Aditya melesungkan senyum sepanjang perjalanan pulang ke kediamannya. Bertemu dengan keluarga Anggi, membuat hatinya kembali menghangat, kebahagiaan itu nyata ia rasakan lagi. Setidaknya, Aditya mampu menebus semua kesalahan masa lalunya pada keluarga Anggi. Andai Anggi masih hidup, mereka akan menjalani kebahagiaan bersama.
Beberapa jam kemudian ia telah sampai di rumah. Aditya melirik ke arah garasi, tetapi tidak dilihat mobil Aga di sekitar sana. Pria itu menjadi sangata khawatir akan keberadaan Aga. Memang, lelaki remaja itu bukan lagi anak kecil yang selalu di awasi. Namun, tetap saja Aditya masih mengkhawatirkan sang anak jika tidak kunjung pulang.
"Selamat malam, Tuan." Dini—sang pembantu—menyapa.
"Malam, Din. Aga udah pulang belum?"
"Itu, Tuan. Tadi siang Den Aga pulang sebentar, enggak sampe lima menit terus pergi lagi. Belum pulang sampai sekarang."
"Oh gitu, ya udah, Din. Makasih "
Ia pun melangkahkan kakinya menuju ke sofa dan duduk di sana sejenak. Menghubungi nomor ponsel Aga berkali - kali berharap mengetahui keberadaan sang anak, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Aditya pun bangkit dan berjalan ke dalam kamarnya, sekali lagi melirik foto Anggi yang masih terpajang manis sembari menghela napas lelah.
"Maaf, saya dan Aga berselisih paham hari ini. Maaf saya telah membuat anak kita semarah itu karena saya merahasiakan tentangmu. Saya hanya tidak ingin terjadi apa-apa dengan Aga. Tapi nanti saya pasti bicarakan lagi dengan Aga. Kamu tenang saja ya ...."
Ada seulas senyum kecil di bibir Aditya kali ini. Pria itu kembali menatap sang istri dalam sebuah foto.
"Oh iya, kamu tau? Hari ini saya bertemu dengan ibu dan adikmu. Andai kamu masih di sini, kamu pasti sangat bahagia bukan? Ibumu belum meninggal, Sayang. Saya janji akan membahagiakan Ibu dan adikmu. Kamu tenanglah di sana," ucap Aditya yang merasa ada titik kebahagiaan yang tercipta .
^^^^
Sementara di tempat lain, hari semakin malam, Aga baru saja ingin beranjak pulang dari tempat tongkrongannya. Sekali lagi, lelaki remaja itu melirik arlojinya dan angka digital menunjukkan sudah pukul sepuluh lewat. Sebenarnya, ia enggan untuk pulang ke rumah, bertemu dengan sang ayah hanya akan membuat hati semakin kesal.
Tapi papa pasti khawatir, batin Aga.
Ada perasaan tak enak hati pada sang ayah karena tadi siang ia membentak pria yang selama ini ada untuknya. Ia pun kembali duduk di sebuah kursi kayu, menyesap sisa coffe latte hingga tandas.
Beberapa menit berlalu, ia kembali melirik jam ditangannya dan itu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aga lantas mematikan putung rokok yang masih tersisa setengah. Jemari itu kemudian bergerak memencet nomor ponsel Hana. Ia ingin mendengarkan suara kekasihnya itu, setidaknya untuk meredakan rasa kesal di d**a. Namun, beberapa kali panggilan itu berdering, nyatanya tidak pernah ada jawaban dari gadis itu.
Mungkin tidur kali ya, lagian udah jam segini , batin Aga sembari mengehela napasnya.
Ia pun beranjak pergi dari kafe itu, melajukan mobilnya terpaksa kembali ke rumah. Jalanan yang lumantan lengang justru membuat Aga memperlambat laju mobil. Hingga di tengah perjalanan, ia melihat seorang perempuan tengah berusaha melepaskan diri dari beberapa pria. Aga pun langsung memberhentikan mobilnya. Lelaki remaja itu setengah berlari menuju ke arah perempuan malang yang masih berusaha menarik tasnya.
"Hey! Berhenti kalian!" teriak Aga.
Aktifitas rampas merampas itu terhenti sejenak. Dua pria bertubuh kekar dan berwajah tak menyenangkan menatap Aga seketika. Salah satu di antara mereka melepaskan diri dari tubuh sang gadis. Pria itu berjalan ke arah Aga, menatap lelaki remaja itu dengan nyalang dan tak suka.
"Heh! bocah ! Mau apa ikut campur urusan kami!"
"Lepasin cewek itu!" ucap Aga menantang.
"Siapa lo berani ngehentiin kami? Dasar bocah!Lo harus dikasih pelajaran!" ucap pria itu.
Pria itu lantas menarik tangannya dan melayangkan ke arah Aga. Aga yang sigap pun langsung menangkis setiap pukulan pria itu. Lelaki remaja itu menendang, memukul dan menghajar preman-preman di depannya sampai hampir tak mampu hanya untuk berdiri. Namun, Aga melewatkan hal yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Salah satu pria yang kini meringis kesakitan itu mengeluarkan sebuah senjata api dan menghadapkannya pada Aga.
