Beberapa menit berlalu, mobil Afa kini tepat berada di depan rumah besar. Arsitektur modern yang diusung membuat siapa pun pasti berdecak kagum akan mewahnya rumah di depan mata. Aga kembali meletakkan ponsel di telinganya, sudah berkali-kali panggilan tersambung, nyatanya tak kunjung berbalas. Lelaki remaja itu melirik ke salah satu sudut halaman, seorang pria bertubuh tegap tengah membersihkan mobil. Aga turun dan berniat menanyakan pada pria itu.
"Bro ...," tegur Aga.
Pria itu lantas menoleh ke arah Aga dan tampak tersenyum sinis secara samar pada lelaki itu. Jack mengetahui semua tentang Aga yang masih berstatus pacar Hana. Ia pun menyudahi kegiatannya dan melangkahkan kaki menuju ke depan gerbang.
"Hana ada?" tanya Aga.
"Ada, lo siapanya?"
"Hei! Apa hak lo tanya-tanya gue begitu, panggilin aja, jangan ribet," gerutu Aga.
Jack pun menatap Aga tidak suka, tetapi masih tergolong santai dan berlalu dari Aga untuk memanggil Hana.
"Hana."
Hana yang mengenali suara itu terlihat malas menanggapi. Lagipula ia tengah berberes di kamar yang dijadikan tempat gosok dan tumpukan baju.
"Apa lagi, Jack, kamu enggak lihat aku sedang sibuk," celoteh Hana.
"Tapi di luar ada ATM berjalanmu." tandas Jack yang langsung membuat kegiatan Hana berhenti seketika.
"Apa? Aga maksutnya?"
Jack menganggukan kepala. Sontak Hana langsung mengalami serangan panik oleh kedatangan Aga. Ia segera menuju ke arah kamarnya untuk mengganti baju. Namun, tiba- tiba Jack sudah berada di belakangnya, memeluk perempuan itu dengan sengaja.
"Jack, please, jangan sekarang. Ada Aga di depan. Aku enggak mau dia menunggu terlalu lama."
Jack kembali tersenyum. "Inget, kalau kamu enggak ingin rahasiamu terbongkar menurutlah padaku."
"Iya nanti, tapi biarkan aku bertemu dengan Aga dulu ...."
Jack pun melepaskan Hana pergi menemui Aga. Sebaliknya, Hana tampak merapikan diri dan segera keluar kamar untuk menemui Aga di luar.
Beberapa saat kemudian, Hana tersenyum saat melihat Aga sedang menyenderkan tubuh di mobil kesayangannya itu.
"Hallo, Honey ...."
Aga lantas menoleh ke sumber suara itu dan tersenyum pada kekasih hati. Hana segera membuka gerbang dan langsung memeluk tubuh Aga dan menatap mata cokelat gelap milik lelaki tampan di depannya.
"Kenapa enggak memberitahuku sebelumnya kalau mau ke sini?"
"Aku sudah meneleponmu, Hana. Kamu aja yang enggak angkat teleponku. Aku kangen sama kamu," ucap Aga.
Ia pun membuang putung rokoknya dan mengusap lembut pipi Hana, kemudian mencium bibir perempuan itu singkat.
"Kamu mau jalan-jalan? Aku butuh teman untuk jalan."
Hana menganggukan kepala dengan cepat dan tampak senang. Siapa yang tidak senang jika menghabiskan waktu dengan orang terkasih? Setidaknya itu yang selalu dirasakan Hana saat bersama Aga.
"Aku ambil tas dulu, ya. Kamu tunggu di mobil aja, oke ...."
"Iya, Hana."
Aga pun lantas melihat Hana yang masuk ke dalam rumah itu, setelah hilang dari pandangannya ia turut masuk ke dalam mobil seraya menunggu Hana.
"Mau ke mana?" tanya Jack.
"jalan- jalan sama Aga. Kenapa?"
"Enggak kenapa-kenapa, nanya aja. Inget ya janjimu."
"Udah deh, Jack, itu 'kan bisa nanti," ujarnya yang amsih terlihat senang akan menghabiskan waktu dengan Aga
Melihat raut bahagia milik Hana, ada rasa tak menyenangkan di d**a Jack. Pria itu merasakan cemburu dengan sosok Aga yang mendapatkan penerimaan Hana. Jack mendekati Hana, memeluk dan mencium bibir ranum itu singkat. Namun, Hana yang terburu-buru langsung mendorong tubuh Jack dan pergi dari hadapan Jack.
