalan ke atas ring di mana Evanders sudah ada di sana.
"Oke, done. Main dengan sportif," ucap sang pelatih.
Pandangan Evan dan Aga pun bertemu. Entah rasanya seolah Aga melihat Evan sudah seperti lama mengenal dan melihat pria itu membuatnya mengingat seseorang. Seseorang yang membuat hatinya tak menentu hari ini.
"Ready ... fight!" ucap pelatih itu.
Aga yang tak fokus karena teringat papanya pun terkejut dan hampir tak siap mendapatkan serangan Evan, tetapi ia mampu menghindari pukulan Evan secepat mungkin. Ia pun mencoba mencari celah kelemahan permainan Evan, ia mencoba teknik tendangannya dan berhasil menjatuhkan Evan dalam sekali aksi. Ia pun mengulurkan tangannya terhadap Evan, dan Evan pun menyambut tangan itu. Mereka berdua pun akhirnya melakukan sparing singkat dan Aga mengakui betapa fasihnya Evan dalam menguasai teknik bela diri.
"Lo udah lama di sini?" tanya Evan sambil meminum air mineralnya.
"Ya kurang lebih dua tahun lah. Dulu cuman di sekolah-sekolah, pas kuliah baru masuk sasana resmi begini. Lo baru ikut di sini atau gimana?"
"Enggak. Gue pengen latihan di sasana sini, katanya sasana ini bagus. Sebelumnya gue udah pernah di tempat lain."
Aga menganggukkan kepalanya dan semakin hakin bahwa Evan pun memiliki kemampuan lebih pada teknik bela dirinya. "Pantesan lo jago tadi. Tinggal di mana?"
"Ah, gue masih pemula. Gue kos di sini. Nyokap bokap gue ada di Bogor." Evanders menjelaskan sembari sesekali menenggak air mineral. Ia juga merasa melakukab komunikasi dengan Aga, rasanya tidak secanggung dengan yang lainnya.
Aga menganggukan kepalanya lagi dan beberapa detik penuh keheningan. Meskipun terlihat seperti pernah mengenal lama, tetapi tetap saja seseorang di sisinya orang lain yang baru saja ia kenal. Butuh waktu bagi Aga untuk bisa menerima kehadiran teman baru.
"Lo tinggal di mana?" tanya Evanders membuka obrolan lagi.
"Di Jakarta Pusat, perumahan Pondok Indah ... kalau lo mau mampir silakan aja," tawar Aga.
"Gampang lah. Tinggal sama nyokap bokap juga?"
Aga menggelengkan kepalanya kali ini dan rasa kesal tadi sedikit mempengaruhinya lagi. "Enggak, sama bokap doang. Nyokap gue udah meninggal 15 tahun lalu."
Evanders sedikit terkejut dengan penuturan lelaki remaja di sampingnya itu. Ia menatap Aga lagi, tidak enak telah menanyakan sesuatu yang mungkin mengganjal.
"Oh, sorry. Gue enggak tau." Evanders merasa benar-benar tidak enak pada Aga.
"Santai, udah lama juga, kok."
Aga pun tersenyum tipis menanggapi pernyataan Evan. Entah kenapa baru saja mengenal pria itu, ia sudah merasa dekat seperti mengenal sosok saudara dalam diri Evan. Mungkin, mereka akan cocok untuk waktu ke depan.
•••••
Sore yang cerah, tidak membuat hati Aditya sumrigah atau bersemangat., Pria yang tengah dirundung rasa cemas terhadap sang anak, mulai melajukan mobil tanpa tujuan. Memutari seluruh tempat-tempat yang mungkin didatangi Aga. Ia harus mencari Aga dan setidaknya meredam kemarahan lelaki remaja itu. Ia masih tak mampu menceritakan tentang Anggi pada anaknya.
Seketika netranya tertuju pada toko bunga yang dulu sering ia kunjungi. Anggi sangat suka bunga dan Aditya tanpa sadar tersenyum mengingat semua itu. Ia pun memarkirkan mobilnya tepat di depan toko itu kemudian meluar dari mobilnya dan berjalan menuju ke arah toko itu. Ia ingin membelikan bunga untuk Anggi.
Di tengah ia melangkahkan kakinl menuju ke toko itu, tiba-tiba seseorang menabrak dengan keras. Terlihat, seorang wanita yang tampak ketakutan sedang terjatuh di depannya. Aditya mengernyitkan alis dan masih mencoba menebak siapa sosok itu. Perempuan itu masih menunduk seraya mengambil beberapa barang yang terjatuh.
"Maaf-maaf, Mas. Saya minta maaf," ujarnya dengan nada panik.