"Lo mau mati?"
Aga menatap pria itu dengan tajam, tetapi ia tak akan bertindak bodoh. Ia memutar otaknya untuk mencari cara agar senjata api itu lepas dari tangan pria di depannya. Ia mulai mencari titik lemah dari pria tersebut dan Aga langsung menendang tangan pria itu saat pria itu melirik temannya sejenak. Pistol itu pun lepas dari genggaman sang pria dan Aga segera mengambilnya, berbalik menghadapkan pistol itu pada preman-preman di depannya.
"Pergi atau mati?" Kini Aga berbalik mengancam.
Kedua pria itu pun lantas pergi dengan menaiki motornya dan melesat dengan kencang. Mereka tidak mungkin mati konyol hanya karena seorang gadis yang belum jelas adanya itu. Aga membuang pistol itu dan ia segera berjalan menuju perempuan yang sudah sangat ketakutan. Aga mencoba mengulurkan tangannya berniat untuk membantu perempuan itu, tetapi sang perempuan justru menepis tangan Aga.
"Pergi! Pergi! Jangann dekat-dekat! Pergi!" ucap perempuan itu ketakutan.
Sorot mata yang memancarkan keteduhan, tetapi sangat ketakutan itu tertangkap jelas oleh Aga.
"Hei, aku hanya ingin menolongmu. Kamu sudah aman. Ayo aku antarkan pulang."
"Enggak! Pergi! Pergi!"
Perempuan itu kemudian bangkit dan sontak mendorong tubuh Aga menjauh. Ia berlari tak tentu arah, Aga yang khawatir terjadi kejahatan seperti tadi lantas mengejarnya.
"Hey, Aku hanya ingin membantu. Jangan pulang sendiri lagi. Nanti kamu kenapa- kenapa, ini juga sudah mal—"
Plak!
Satu tamparan manis tercetak di pipi Aga. Rasa panas menjalar di kulit pipi lelaki yang kini mengusapnya dengan perlahan. Ia langsung menatap perempuan itu tak percaya. Ia hanya niat membantu.
"Sudah kubilang pergi!" bentak perempuan itu.
Perempuan itu pun langsung berlari lagi dari Aga. Aga yang masih heran tampak berdiam diri di tempatnya. Hingga sosok itu menghilang dari pandanganhya barulah Aga tersadar.
"Dasar bodoh! Cewek gila! Mimpi apa gue dapet tamparan dari cewek malem-malem? Tau gitu gue biarin dia di apa-apain sekalian! Sialan!" umpat Aga.
Aga pun berbalik badan dan menuju ke arah mobilnya, tak lagi memedulikan perempuan yang dianggapnya sedikit tak waras tadi.
Dengan malas ia melajukan mobil itu yepat ke arah rumahnya. Ia lihat mobil papanya sudah terparkir manis di depan halaman rumah, mungkin sudah sejak tadi. Ia pun segera memarkirkan mobil di garasi, berjalan dengan malas menuju ke dalam rumah.
"Kamu darimana saja, Aga?" Suara bariton itu kembali didengar oleh Aga tepat saat ia membuka pintu
"Apa peduli, Papa?"
Aditya menghela napasnya. "Papa peduli denganmu. Kamu anak Papa. Mana mungkin Papa membiarkanmu berkeliaran di luar sampai jam segini."
"Ck, Aga 'kan cowok. Wajar pulang jam segini. Lagipula ini masih jam berapa ... kecuali kalau Aga itu cewek, baru Papa boleh khawatir. Aga udah gede, berhenti ikut campur urusan Aga."
Aga pun melalui Aditya dengan acuh tak acuh. Sedangkan, Adit menatapnya tak percaya, pasalnya baru kali ini Aga menentangnya. Ia bukan melarang Aga berkeliaran sampai malam hanya saja ia tidak ingin anaknya terjerumus dunia malam dan liarnya dunia jalanan. Karena menurutnya sekali ia mencoba maka ia akan terjebak selamanya.
"Aga, apa semua ini hanya karena mamamu? Kamu melawan Papa hanya karena mamamu saja? Aga mamamu sudah lama tidak ada. Papa yang berjuang membesarkanmu dan kalau sikap kamu begini itu sama saja tidak menghargai Papa. Tolong jangan di ungkit lagi masalah mamamu," ucap Aditya tegas, berharap sang anak mengerti posisinya.
Tiba-tiba langkah Aga terhenti. Ia mengepalkan tangan. Masih saja sang ayah berusaha menutupi semuanya. Ia semakin yakin bahwa kematian ibunya memang bukan karena sakit biasa. Ia mencoba mengatur emosi dalam diri agar tidak terpancing dan membuatnya tidak kontrol.
"Terserah, Papa! Jangan urusi kehidupan pribadi Aga sebelum papa bisa jujur sama Aga!"