"Dasar kelinci jalang," dengus Jack .
Hana sedikit berlari menuju ke mobil Aga. Sebuah senyum dari sang kekasih kembali ia dapatkan dari dalam mobil itu.
"Maaf ya lama. Aku nyari ponselku dari tadi." Hana mulai beralasan.
"Enggak kenapa-kenapa, Sayang. Sudah siap?"
Hana mengacungkan jempolnya tanda mengiyakan pertanyaan Aga. Aga pun lantas memasang selt belt kemudian melajukan mobilnya meninggalkan rumah besar itu.
"Kamu sudah makan, Hana?"
"Belum."
"Ya sudah sekalian kita cari sarapan, ya," ajak Aga yang mengarahkan mobil itu ke pusat kota.
Beberapa menit berlalu, Aga membelokan mobilnya ke arah tempat makan sederhana. Suasana yang asri sangat cocok untuk dirinya mendinginkan hati. Setelah sampai di sebuah gazebo rumah makan itu, Aga pun langsung duduk dan menyanderkan badan pada pilar bambu. Ia menghela napas panjang dan memejamkan mata sejenak. Hana yang sedari tadi memerhatikan sang pujaan hati itu tampak penasaran dengan apa yang sedang terjadi.
"Sayang, kayaknya kamu lagi enggak enak hati, ya? Kenapa, sih? Cerita dong sama aku," ucap Hana sambil memegang tangan Aga.
Aga kembali menarik napas dan mengembuskan perlahan. Ia mulai membetulkan posisi duduknya sambil masih menerawang pemandangan hijau di depan mata.
"Aku benci dibohongi, Hana."
Hana tersentak dengan penuturan Aga tentang kebohongan. Genggaman pada tangan Aga memudar seketika, perempuan itu takut skandalnya dengan Jack diketahui oleh Aga secepat itu. Hati yang was-was membuat peluh di dahi mulai terlihat.
"Umm, maksutnya bagaimana?" tanya Hana memastikan.
"Papaku membohongiku dan aku tidak suka hal itu. Kamu tau, aku sudah dibohongi sejak aku masih kecil. Sekarang pun papaku tidak mau menceritakan apa pun, memberi penjelasan saja tidak mau."
Ada kelegaan yang menyertai karena bukan kebohongannya yang disadari Aga.
"Hemm, memangnya ada masalah apa antara kamu dan Papamu?"
"Tentang kematian ibuku, Hana. Kamu tau 'kan ibuku sudah meninggal 15 tahun yang lalu? Dan semua ini ada sebab akibatnya."
"Oh, katanya ibumu sakit? Salah?
Aga terdiam sejenak, bahkan ia sulit mengungkap apa yang sebenarnya terjadi.
"Ya, aku pun berpikiran seperti itu. Tapi ternyata aku salah. Ibuku tidak sakit dan aku akan mencari jawabannya." Aga menoleh ke arah Hana dan menggenggam telapak tangan perempuan itu. "Hana sekarang aku hanya bisa percaya sama kamu. Tolong kamu jangan membohongiku dalam segi apa pun, ya. Kamu mau janji 'kan sama aku?" pinta Aga.
Hana langsung bungkam dan diam seribu bahasa. Ia telah membohongi Aga secara tidak langsung dan mengkhianati sang kekasih. Ia bahkan tak mampu menatap Aga sekarang.
"Aku ... aku janji tidak membohongimu, Sayang. Kamu tenang saja, ya," ucap Hana mencoba tenang.
Aga menganggukan kepala dan kembali menerawang pelataran pemandangan hijau di depannya. Lelaki itu berkeyakinan bahwa Hana tidak pernah mengkhianatinya. Namun, di sisi lain, Hana begitu ketakutan, ia tak tau bagaimana jika Aga mengetahui bahwa dirinya tidak bisa menjaga kehormatannya sendiri dari laki- laki lain. Tanpa sadar ia menggigit bibirnya sendiri dan gugup. Peluh membasahi pelipisnya.
"Hana, kamu kenapa?" tanya Aga, ada raut kekhawatiran melihat Hana kali ini.
"Hah? Eh, aku ... aku enggak kenapa-kenapa, kok."
