"Di sini, 'kan?" tanya Aga sesaat setelah sampai di sebuah restoran elit di kota Jakarta.
Restoran dengan konsep bangunan tradisional itu memang menjadi tujuan beberapa orang dan para pelancong untuk singgah. Suasana asri di dalamnya yang membuat para pengunjung betah. Apalagi ada fasilitas gaxebo-gazebo di atas kolam ikan, membuat mata segar saat melihat ikan kesana-kemari. Peremouan berkulit kuning langsat itu menganggukan kepala dengan mata berbinar cerah menjawab ucapan Aga. Sedangkan, Aga segera memarkirkan mobilnya di pelataran tempat parkir restoran yang luas. Setelah itu, Hana keluar dari mobil dan merapikan dirinya sejenak.
Langlah kaki yang baru saja akan bergerak terhenti, ketika tiba-tiba suara dering ponsel perempuan itu memekikan telinga. Ia lantas merogoh ponsel dari dalam tas kecil dan terkejut bukan main saat sebuah nama tercetak di layar ponselnya. Ia segera mematikan panggilan itu dan buru-buru meletakkan ke dalam tasnya. Sedangkan, ada sorot mata yang memerhatikan gelagat aneh sang kekasih. Aga mengerutkan dahi saat melihat raut wajah Hana yang berubah.
"Siapa tadi yang telepon? Kenapa enggak diangkat? Sepertinya tadi ponselmu bunyi." Aga mulai bertanya sesaat setelah keluar dari mobilnya
"Eh! Enggak kok, Sayang. Itu dari orang enggak jelas biasanya, aku jadi males angkatnya, beberapa hari ini banyak banget nomer nyasar," kilah Hana.
"Oh gitu. Ya udah ayo masuk," ucap Aga.
Hana yang sudah sangat ketakutan Aga mencercanya dengan pertanyaan, akhirnya mampu bernapas lega karena kekasihnya itu tidak lagi mempertanyakan apa pun. Digandengnya tangan Hana itu menuju ke dalam restoran.
"Selamat siang, Tu —"
Aga langsung menempelkan satu jari pada bibirnya agar pelayan itu tidak melanjutkan sapaan dan sikap terlalu sopan pada dirinya. Jelas semua tahu jika Aga, anak sang pemiluk restoran, beberapa kali lelaki remaja itu turut membantu sang ayah untuk menangani usaha kuliner.
Sedangkan, Hana memang kekasih Aga, sudah sejak satu tahu lalu mereka menjalin hubungan, termasuk masa pendekatan. Namun, Hana tidak banyak tahu tentang kehidupan keluarga Aga yang sesungguhnya bahkan restoran yang perempuan sukai itu merupakan milik Aditya—papanya—yang tidak diketahui Hana.
"Ayo masuk. Kamu mau pilih tempat yang mana? Di dalem apa di luar?" tanya Aga sembari melihat kondisi restoran itu.
"Emm, di situ kayaknya bagus. Cuaca 'kan lagi panas. Di situ adem kayaknya ya ...," ucap Hana sambil menunjuk gazebo yang dibawahnya terbentang kolam ikan.
Aga hanya menganggukan kepala seraya mengikuti wanitanya ke tempat yang ia inginkan. Walau Hana memang terlalu manja dan banyak permintaan yang kadang membuat Aga pusing, tetapi lelaki itu benar-benar mencintai perempuan cantik yang menyandang kekasih hati. Ibarat kata cinta itu buta, Aga merasakan hal itu sekarang. Justru, lelaki bertubuh tegap itu akan tersenyum saja saat melihat tingkah Hana yang terkadang seperti anak kecil jika merengek meminta sesuatu.
"Nah, bener 'kan di sini enak. Ha, aku capek banget tadi audisinya ribet," gerutu Hana yang meletakkan tas kecil di atas meja kayu yang dipernis mengkilat.
"Sabar, Sayang. Ya 'kan demi cita-citamu ... harus di jalani dong," ucap Aga menyemangati.