Aga pun meninggalkan Aditya dan berlalu begitu saja.
"YaTuhan, Aga," gerutu Aditya.
Ia langsung mendudukan diri dengan kasar di sofa ruang tamunya. Menelungkupkan tanganpada wajahnya dan termenung sesaat. Ia tak tahu harus jujur atau tidak pada Aga tentang semua hal terkait Anggi. Pria itu lantas mengedarkan pandangannya ke seluruh rumah ini.
Rasa getir kembali muncul. Ya, rumah inilah yang menjadi saksi tragedi 15 tahun lalu. Pembantu setia yang sudah ia anggap ibu sendiri meninggal karena kejadian itu, istrinya meninggal karena ulah seseorang dan sekarang sang anak menuntut untuk berbicara kejadian 15 tahun lalu yang berusaha ia tutup.
Ia telah mendidik Aga menjadi anak baik- baik sedari kecil. Memberinya kasih sayang yang utuh dan berperan ganda sejak anak lelakinya balita. Namun, hari ini Aditya tersadar satu hal bahwa kasih sayang seorang ibu tidak mampu tergantikan oleh apa pun.
Aga masih memerlukan Anggi dan begitupun dirinya yang sejujurnya masih membutuhkan sosok Anggi dalam kehidupan sehari-hari. Namun, ia enyahkan semua pikiran tak masuk akalnya. Anggi sudah lama tiada, istrinya sudah lama bahagia dan ia tak akan memperlihatkan kesedihannya lagi.
Andai kamu tau, Nak. Rasanya menyakitkan. Aditya membantin, menahan luka yang kembali terkupas.
Sementara itu, Aga membanting tas ranselnya ke sembarang tempat. Ia masih tidak memahami kepribadian ayahnya sendiri. Sang ayah terlalu dingin pada siapa pun meskipun dari kecil ia dimanjakan oleh Aditya, tetapi Aga belum benar -benar mengerti seperti apa sosok orang tua tunggal baginya. Bahkan sang ayah tidak pernah menceritakan masa mudanya terhadap Aga. Seolah menutup semua akses masa muda dirinya. Aga bukan mencari sesuatu yang tidak penting, tetapi ia ingin mencari kebenaran suatu perkara. Ia tidak suka kebohongan apa pun apalagi menyangkut keluarganya sendiri.
"Gue harus bicara sama Uncle Kevin," gumam Aga.
Ia pun memantapkan dirinya untuk bertanya langsung pada sahabat papanya karena menurutnya Kevin pasti mengetahui sesuatu tentang ibunya.
^^^^
Keesokan harinya, Aga telah bersiap untuk pergi ke rumah Kevin. Setelah memakai sepatunya dengan setengah berlari ia menuju ke mobil yang terparkit di garasi.
"Aga, kamu mau ke mana pagi-pagi begini?"
"Bukan urusan Papa!"
Ada debas yang terdengar samar dari Aditya.
"Kamu bahkan sudah tidak memikirkan Papa lagi Aga. Demi sebuah informasi yang bahkan untuk apa kamu mencarinya? Tidak ada gunanya, 'kan? Mamamu sudah tenang Aga jangan kamu ungkit lagi."
Aga terdiam sesaat di ambang pintu itu, ia mulai membenci kata-kata Aditya yang menganggap semua itu tidak penting. Bagi Aga semua informasi tentang ibunya adalah penting.
"Papa pernah bilang, jangan pernah berbohong pada siapa pun, Papa juga pernah bilang Papa benci kebohongan dan pengkhianatan, lantas hari ini apa, Pa? Selama ini Papa bohongin Aga. Papa yang munafik. Tidak sesuai dengan ucapan Papa sendiri!" tandas Aga tak acuh.
Setelah berbicara sarkas pada sang ayah, pintu itu ditutup dengan keras. Sontak Aditya menghela napasnya. Ia benar - benar tak menyangka Aga memiliki sifat yang sama dengan dirinya, apapun akan ia lakukan demi mendapatkan jawaban. Sisi keras Aga membuat Aditya mengerti bahwa suatu perbuatan masa lalu cepat atau lambat akan berdampak pada masa depan.
Aditya pun lantas memandang foto berukuran besar di ruang tamunya yang memperlihatkan foto keluarga dirinya, Anggi dan Aga sewaktu anak lelaki itu berusia dua tahun.
"Kamu lihat 'kan, Sayang. Bahkan sejak kemarin anak yang ada dipelukanmu itu sudah berani melawan saya. Itu semua karena dia ingin mengetahui semua tentangmu. Saya harus bagaimana? Haruskah saya bercerita terus terang? Kamu pasti tidak ingin Aga menaruh dendam bukan? Andai Aga tau apa yang kita takutan," ungkap Aditya.
Ia menghela napas sekali lagi dan tetap memandangi bingkai foto itu. Ia sama sekali tidak menyangka hal ini akan terjadi juga. Aga adalah harapan satu - satunya, ia tidak ingin Aga mendapatkan masalah yang akan terus menghantui dirinya.