Bukan Aga namanya jika tidak benar-benar bertindak sesuai keinginan. Lelaki remaja itu sudah tepat di depan gerbang rumah Kevin. Ia kembali mengeratkan pegangam di kemudi, sedikit ragu untuk melangkah. Namun, rasa tidak nyaman itu kembali membuat tekadnya membulat.
Suara klakson menggema membuat pintu gerbang rumah Kevin terbuka secara otomatis dan seorang satpam tengah berada persis di samping gerbang itu. Pria itu memeriksa siapa yang datang dan Aga membuka kaca samping mobil agar satpam tersebut tahu kehadirannya.
"Oh, Mas Aga. Cari siapa, Mas?" tanya Pak Agus—satpam rumah Kevin.
"Paman Kevin ada? Udah beranglat belum, Pak?"
"Tuan Kevin? Ada, Mas. Silakan masuk. Kebetulan Tuan belum berangkat kerja," tutur sang satpam.
Aga pun mengangguk, kemudian langsung melesat ke pelataran rumah Kevin. Ia parkirkan mobilnya tepat di depan halaman rumah sahabat sang papa itu. Ia segera turun dari mobil dan memencet bel di samping pintu itu. Beberapa saat kemudian, papan kayu berukir itu terbuka dan Meylira lah yang menyambutnya.
"Aga, kamu sepagi ini kemari cari siapa?" tanya Meylira sedikit heran.
"Emm, cari Paman Kevin. Kata Pak Agus di depan, Paman belum berangkat kerja. Penting nih, Kak. Kakak bisa panggilin?"
Meylira terlihat mengernyitkan dahu dan penasaran dengan tujuan Aga. Namun, akhirnya ia menyuruh Aga untuk masuk ke dalam rumah terlebih dahulu.
"Siapa Mey yang datang?" tanya Gladis dari dalam.
"Aga nih, Mom. Daddy, ada Aga!" teriak Meylira.
DEG
Kevin yang masih berada di dalam kamarnya, sontak terkejut dengan teriakan itu. Pria itu bukan terkejut akan kehadiran Aga, tetapi ia yakin bahwa lelaki remaja itu pasti menuntut sebuah kejelasan, menilik dari permasalahan kemarin di kantor Aditya. Ada rasa ragu yang menyerang dan membuat pria itu tidak segera menemui Aga.
"Vin, ada Aga di bawah. Nyari kamu katanya," ucap Gladis pada Kevin yang menyusulnya karena Kevin tak kunjung turun dari kamarnya.
Kevin menatap sang istri. Pria itu melangkah ke arah Gladis dan memegang lengan perempuan itu. Sebaliknya, Gladis termangu menatap sang suami yang terlihat tidak baik-baik saja.
"Gladis, apa aku harus jujur tentang kematian Anggi atau aku tetap merahasiakannya sesuai permintaan Adit? Aku harus bagaimana? Aga jelas menanyakan itu sekarang. Kemarin dia mendebatkan hal itu dengan Aditya."
"Aga kemari pagi-pagi untuk nanyain itu? Untuk apa?" tanya Gladis penasaran.
"Aku juga enggak tau kenapa Aga mencari tahu sampai seperti ini. Mungkin memang Aga benar-benar penasaran dengan semua tentang ibunya."
"Tapi itu udah lama, Vin. Kamu tau Aditya bagaimana, 'kan? Kamu pasti tau jawabannya, Vin. Temui Aga. Dia menunggumu, jangan sampai dia menaruh curiga dan mendesakmu terus menerus," ucap Gladis yang menepuk bahu sang suami.
Kevin pun menghela napas panjang. Ia menganggukan kepala pada Gladis seolah sudah menemukan jawaban apa yang harus ia lontarkan pada Aga. Kevin segera berjalan menuju ke lantai bawah untuk menemui lelaki remaja itu.
"Hey, Aga. Kamu kemari, ada apa pagi- pagi sekali?" tanya Kevin, berusaha tenang walau memang gugup lebih mendominasi.
Aga menatap Kevin, terdiam sejenak karena rasa ragu masih bertahta tinggi di benak. Ia harus segera bertanya langsung pada sahabat papanya ini. Tidak mungkin Kevin tidak mengetahui apa pun perihal kematian Ibunya.