Aga pun mengusap lembut pipi Hana untuk sekedar memberinya perhatian kecil. Namun, tiba-tiba ponsel Hana berbunyi lagi. Hana mendecak kesal saat waktu santainya terganggu untuk kesekian kali. Namun, akhirnya perempuan itu pun mengambil ponsel dengan cepat dan langsung tersentak saat melihat nama yang tercetak di benda pipih itu.
"Emm ... Aga, aku angkat telepon dulu, ya ... dari papaku." Hana berbohong lagi.
"Iya, Hana."
Hana pun segera bangkit dari tempatnya duduk dan menjauh dari Aga. Sedangkan, lelaki itu menatap punggung sang pujaan hati dengan tajam, beberapa bulan ini Hana sering bertingkah aneh.Namun, Aga membiarkannya karena ia tak menemukan bukti jika Hana melakukan suatu kesalahan ataupun tidak.
"Heh! Kamu kenapa telepon?! Aku sedang bersama Aga, bodoh!"
"Kamu janji sesuatu, loh," uhar seseorang di seberang memperingatkan.
"Iyaa tapi enggak sekarang, 'kan? Sudahlah nanti kalau aku sudah pulang, aku menemuimu."
Dan panggilan pun terputus karena Hana mematikan sepihak. Ia mencoba tenang, menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan dengan pelan. Kemudian ia pun kembali ke tempat Aga, secepat mungkin merubah suasana hati kembali.
"Honey, maaf ya, papaku minta aku segera pulang. Katanya ada acara."
"Oh ya? Acara? Di mana?"
"Emmm ... entah di mana, aku disuruh mengikutinya saja."
"Ya, sudah setelah kita makan aku antar kamu pulang," ucapnya.
Hana pun hanya tersenyum menanggapi ucapan Aga. Hingga beberapa saat kemudian, makanan mereka pun datang, kemudian menyantapnya.
Waktu berjalan cepat, tiga puluh menit dihabiskan untuk makan sembari membicarakan hal ringan. Penampakkan ikan di dalam kolam menambah kesan menyegarkan pikiran. Namun, tidak untuk Hana, ia masih memikirkan sang penelepon. Bahkan, perempuan itu sama sekali tidak menikmati makan siangnya bersama Aga.
"Honey ... ayoo, aku udah ditunggu papa, nih," ujar Hana mengingatkan.
"Ah, iya ayo."
"Mbak," panggil Hana pada waitress.
Seketika waitress yang menangkap Hana itu pun datang ke arah mereka.
"Mbak, minta tagihan biayanya, ya.... "
Aga hanya membiarkan Hana sejenak sampai perempuan itu mengeluarkan dompet dari tas kecilnya, barulah Aga mencegahnya.
"Sudah biar aku saja, Hana."
"Tapi kamu sudah banyak mentraktirku loh, gantian dong," ujar Hana tak enak hati
"Aku ini siapamu? Sudah biarkan saja, simpan saja untukmu."
Segera Aga membisiki waitress itu dan kemudian waitress itu pergi dari tempat mereka. Mereka pun segera menuju ke luar restoran itu.
Aga mempersilakan kekasihnya itu masuk ke dalam mobil, kemudian ia memutar untuk berada di posisi kemudi. Barulah, setelahnya mobil itu melaju ke salah satu perumahan di mana ia selalu menjemput Hana.
"Yaapp, sudah sampai ... mau aku anter sampai dalam?" tawar Aga.
"Eh, enggak usah. Enggak perlu, Ga, kamu tau 'kan papaku tidak suka aku punya kekasih dulu. Jadi aku takut papaku malah menyuruh kita berpisah." Hana mulai mencari alasan lagi.
Aga mulai menghela napasnya dan sedikit mendecak akan alasan yang selalu dibuat kekasihnya.
"Bukannya lebih baik kamu jujur pada papamu? Kita sudah menjalin hubungan selama delapan bulan dan aku enggak pernah mengenal papamu."
"Emm, ehh itu, papaku juga jarang di rumah, Ga. Jadinya hari ini beliau kebetulan ada di rumah. Tapi papaku keras orangnya, jangan dulu deh ya."
"Hemm, ya sudahlah."
Hana menangkap raut kekecewaan pada sang kekasih. Lantas ia memegang pipi Aga dan menatap mata cokelat itu.