Setelah selesai perempuan itu pun bangkit dan menatap Aditya.
DEG.
Aditya mendadak takjub seketika. Latar pertokoan di sekitar berubah bias dan menyisakkan antara dirinya dan perempuan di depannya. Aditya sampai ternganga saat sosok di depannya mirip dengan wajah mendiang sang istri. Pandangan itu tersihir oleh perempuan yang terlihat masih menatap sekelilingnya dengan cemas.
"Anggi?" Aditya berucap spontan.
Perempuan itu hanya mengernyitkan alisnya tak mengerti dan menggelengkan kepala saat nama itu tercetus, mengarah padanya.
"Maaf, tapi saya bukan Anggi."
Kalimat sederhana itu sontak membuat Aditya langsung tersadar dari angan-angan yang kembali menguasainya tadi. Jelas, itu bukan Anggi. Namun, Aditya masih tercengang dengan sosok di deoannya hingga bibirnya kelu hanya untuk meminta maaf karena salah sebut.
"Wooyy! wanita jalangg. Jangan kabur lo!" teriak seseorang.
Sontak wanita itu berlindung di balik tubuh tegap Aditya. Ia sangat ketakutan oleh beberapa pria yang mengejarnya dan mengeratkan genggaman pada jas kerja Aditya. Sebaliknya, Aditya justru masih terpaku tak percaya bahwa perempuan itu bukan Anggi, hanya bisa melihat beberapa pria datang ke arahnya dengan tatapan nyalang. Khususnya menatap tak suka pada sang perempuan dibalik punggungnya.
"Heh! Lo! Oh jadi ini laki-laki target barumu. Lo jangan coba-coba kabur, ya, hutang lo masih banyak w***********g! Ayoo!" sentak pria itu yang berusaha menarik sang wanita.
"Enggak mau! Udah dibilangin enggak mau tetep enggak mau," ucap perempuan itu memberontak.
Ketika pria bertubuh tegap itu memaksa perempuan yang ada di balik badannya dan perempuan itu menangis, hati Aditya langsung tergugah. Ia tangkis tangan pria itu dari sang perempuan yang sangat mirip dengan mendiang Anggi. Nalurinya masih sanggup menyadari ancaman untuk perempuan itu.
"Lo mau macem-macem sama kita?" tantang pria itu.
"Jangan kasar dengan perempuan! Lepaskan!" Aditya menegut dengan nada yang masih sopan.
"Lo ini siapa? Heh? Apa hak lo? Dia hanya wanita p*****r!"
"Lepaskan!" Nada Aditya mulai sedikit meninggi.
Pria di depannya hanya tertawa menghina. Merasa pernyataan Aditya tak dihiraukan oleh pria-pria tersebut, ia sontak menendang perut pria itu hingga berhasil menjauh dari sang perempuan.
"Lo! Berani-beraninya nendang gue! Kalia, hajar pria itu!" perintah pria itu pada anak buahnya.
Sontak anak buah pria itu mulai menyerang. Aditya sigap menangkap sebuah pukulan yang akan dilayangkan padanya dengan santai. Ia genggam tangan anak buah preman itu dengan erat dan ia banting tubuhnya ke tanah. Pria berikutnya pun mulai menghajar Aditya, tetapi belum sampai berniat akan memukul, Aditya sudah menendangnya dengan keras hingga jatuh beberapa meter. Mereka berdua lantas mengaduh kesakitan, sang 'Bos' pun akhirnya dibuat geram oleh sosok Aditya. Ia merasa Aditya adalah ancaman bagi dirinya dan mampu meloloskan perempuan yang ada di belakang punggungnya.
Ia pun lantas berdiri dan mulai berlari menyerang Aditya, perkelahian pun tak dapat dihindari. Dengan satu kali pukulan pada tengkuk pria itu, akhirnya ia pun tumbang dengan sendirinya. Aditya masih menatapnya dengan dingin lantas merapikan jasnya kembali. Pria itu pun berjalan mendekati sosok yang tersungkur tanpa ingin melawan lagi.
"Jangan kasar dengan perempuan! Berapa hutang dia?" tanya Aditya.
"Li—lima jutaa," ucap pria itu terbata-bata dan meringis menahan sakit.
Aditya lantas mengeluarkan dompetnya dan membuang uang sebanyak lima juta di depan pria itu. Ia berbalik badan dan diliriknya perempuan yang benar-benar ketakutan dengan para pria itu. Hal itu membuat Aditya menjadi tidak tega sekaligus kembali mengingatkan pada peristiwa yang sama beberapa puluh tahun yang lalu.
"Kamu sudah aman. Apa kamu mau ikut dengan saya?" tanya Aditya.