"Emm, Paman, boleh Aga tanya?"
Kevin menelan saliva ketika nada Aga mulai terdengar serius. Sorot mata itu juga tidak seperti biasanya, kini terlihat lebih dingin.
"Tanya apa, Aga? Oh iya, kamu enggak mau minum dulu? Biar Paman panggilan pembantu buat ambilkan kamu minum, ya ...."
"Enggak perlu, Paman, to the point saja. Paman tau 'kan Aga dan papa kemarin berdebat? Paman jelas tau apa yang ingin Aga sampaiin. Aga minta tolong kali ini aja. Tolong beritahu Aga. Tidak mungkin Paman Kevin tidak tahu, 'kan?"
"Maksudmu tentang kematian ibumu?" tanya Kevin.
Aga menganggukan kepala dengan cepat. Ia berharap Kevin mampu menjawab segala keresahan hatinya.
"Aga, Paman enggak tau apa pun, memang Paman tau ibumu meninggal waktu itu tapi enggak tau jelas alasannya. Lagipula Paman ada di Paris waktu itu dan ketika pulang ibumu sudah dimakamkan dan papamu tidak berbicara apa pun pada Paman," jelas Kevin lirih.
Mendengar penuturan Kevin membuat Aga yakin bahwa ucapan pria itu ada benarnya. Namun, gelagat Kevin yang terlihat seolah gugup membuat Aga curiga, bahwa sahabat papanya tidak menginformasikan secara kesuluruhan padanya.
"Paman ... Paman jangan bohong sama Aga!"
"Pa—paman, tidak bohong Aga. Paman tidak tahu menahu perihal penyebab kematian ibumu. Papamu bilang, ibumu meninggal karena sakit. Iya, hanya itu."
Aga lantas mengepalkan tangan erat-erat, ia menolak percaya ucapan Kevin. Pria itu pasti tahu sesuatu tentang semua ini. Aga pun menjadi geram, ia sudah tidak lagi mempercayai siapa pun entah papanya atau pun sahabat papanya.
"Baik, kalau Paman memang tidak mau berbicara, Aga akan cari tau sendiri. Dan apabila Aga menemukan kebohongan pada Paman dan Papa. Aga tidak akan pernah percaya lagi dengan kalian! Selamat pagi!"
Aga langsung pergi ke pintu keluar itu dengan kesal. Ia membanting keras pintu itu, tak peduli tata krama yang harus dijunjung tinggi. Sebaliknya, Kevin sontak terkejut dengan sikap Aga yang benar-benar keras. Ia tidak menyalahkan lelaki remaja itu, tetapi ia meruntuki diri sendiri yang tidak bisa jujur tentang semuanya. Pria itu pun terduduk di sofa dan kembali memikirkan hal itu.
"Vin ...."
Suara lembut itu membuat Kevin menoleh ke sumber suara. Dilihatnya sang istri yang tengah memasang raut kekhawatiran.
"Kamu sudah benar, Vin."
Kevin menghela napas panjang, mengurut pangkal hidung guna meringankan nyeri di kepala.
"Aku bener-bener enggak tau, Gladis. Aga sudah besar sebenarnya, dia mampu menyerap setiap informasi tapi Aditya tetap tidak mengijinkan itu. Aku semakin merasa bersalah sekarang..Anggi meninggal karena informasi dari aku pada Dimas waktu itu. Andai aku tidak dibutakan rasa cemburuku pada Aditya mungkin Anggi masih ada di sini. Kalau Dimas tidak melakukan hal itu semuanya tidak akan begini 'kan, Dis?" Kembali, Kevin merasa bersalah atas segala hal yang bahkan sudah 15 tahun berlalu.
"Vin, kamu tidak boleh menyalahkan dirimu lagi. Semuanya sudah takdir-Nya. Anggi meninggalkan kita semua itu sudah ada yang mengatur. Sekalipun Anggi termasuk korban kriminal tapi jika sudah waktunya maka akan pergi juga bukan?"
"ini semua salahku, Dis. Aku yang membuat Anggi terbunuh."