"Suatu saat aku pasti membawamu ke papa. Kamu sabar sebentar aja ya," ujar Hana menenangkan.
"Aku hanya ingin mengenal keluargamu, Hana."
Hana menganggukan kepala mengerti, perempuan itu pun tersenyum pada Aga untuk membuatnya yakin bahwa suatu saat nanti ia akan mengenalkan Aga pada keluarganya. Hana pun lantas mencium bibir Aga singkat sebagai salam perpisahan mereka.
"Kamu hati - hati di jalan, ya ...," ucap Hana.
Perasaan curiga sekaligus cemas emnajdj satu dalam benak Aga. Sang kekasih seolah menyembunyikan sesuatu dibaliknya. Namun, ia tidak bisa menuduh sembarangan tanpa bukti. Lelaki itu pun melesatkan mobilnya meninggalkan Hana.
Sedangkan, Hana menatap Aga nanar. Walau seulas senyum tercetak di bibir, ada segores luka menganga yang tidak dapat tertutupi sempurna. Senyum itu kembali hilang, Hana kembali pada ekspresi datar tanpa semangat. Ia bersyukur masih bisa mengelak dan membrleri alasan pada Aga, meskipun suatu saat pasti tidak mampu lagi untuk membohongi lelaki itu.
"Hampir saja, aku minta maaf, Ga," gumam Hana.
Ia pun segera masuk ke rumah besar berarsitektur amerika klasik itu. Rumah besar itu hampa, sama seperti hidupnya. Langkah kakinya menyusuri sebuah jalanan di mana kanan dan kiri terdapat sebuah taman bunga dan rerumputan hujau terawat. Ia menapaki batu-batu alam yang disusun rapi sebagai penghias jalanan menuju ke pavilliun di belakang rumah utama.
"Hana, kamu sudah pulang, Nak?"
Hana yang sedari tadi menunduk, terkejut mendengar suara itu. Ia lantas menoleh ke sumber suara dan tepat sosok perempuan paruh baya dengan rambut tergelung sekenanya, serta pakaian sederhana berada di depan mata.
"Ibu, kenapa nganggetin Hana mulu sih, bisa enggak kalau enggak ngagetin gitu!"
"Kami dari mana saja, Hana? Ibu mencarimu dari tadi pagi."
Hana mendecak sembari berjalan menuju ke kamarnya, masih diikuti sang ibu.
"Aku 'kan udah bilang mau audisi, Bu. Biar nasib kita berubah enggak kayak gini terus. Hana bosen hidup jadi pembantu orang terus."
"Nak, kamu enggak boleh begitu. Keluarga ini sudah banyak membantu kita. Kamu saja bisa sampai sekolah lagi 'kan karena kemurahan hati majikan kita. Kita punya hutang budi pada keluarga ini, Han."
Hana mendecak untuk kesekian kali, terlihat sangat kesal. Ia benci kehidupannya yang tak seperti orang lain. Gadis itu juga benci keadaan keluarganya yang tak seberuntung perempuan lain yang hidup bergelimang harta. Dan ia benci membohongi Aga tentang status keluarganya.
"Mending ibu keluar deh dari kamar Hana. Hana capek mau istirahat!"
Hana pun mendorong tubuh wanita paruh baya itu untuk keluar dari kamarnya. Kemudian ia tutup pintu itu, lelah berbohong tentang kenyataan hidup membuat Hana sedikit frustasi. Ia beruntung mengenal Aga yang sangat baik dan dari kalangan anak orang kaya. Namun, gadis itu terlalu takut jika memberitahu dirinya hanya seorang anak dari pembantu rumah tangga maka Aga akan melepaskannya.
"Arrghhh! kenapa hidupku harus gini, sih!" gerutu Hana yang kembali dilanda rasa kecewa.
Ditengah kegundahan hati, suara ketukan pintu itu terdengar cukup keras di telinga Hana. Ia pun tersentak dan langsung membukakan pintu kamarnya.
"Ibuuu, aku 'kan— loh, kamu ... kamu ngapain ada di sini?" ucap Hana sambil celingukan melihat kanan dan kiri tempat itu.