"Yakin? Kamu enggak enak badan?"
Hana tersenyum memaksa. "Sedikit, hmm tapi enggak kenapa-kenapa, kok. Kamu enggak perlu khawatir "
"Maaf ya kalau aku mengajakmu keluar tapi justru enggak perhatiin kesehatan kamu. Kita pulang aja ya bentar lagi. Aku enggak mau kamu kenapa-kenapa. Makanlah dulu."
Hana menganggukan kepalanya dan langsung memakan makanan pesanan Aga, yang baru saja datang.
Beberapa menit kemudian~
"Ayo, Hana, kita pulang. Kamu harus beristirahat lebih banyak," ajak Aga yang mengulurkan sebelah tangannya untuk menggandeng sang kekasih
"Ah, iya, makasih ...."
Mereka pergi meninggalkan rumah makan tersebut setelah Aga membayar semua tagihan. Aga langsung menggandeng tangan Hana menuju ke arah mobilnya. Hana hanya menatap punggung Aga dengan nanar. Pasalnya bagaimana pun suatu saat Aga pasti tahu kebohongan dirinya dan ia belum siap untuk kehilangan Aga. Bukan karena materi Aga yang membuat Hana menjadi nyaman tapi kesetiaan, pengorbanan lelaki itu dan yang utama Aga tak pernah macam-macam dengannya. Aga bukan lelaki b******k seperti Jack yang hanya berpikiiran pada nafsu semata.
Kamu memang orang baik Aga. Maaf aku telah mengkhianatimu.
??????
Hari semakin siang,Kevin tengah berbincang dengan kliennya di salah satu toko fashion yang ia dirikan. Namun, pandangan mata seketika tercekat saat melihat di luar toko itu, ada seseorang yang sangat ia kenal. Meskipun sudah beberapa tahun lamanya, tetapi ia tak akan pernah lupa dengan sosok itu.
Ia pun lantas mengepalkan tangannya, meminta ijin pada kliennya dan bergegas keluar menuju ke arah seseorang itu. Dengan setengah berlari Kevib langsung menarik kemeja pria itu dari belakang dan menghantamkan sebuah pukulan tepat ke arah wajah.
Sontak pria itu langsung terjatuh ke tanah aspal. Dimas—pria yang diincar Kevin tengah terperangah dengan siapa yang ia lihat. Bahkan dirinya sudah tidak mampu melawan segala bentuk pukulan yang mendera.
"Lo, b******n! Masih berani lo nginjekkin kaki di sini b******k!" umpat Kevin.
"K—Kevin? Lo ...," gumam Dimas yang masih terkejut mendapati Kevin tepat di depan mata.
Kevin lantas menarik kerah baju Dimas dan menatap penuh kebencian. Pria yang selama 15 tahun bersembunyi, pria yang membuat dirinya turut bersalah atas kematian Anggi.
"Vin, le—lepas. Lepasin gue dulu, kita bisa bicaran baik-baik."
Rahang Kevin mengetat, kepala tangan pada kemeja itu kiat erat. "Apa yang harus dibicarakan baik-baik! Hah! Lo itu biadab!"
"Vin, gue bisa jelasin—"
"Pembunuh!"
DEG
Penuturan terkahir Kevin membuat Dimas terkejut dan terdiam menatap pria itu lamat-lamat. Ia tak mengerti maksud Kevin mengatakan hal seperti itu padanya.
"Apa yang lo bilang barusan?"
"Pem-bu-nuh!" tandas Kevin.
"Maksut lo apa sih, Vin?"
Seketika Kevin kembali mencengkeram kerah baju Dimas. Jarak mereka benar-benar dekat sehingga Dimas mampu sadar bahwa ada kilatan kebencian di mata Kevin untuknya.
"Gue pikir lo sahabat gue, ternyata lo manfaatin gue buat kesenangan pribadi lo! Perbuatan lo udah bikin Anggi meninggal bodoh! Dan Aditya itu sahabat gue sebelum gue kenal lo! Dan lo pembunuh istrinya!"
Mendengar penjelasan Kevin, tak mampu lagi Dimas berucap sepatah kata pun. Ia lantas mundur teratur hingga menatap badan mobilnya. Ia benar -benar tak mempercayai ucapan Kevin. Ia tak mampu memdengar kenyataan bahwa perbuatannya mampu menghilangkan nyawa seseorang yang sangat ia cintai. Dimas pun langsung menatap Kevin kembali dan ia memegang lengan Kevin.