Kevin kembali terguncang, rasa bersalahnya pada Anggi muncul kembali. Gladis mencoba menenangkan suaminya itu. Ia tahu kejadian itu benar-benar membuat mereka semua syok. Kematian Anggi karena kasus p*********n itu membuat Anggi tidak mampu bertahan lebih lama lagi.
Di sisi lain, Meylira hanya mampu mengatupkan kedua tangan pada mulutnya, tak menyangka. Akhirnya ia mengerti, akhirnya semuanya terungkap. Kematian Anggi terungkap oleh perbincangan kedua orang tuanya. Ia langsung mengingat Aga, ia tidak tahu bagaimana perasaan Aga jika ia tahu yang sebenarnya.
Perempuan itu pun terus memikirkan perasaan Aga. Ia berjalan ke arah kamarnya dan mencoba mencerna setiap ucapan kedua orang tuanya tentang kematian Ibu Aga.
Jadi, Aunty Anggi meninggal karena dibunuh, batin Mey.
Terdengar suara debas. Meylira tidak menyangka perempuan yang ia nilai sangat baik itu meninggalkan dunia ini dengan cara tragis. Lebih tidak percaya bahwa semua itu ada hubungannya dengan sang ayah.
***
Di tempat lain, Aga melajukan mobilnya tak tentu arah. Ia benar-benar sangat kecewa. Semua hal tertutup tanpa celah sedikit pun.
"Argh!" teriak Aga dalam mobil sambil menggebrak kemudinya.
"Kenapa enggak ada yang mau jujur sama gue. Sialan!" maki Aga tak tentu arah.
Aga pun melesatkan mobil itu menuju ke arah rumah Hana. Ia butuh seseorang saat ini. Seseorang yang setidaknya mampu mendinginkan hatinya. Namun di sebuah jalanan yang cukup sepi, Aga yang sejak tadi mencoba menelepon kekasihnya itu sedikit tidak konsentrasi pada jalanan. Hingga, tiba tiba dari arah depan seorang gadis menyeberang dengan sembarangan. Sontak Aga mendadak mengerem laju mobilnya dan tepat hanya lima centimerter badan mobil itu hampir saja menabrak seorang gadis.
Sebaliknya, sang gadis terlihat menutup mata karena mobil itu benar-benar hampir menyentuh tubuhnya. Jantungnya bahkan sudah berdegup tidak karuan. Kota Jakarta memang tidak terlalu baik untuk dirinya, terbukti sejak kejadian tidak mengenakan yang terus menderanya.
"b**o! Enggak punya mata apa!" umpat Aga.
"Hey turun! Dasar enggak tau diri! Ini jalanan umum bukan sirkuit balapan!" teriak perempuan itu sambil menggebrak badan mobil Aga.
Aga melepaskan sabuk pengamannya dan lantas turun berniat menyuruh perempuan itu pergi. Ia pun mendekati perempuan yang sedari tadi di depan mobilnya itu.
"Lo ...." ucap perempuan itu yang tidak menyangka bahwa pria yang semalam menyelamatkan dirinya terlihat di depan mata.
Aga mendecak dan kini justru berkacak pinggang. Tatapan nyalang terasa hingga menusuk iris mata perempuan itu.
"Lo! Dasar perempuan gila! Enggak tau terima kasih. Udah bosen hidup, lo? Hah? Main nyeberang sembarangan!" Aga kembali menghujani sang gadis dengan cecaran tak manusiawinya.
"Lo pikir ini jalan nenek moyang lo!"
"Kalo iya emangnya kenapa? Hah!"
Aga menatap tajam mata perempuan itu dan perempuan itu juga menatap mata Aga dengan penuh emosi. Kilatan kebencian terasa di antara keduanya. Padahal belum saling mengenal satu sama lain.
"Minggir! Atau gue tabrak sekalian, biar mati!"
Aga lantas meninggalkan perempuan yang semalam ia tolong itu dan kembali ke dalam mobilnya. Ia mengklakson berkali- kali hingga perempuan itu pergi dari depan mobil Aga. Masih terdengar u*****n sang gadis sebelum mobil Aga benar-benar menghilang dari pandangan.
"Sial banget hidup gue! Tuh kunti ngapain muncul di tengah jalan begitu mana di tempat sepi-sepi lagi. Cari masalah mulu, heran," gerutu Aga kesal. Emosi masih tersulut akibat perdebatan singkat di rumah Kevin. Hal itu berdampak pada hal-hal yang membuatnya kesal, pasti akan mendapatkan getahnya.