Pria yang tingginya sekitar 170 centimeter itu tepat berada di depan pintu kamar Hana. Panggilannya Jack, pria muda berusia sekitar 25 tahun ini adalah sopir dan bodyguard pribadi anak majikan di rumah itu. Parasnya tidak buruk, justru bisa saja orang mengira bahwa dialah majikan di rumah itu. Mereka berdua dekat semenjak kejadian beberapa bulan lalu yang merenggut kesucian Hana.
"Halo, Sayang. Katanya kamu mau menemuiku setelah pergi dengan ATM berjalanmu itu," ujar Jack kembali menekan gadis di depannya.
Raut ketakutan terpancar di wajah Hana, bulir keringat itu mengalir dari pelipis serta degup jantung yang mulai tak karuan, dirasakan Hana.
"Kamu, mau apa kemari? Di luar masih ada ibuku, aku bisa ketahuan jika kamu di sini," ujar Hana ketakutan.
Tercetak jelas senyum di sudut bibir pria itu. Tanpa basa-basi lagi, Jack segera masuk ke dalam kamar Hana dan mendorong pintu itu dengan kakinya agar tertutup. Pria itu terlihat berani karena baru saja, ia melihat ibunda Hana tengah keluar dari rumah, mungkin memiliki keperluan seputar kebutuhan rumah.
"Kamu mau apa, Jack?" tanya Hana yang mulai mundur perlahan.
"Meminta bagianku!"
"Please, Jack, ini bukan saatnya, di luar ada ibuku."
"Mereka enggak akan tau kalau kamu enggak seberisik ini, Hana," ujarnya yang mulai membelai pipi lembut gadis itu.
Pria itu lantas mendorong tubuh Hana hingga menabrak dinding di belakangnya. Membekap bibir Hana dengan bibirnya sesegera mungkin. Satu tangan perempuan itu sudah terkunci oleh tangan kekar Jack. Tubuhnya yang lebih tinggi lima centimeter dari Hana, mampu mengurung telak perempuan itu.
"Jack, hentikaan," ucap Hana saat tangan Jack mulai meraba setiap lekuk dan tempat sensitif perempuan itu.
Hana masih menahan segala gejolak hasrat yang selalu berhasil pria itu bangkitkan. Sekuat mungkin ia tidak merespon segala bentuk sentuhan Jack, tetapi selalu gagal karena pria itu paham titik lemah Hana.
"Sudah lama aku tidak menyentuhmu cantik. Kamu jangan berisik kalau ibumu tidak ingin mendengarmu."
Antara akal sehat dan respon tubuh sangat berbeda. Ketika otak berkata tidak, tetapi tubuh Hana merespon penerimaan atas segala perlakuan Jack. Didorongnya tubuh perempuan itu hingga terpental di ranjang kecil. Ditariknya kaki jenjang Hana sampai menyentuh tepi ranjang. Kemudian, diangkatnya kaki Hana ke pundak, menciumi betis perempuan itu hingga ke pangkal paha dalam miliknya.
Nyatanya rasa takut itu membawa Hana dalam kenikmatan secara bersamaan. Ia lupa bahwa harusnya semua ini tidak lagi terjadi, tetapi intimidasi Jack selalu membungkam segala hal tentang akal sehatnya. Justru Hana kembali terbuai dalam rayuan semu pria itu.
"Nurut, kalau rahasiamu enggak mau kebongkar di depan ATM berjalanmu itu!" bisik Jack penuh penekanan.
Tak ada pilihan yang bisa Hana lakukan, lagipula apa yang bisa ia pertahankan lagi saat semua bahkan sudah hilang. Pria itu telah merenggut kesucian Hana sekitar empat bulan lalu dengan akal liciknya. Sejak saat itu Hana selalu menjadi objek pemuas nafsu pria yang kini kembali menggagahinya. Perempuan itu pun tak mampu menolak karena kenikmatan yang diberikan Jack selama mereka b******u benar- benar membutakan mata hati, menumpulkan logika bahwa dirinya masih kekasih Aga sekalipun sebelumnya adalah merupakan tindakan p*********n yang dilakukan Jack padanya.