Wanita itu menatapnya dengan ragu. Ia takut Aditya bukan orang baik dan sama seperti pria-p****************g di luar sana. Namun, tatapan Aditya mampu meyakinkan dirinya dan lantas mengangguk pelan.
Wanita itu pun lantas melirik tiga pria yang terkapar dan mulai mengikuti Aditya berjalan ke arah mobilnya. Tepat di samping pintu mobil, ia ragu untuk menaiki mobil itu. Sisi defensif perempuan itu kembali membuatnya ragu.
"Kalau kamu ragu, saya enggak maksa, tapi saya hanya ingin mengantarmu pulang. Kamu enggak perlu khawatirkan apa pun," ucap Aditya kembali meyakinkan lagi.
Wanita itu menatap Aditya, tatapan itu justru membuat Aditya meneguk air liurnya dan membuat hatinya tidak tenang. Gugup sudah jelas, tetapi masih bisa dikondisikan. Pasalnya, wanita di depannya sangat mirip dengan sang istri. Meskipun tidak mirip keseluruhan dan wanita di depannya ini terlihat lebih muda, tetapi wajahnya mengingatkan Aditya pada istrinya. Akhirnya perempuan itu pun masuk ke dalam mobil Aditya dan sebuah senyum samar tercetak di bibir Aditya.
Aditya pun ikut masuk ke dalam mobil SUV itu. Di dalam mobil, wanita itu masih saja menatap Aditya tak percaya, pasalnya ia baru pertama kali menemukan pria yang berusaha melindunginya bukan memanfaatkannya.
"Emm, Mas, untuk tadi terima kasih banyak, ya ... saya enggak tau harus membayarnya dengan apa," ujar wanita itu membuka obrolan.
"Kamu, kenapa sampai dikejar pria-pria itu?"
Wanita itu terdiam sejenak, ia menggigit bibir bawahnya karena bingung harus mengatakan hal yang sebenarnya atau tidak pada Aditya. Ia takut pria di sisinya menjadi ilfeel padanya.
"Itu, saya, ummm— saya hanya seorang wanita malam, mereka adalah bodyguard Mami. Saya kabur dari tempat Mami. Saya sudah enggak mau kerja sebagai wanita malam," ucap wanita itu masih dengan menggigit bibirnya.
Aditya lantas melirik wanita yang tertunduk itu dengan pandangan nanar. Ada rasa tidak tega, kasihan dan menyayangkan dengan pengakuan sang perempuan. Namun, Aditya juga tidak bisa menghakimi segala tindakannya karena setiap orang memiliki keputusan hidup masing-masing.
"Kamu sudah bebas bukan? Jadi kamu jangan khawatir lagi. Kamu sudah makan?"
Perempuan itu menggelengkan kepala. Aditya menghela napasnya dan segera mengarahkan mobilnya ke salah satu tempat makanan cepat saji.
Setelah tiga puluh menit berlalu, ia turun dari mobil itu tepat di depan sebuah tempat makan sederhana dan memesan beberapa makanan.
"Ini buat kamu. Makanlah, jangan sampai kamu telat makan," ujar Aditya seperti kebiasaannya mengingatkan Anggi untuk tidak telat makan. Semuanya sudah di luar kendali Aditya untuk mengingat setiap hal bersama istrinya. Wajah perempuan itu benar-benar membuatnya semakin merindukan Anggi.
"Ah, Mas—" Perempuan itu menggantungkan ucapannya karena bingung tidak mengenal nama pria itu.
"Aditya. Saya Aditya," ucap Aditya yang seolah mampu menebak pikiran perempuan itu.
"Ah iya, Mas Aditya enggak perlu repot seperti ini. Saya masih bisa membeli pakai sisa uang saya."
"Simpan saja. Makanlah, jangan sungkan," ucap Aditya lembut.
Perempuan itu hanya tersenyum, kemudian membuka kotak makan itu dan melahapnya sesekali. Aditya tersenyum tipis dibuatnya ketika melihat wanita itu memakan makanan yang ia pesankan dan dunia serasa sempit bagi Aditya. Ia bahkan tak diberi kesempatan untuk benar-benar move on dari sosok istrinya. Wanita di sampingnya ini benar- benar mirip sekali dengan istrinya. Ia bahkan masih tak percaya bahwa ia dipertemukan kembali dengan sosok yang mirip Anggi.
Panggilan itu bahkan kembali membuat Aditya memutat segala kenangan yang telah tersemat dalam ingatan. Ia menarik napas perlahan dan mengembuskannya. Ia tahu bukan saatnya menuruti segala hal keinginannya hanya karena merindukan sosok Anggi.