***
Gadis berambut panjang sedada itu menatap mobil sport merah metalic yang melaju kencang meninggalkannya tanpa meminta maaf. Ia mendengus kesal. Mata cokelatnya bahkan menyorot hingga mobil itu menghilang dari pandangan. Hati yang kesal dengan degup jantung yang masih terasa berdetak dua kali lipat tiba-tiba meluruh oleh panggilan sang Ibu.
"Liona, kamu kemana saja?"
"Ibu, itu ... Liona beli sesuatu di seberang sana," ucap gadis itu sembari mengangkat kantong plastik yang digenggam.
"Ayo, Papamu sudah menunggu di mobil. Kakakmu pasti juga sudah menunggu kita di kosnya."
Liona pun menganggukan kepalanya pelan, ia menatap kembali jalanan di depannya dan secara tak sadar ia masih memikirkan laki-laki bertubuh tegap dengan wajah songongnya itu. Setelahnya barulah Liona melangkah masuk ke dalam mobilnya.
"Bu, kita mau ke mana sih ini? Dari kemarin juga kita enggak balik ke Bogor ... malah tidur di hotel."
Anindya—sang Ibu—tersenyum pada sang anak kali ini. Perempuan cantik itu menatap Liona yang masih ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.
"Kita ke rumah Ibu, ke tempat nenek kamu. Kita akan tinggal di Jakarta lagi. Papamu kan sudah selesai resign dari kerjaannya di Bogor. Usaha Ibu juga ada cabang di Jakarta, 'kan? Jadi balik lagi ke Jakarta aja."
Gadis itu sedikit terhenyak mendapati penjelasan panjang lebar dari sang Ibu.
"Jadi kuliah Liona juga pindah? Tapi Liona belum urus berkas, Bu."
"Papa sudah urus semua selama kamu enggak masuk karena sakit satu bulan lalu. Dan Papa sudah masukin kamu ke universitas di sini, Liona," ucap Dimas.
Liona terdiam kali ini. Memang, satu bulan lalu dirinya terbaring di rumah sakit karena mengalami demam berdarah. Sehingga dirinya sama sekali tidak bisa untuk sekedar masuk seperti biasa. Namun, apa pun keputusan orang tuanya, Liona akan mengikuti semua.
"Oh, begitu kah? Hemmm ya sudah Liona nurut aja maunya Papa sama Mama," tutur Liona.
Jawaban sang puteri disambut senyuman oleh Dimas dan Anindya. Mereka benar-benar bersyukur mempunyai dua anak yang penurut. Menghargai mereka dan tidak pernah memiliki kasus apa pun. Terutama Dimas sangat bersyukur akan semua itu.
Sementara, Lionamasih menerawang, baru sehari saja dia di Jakarta, tetapi kejahatan terhadap dirinya sudah ia rasakan. Ia sedikit ngeri hidup di kota dengan julukan kota meteopolitan ini. Namun, tidak mungkin juga dia tinggal sendiri di Bogor sedangkan kakak dan orang tuanya ada di Jakarta.
Keputusan untuk pindah kembali ke Jakarta memang merupakan keputusan Dimas. Beralasan ia sudah resign dari pekerjaan di Bogor membuat istrinya akhirnya menyetujui untuk kembali ke Jakarta. Namun, di balik itu semua Dimas masih ingin mencari kabar tentang Anggi. Ia tidak akan merasa tenang jika ia belum mendapatkan informasi dari Anggi.
Lima belas tahun berlalu, hidupnya hanyalah sandiwara semata di depan banyak orang, di depan istrinya dan didepan anak-anaknya. Ia membungkam semua kisah masa lalunya setelah menikahi Anindya. Ia juga telah mengetahui Aditya menarik semua berkas laporannya, tetapi yang tidak ia ketahui alasan di balik semua itu. Ia tidak lagi menaruh dendam pada Aditya, ia hanya ingin mengungkapkan permintaan maafnya pada Anggi dan Aditya, jika bisa. Sebab tanpa maaf mereka, Dimas masih merasa dihantui perasaan bersalah.