"Di mana makamnya? Di mana, tunjukkin sama gue, Vin. Gue mohon," pinta Dimas, ada air mata yang menggantung di pelupuk. Dimas terpukul atas semua pengakuan Kevin.
Kevin menepis tangan Dimas dengan kasar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia lantas berbalik pergi meninggalkan pria itu menuju ke arah tokonya kembali. Sedangkan, Dimas masih tertegun tidak percaya.
"Enggak mungkin. Anggi enggak mungkin meninggal. Dia pasti— enggak, enggak. Kevin pasti bercanda. Enggak mungkin."
Dimas yang benar-benar tersudut, seolah tak mampu lagi memijakkan kaki di bumi. Pikirannya melayang oleh rasa bersalah dan ada perasaaan sedih mendalam.
"Dim," sapa Anindya.
Sebuah suara mampu mengejutkan Dimas. Ia lantas menoleh ke arah sumber suara itu. Pria itu menatap sang istri yang mungkin mengetahui perdebatannya dengan Kevin barusan.
"Kamu melihatnya?"
Anindya menganggukan kepalanya, tetapi sama sekali belum mempertanyakan apa pun. Ia hanya menunggu suaminya sendiri yang berkata jujur tentang semua persoalan yang terjadi.
Dimas menghela napasnya, mencoba menenangkan pikiran yang berkecamuk. Mengatur aliran udara dari paru-paru kembali, agar berjalan normal dan masih tak mempercayai bahwa Anggi sudah tiada.
Ia pun langsung menyuruh istrinya masuk ke dalam mobil dan berlalu dari tempat itu untuk membicarakan hal ini di rumah saja. Lantas, ia melirik ke sebuah toko fashion di mana suatu hari ia akan mencari Kevin kembali untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas.
^^^^
"Apa? Kamu ... kamu membunuh seseorang?" tanya Anindya sesaat setelah Dimas menceritakan segala perdebatannya tadi dengan Kevin.
"Aku enggak tau, tapi kalo misal itu benar, aku tidak sengaja, Nin. Itupun kata pria tadi, dia sahabatku dan dia tau masalahku 15 tahun lalu."
Ada raut kekecewaan pada Anindya. Ia tidak menyesal menikah dengan seorang kriminal. Namun, ia kecewa Dimas tidak pernah jujur padanya.
"Tapi kamu enggak pernah cerita apa pun padaku selama ini."
"Aku mengubur semua masa laluku. Aku ingin menjalani kehidupan normal, tapi ternyata selama ini hidupku selalu dihantui rasa bersalah ... aku bingung harus bagaimana, Anindya," sesal Dimas.
Anindya sudah tidak mampu lagi berbicara. Ia tak menyangka bahwa selama ini yang menjadi suaminya adalah seorang kriminal. Namun, bagaimanapun Dimas telah menjadi ayah dari anaknya dan selama ini tidak ada yang salah dalam pernikahan yang mereka bina..
"Sudahlah, enggak masalah, Dim. Itu masa lalumu. Kalau kamu masih merasa bersalah, kamu harus temui keluarganya. Apa dia sudah punya suami?"
Dimas menganggukkan kepalanya. Ia masih tertunduk lemas sejak tadi. "Sudah, namanya Aditya Regha, CEO Artha Group."
"Hah? Apa?!"
Kini berganti Anindya yang syok mendengar penuturan Dimas. Ia bahkan tak menyangka bahwa dunia terasa sangat sempit. Dimas pun belum mengetahui mantan suami istrinya itu karena ia sama sekali tak menanyakan hal itu.
Mendengar nada yang seolah terkejut itu, membuat Dimas melayangkan pandangan pada sang istri.
"Kenapa? Kamu kenal?"
"Eng—enggak. Enggak kenal, hanya tau namanya saja, iyaa."
"Oh, aku pikir kamu juga mengenalnya."
Anindya menggeleng. Sebalikbya, Dimas menerawang ke arah luar jendela kamarnya. Ia masih memikirkan ucapan Kevin padanya dan lantas ia teringat akan sosok Anggi. Sosok yang begitu melekat di hati. Risau menjalar dalam benak. Ia harus segera mendapatkan informasi tentang Anggi secara benar.